Showing posts with label Perjalanan. Show all posts
Showing posts with label Perjalanan. Show all posts

Sunday, June 30, 2013

Menikmati Malam

Barisan warung ini terletak tak jauh dari rumah penginapan Riche, Kota Malang. Saya bersama-sama teman-teman menikmati makan malam. Ada pesona tersendiri menyusuri jalan bermandikan lampu.

Kemakmuran itu kecukupan dalam kesederhanaan. Inilah salah satu tema yang sempat meluncur dalam percakapan. Kalaupun kita acapkali mengartikan kebahagiaan dengan pemenuhan kebutuhan, kita pun mafhum. Namun, Plato tidak melihatnya demikian. Kebahagiaan (eudaimonia) adalah pemenuhan nilai-nilai utama (virtue). Tak jauh berbeda dengan kitab suci dengan pengertian kehidupan yang baik (hayat al-thayyibah) sebagai pelaksanaan amal yang baik (a'mal al-shalihah).

Lalu, adakah kenikmatan itu kemewahan? Tidak. Yang terakhir ini adalah tanda kemunduran. 

Monday, November 26, 2012

Menikmati Perjalanan

Bus ini mengantar kami ke Jember. Ada banyak cerita sebelum kendaraan berbadan besar ini menjejaki tanah daerah seribu pesantren ini. Di terminal Juanda, bus bernomor N 7277 D ini menyabut kami dengan riang. Setelah tiga jam kami berada di dalam badan pesawat, tiba giliran kami merasakan jalan darat. Tak sama dengan pengangkut pertama, kami merasakan bus ini  jauh lebih nyaman karena masing-masing lebih lebih leluasa bercanda dan bertukar cerita. Bayangkan kalau suasana bising penumpang ini berlaku di burung besi!

Dengan hanya berdua belas, kami diseret oleh bus ini  dengan ringan, tak terseok-seok, apalagi jalanan tak disemuti oleh pelbagai jenis kendaraan. Meskipun kami baru pertama kali bertemu di LCCT KLIA, namun kimia pertemanan cepat menyemburat. Para pengajar perguruan tinggi dari banyak universitas Malaysia akan mengikuti bengkel (workshop) kepemimpinan yang digelar oleh Universitas Jember dan Akademi Kepimpinan Pengajian tinggi KPT Malaysia. Sebenarnya senyum telah memecah sejak kami memulai percakapan pertama kali. Namun, bus bertanda bintang ini seakan-akan menjadi panggung setiap orang untuk berkelakar sehingga gelak-tawa berderai.

Ternyata percakapan yang disertai tawa itu menguras tenaga. Kami pun mengasup makan di Rumah Makan Gempol Asri. Di sini, kami juga menunaikan sembahyang berjamaah yang diimami oleh Dr Jamal, dosen Pendidikan Universitas Kebangsaan. Hebatnya, surau di sini bersih dan terawat. Air melimpah. Usai beribadah, kami pun menyantap pelbagai jenis makanan yang telah dipesan. Ternyata banyak kawan-kawan yang menyukai Teh Botol Sosro. Saya pun sangat menikmatinya karena lidah ini telah merasakan pahit dan manis teh ini sejak belajar di Pondok Annuqayah. 

Thursday, December 22, 2011

Uzbekistan


Saya berjumpa dengan mahasiswa Uzbekistan yang sedang menghelat pameran negeri Asia Tengah di depan perpustakaan. Tanpa harus pergi jauh, saya merasakan negeri ini secara sederhana, melalui tatapan dan perasaan, bukan tubuh kasat ini.

Monday, November 07, 2011

Lorong

Saya menyukai jalan di atas. Dengan menyisakan ruang, kotak-kotak itu telah memberikan ruang bagi tanah untuk bernapas dan menerima asupan air. Sebagai bagian dari jalan pintas menuju Masjid AlBhukhari dari Suq AlBukhari (Mall), desain lorong ini menjadikan tanah pekuburan itu tampak tak seram. Mungkin, kita tak lagi mempunyai kesan bahwa tempat peristirahatan terakhir manusia itu selalu terlihat suram.

Saturday, October 08, 2011

Jum'atan di Masjid Tua

Masjid Zahir mulai dibangun pada 11 Maret 1912 dan diresmikan oleh Sultan Abdul Hamid Halim Shah pada 15 Oktober 1915. Ia menjadi penanda negeri Kedah. Menunaikan shalat Jum'at di sini, saya merasa diseret ke masa lalu.

Seperti biasanya, si khotib akan mengingatkan jamaah agar tidak bercakap-cakap karena ia menghilangkan keutamaan kewajiban ini. Saya pun diam dan mengambil pena untuk menulis kata-kata kunci terkait kandungan khotbah. Di hari itu, tema yang dibahas adalah hasad dan dengki. Dengan menyuguhkan cerita Habil Qabil, dua putera Nabi Adam, dan Nabi Yusuf, penggambaran dua sifat etika buruk ini tampak hidup. Jamaah tentu tak perlu mengerutkan dahi untuk mencerna pesan moral.

Meskipun si khotib menggunakan bahasa Malaysia, namun saya memastikan ia adalah warga Indonesia. Logatnya berbeda dengan warga jiran ini. Kata-kata hairan, terbuku, hodoh, membelakangkan, dan lain-lain adalah kosa kata yang jamak digunakan, namun pengucapan sahaja dengan huruf akhir tidak diucapkan [e] menunjukkan ia memang bukan warga lokal. Suaranya pun terdengar seperti anak kecil dan mencoba untuk bergaya seperti dai sejuta umat, Zainuddin MZ. Boleh jadi, pengkhotbah itu adalah mahasiswa KUIN (Kolej Universiti Insaniah).




Tuesday, January 04, 2011

Menemukan Melayu di Riau

Riau Pos, 3 Januari 2011

Oleh Ahmad Sahidah

Jauh-jauh hari, Persatuan Karyawan (baca: pengkarya) Pulau Pinang-Malaysia mengagendakan kunjungan ke Riau. Sebagai organisasi dalam bidang penulisan, peserta ingin memburu akar Melayu di Negeri Lancang Kuning.

Meskipun pada awalnya kami ingin mengunjungi banyak tempat yang memungkinkan kembali menengok akar, selain kunjungan wajib ke Universitas Riau dan Riau Pos, warga jiran yang merupakan civitas academica Universitas Sains Malaysia (USM) hanya sempat menyiangi Candi Muara Takus dan Istana Siak Sri Indrapura. Rencana ke Pulau Penyengat untuk mengunjungi makam Raja Ali Haji tak kesampaian karena waktu yang terbatas.

Bagaimanapun, kunjungan intelektual ini dirancang bukan sekadar melancong, apalagi menggenapi agenda tahunan organisasi tersebut, tetapi lebih jauh merangkai kembali masa lalu Melayu dan untuk mengkritik prilaku masa kini dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Tentu isu ini akan makin merekatkan Riau dan Semenanjung Malaysia untuk mewujudkan kerja sama yang lebih luas dalam bidang kesehatan, pendidikan dan gaya hidup. Tiga unsur yang dinilai oleh United Nation of Development Program (UNDP). Apatah lagi dalam kunjungan ke Riau Pos, Wakil Pemimpin Redakri H Yasril menegaskan, tentang kepedulian koran ini pada penghargaan karya kreatif, Anugerah Sagang, yang makin menguatkan titik temu keduanya.

Kerja sama pendidikan perguruan tinggi Riau dan Semenanjung Malaysia sebenarnya telah banyak dilakukan. Untuk itu, kunjungan kami pun tak hanya berhenti membentang makalah, malah ke depan kerja sama kedua perguruan tinggi di atas akan terus dilestarikan, mengingat tak banyak orang Riau yang melanjutkan kuliah tingkat master dan doktor ke wilayah Utara Malaysia dibandingkan ke wilayah Selatan, seperti Kuala Lumpur, Johor, Selangor dan Malaka. Apalagi di Riau, Malaysia memiliki perwakilan konsulat, yang mempunyai konsul muda Encik Zamani yang sangat responsif dalam menyambut rencana kedatangan rombongan. Pendek kata, kerja sama antara perguruan tinggi kedua negara bisa dilakukan lebih teratur dan terukur.

Dua Melayu

Meskipun Riau dan Semenanjung Malaysia berkongsi sejarah pada masa lalu, kemelayuan keduanya pun berjalan tidak satu atap. Berdirinya dua negara merdeka, Indonesia dan Malaysia, telah melahirkan identitas Melayu yang tak lagi bernafas sama.Di sini, Melayu mengandaikan identitas etnik di belahan Sumatera, sementara di Malaysia, ia adalah unit politik yang telah diresmikan di dalam konstitusi menjadi orang Islam, berbahasa Melayu dan beradat-istiadat Melayu.Bagaimanapun, definisi seperti ini dikritik oleh Mahyuddin Al-Mudra, pimpinan Balai Pengkajian dan Pengembangan Dunia Melayu Jogjakarta, sebagai penyangkalan terhadap sejarah panjang Melayu itu sendiri.

Tentu kritik itu tak sepenuhnya bisa dilontarkan untuk melihat wujud Melayu Semenanjung. Di sana, Melayu dengan sendirinya memasukkan berbagai etnik lain, seperti Jawa, Bugis, dan Aceh, yang di tanah asalnya mereka tidak menerima penyematan Melayu untuk jati diri mereka. Apa pun perbedaan pandangan ini tidak bisa dielakkan karena pengertian identitas itu sendiri mengandaikan uraian panjang terkait pengalaman khas dan mengandaikan berbagai sudut pandang, seperti klasik, modern, pascamodern. Meskipun yang terakhir mengatakan identitas itu adalah mitos, namun ia hadir dalam dunia nyata. Paling tidak, ada dengusan nafas yang sama, bahasa dan adat.

Prof Sohaimi Abdul Aziz, memuji bentuk-bentuk bangunan pemerintahan yang mengekalkan ornamen lokal, Lancang Kuning, sebagai penanda dari sebuah ciptaan arsitektur lokal. Guru besar dalam bidang sastra ini tak melihat hal serupa, sehingga dunia Melayu di Semenanjung pelan tapi pasti tak membekas. Saya pun melihat banyak bangunan megah di sana tak lagi setia dengan warisan lokal, seperti KLIA (Kuala Lumpur International Airport) dan Menara Kembar Petronas. Keduanya hadir sebagai kepanjangan arsitek asing yang memanjakan ruang minimalis dan miskin sentuhan simbol lokal.

Wisata Budaya

Nah, di tengah perbedaan itu, hakikatnya kedua warga serumpun masih mempunyai akar yang sama. Keduanya bisa bertukar tempat tanpa menemui halangan berarti. Salah satu yang paling efektif untuk menyuburkan hubungan itu adalah pelancongan. Harus diakui Malaysia lebih berhasil memajukan pariwisata karena pemerintah dan rakyatnya mempunyai kesadaran yang jauh lebih kuat dibandingkan di sini. Di sana, turis merasa nyaman, karena fasilitas dan penerimaan orang lokal. Andaikata di sini kita juga bersikap sama, tentu banyak turis dari Semenanjung, termasuk sebagian turis mancanegara yang berkunjung ke Semenanjung akan melanjutkan perjalananya ke Riau.

Tahukah Anda bahwa kebanyakan orang Arab yang berkunjung ke Malaysia, baik Jalan Bukit Bintang dan Pantai Batu Ferringhi di Kuala Lumpur, namun mereka terlepas pandang bahwa di Riau memiliki bekas sebuah kerajaan Islam Siak Sri Indrapura yang memancarkan kegemilangan hingga ke Semenanjung? Kalau mereka tahu pendiri kerajaan tersebut berasal dari perantau tanah Arab, mungkin daya tarik Siak akan jauh lebih cemerlang. Ketika kami berkunjung ke sini dan bersembahyang di Masjid Syahabuddin yang permai, kami hanya mendapati turis Arab lokal dari Solo, Jawa Tengah, sedang tetirah di serambi masjid sebelah kiri, sepelemparan batu dari sungai yang mengalir sahdu.

Demikian pula, ketika rombongan mengunjung Candi Muara Takus, sang pemandu Zulkifli menjelaskan, bahwa bangunan tempat ibadah itu didirikan pada abad ke-11. Pengunjung pun tak bisa menyembunyikan decak kagum, ternyata di abad itu, Riau telah membangun peradaban yang agung, di mana pada waktu yang sama Eropa masih berada di dalam era kegelapan. Namun, kegemilangan itu tak memancar kuat karena pemerintah lokal tak membangun penyangga untuk membuat kehadiran candi itu makin menarik. Pos satuan pengaman tampak layu, sampah ditemukan di berbagai sudut candi, warung dibangun seadannya yang tak terintegrasi dengan aura candi yang magis. Malangnya lagi, fasilitas umum, seperti dua kamar mandi terbengkalai, itu pun hanya ada dua dan airnya mengalir malas.

Catatan lain yang mungkin perlu diresapi oleh warga di sini adalah kesiapan untuk memperlakukan turis dengan ramah, termasuk pedagang yang menjual makanan. Pengalaman buruk teman Malaysia, Encik Omar, membayar sepiring nasi, telor, dan segelas es teh sebesar Rp20 ribu tentu perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Padahal kami makan di warung kecil di antara lorong dua bangunan tak jauh dari Aston, tempat kami menginap. Boleh jadi pengalaman buruk ini akan membuat pengunjung dari tanah Semenanjung tak akan menemukan Melayu di sini. Semoga tidak.***

Ahmad Sahidah PhD, Staf Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang, Malaysia

Tuesday, December 28, 2010

Candi Muara Takus

Dari bayangan candi itu, Anda bisa menebak matahari terik, menerkam bumi. Namun, karena saya beradu dengan waktu, tak hirau dengan sengit sinar mentari. Sambil naik turun candi, saya mencoba mengerti mengapa ada simbol itu. Candi Muara Takus, kata Zulkifili, pemandu candi, dibangun pada abad ke-11. Lalu saya bercanda pada rombongan, saya tak pasti siapakah gerangan nama nenek moyang saya pada waktu itu?

Tak banyak yang berkunjung pada waktu itu. Hanya rombongan dari Malaysia dan sebuah keluarga Tionghoa lokal, Kotan Pekanbaru, yang salah satunya adalah anak kecil bernama Gilbert. Alamak, Inggeris banget! Mereka ramah dan sebagian bisa berbahasa Hokkien. Ibu si kecil bercerita bahwa banyak turis yang datang dari banyak negara pada waktu perayaan, seperti Singapura, Taiwan, dan Thailand. Namun, mengapa fasilitas kamar mandi hanya dua dan airnya mengalir malas?

Demikia pula, warung kaos bergambar Muara Takus dan minuman dibuat seadanya. Sepatutnya pihak terkait membangun warung yang terintegrasi dengan aura candi. Sambil minum, pengunjung bisa menikmati visualisasi dan cerita candi tanpa harus menahan terik. Celakanya lagi bendera rokok yang dipacak di sepanjang jalan depan Candi hanya mencacatkan pemandangan. Seharusnya warisan itu bisa berdiri lebih gagah dibandingkan keadaannya sekarang. Apa mau dikata, tampaknya pemerintah lokal abai dan penggiat wisata tak menangkap peluang.

Monday, June 02, 2008

Menengok Cerita dalam Gambar


Tak dinyana, saya membuka pendrive dan menemukan gambar ini. Anda pasti susah membacanya jika saya hanya menyodorkan gambar begitu saja, bukan? Saya pun lupa, apa yang sedang saya lakukan? Gambar ketiga dari kiri adalah saya dengan tangan di lekatkan pada dada kiri sambil tersenyum. Tak semua melihat lensa kamera.

Demikian pula, kalau diperhatikan di pojok kanan ada tulisan Cina, siapa pun akan bingung? Di manakah gambar ini diambil? Apalagi tembok itu sangat tinggi dan terbuat dari marmer, demikian pula lantainya. Mungkin, kalau orang yang pernah sampai ke tempat ini akan segera bisa menebaknya.

Ya, kenangan ini manis. Karena kami berlima diundang teman dari kawan baik saya untuk makan di restoran Hotel Equatorial Pulau Pinang. Di sana pun, kami berdiskusi banyak hal. Tak perlu diterakan di sini. Saya memesan daging steak dan segelas cappucino. Sesudah itu, kami pun diajak menikmati buah durian di pinggir jalan menuju Puncak Bukit Balik Pulau. Hampir tak terhitung, berapa biji yang telah saya telan dagingnya. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan, makan durian di bawah pohonnya.

Adakah pengalaman ini akan terulang? Saya pun tak tahu. Bahkan, ketika saya bertanya pada kawan yang mempunyai teman itu, dia pun tak tahu. Tidak mengapa. Cukup sekali, biar ingatan ini kuat terpatri.

Tuesday, May 27, 2008

Seharian dengan Kawan Karib

Kawan karib saya, Encik (Tuan) Zailani, akan kembali pagi ini dari tanah kelahirannya Kelantan. Saya dan kawan-kawan Indonesia memanggilnya Pak Zailani, karena beliau pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Aceh untuk S1 dalam bidang Perbandingan Agama. Malamnya, saya telah mengirim layanan pesan singkat (SMS) kapan kami bisa menjemputnya di bandara. Kebetulan, teman dari negeri Sri ini menitipkan mobilnya seminggu yang lalu.

Baru pagi tadi, dia menelepon untuk tidak dijemput dan memberitahu kira-kira jam 9.30 sampai di flat tempat saya tinggal. Namun, jam 9.30an, dia belum sampai dan terpaksa saya naik lagi ke lantai sembilan untuk memasak mie telor. Belum lagi saya menekan tombol, ayah beranak tiga ini menelepon kalau sampai di bawah. Dengan segera sayamenemuinya untuk sarapan di tempat favoritnya, restoran Kayu. Di sana saya memesan nasi, telor rebus dan es nescafe. Sebelumnya saya telah mengganjal perut dengan roti dan hazelnut.

Seperti biasa, kami selalu asyik berbincang tentang dunia politik dan saya juga menyelipkan masalah kenaikan harga bahan bakar di Indonesia. Sebuah acara pagi yang memanaskan otak setelah perut kenyang. Dari kawan karib Melayu, saya mendapatkan pandangan yang bernas tentang apa yang terjadi dengan negeri Hang Tuah ini setelah pemilu ke-12 yang di luar dugaan banyak orang.

Lalu, saya pun beranjak dan menuju Bayan Lepas untuk menemaninya menyimpan uang di Tabung Haji, sebuah lembaga yang mengurus simpanan warga Malaysia. Dari sini, kami pun menuju ke beberapa tempat, seperti Telekom Malaysia (TM) Point, Takaful Etiqa (Asuransi), Celcom, kantor Kumpulang Wang Simpanan Pekerja (KWSP) dan akhirnya ke Aritzone, agensi perjalanan. Tur yang menarik untuk dicatat dalam pengalaman saya bahwa Malaysia telah mengurus negerinya lebih baik dari tetangganya.

  Pengakuan pengaruh luar terhadap identitas dapat melonggarkan batas. Betapa lancung menegaskan jati diri seraya menutup diri sementara tan...