Tuesday, March 30, 2010

Makassar


Tiba di Makasar dengan riang. Namun terkejut, ketika berada di sebuah auditorium sebuah universitas, foto wakil presiden masih terpampang Jusuf Kalla. Pertanda keengganan atau pemberontakan? Hal serupa juga terjadi di Madura, foto Gus Dur tetap tergantung manis di tembok setelah diturunkan dari kursi kepresidenan. Pendek kata, kehendal masyarakat setempat yang menghendaki tokoh bersangkutan tetap berhak untuk menempati kedudukan tersebut.

Sebenarnya, saya akan meletakkan gambar JK yang bersanding dengan SBY di blog ini, tetapi dibatalkan karena tidak ingin memantik perselisihan. Mungkin juga, pihak pengelola gedung enggan mengganti foto wakil presiden karena kebetulan berada di ketinggian. Namun aneh juga, sebab alasan ini tidak masuk akal karena pihak berwenang bisa meminta pegawai kebersihan untuk naik dan menggantinya. Jika ini protes, saya rasa masyarakat kita belum sepenuhnya menerima demokrasi. Andaian berkelebat. Mereka lebih nyaman melihat JK ada di situ.

Namun cerita atas tak mengusik perasaan nyaman saya selama berada di negeri Angin Mamiri. Makanan laut, keramahan dan keakraban warga, serta kenyamanan berada di luar ruang. Ia jelas lebih tidak hingar-bingar di bandingkan Jakarta. Malah, tempat-tempat bersejarah yang menyimpan cerita masa lalu dan suasana magis tumpah ruah. Dengan diantar oleh Prof Mustari, kami pun mengunjungi makam Syeikh Yusuf, pejuang kemerdekaan dua negara, Indonesia dan Afrika Selatan. Tak hanya itu, ustaz dari selatan Thailand memimpin bacaan surah yasin dan tahlil. Namun di tengah membaca kalimat tauhid, bau menyengat memenuhi ruangan. Ternyata seorang ibu membakar kemenyan.

Nah, karena ibu itu menyelipkan ibadah bidah, seorang teman menegurnya di luar. Itu tak elok. Namun, ibu berkerudung ungu itu menampik, dengan menegaskan setiap amal tergantung niat. Ada sedikit ketegangan, namun kami pun harus segera berlalu, menuju masjid tertua di Sulawesi Selatan, yang sekaligus halamannya dipenuhi kuburan keturuan kerajaan Goa. Saya pun tak tahu, apakah lumut yang menempel di tembok sengaja dibiarkan agar tampak kuno. Namun, kesan tak terawat segera menyergap.

Monday, March 22, 2010

Memurnikan Bahasa Kebangsaan

Sumber: Majalah Tempo, 22 Maret 2010

Ahmad Sahidah
*) Peneliti di Universitas Sains Malaysia

SIAPA pun yang membaca plakat di tembok koridor Busway Bank Indonesia berkaitan dengan tema lingkungan akan merasa telah turut serta menyelamatkan bumi. Coba simak kutipannya, "Dengan memilih menggunakan model transportasi massal, seperti busway, berarti kamu telah berpartisipasi dalam penanganan masalah perubahan iklim." Di sebelah petikan ini terdapat kalimat dengan huruf yang lebih besar, "Ya, kamu telah melakukan hal yang benar." Tapi mengapa masih banyak orang menggunakan kendaraan pribadi, jika mereka tahu itu salah? Tentu, dengan tuduhan ini mereka akan banyak berkilah.

Lalu apakah tulisan yang diterakan di selembar kertas itu sudah sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar? Semua kata yang digunakan, misalnya model, transportasi, massal, dan partisipasi, memang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Cuma masalahnya, kenapa kita terlalu sering memanfaatkan bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Inggris? Bukankah kata-kata tersebut bisa diganti dengan kosakata Melayu, sebagai sumber utama bahasa Indonesia? Model bisa diganti dengan kata acuan, transportasi massal bisa diganti dengan angkutan umum, demikian pula partisipasi dengan ikut serta. Tidakkah secara diam-diam, dalam bawah sadar sebenarnya kita merasa rendah diri dan meyakini bahwa serapan "bahasa Inggris" itu lebih gagah?

Tidak jarang, keinginan untuk berbahasa yang benar tampak dianggap remeh, karena sebagian masyarakat menganggap bahwa komunikasi itu berpatokan pada asal dimengerti. Padahal ketertiban berbahasa bisa mendorong proses mempelajari kedisiplinan dan kepatuhan. Diharapkan ketaatan pada aturan kebahasaan akan menular pada kehidupan yang lain, seperti adab berkendaraan, antre, dan pemanfaatan fasilitas publik (di Malaysia disebut kemudahan awam). Merawat milik sendiri tentu akan mendatangkan kebanggaan terhadap hasil karya sendiri, yang mungkin pada gilirannya termasuk produk dalam negeri.

Belum lagi, ketidaksungguhan kita menggunakan bahasa Indonesia secara utuh. Biasanya kita sering mendengar penutur menyelipkan bahasa Inggris, yang kadang menimbulkan rasa geli. Celakanya, sang Presiden pun tak luput dari kebiasaan memasukkan istilah-istilah Inggris dalam pelbagai kesempatan. Agar bahasa Indonesia tetap terawat, alangkah eloknya para penutur kembali ke akar dan sedapat mungkin menggunakannya tanpa harus merasa rendah diri jika tak dicampur dengan bahasa lain.

Sepatutnya kita berkaca pada negeri jiran Malaysia. Negara bekas jajahan Inggris tersebut memiliki rata-rata warga yang fasih berbahasa Inggris. Keadaan ini juga yang menjadikan pertimbangan kantor berita Al-Jazeera memilih Kuala Lumpur sebagai kantor cabangnya di Asia Tenggara. Memang, ini tak berlebihan. Cobalah Anda jalan-jalan di sekitar Kuala Lumpur, bisa dipastikan setiap kedai surat kabar menjual koran bahasa Inggris harian lokal, seperti The Star dan New Straits Time. Namun penyiar radio dan televisi Malaysia tidak kagok untuk selalu mengganti kata password dengan kata laluan dan download dengan muat turun. Lalu mengapa harus malu dengan bahasa sendiri?

Apatah lagi, bahasa Indonesia mempunyai sumber serapan lebih kaya dibanding bahasa Malaysia yang terpaku pada bahasa Melayu. Betapa banyak bahasa di seantero daerah khatulistiwa telah turut memperkaya khazanah kata bahasa persatuan kita, seperti Jawa, Minangkabau, Bali, Betawi, dan Sunda. Adalah tidak aneh jika kata download diindonesiakan dengan unduh, bukan muat turun, yang merupakan terjemahan harfiah dalam bahasa Malaysia. Hampir dipastikan pengacara televisi dan penyiar radio dalam acara kuis di sini selalu menggunakan kata password untuk menyebut kata sandi.

Ada kemungkinan keengganan mencari padanan dalam bahasa Indonesia karena mereka memang tidak tahu atau malas mencoba menggunakan bahasa kebangsaan secara ajek. Jika Anda membaca surat kabar rubrik olahraga, kata chance sering diterjemahkan kans, meskipun juga digunakan dalam KBBI, padahal kata peluang sepadan untuk kata tersebut. Di sinilah tantangan yang harus dipecahkan bersama agar sebaris kalimat dalam bahasa Indonesia tidak dipenuhi begitu banyak serapan kata asing.

Untuk itu, peran media, guru, dan kaum terpelajar yang menjadi rujukan khalayak dalam berbahasa senantiasa memperhatikan tutur kata atau tulisan dalam setiap kesempatan. Ajakan ini bukan berarti sebentuk ketakutan pada sesuatu yang asing, tapi usul untuk mengembalikan jati diri bahasa yang telah mempersatukan bangsa ini. Sederhana, bukan?

Sunday, March 21, 2010

Cerita Pagi

Pagi, matahari bersinar terang, dan suara burung timbul tenggelam. Musik instrumental sengaja diputar untuk menambah khidmat. Campur aduk. Selingan kicauan burung di antara bunyi biola dan piano memadukan alam dan buatan manusia. Si kecil berceloteh tak jelas, sambil meremas roti yang seharusnya dimakan. Seraya duduk di troli, ia memegang apa saja yang disodorkan. Tak jarang, ia memasukkannya ke dalam mulut, seperti semalam merenggut kertas dengan giginya. Sang Ibu dengan sabar menemani, setelah menyiapkan susu tambahan. Tepuk tangan dan senyum acapkali datang tiba-tiba. Kami pun selalu menikmati keadaan seperti ini.

Saya hanya menerka musik. Tetapi, terus terang sedikit menikmati dengan penuh für Elise. Lalu, mengasup kumpulan cerita pendek, Arwan Tuti Artha, “Harum Melati Perempuan Sunyi”, sesuatu yang mendekatkan dengan hidup, karena tempat cerita adalah dunia yang pernah dialami dengan seluruh. Penerbitnya Logung mengingatkan pada teman. Jauh dari itu, kalimat-kalimat dalam cerpen itu menyelinap, menyeret benak pada peristiwa, yang sebagian saya kenal. Herannya, mengapa pengalaman yang sama tak membuat tangan ini menghasilkan cerita? Seperti dulu saya juga pernah menjalani orientasi mahasiswa baru. Aha, cerita itu berkelebat memenuhi kenyataan dan khayalan serentak. Ia juga kadang menjadi dunia kompromi atau liminal dari dua kutub yang berseberangan.

Sementara “Harum Melati Perempuan Sunyi” yang sekaligus dijadikan judul buku mengandaikan surealisme, di mana seorang perempuan keluar dari kanvas lukisan, mengajak penikmat karya, menghabiskan malam. Herannya di tengah perjalanan ada seorang pemabuk yang menyebut dua nama orang yang ‘bercinta’ ini secara salah. Setelah mereguk angin malam, akhirnya lelaki itu, Palgunadi namanya, tertidur dan terbangun dengan hanya membaui sisa bunga Melati. Sukesi, perempuan dalam lukisan itu, hilang sehingga keindahan itu menguap, hanya angan-angan yang berkeliaran. Saya melihat dalam kisah ini terdapat pergerakan kenyataan dan khayalan berkelindan. Bukankah hidup juga disesaki hal semacam ini?

Atau, pesan yang bisa diraih bahwa perempuan tak ingin dibekap kerangkeng, meski ia dikagumi banyak orang sebagai objek lukisan, ia tak memuaskan. Oleh karena itu Ia ingin keluar dari voyeurisme. Padahal di luar sana, banyak orang yang ingin menjadi objek lukisan sehingga harus mematut diri habis-habisan. Tampaknya, setiap perempuan selalu bermimpi untuk bertukar tempat. Tema yang selalu muncul dengan bahasa yang berbeda. Lalu, di mana dunia nyata kaum hawa jika mereka tak pernah merasa nyaman dengan keadaannya? Lelaki tak jauh berbeda, sebab manusia memang tak pernah memiliki sesuatu yang ada di genggaman. Hasrat itu selalu ada di sana.

Sunday, March 14, 2010

Manohara

Surabaya Post, 14 Maret 2010

Kadang istana, di manapun, berselimut prahara. Sejak dulu kala. Sekarang, hal yang sama terjadi. Putera Sultan Kelantan sedang berselisih dengan bekas model, Manohara, isterinya yang melarikan diri. Di negeri Singa, pelarian itu tampak dramatik. Belum lagi, sekelompok patriotik mencoba menumpang 'nama', atau mereka tulus, saya pun tak tahu.

Di negeri suaminya, berita tersebut tidak seheboh di media Indonesia. Ini berkait dengan kedudukannya yang istimewa. Namun tak urung, sebuah judul besar di koran lokal, Kosmo! (13/10/10) terpampang di halaman muka, sang pangeran digertak oleh pengacara Manohara untuk ditangkap. Ini jelas ikhtiar untuk bertindak seimbang dalam pelaporan. Atau bisa jadi ia strategi pemasaran agar khalayak penasaran untuk mencari pesan di koran bersangkutan.

Jika dilihat sebagai hal biasa, perseteruan tersebut layaknya persoalan yang acapkali terjadi dalam sebuah rumah tangga. Namun, karena terkait pesohor, media menyambar dengan tangkas untuk segera mengabarkan bahwa ini baru berita. Padahal, siapa pun akan menemui hal yang serupa di meja pengadilan perceraian, di mana di dalamnya ada sumpah serapah, fitnah, kekerasan dan ketidakadilan. Lalu, adalah tugas mahkamah untuk memberi kata putus agar masalah ini tak menyeret banyak korban.

Saturday, March 13, 2010

Mempersoalkan Selebritas Politik

Seputar Indonesia, Saturday, 13 March 2010

Temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang rancangan anggaran jalan-jalan DPR untuk tahun 2010 senilai Rp100 miliar cukup menghentak akal sehat.


Meski Maruarar Sirait, anggota badan anggaran,membenarkan kunjungan ke luar negeri––asalkan dapat dipertanggungjawabkan––, tetap timbul pertanyaan: hasil seperti apakah yang ingin disuguhkan? Bukankah hal serupa sebelumnya hanya berbuah kritik keras dari masyarakat? Tidak saja hanya memanjakan pelesiran, para anggota Dewan yang terhormat itu justru lebih menikmati berbelanja di toko ternama dan hanya beberapa jam memenuhi tugas kunjungan kerja. Itu cerita dulu ketika anggota Dewan yang berkunjung ke Negeri Kincir Angin diprotes mahasiswa. Naga-naganya, gelagat yang sama sudah tampak. Perilaku politikus sekarang ini bersinggungan dengan hal ihwal selebritas.

Jika selebritas dipahami sebagai pribadi yang namanya mendapatkan perhatian masyarakat luas, politikus layak menyandang gelar itu. Siaran langsung Panitia Khusus (Pansus) Bank Century telah membuat wakil rakyat sadar atas kehadiran kamera. Seperti dinyatakan oleh J Gamson dalam Claims to Fame: Celebrity in Contemporary America, penampilan tokoh politik untuk mendapatkan perhatian publik telah mendorong mereka untuk meminjam teknik-teknik secara langsung dari selebritas hiburan. Seperti penghibur, politikus dilatih, ditangani, didandani secara hati-hati agar “terang-benderang”. Tentu, panggung yang memenuhi ruang untuk tampil total adalah “drama” Pansus Century.

Layaknya persembahan, penyelenggaraan “hiburan” ini berbiaya mahal, Rp5 miliar. Para pemainnya mempunyai pelbagai watak, protagonis, antagonis, dan pragmatis. Yang terakhir bisa dikatakan sebagai tokoh figuran, yang tampil hanya untuk melengkapi alur cerita. Dengan banyak kamera, mereka tampil sempurna, yaitu memerankan tokoh yang sedang melawan kejahatan.Masalahnya, plot itu berkembang dan skrip pun kadang berubah. Sebagian kelompok tetap berpendirian teguh dan yang lain berubah. Mungkin, kesetiaan mereka hanya untuk tema yang telah melekat pada profesi ini, mendahulukan kepentingan kelompok. Nah, karena tanpa skrip, para pemain kadang banyak melakukan improvisasi.

Tentu, di tengah perhelatan, pemain lain turut meramaikan suasana untuk membuat kejutan. Kemunculan Andi Arief, staf ahli Presiden,membongkar rahasia aktor utama tentu mengejutkan banyak kalangan.Tidak saja karena tugas mantan aktivis ini seharusnya berkait dengan penanggulangan bencana alam, tetapi juga lantaran mantan pentolan Partai Rakyat Demokratik tersebut ternyata mempunyai akses luar biasa terhadap cerita buruk “hero”.Meski demikian, cerita Pansus ini tetap tidak keluar dari pakem dalam sebuah drama, ketegangan sebelum kisah usai.

Mendongkrak Citra

Para aktor harus tampil maksimal agar lakon mereka bisa memaksa penonton untuk tidak beringsut dari tempat duduk. Selain menghibur, sedu sedan mereka juga tak jarang membuat haru pemirsa. Malah, kemarahan pelakon dibuat tampak alamiah agar mampu menguras emosi penonton. Namun, pada waktu yang sama, tontonan itu sekaligus dituntut sebagai tuntunan.

Ia mengusung sejumlah pesan dan makna. Hiburan yang gagal untuk memenuhi tuntutan yang terakhir ini layak disebut berselera rendah. Nah, drama Pansus kemarin telah memperlihatkan secara langsung kepada pemirsa. Tak ada penyuntingan sehingga tingkah laku mereka bisa dinilai secara utuh. Karakter mereka terlihat jelas di layar kaca. Disengaja atau tidak, pertengkaran Ruhut Sitompul, wakil Partai Demokrat, dan Gayus Lumbuun, wakil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, betul-betul menghasilkan drama yang menegangkan. Di luar asas kepatutan, mimik mereka tak ubahnya pelakon sinetron kita yang gemar mendramatisasi adegan pertengkaran.

Sayangnya, dialog yang keluar tak mencerminkan watak sebagai kaum terpelajar. Alih-alih menjernihkan masalah, mereka telah menjadikan panggung itu untuk menunjukkan kekuatan. Namun, di luar perseteruan ini, mereka mempunyai kesamaan, menampilkan selera berbusana yang memukau. Di luar urusan mengorek informasi, anggota DPR juga mempertimbangkan penampilan diri. Andi Rahmat dari Partai Keadilan Sejahtera harus merogoh kocek Rp5–7 juta untuk sepasang jas.Tak hanya itu, layaknya kaum metroseksual yang kontras di bagian lingkar lengan dan leher, wakil PKS dalam Pansus ini juga tampil maksimal dengan mencocokkan warna pakaian dan sepatu.

Berbeda dengan Ruhut Sitompul, istrinya, Diana Leovita, biasa mendesain busana dan mengatur seluruh tampilan, termasuk pilihan warna, agar sang suami terlihat cerah.Untuk memenuhi selera ini, Ruhut menegaskan istrinya harus berbelanja bahan pakaian hingga ke India dan Thailand. Untuk tas,mereka menggemari Louis Vuitton. Saya tidak tahu, apakah kenaikan gaji mereka yang hampir menyentuh 100% akan makin memanjakan selera mode mereka.

Menagih Janji

Jika Andi Rahmat ingin dicitrakan sebagai politikus muda yang segar,i dealis,dan penuh energi, maka penampilan modis itu adalah jawaban yang paling mudah dilihat. Tampaknya, politikus yang lain juga berlaku sama.Tidak ada yang salah, tetapi jauh dari itu, tanggung jawab besar ada di pundak mereka berkait dengan fungsi pengawasan, penganggaran, pengesahan undang-undang dan sebagai wakil konstituen.

Sejatinya tugas mereka lebih menuntut kesigapan dan ketulusan, bukan apa yang mereka pakai. Namun, apa mau dikata,demam selebritas juga dialami para wakil rakyat. Bagaimanapun,Pansus Century sedikit banyak memenuhi fungsi yang melekat pada Dewan. Paling tidak, perlawanan oleh pihak yang merasa dijadikan sasaran telah membuka kebobrokan lain dalam penyelenggaraan negara. Orang pun tahu bahwa dalam memenangi pertarungan ini, segala cara dilakukan, yang muaranya membuka borok lawan.

Di tengah perjalanan pemeriksaan, ternyata petinggi yang tampil membela rakyat itu tersandung dengan penilapan pajak, demikian pula orang yang diamanahi untuk memeriksa keuangan malah lebih asyik mengumpulkan hibah. Celakanya lagi, pemberi hibah itu bersuara dan justru membuka persekongkolan penguasa dan pengusaha. Sepertinya, drama ini telah berhasil membuka kotak pandora di mana banyak kejahatan berhamburan. Demikian juga dengan anggaran yang dibuat Dewan. Sejatinya uang negara itu dialokasikan untuk kepentingan khalayak. Anggota Dewan mempunyai penghasilan lebih dari cukup untuk hidup normal, bahkan untuk jalan-jalan.

Menggunakan anggaran untuk melancong ke luar negeri dengan alasan kunjungan kerja atau yang lain ternyata tidak berbuah kebaikan, karena itu kedok untuk menghabiskan uang negara saja.Tidak lebih. Sebagai perantara, mereka seharusnya mempertanggungjawabkan kepada konstituen bahwa suara pemilih telah disalurkan.Tanpa pertanggungjawaban ini, mereka gagal dan rakyat bisa menghukum dengan tidak memilihnya lagi dalam pemilihan umum. Sekarang, kuasa di tangan rakyat,bukan? Sayangnya, merujuk pada survei yang dilakukan Asia Foundation pada 2003, hanya 20% yang mengetahui peran DPR sebagai representasi kepentingan pemilih.

Bagaimanapun, ini juga berkait dengan sistem distrik proporsional yang memungkinkan satu daerah pemilihan mengirimkan wakil lebih dari satu orang. Berbeda dengan sistem dua partai yang mengandaikan satu lawan satu sehingga wakil itu mencerminkan kepentingan kawasan tertentu. Meskipun calon yang lolos meraih kemenangan atas tiket partai dari sebuah koalisi,sejatinya ia harus menang atas konstituen tanpa dibebani kepentingan sempit partai.

Di sini,rakyat dituntut untuk secara cerdas menilai wakilnya karena bisa dikatakan hampir seluruh waktu wakilnya diwakafkan pada pelayanan terhadap konstituen. Memang harus diakui bahwa masyarakat kebanyakan masih terjebak pada sandiwara politik yang dangkal. Namun bukankah ini harus berakhir?(*)

Ahmad Sahidah Ph.D
Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia

Thursday, March 11, 2010

Mencabut Akar Terorisme

Pikiran Rakyat, 11 Maret 2010

Oleh Ahmad Sahidah

Polisi berhasil menembak mati teroris. Selayaknya, keberhasilan ini patut mendapatkan penghargaan. Apatah Dulmatin, gembong yang paling dicari yang meregang nyawa ditembus peluru. Ia tidak hanya diburu pemerintah Indonesia, tetapi juga Australia dan Filipina. Namun, bagi sosok seperti Dulmatin, kematian dianggap bukan jalan akhir yang nestapa, tetapi awal untuk mereguk kenikmatan abadi, surga. Jika banyak orang mengelak dari kematian, para teroris itu menyambut riang.

Satu demi satu pelaku kekerasan mati berkalang tanah. Namun, tak ada jaminan, penebar teror itu musnah, karena jaringan teror ini tidak mengandaikan satu hierarki tunggal, tetapi dalam bentuk sel. Satu kelompok dengan yang lain mungkin tidak saling kenal, tetapi pada titik tertentu, salah satu pentolan dari kelompok itu menjalin hubungan. Jauh dari itu, persemaian dan penyebaran anggota baru telah menyusup hingga ke orang biasa yang mungkin salah satu dari tetangga kita. Tiba-tiba, sosok teroris itu bisa berwujud pelbagai rupa, dari petani biasa, orang berada, mahasiswa, hingga dosen.

Gus Martin dalam ”Understanding Terrorism: Challenges, Perspectives and Issues” (2010) menegaskan, satu hal penting untuk memahami kajian terorisme, ia merupakan kajian tentang perilaku manusia. Kajian ini juga berkait dengan penelitian tentang interaksi manusia yang mudah berubah pendirian. Untuk itu, memahami terorisme dengan sendirinya memeriksa kembali peristiwa, ide, motivasi, teori, dan sejarah yang menyebabkan tindak kekerasan teror. Semua ini tidak bisa dipisahkan dan pada waktu yang sama mengandaikan pendekatan pelbagai disiplin, seperti ilmu politik, pemerintahan, administrasi keadilan, sosiologi, sejarah, dan filsafat.

Teori psikologis

Menurut Martha Crenshaw (2007), ada penjelasan berkait dengan perilaku, tingkat individu, dan kelompok. Yang pertama, melihat keputusan keterlibatan dalam kekerasan politik acapkali merupakah buah dari peristiwa penting di dalam kehidupan seseorang yang menimbulkan perasaan antisosial. Sering kali motivasi melakukan kekerasan berasal dari ketidakpuasan pribadi dengan hidup dan prestasinya. Pada saat yang sama, pelaku teror memproyeksikan motivasi antisosialnya pada yang lain, sebagai pembenaran terhadap perbuatannya. Pada tingkat kelompok, motivasi psikologis merupakan intensitas dinamik kelompok di antara para teroris. Mereka menuntut kebulatan suara, dan tidak toleran terhadap pembangkangan. Intensitas pergaulan ini telah mengekalkan rasionalisasi terhadap tindakan kekerasan. Oleh karena itu, pelaku tidak bisa dianggap tidak sehat dan gila. Bahkan, dalam penelitian empiris tidak ditemukan psikopat dalam kelompok ini.

Bagaimanapun, teori tersebut dengan sendirinya memandang peran ”masyarakat” dalam membiakkan teroris. Coba lihat pada pelaku kekerasan atas nama Islam. Jika mereka sadar bahwa orang awam dan fasilitas umum tidak boleh dijadikan sasaran pengeboman dan pengrusakan yang merupakan praktik Nabi dalam perang, maka jelas-jelas tindak tanduk mereka melawan agamanya. Untuk itu, mengendus kehidupan pribadi pelaku adalah keniscayaan untuk mengenal lebih dekat apa sesungguhnya yang mendorong mereka menganut teologi kematian. Sayangnya, para pentolan teroris tewas sehingga dalih mereka tak sempat direkam.

Demikian pula, kehidupan yang tidak ramah pada seseorang telah memicu tindakannya untuk lari dari kebanyakan. Jika orang seperti ini menemukan tempat berteduh yang tepat, mungkin ia akan menemukan makna hidupnya. Namun jika tangan-tangan jahat merangkul pencarian identitasnya, maka pelampiasan semangat muda itu akan menjadi prahara. Lagi-lagi, masyarakat turut menyumbang lahirnya terorisme. Dengan demikian, usaha apa pun untuk memberantas kelompok itu akan berakhir sia-sia, jika kehidupan masyarakat umum yang dianggap normal sebenarnya penjara. Perasaan tertekan adalah lahan subur kekerasan, apa pun motivasinya.

Jalan keluar

Satu hal yang perlu dicermati, tindakan kekerasan itu merupakan cara ”yang lemah” untuk melawan ”yang kuat”. Dengan aksi kekerasan ini, mereka ingin keluar dari ketertindasan dan menghibur diri telah memperoleh kehormatan. Jika yang kuat cenderung dituntut awas dalam setiap waktu, yang lemah hanya memerlukan beberapa menit untuk melakukan kekerasan. Ini terjadi karena kadang yang kuat ”lelah”, sementara yang lemah setiap detik napasnya adalah perjuangan.

Karena pemicu terorisme itu rumit, semua pihak turut memikul tanggung jawab bagaimana menciptakan kehidupan lebih nyaman bagi masyarakat. Jika ruang publik makin sempit sehingga tidak ada ruang bagi orang kebanyakan untuk mengaktualisasikan dirinya, maka tidak menutup kemungkinan segelintir dari mereka mencari jawaban dari rasa frustasi pada kelompok-kelompok ekstrem. Memang, alasan ekonomi bukan alasan tunggal, tetapi ketertekanan yang bermuara dari persoalan biaya hidup juga bisa mendorong orang untuk segera mengakhiri ”hidupnya” dengan cara yang dianggap lebih rasional.

Sayangnya, agen sosial dominan, seperti presiden, menteri, dan anggota legislatif, tidak berupaya menciptakan hidup masyarakat nyaman. Sepatutnya, kue pembangunan itu diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, dan yang diberikan amanah mengambil secukupnya serta wajar. Kalau pun hak rakyat belum dipenuhi, mereka yang memikul tanggung jawab seharusnya tidak mempertontonkan kemewahan. Jika mereka hidup sederhana, rakyat juga merasa telah terbela. Dengan demikian, maukah mereka berubah? Jika tidak, saya rasa sebagian jalan keluar itu tertutup rapat.***

Penulis, Postdoctoral Research Fellow pada Universitas Sains Malaysia.

Friday, March 05, 2010

Kepulangan Sang Imam


Beberapa hari yang lalu, imam tetap surau kami pulang kampung. Dalam sebuah kesempatan, beliau pernah mengungkap pada tetangga kami untuk tidak akan kembali lagi. Tugasnya sebagai peneliti di kampus telah berakhir. Sebenarnya, dia mempunyai kesempatan untuk terus mengabdi, namun lebih memilih pulang. Sebagai peneliti, ia telah banyak menerbitkan karyanya di sejumlah jurnal internasional, sehingga layak untuk terus menyandang jabatan yang dipikulnya. Tapi, hidup itu pilihan. Satu hari sebelum meninggalkan Pulau Pinang, Pak Cik, tetangga kami, sempat mengundangnya makan malam, tanda perpisahan. Kami pun bercengkerama, penuh keakraban.

Pengurus surau menetapkan lelaki asal Makasar ini sebagai imam, karena pelbagai alasan. Kehilangan turut dirasakan jamaah yang lain. Biasanya ia tidak hanya memimpin shalat, bahkan seringkali alumnus Universitas di Jepang ini melantunkan azan, pertanda waktu sembahyang tiba. Suaranya mengajak penghuni flat bergegas turun. Meski tidak pernah bersekolah di Pondok Pesantren Tahfiz, peraih PhD dalam bidang matematika ini banyak menghapal surah al-Qur'an. Pernah satu waktu, saya mendengar sayup-sayup menjelang subuh, ia membaca al-Qur'an di rumahnya. Kebetulan, kami hanya berbeda satu lantai.

Kesederhanaannya jelas terpancar dari raut wajahnya. Meski gajinya besar, ia tetap melaju dengan sepeda motor ke tempat bekerja. Bahkan untuk ke Kuala Lumpur, ia bersama keluarga naik bis, bukan pesawat, yang tiketnya murah. Demikian pula cara berbusana, tak sedikitpun ia mematut diri untuk menunjukkan diri sebagai orang yang berkantong tebal. Selamat jalan kawan, semoga di sana aura itu menular pada jiran.

Syawal Keempatbelas

Kami memenuhi undangan tetangga untuk memperingati 100 hari kepergian Pak Muhammad Imam Wahyudi. Sebelumnya kami mendapat surat undangan unt...