Setelah makan, kita hanya perlu berhenti sejenak untuk merenung dengan bermenung atau mencatat dengan pena. Dialog dengan diri-sendiri mengantar kita pada ruang perseteruan raga dan jiwa. Memenangkan jiwa tidak berarti menghukum raga. Semoga.
Wednesday, December 26, 2012
Hanya Sepinggan
Setelah makan, kita hanya perlu berhenti sejenak untuk merenung dengan bermenung atau mencatat dengan pena. Dialog dengan diri-sendiri mengantar kita pada ruang perseteruan raga dan jiwa. Memenangkan jiwa tidak berarti menghukum raga. Semoga.
Monday, September 17, 2012
Salmon
Seingat saya, kami membeli ikan salmon hanya sekali. Isteri saya membelinya untuk si kecil, Mutanabbiyya, agar ia tumbuh dengan baik, itupun hanya beberapa potong. Menurut kabar, gizinya tinggi. Saya sendiri lebih menyukai ikan tongkol, yang banyak dijumpai di pasar malam Tanah Merah, Kedah atau Tun Sardon Pulau Pinang. Selera ini terbit karena sejak kecil di kampung Masjid, Sumenep, ibu acapkali menyediakan menu ikan yang kami sebut cakalan, baik digoreng maupun dimasak pedas. Saya sangat menikmati daging berwarna coklat dari ikan ini, termasuk telur yang masih menempel di badan, belum sempat ditetaskan.
Lalu, mengapa ikan salmon di atas hinggap di meja pasaraya jauh-jauh dari Seberang? Karena hukum pasar: persediaan dan permintaan. Yang terakhir hadir karena orang ramai ingin mengasup makanan yang sehat dan berkhasiat. Lagipula, ikan yang diimpor dari luar dan berharga mahal menaikkan gengsi dan prestasi. Pendek kata, makan tidak hanya melulu tentang asupan, tetapi juga gaya hidup. Dunia tanpa batas ini telah memorakporandakan peta geografi kita. Uang bisa menggerakkan ikan nun jauh di sana melompat ke meja makan kita. Namun pernahkah kita memikirkan adakah sikap ini membantu nelayan tetangga sebelah kita?
Kita bergegas untuk terus berburu kenikmatan, menemukan kelezatan pada makanan. Apabila anak-anak kita membesar dengan cara hidup kita yang memanjakan selera dengan membeli gizi dari luar, maka hari ini kita telah mengubur harapan orang setempat untuk mengail rezeki dari tanah, laut dan buminya sendiri. Pada masa yang akan datang, kita telah merasa nyaman menjadi orang lain karena seleranya harus dibeli dari negeri yang jauh.
Thursday, March 15, 2012
Pecel Ayam dan Es Alpokat (Avocado)

Tapi, dalam waktu tertentu, saya juga mencoba menikmati setiap gigitan makanan dari Amerika dan Italia ini. Memang mengenyangkan, namun cita rasa asal saya tak bertemu dengan menu. Ia bukan kegenitan tentang kecintaan terhadap makanan lokal. Dalam Bourdieu, La Distinction, selera itu kadang hadir untuk menyampaikan kelas. Lalu, apakah dengan hot dog yang saya beli di pinggir jalan, bukan McDonald, saya membawakan diri sebagai kelas menengah sebagaimana fenomena masyarakat Perancis yang diteliti oleh Bourdieu?
Mungkin jawaban dari pertanyaan di atas tak mudah, namun siapa pun akan mengalami keterpecahan kepribadian terkait kelas. Penolakan terhadap kelas tertentu sejatinya adalah penegasan kelas lain, yang sama-sama berebut kepentingan. Hanya saja, kita hanya perlu mempertemukan kepentingan, agar persaingan tidak berbuah pertikaian. Saya akan membiarkan orang lain menikmati hidupnya di restoran cepat saji, meskipun saya akan menyatakan bahwa prilaku ini adalah bukan gaya hidup sehat.
Wednesday, December 14, 2011
Makanan Lokal dan Perlawanan

Sunday, January 23, 2011
Pondok Jawa Timur
Monday, July 20, 2009
Monday, June 02, 2008
Menengok Cerita dalam Gambar
Tak dinyana, saya membuka pendrive dan menemukan gambar ini. Anda pasti susah membacanya jika saya hanya menyodorkan gambar begitu saja, bukan? Saya pun lupa, apa yang sedang saya lakukan? Gambar ketiga dari kiri adalah saya dengan tangan di lekatkan pada dada kiri sambil tersenyum. Tak semua melihat lensa kamera.
Demikian pula, kalau diperhatikan di pojok kanan ada tulisan Cina, siapa pun akan bingung? Di manakah gambar ini diambil? Apalagi tembok itu sangat tinggi dan terbuat dari marmer, demikian pula lantainya. Mungkin, kalau orang yang pernah sampai ke tempat ini akan segera bisa menebaknya.
Ya, kenangan ini manis. Karena kami berlima diundang teman dari kawan baik saya untuk makan di restoran Hotel Equatorial Pulau Pinang. Di sana pun, kami berdiskusi banyak hal. Tak perlu diterakan di sini. Saya memesan daging steak dan segelas cappucino. Sesudah itu, kami pun diajak menikmati buah durian di pinggir jalan menuju Puncak Bukit Balik Pulau. Hampir tak terhitung, berapa biji yang telah saya telan dagingnya. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan, makan durian di bawah pohonnya.
Adakah pengalaman ini akan terulang? Saya pun tak tahu. Bahkan, ketika saya bertanya pada kawan yang mempunyai teman itu, dia pun tak tahu. Tidak mengapa. Cukup sekali, biar ingatan ini kuat terpatri.
Pengakuan pengaruh luar terhadap identitas dapat melonggarkan batas. Betapa lancung menegaskan jati diri seraya menutup diri sementara tan...

-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
-
Kata dalam judul sering didengar di tahun baru. Orang jiran menyebutnya azam. Anda bisa menyebutnya tekad. Buku ini menandai sebagian dari ...