Showing posts with label Toko Buku. Show all posts
Showing posts with label Toko Buku. Show all posts

Tuesday, March 12, 2013

Filsafat itu Suka-Suka Kita

Di sela acara Musyawarah Tahunan Alumni ke-17 Universitas Sains Malaysia, saya mampir ke toko buku Borders. Alamak! Buku Deepak Chopra berjudul GOD tersenarai sebagai buku filsafat. Kita pun tahu, tokoh yang dikenal sebagai guru dari banyak artis Hollywood ini tidak lebih dari seorang motivator.

Adakah kesalahan ini dilakukan oleh pekerja toko atau memang karya ini layak untuk dipajang di bagian Philosophy? Mungkin, cabang filsafat Metafisika memungkinkan siapa pun untuk berbicara tentang Tuhan sebagai kegiatan pemikiran. Lagipula, kadang kita hanya perlu menerapkan kaedah Sokratik, bertanya, agar isu apa pun bisa dikategorikan sebagai perenungan filosofis.

Di luar urusan dunia ide, toko buku ini tidak lagi di bawah kepemilikan induknya, tetapi dimiliki sepenuhnya oleh Vincent Tan. Tak ayal, di sebuah sudut, warung kopi Starbucks turut hadir. Kita bisa membaca buku seraya menyesap rasa kopi Sulawesi. Sayangnya, perubahan desain interior telah menutup pemandangan pengunjung warung ke Pulau Jerejak dan laut. Boleh jadi, ini sengaja dibuat agar pengunjung tak berlama-lama untuk menghabiskan secawan kopi. Berbeda dengan warung kopi di kampung saya, pengunjung bisa duduk seharian dengan secangkir kopi yang seharga Rp 1000. Meskipun, sering terdengar bahwa pemiliki kedai kopi menggerutu karena seorang pengunjung berlama-lama dan tak membeli apa-apa selain seteguk-dua teguk minuman. 

Thursday, January 27, 2011

Singapura dan Filsafat


Singapura menawarkan surga untuk melancong, menikmati keteraturan dan kebersihan. Temasek itu juga merupakan surga bagi mereka yang ingin memiliki barang-bareng berjenama (merek). 

Coba Anda berkunjung ke pusat pertokoan Teluk Marina! Di sana, banyak kedai yang mengusung pelbagai barang luar negeri ternama. Alamak! Di bandara, kedai buku Times juga menjual buku The Great Philosopher

Mungkin filsuf menyukai ketertiban dan kenyamanan, tetapi apakah mereka juga menyukai barang mewah? Selintas, saya melihat gambar jas Martin Heidegger tidak bermerek. Saya tak pasti, mungkin saya nanti perlu bertanya pada Budi F Hardiman, yang pernah menulis buku kecil tentang ahli filsafat yang beristrikan Hannah Arendt itu.

Saturday, July 04, 2009

Pandangan Luas itu Menyenangkan


Menyesap kopi di sebuah warung adalah peristiwa biasa. Tapi kali ini, saya berada di ketinggian dan melepaskan pandangan ke segala penjuru, salah satu gambar di atas. Bukit itu dipisahkan oleh laut dan seakan menjadi penanda akhir dari jarak saya dengan dunia. Di sela itu, saya membaca koran The Sun, membual ke sana kemari, menekuri pelbagai kelebatan tingkah pengunjung. Sebagian memelototi laptop, yang lain bercengkerama. Tak hanya itu, meskipu warung kopi ini diboikot oleh sekelompok masyarakat, pegawainya ada yang mengenakan jilbab. Sebuah wajah yang sulawan.

Tapi, biarlah kesulawanan itu hadir. Pilihan kita banyak, namun kita tak bebas memilihnya karena keseharian telah ditentukan oleh iklan media. Selera dan gaya mencerminkan kehendak pabrik. Kita telah menerima jadi dan tak perlu berpikir dan hanya merayakannya hingga akhir. Semua tumpang tindih. Jika sebagian teman saya masih berteriak ancaman Barat, yang lain menganggapnya igauan di siang hari. Identitas yang diperjuangkan hanya berujung kepentingan, tidak lebih. Adalah susah menemukan ketulusan.

Sekarang, ketika refleksi ini diterakan, saya harus menjaga jarak dari objek yang disoal. Kekhawatiran yang selalu mengikuti adalah pembenaran terhadap kesenangan. Kita membungkus prilaku dan gaya dengan segudang alasan. Saya, misalnya, membenarkan duduk di warung itu dengan memasukkan beberapa cerita. Inilah helah untuk menangkis hujatan bahwa saya tidak mempraktikkan apa yang dipikirkan. Banyak omong, tapi pada masa yang sama melanggar apa yang diungkapkan.

  Pengakuan pengaruh luar terhadap identitas dapat melonggarkan batas. Betapa lancung menegaskan jati diri seraya menutup diri sementara tan...