Showing posts with label Filsafat. Show all posts
Showing posts with label Filsafat. Show all posts

Monday, October 13, 2014

Hasil Tes dan Eksistensialisme

Apa makna kesehatan? Menunggu hasil tes tentu menempatkan kita pada kecemasan (angst). Di sini, kita menemukan tubuh dan sekaligus diri sendiri. Kebebasan dan kecemasan tiba-tiba datang silih berganti. Bebas untuk makan dan berleha-leha atau cemas penyakit yang ditimbulkan oleh kealpaan.

Menunggu hasil tentu pekerjaan yang membosankan (boredom). Tapi, hari ini kita bisa menyiasatinya dengan membaca, berselancar di media sosial atau menikmati lagu melalui telepon genggam. Tapi benarkah jemu raib hanya karena kita tunduk pada hiburan? Lagipula kebebasan apa yang hendak dirayakan? Padahal dalam E Warterberg, Existensialism, "That much-vaunted freedom we posses is actually a source of much of trouble and pain" (2008: 37).

Aha! Kita hanya perlu diam. Dengan bernafas perlahan, kita akan menemukan ruang di mana peristiwa, orang dan lain-lain yang hadir di hadapan kita adalah bagian dari kehidupan kita. Empati perlu hadir agar diri tak tersepit sunyi tak terperi. Hanya perasaan ini yang bisa memakmurkan kesentosaan sebab empati itu adakah kepenuhan (abundance) karena kita berbagi ruang dan waktu dengan khalayak. Benar apa yang dinubuatkan oleh Epicurus (341–270 BC), "Not what we have, but what we enjoy, constitutes our abundance." 

Thursday, November 24, 2011

Kekuatan Kata

Saya mengambil gambar itu dari tembok kampus. Selain perkataan Nabi, kita juga bisa menemukan kutipan pemikiran dari banyak orang yang terpandang, seperti Lyndon B Johnson yang berujar, "At the desk where I sit, I have learned one great truth, the answer for all national problems - the answer for all the problems of world - come to a single word. That word is "education". Secara tekstual, mungkin kita tak perlu menyulitkan diri dengan menggunakan konteks dekat atau jauh dalam pembacaan kedua pernyataan di atas. Lagi terang dan bersuluh, pernyataan ini sesederhana nasehat orang tua pada anaknya, 'Nak, sabar ya? Meskipun kamu miskin, tetapi pantang untuk berhenti belajar'.

Mengapa kita memerlukan kata-kata itu? Setiap orang mempunyai jawabannya. Namun, nasib kutipan tersebut sepertinya bergaung di ruang kosong. Orang-orang yang melewatinya mungkin tak lagi peduli. Masyarakat kebanyakan bergegas untuk terus memburu nasibnya. Tak jarang, mereka tersandera oleh kekalutan yang membuatnya marah. Boleh jadi, harapan terhadap penyemaian nilai-nilai kemanusiaan melalui pendidikan terhenti di tengah jalan karena kuasa jahat telah menghadangnya. Tentu saja, setiap individu mempunyai halangannya sendiri-sendiri.

Adakah kata-kata itu masih berdaya magis? Tentu, dengan syarat ia hadir dalam konteks. Di tengah aliran informasi mengalir deras, mungkin orang ramai tak lagi bergulat dengan kedalaman kata, sehingga makna tak bisa diraih. Teknologi yang sepatutnya memilah data justeru menghadirkan begitu banyak fakta yang tak terkira. Kata-kata mati rasa. Untuk itu, semua harus menyepi seraya membawa kata-kata lama itu ke dalam refleksi. Biarlah, teknologi menjalankan fungsinya sesedikit mungkin, namun kita tentu saja tak perlu membaca kata-kata di daun lontar. Nah, jika kata-kata itu tak juga mendatangkan makna, itu berarti makna memang tidak ada sepenuhnya di barisan huruf, tetapi juga di kepala. Akhirnya, sejatinya kekuatan kata itu terletak pada diam, setelah mulanya pada kata.

Sunday, October 23, 2011

Makan Pikiran


Makan pikiran? Dua kata ini mungkin tak lazim. Ia bisa dimaksudkan sebagai keadaan yang membuat kita banyak berpikir. Masalahnya, kata banyak pikiran mengandung maksud situasi tidak nyaman. Padahal, bukankah banyak pikiran sepatutnya menyenangkan karena kita mempunyai banyak pikiran, bukan sedikit pikiran? Lalu, bagaimana apabila kita membaca buku Food and Philosophy? Adakah "Belly Happiness" sebagaimana dilaungkan oleh Epicurus hanya berhenti pada pemenuhan kesenangan fisik semata-mata?

Thursday, February 10, 2011

Ada Apa dengan Ada?

Kenyataan hidup itu kadang bukan pilihan kita. Namun, kita mempunyai kuasa untuk memberikan makna agar ia bisa dicerna. Jika Anda ingin melihat si kecil dikenal, Anda bisa menjadikan media internet untuk meletakkan peristiwa dalam kehendak kita. Namun, apakah populeritas itu adalah keinginan yang harus dipenuhi? Untuk apa kita nongol di majalah dan agar orang ramai tahu bahwa kita ada?

Ada itu hadir dalam banyak hal, memang. Kita ada karena berpikir, berbelanja dan memamerkan diri di cafe, mall, dan panggung. Ada itu kadang tidak ada. Coba lihat, tidak jarang kita melihat orang yang merenung di pinggir jalan, di tengah keramaian? Bagaimana kita mengatakan bahwa ia ada, sementara jiwanya entah ada di mana?

Mengada itu memang rumit, tetapi ia mudah diraih jika kita mau menyatukan jiwa dan raga kita selaras. Keadaan ini bisa diraih jika tubuh kita sehat dan akal kita kuat. Keduanya harus berjalin kelindan, jika tidak, boleh jadi pikiran kita seluas samudera, namun jika minda itu disangga oleh tubuh renta, alahai, alamat kita telah menunda kematian yang sesunguhnya.

Thursday, May 14, 2009

Ruang Tunggu dan Kawan


Saya sedang berbincang dengan kawan-kawan, Pak Stenly, Pak Badrun, Mas Donni, dan Encik Sheikh sebelum menjalani sidang ujian PhD di ruangan Abdus Salam Institut Pengajian Siswazah kampus. Mereka sengaja datang untuk menemani saya menghadapi ujian disertasi. Tiga kawan terakhir tidak tampak dalam gambar di atas. Namun, cerita tentang mereka akan menyusul. Ada pengalaman yang lain yang perlu diketengahkan agar semua bisa meraih riang.

Sebelum memasuki ruang ujian, kami menunggu di ruang tunggu ini, yang di dalamnya tersedia televisi yang menghubungkan dengan bilik ujian sehingga mereka yang berminat mengikuti sidang bisa leluasa menikmati pertunjukan melalui layar kaca. Di sini, seperti kata Bordieuau, filsuf Perancis, seseorang diuji sejauh mana ia berhak menyandang sarjana dengan menunjukkan keterampilan mengolah kata secara tulisan dan lisan.

Tentu, ketegangan muncul tenggelam dan sedikit berkurang dengan canda dan tawa. Kebaikan teman-teman mengurangi rasa tertekan karena saya akan dicecar pertanyaan oleh penguji. Bergambar bersama dengan teman-teman juga cara lain menghindari tekanan. Kadang tebersit di benak, saya hanya perlu melewati ini dan semuanya akan selesai. Toh, sebelumnya, saya telah melalui proses penulisan disertasi yang cukup panjang dan melelahkan. Peran pembimbingan tentu sangat penting karena banyak membantu memoles karya itu menjadi terbaca oleh orang lain. Meskipun, tanggungjawab sepenuhnya berada di tangan saya.

Tentu ujian satu hal besar, namun persahabatan dengan Pak Stenly juga sesuatu yang menerujakan. Minat saya pada filsafat seperti menemukan jalan, kehadiran interlukutor, mitra dialog, yang merupakan sebuah keniscayaan dalam merungkai isu filsafat. Kebetulan calon doktor ini menulis pemikiran John Locke, yang dianggap sebagai salah seorang filsuf paling cemerlang. Namun, kebersamaan kami tidak melulu bertukar pendapat, tetapi juga keseharian. Kebetulan juga, keluarganya juga dekat dan terutama si kecil, Amel, menambah kedekatan kami. Adakah yang lebih indah dari anugerah ini?

Tuesday, June 10, 2008

Nonton Bola Piala Euro, untuk apa?

Saya sengaja memasang jam alarm pada angka 2 pagi di telepon genggam Motorolla C115 itu. Dengan niat bulat, saya ingin menikmati pertandingan antara dua tim tangguh, Belanda dan Italia. Saya menjagokan negeri kincir angin. Tidak tahu, mengapa? Gol pertama tak begitu meyakinkan karena off side. Kedua dan ketiga lumayan bagus, malah kedua yang dilesakkan oleh Wesley Sneijder luar biasa.

Untuk apa saya berlelah-lelah bangun? Paling tidak, saya bisa menunaikan shalat tahajud. Meskipun, ini bukan tujuan utama, tetapi saya merasakannya sebagai bagian dari mengembalikan kembali kebiasaan seperti di pondok, pagi adalah doa. Dengan berjalan kaki, saya menikmati langkah menelusuri jalan konblok dari flat ke restoran Khaleel. Dengan menenteng tas yang berisi dua buku, Fiqih Lintas Agama dan Social Roots of Malay Left, saya melihat jalanan masih sepi. Di rumah makan itu pun, tak banyak orang yang menanti pertandingan sepak bola terbesar kedua setelah Piala Dunia ini. Saya pun duduk dan membuka buku Fiqih yang membicarakan isu hubungan antaragama. Sang pelayan, Mas Teguh, menanyakan minuman, saya menjawabnya milo panas.

Sepanjang pertandingan saya kadang diserang kantuk. Tak jarang tangan menyangga kepala agar saya tidak jatuh dari kursi. Kalau pun saya bisa mengikuti perlawanan ini hingga selesai, tetapi tak sepenuhnya saya membelalak. Setelah usai, saya pergi ke toko 24 Jam, 7eleven untuk mengambil koran gratis The Sun dan sekalian membeli pulsa RM 10 (Rp 28.400). Hujan makin deras, dan saya pun tertahan dan duduk di depan toko ini sambil membaca surat kabar. Karena bosan dan kadang mata berat, saya pun beranjak dan menepi ke depan toko untuk merebahkan tubuh yang lelah. Baru pertama kali dalam hidup saya tidur di depan toko layaknya gelandangan. Dengan berbantal buku dan koran, saya mencoba untuk lelap, namun tak kuasa memejamkan mata dengan nyenyak.

Akhirnya, saya menerobos rintik dan berjalan agak bergegas agar segera sampai ke flat. Memang, baju basah, tetapi di kamar saya merasa lebih nyaman. Malah, sambil menunggu azan, saya iseng-iseng membuka internet untuk membaca berita koran on line. Di tengah kantuk yang tersisa, saya meninggalkan komputer dan shalat tak lama setelah azan dikumandangkan. Biasanya saya melakukannya di surau, kali ini tidak. Lalu, saya pun berbaring di ranjang agar tak uring-uringan gara-gara kekurangan tidur.

  Pengakuan pengaruh luar terhadap identitas dapat melonggarkan batas. Betapa lancung menegaskan jati diri seraya menutup diri sementara tan...