Showing posts with label Travel. Show all posts
Showing posts with label Travel. Show all posts

Wednesday, January 04, 2012

Pengajian Membebaskan Manusia

Sebelum berangkat ke Pulau Pinang, saya menelepon Mas Hilal untuk memesan kamar penginapan milik Masjid Kampus USM. Lelaki asal Lombok ini pun dengan senang hati membantu agar kami sekeluarga bisa meluruskan kaki dan bermalam dengan lelap. Lalu, di akhir percakapan, saya memberitahu bahwa kami akan hadir dalam pengajian Sabtu pagi, PPI USM.

Setiba di kampus dalam taman, saya mengambil kunci kamar dan Mas Hilal sekaligus meminta saya untuk menyampaikan ceramah dalam pengajian tersebut. Saya pun mengangguk perlahan, meskipun tanpa harus menjadi penceramah, kami akan tetap hadir. Selain jarak tempatnya tak sampai sepeminuman teh (gaya bahasa Bastian Tito, sebagaimana diulas oleh Gus Mushthafa), kami menyukai pengajian ini karena ia adalah ruang pertemuan jiwa, raga dan senyuman.

Saya pun membicarakan topik Agama Membebaskan Manusia, dengan menekankan pada pemerhatian kekuatan umat, yaitu kuat secara fisik, ekonomi, dan politik. Yang terakhir, hakikatnya bukan dalam pengertian sempit, partai politik, tetapi kehendak untuk membuat politik di negeri Republik sehat walafiat. Kalau umat tak sakit-sakitan, mempunyai daya beli yang wajar dan tak tersandera oleh politikus jahat, maka kehidupan mereka tentu jauh lebih sejahtera.

Monday, November 28, 2011

Mengisi Hari Pertama


Apa yang harus dilakukan oleh sebuah keluarga di hari libur? Diam di rumah, berpesiar, atau silaturahim adalah pilihan. Kami memilih mengunjungi danau Aman, tak jauh dari rumah. Karena matahari masih naik sepenggalah, tak banyak orang yang mengunjungi tempat bermain dan danau buatan ini. Mereka yang datang bisa dihitung dengan jari. Biasanya, musim liburan, tempat ini dipenuhi hiruk-pikuk dan hilir-mudik pengunjung.

Setelah puas berada di area permainan di atas, kami pun beranjak ke tepi danau. Di sana, kami pun melempar roti ke permukaan air. Ikan-ikan pun berlompatan, berebut, dan melahap pakan dengan lahap. Ini mengingatkan kami pada kebiasaan memberi makan ikan di danau kampus Minden, Pulau Pinang.

Thursday, January 27, 2011

Singapura dan Filsafat


Singapura menawarkan surga untuk melancong, menikmati keteraturan dan kebersihan. Temasek itu juga merupakan surga bagi mereka yang ingin memiliki barang-bareng berjenama (merek). 

Coba Anda berkunjung ke pusat pertokoan Teluk Marina! Di sana, banyak kedai yang mengusung pelbagai barang luar negeri ternama. Alamak! Di bandara, kedai buku Times juga menjual buku The Great Philosopher

Mungkin filsuf menyukai ketertiban dan kenyamanan, tetapi apakah mereka juga menyukai barang mewah? Selintas, saya melihat gambar jas Martin Heidegger tidak bermerek. Saya tak pasti, mungkin saya nanti perlu bertanya pada Budi F Hardiman, yang pernah menulis buku kecil tentang ahli filsafat yang beristrikan Hannah Arendt itu.

Friday, January 21, 2011

Temasek

Ini adalah pengalaman perjalanan kedua ke negeri Temasek. Dulu, saya melakoninya dengan teman baik, Mas Tauran, setelah mengikuti kongres Persatuan Pelajar Indonesia di Johor, tepatnya di Universitas Teknologi Malaysia. Jika yang pertama dengan jalan darat, sekarang bersama keluarga saya menempuh dengan jalan udara. Pertama kali, burung besi mau mendarat, saya melepaskan pandangan ke bawah, sekitar lapangan terbang Changi terbentang hamparan rerumputan dan pepohonan yang menghijau, tersusun rapi dan cantik.

Setiba di gedung bandara, kami menuju ke tempat pemesan penginapan. Dengan lincah, Encik Francis mencarikan tempat dan menjalin komunikasi. Sebelum memastikan, beliau sempat bertanya apakah saya pernah menginjakkan kaki ke negeri ini? Ya, ke Little India, dan beliau tersenyum, mungkin membayangkan kelas penginapan yang saya tempati dulu, sebuah losmen. Lalu, dengan ramah dia menjelaskan tempat-tempat menarik, sambil mencoret peta dengan lingkaran dan menunjukkan penginapan. Kami pun beranjak, dan sempat bertanya pada meja informasi tentang pemesanan taksi, dan dengan agak terkejut, perempuan muda itu menjawab dengan logat bahasa Indonesia, "nggak pakai tiket, langsung antri!"

Kami pun berdiri menunggu taksi yang akan membawa kami ke penginapan. Tak lama kemudian, kami pun dipersilahkan oleh bapak tua, koordinator taksi, sebagaimana tertulis di baju rompi. Sang supir ternyata enak diajak ngobrol. Kami pun bertukar sapa dan cerita. Encik Selamat bin Ismail, tertera di kartu nama di atas dashboard mobil, berbicara banyak tentang keluarga, lingkungan, dan pengalaman naik haji. Malah ketika saya menyebutkan asal dari Madura, serta merta ayah beranak dua ini menimpali, oh, menantu saya berasal dari Boyan (sebutan untuk Bawean, Gresik) di Singapura atau Malaysia. Oh ya, ada pesan terkhir dari beliau yang saya simpan dalam benak, jangan tinggalkan shalat, ketika semua sudah ada di tangan. Terima kasih, Pak Cik.

Sesampai di penginapan, saya mengambil gambar di atas, tembok batu.

Saturday, November 06, 2010

Memahami Sesat

Kami pergi untuk memahami fenomena ajaran sesat. Sebelumnya, saya ngobrol dengan kawan karib, Ismae Katih, peneliti, tentang sisi sosiologis dari kaum sesat. Ternyata, individu atau kelompok yang dianggap menyimpang itu sepatutnya tidak hanya dilihat dari sisi teologis, tetapi juga sisi lain yang menjelaskan mengapa mereka mengambil jalan yang berbeda. Adakah ini juga petanda bahwa pengawal agama gagal menyapa mereka? Jangan-jangan kita pun turut abai karena tak peduli.

Untuk menambah pengetahuan, kami pun pergi ke kantor agama propinsi, berjumpa salah seorang pegawainya untuk berbagi cerita. Di sana pun, kami mencoba mencari asal-muasal ajaran sesat, tetapi juga bertukar kabar tentang genealogi pemikiran keagamaan di Pulau Pinang dan sekitarnya. Mungkin, ini akan selalu terjadi, kita akan berbincang hal ihwal di luar kewajiban, mencari tahu tentang pertanyaan penelitian. Lalu, setelah informasi di tangan, kami pun pamit dan sempat berfoto di depan kantor. Malah, kami sempat membeli goreng pisang dan ketela.

Selanjutnya, kami berempat, Halim, Ismae, dan Saiku menuju pantai. Di sana, cerita mengalir sahdu di tepi laut yang berlatar jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Kebetulan, si pemilik kedai mau bergabung dan bercerita bahwa pihak berwenang memintanya untuk pindah karena warung ini tidak memenuhi syarat, seperti tempat pembuangan air kumbahan, fasilitas kamar mandi dan tentu mengambil ruang publik, pantai. Aha, ternyata saya selalu menemukan masalah setiap kali ingin mengerti tentang hidup.

Friday, October 22, 2010

Kuala Lumpur di Sidoarjo


Di sela-sela acara konferensi di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Surabaya, para peserta dari luar negeri mengunjungi kawasan yang digenangi lumpur di daerah Sidoarjo. Sejauh mata memandang, kami hanya melihat lumpur yang telah mengering. Sisa-sisa atap rumah yang masih menyembul menjadi penanda betapa semburan dahsyat itu menenggelamkan banyak perumahan penduduk dan pabrik. Malah, beberapa hari sebelumnya, televisi lokal menyiarkan sebaran semburan yang menjangkau rumah penduduk lain yang jauh dari lokasi ini.

Hingga sekarang, masalah lumpur ini menyeret banyak pihak untuk urun rembug. Tidak hanya terkait ganti rugi yang harus diberikan pada penduduk, tantangan terbesar pemerintah adalah memanfaatkan lahan ini untuk kegiatan produktif. Dengan menjadikan areal di atas sebagai tujuan wisata, sesaat tempat ini berguna untuk menarik turis, meskipun ia bukan tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu beberapa saat. Sebagai persinggahan ke titik lain, seperti daerah kerajinan kulit Tanggulangin Sidoarjo, agen pariwisata bisa memasukkan 'Kuala Lumpur' ini sebagai daya tarik Surabaya secara keseluruhan.

Monday, September 20, 2010

Teman Karib dan Si Kecil

Di Taman Belia, Pulau Pinang, kami menyusuri setapak, menikmati aroma pohon, mendengar gemiricik air, dan membaui bau rerumputan. Ruang publik ini sangat menyenangkan. Bersama kawan karib, Mas Zulheri Rani, ekspatriat, taman itu menjadi jejak yang abadi. Sebagaimana taman ini menjadi tempat pertama saya mengenal Pulau Mutiara secara lebih dekat. Dibandingkan lima tahun yang lalu, ia makin rimbun dan hijau. Mungkin dulu saya mengecapi bau tanah ketika kemarau menerjang, sementara kemarin kami menjejaki tanah yang masih menyisakan basah karena hujan sehari sebelumnya.

Marcus Cicero, filsuf Romawi, menukas tentang kesempurnaan hidup dengan memiliki perpustakaan dan taman. Erich Fromm, filsuf dan psikolog, membedakan antara memiliki (have) dan mengada (being) berhubung manusia dan benda. Kalau eksistensi kita berada pada being, kita tak perlu memiliki taman untuk menikmati keindahan, cukup luangkan waktu pergi ke taman yang berjarak dari rumah kita, lalu meraup udara segar yang bertempiaran dari pucuk bunga dan pepohonan. Demikian pula dengan perpustakaan, kita akan merasa 'memiliki' dengan hanya menjadi anggota. Pendek kata, sudut pandang kadang mengubah peristiwa dan suasana seakan-akan bagian dari hidup kita yang penuh.

Si kecil pun tak bisa menyembunyikan kegembirannya, tecermin dari wajahnya yang sumringah. Ditemani ibunya, ia berdiri di tepi kolam renang, melihat beberapa anak bermain di dalam air. Sementara, saya merenung di kursi tak jauh dari mereka, betapa orang tua juga menikmati hari libur dengan membaca koran di luar, tetapi tak merampas hak anaknya untuk mereguk udara segar. Lalu, saya telah merancang bahwa pada kunjungan berikutnya saya akan membaca buku baru yang tergeletak di meja, hampir-hampir tak tersentuh. Wow, di bawah pohon dan kicau burung, saya akan menekuri huruf tentang Harapan dan Masa Depan oleh Noam Chomsky. Lalu, saya akan mengitari taman untuk membuat badan ini tak malas bergerak. Ternyata hidup ini sesederhana kita mau meluangkan waktu untuk bergerak dan membaca.

Saturday, September 18, 2010

Si Kecil dan Keluarga


Di kanan kiri lantai bawah sebuah mal terbesar di Pulau Pinang terdapat gerai makanan cepat saji, seperti Pizza Hut, MacDonald, Secret Recipe, KFC, tapi kami memilih arena, tempat makanan yang cocok dengan lidah, yaitu nasi campur, tomyam dan sizzlyng. Makanan segera (instant) tak baik bagi kesehatan, anehnya saya dulu merasa nyaman dengan menu yang dibuat tergesa-gesa. Untuk apa hidup terburu-buru? Sebuah raihan yang menggunung untuk memuaskan hasrat? Padahal, hasrat adalah sumber bencana. Di sini, pemuasan tak mengenal kata henti. Memilih adalah sesederhana kita melangkah kaki ke tempat yang lebih baik, yang mungkin memerlukan pelaziman (conditioning) agar kita bisa berpikir dalam sekian detik untuk membuat keputusan.

Memang, warung makan ini tak secantik gerai multinasional. Pengaturan kursi dan meja tidak membuat mata menyala, layaknya sebuah restoran Pizza Hut, misalnya. Bentuk kursi dan meja pun menunjukkan keperluan praktis, tak dibuat khusus untuk memenuhi selera keindahan. Demikian pula pencahayaannya terang-benderang, mengingat warung makan seperti ini diperuntukkan orang ramai, massal. Hiasan di dinding hampir membosankan karena tak mencerminkan selera artistik, meskipun itu bisa dilakukan hanya dengan menempelkan lukisan yang bisa dibeli di pinggir jalan. Pendek kata, keindahan itu bisa diciptakan dengan harga murah. Apa lacur, mereka yang mendatangi warung ini rata-rata adalah orang kebanyakan yang ingin mengasup makanan, sementara tempat-tempat yang lebih bergengsi adalah tempat rehat segelintir orang yang beruang.

Bagi sebagian kecil orang, urusan makan menjadi urusan yang tidak sesederhana saya menghilangkan rasa lapar. Tempat makan kadang menjadi tempat untuk membuat hati nyaman, sehingga mereka mencari tempat yang juga mempunyai suasana yang menyenangkan. Bagi mereka, kebersihan adalah syarat mutlak sebagaimana juga hal remeh-temeh lain. Alamak, ternyata mereka menganggap hal sepele itu adalah sangat penting. Lalu, persoalannya, adalah keindahan itu bersifat objektif? Ini pun memerluan buku tebal untuk menguraikannya. Menariknya, siapa pun tahu, mereka yang hadir di rumah makan mahal yang membaca buku, sementara di warung makan kebanyakan itu kita menemukan obrolan, paling banter pengunjung yang membaca koran.

Saturday, July 17, 2010

Rehat Sejenak



Istirahat sejenak, mereka mengumpulkan tenaga mencari alamat.

Saturday, July 10, 2010

Pesona Taiwan


Bersebelahan dengan stand Enjoy Jakarta, Taiwan Tour juga menawarkan tempat pelancongan dalam pameran One Asia di KL Sentral, Kuala Lumpur, yang berlansung dari tanggal 7-11 Juli 2010. Desain grafis tampak jelas dibuat dengan sungguh-sungguh sehingga enak dilihat. Taiwan merupakan 'negara', yang banyak menanamkan modal di Indonesia, termasuk di daerah kelahiran saya dalam bidang perikanan. Sungguh hebat! Di tengah gejolak karena gertakan Tanah Daratan, mereka berhasil membangun ekonomi. Dengan rudal siap dimuntahkan dari negeri Tirai Bambu, pelancongan ke negeri ini, saya rasa, mendebarkan. Anda mau mencoba?

Friday, July 09, 2010

Lenggang Kangkung

Mereka membawakan Lenggang Kangkung. Kami pun menikmati dengan riang di tengah perjalanan menuju Medan Selera KL Sentral. Setelah lagu selesai, pengunjung bertepuk tangan dan kami pun berlalu. Suguhan siang hari itu betul-betul menyenangkan. Tambahan pula, saya ke warung makan nomor 13, lantai 3, yang kebetulan pelayannya berasal dari Jawa Timur dan Yogyakarta. Mereka pun merasa dekat, apalagi ada anak kecil yang menyertai kami sehingga perbincangan acapkali terhenti oleh celotehan seorang anak yang belum bisa mengucapkan sebuah kalimat dengan sempurna. Hanya ayah atau yah untuk semua benda dan peristiwa. Kadang, bi, ci, meme juga keluar tanpa konsisten berkait dengan sesuatu. Atau, kami saja yang gagal memahami bahasa itu sehingga komunikasi tidak terjalin lancar.

Samar-samar, saya langsung menerawang ke masa lalu tentang lagu Lenggang Kangkung ini. Gelap, tak jelas, di mana dan kapan. Lagu berirama pantun ini menggunakan bahasa Jawa, yang berkait dengan dunia anak-anak.

Enjoy Jakarta


Pameran One Asia Tourism 7-11 Juli 2010, KL Central, Kuala Lumpur. Semoga daerah-daerah tujuan wisata itu tersenyum ramah dan berbenah.

Saturday, June 19, 2010

Rapid yang Menyeronokkan


Sambil duduk, saya mengambil gambar Bas Rapid Penang. Bersama calon penumpang lain, saya bersama Ibunya Nabiyya menunggu bus jurusan Sungai Dua (USM) bernomor 301. Tak lama, angkutan umum yang ditunggu pun datang. Duh, gembiranya. Ternyata, banyak orang yang menunggu dan kami pun tertib masuk melalui pintu depan. Dengan RM 4, saya memperoleh dua karcis, 2268 dan 2269, dan si kecil tak perlu membayar. Angin pendingin udara (air conditioner) menyergap, menerjang udara panas yang sempat hinggap di tubuh. Sepanjang jalan, mata ini menikmati lalu-lalang orang, perumahan, pertokoan, dan yang paling menyenangkan adalah pepohonan yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Mereka seakan-akan menyangga jalan agar tidak oleng dilalui kendaraan berbadan besar.

Sebenarnya, bus ini mempunyai fasilitas wifi, namun tak seorangpun menaruh laptop di haribaan untuk berselancar. Rasanya asyik membuka internet di kendaraan umum, mungkin pada masa yang akan datang kami pun ingin mencobanya. Toh, laluan bus itu telah akrab, jadi tak perlu lagi dipelototi, meski hingga sekarang saya pun masih bingung jika berjalan sendirian dengan sepeda motor melewati laluan USM-Komtar, pusat kota. Meski untuk kesekian kalinya melawat mall pusat kota, saya tak begitu hapal seluk-beluknya, berbeda dengan Mall Bukit Jambul, pusat perbelanjaan pertama yang dikunjungi ketika sampai di Pulau Mutiara.

Nah, seronoknya, di status facebook isteri bertuliskan sudah terkabulkan! Lalu, komentar pun muncul? Apa? Nabiyya naik bus Rapid Penang. Jika kegembiraan itu bisa muncul sesederhana naik angkutan umum, lalu haruskan kita memaksa diri untuk menggapai kenikmatan lain yang masih belum di tangan? Tidak. Kata orang Arab, panjang angan-angan (tul al-amal) tak baik bagi kesehatan. Berbeda dengan kemauan keras untuk mengumpulkan duit agar bisa membeli pesawat jet pribadi, kalaupun tidak kesampaian, paling tidak uangnya terkumpul untuk hidup dan membeli tiket bus Rapid sekali lagi. Insyaallah, kami pun akan menggunakan bus Rapid untuk pergi ke sana. Dengan angkutan umum, kita telah mengurangi penggunaan 68 mobil, seperti tertera di badan bus. Dengan kata lain, kita telah menyelamatkan bumi dari asap kendaraan.

Saturday, September 12, 2009

Langkawi dan bebas Pajak


Di sela-sela sosialisasi pemilu 2009 kemarin, saya sempat mengunjungi restoranSinggah Rasa. Terletak di salah satu pusat keramaian Langkawi, ia telah menjadi tempat warga Indonesia mengasup makan. Pak Karno, pemiliknya, adalah pengusaha yang telah puluhan tahun mengumpulkan ringgit di Langkawi, Kedah. Keakraban pemilik warung asal Lamongan ini dengan pengunjung mungkin menjadi salah satu daya tarik dari warung makan ini.

Di sebelah kedai ini, berjejer puluhan toko yang menjual pelbagai barang keperluan yang murah karena bebas pajak. Saya pun membeli coklat dan beberapa barang yang lain. Namun, ternyata, tidak semua barang yang dijual lebih murah dibandingkan dengan Semenanjung. Beberapa item justeru lebih mahal. Dettol yang berukuran kecil lebih mahal sekitar RM 2-3, demikian pula sabun lifebuoy. Namun, yang patut diacungi jempol adalah pemerintah Malaysia yang berhasil menjadikan pulau kecil itu sebagai pusat pelesiran. Dengan fasilitas umum yang baik, siapa pun akan merasa nyaman berkunjung ke pulau yang sangat terkenal dengan Legenda Mahsuri ini.

Saya sempat makan siang di kantin Bandara. Dari lantai dua saya bisa melepas pandangan ke bawah yang dipenuhi restoran dengan tempat yang luas. Belum lagi langit-langit gedung yang menjulang tinggi sehingga siapa pun tak akan merasa pengap. Tampak juga beberapa turis dari negara Timur Tengah sedang duduk melepaskah lelah. Beberapa di antara memakai burqa, pakaian yang menutup hampir seluruh tubuh. Setelah makan, saya bersama teman, Noval, beranjak keluar untuk menuju lokasi pemasyarakatan pilihan presiden.

Thursday, May 21, 2009

Menikmati Bukit Bintang


Dua hari di Kuala Lumpur untuk sebuah urusan penting dan melelahkan perlu jeda. Untuk keduanya kalinya, saya menekuri sepanjang jalan Bukit Bintang. Sebuah tempat publik paling ramai di Kuala Lumpur ini membuat malam hidup, tak mati ditelan gelap malam. Tampak, tujuan wisata ini diurus dengan baik. Jalanan dan trotoar yang bersih, fasilitas lengkap, seperti tempat penukaran uang, toko keperluan sehari-hari, dan hotel. Untuk yang terakhir, saya juga menginap di tempat yang sama, sebuah penginapan yang berada di sebelah Ritz Carlton (ingat di sebelahnya).

Di perempatan gambar di atas, kita bisa memuaskan dahaga pengetahuan tentang tingkah laku manusia yang sedang gundah mencari tahu 'kesenangan'. Ya, para turis itu sedang mengepakkah sayapnya, mencari hiburan. Saya pun ke sana ingin menghilangkan penat setelah seharian berjibaku dengan tugas. Mungkin yang menarik dari lalu lalang mereka, begitu banyak orang Arab yang memenuhi ruas jalan. Mereka tampil dengan baju khasnya, purdah. Namun, lelakinya berbaju lebih santai, t-shirt, celana pendek, sesuatu yang kontras dengan kaum perempuannya. Kasihan, perempuan Arab yang harus menanggung adat lama tanpa bisa menyesuaikan dengan gaya berpakaian baru seperti dinikmati suaminya. Kehadiran turis Timur Tengah begitu kuat terasa dan bahkan sebuah cafe, Lecka-Lecka, menyetel kuat lagu Arab, seakan-akan warung kopi negeri padang pasir itu dipindah ke Kuala Lumpur.

Tak hanya seliweran orang, beberapa orang menyuguhkan hiburan jalanan, baik musik atau pertunjukan tunggal, seperti manusia emas dan perak. Dua yang terakhir adalah seorang manusia yang melumuri dirinya dengan warna emas dan perak, lalui berdiri dan duduk dengan aksi yang khas. Yang pertama banyak menunjukkan pola dan yang kedua lebih hening karena diam tak melakukan apa-apa. Yang sama, keduanya mendapatkan uang dari sedekah pengunjung yang mengambil gambar. Sebuah malam yang menyenangkan.

Tuesday, March 24, 2009

Pulang Ke Jogja

Kepulangan ke rumah kedua mengingatkan kembali bau tanah yang telah lama tak direguk setelah hujan. Rasa kangen terobati ketika untuk pertama kalinya pesawat tiket murah Air Asia mendarat di lapangan terbang Adi Sucipto. Sebelumnya, saya duduk satu deretan kursi dengan seorang bule Amerika yang sedang melakukan travelling. Namun, saya harus menahan rasa tak nyaman karena semua penumpang harus berdesakan di depan pintu kedatangan (arrival gate), karena kami hanya disambut tiga konter imigrasi dan ruang yang tak luas. Mungkin kalau pada waktu itu hujan turun, penumpang yang antri beberapa sentimeter di belakang akan lari bertempiaran karena sebagian berada di luar pintu masuk yang tak dinaungi atap. Untungnya, hujan tak tumpah.

Herannya lagi, tempat sempit itu tak menjulangkan langit-langit, sehingga lengkap sudah kesesakan raga dan mungkin batin penumpang. Namun, saya melihat wajah-wajah TKI tidak menunjukkan warna muram. Meskipun demikian, saya ragu apakah para turis, hanya segelintir bule dan puluhan dari negeri jiran, Malaysia, akan merasa nyaman dengan keadaan seperti itu. Salah seorang dari empat turis Malaysia berkebangsaan Tionghoa sempat menanyakan pada saya transportasi ke kota, Malioboro. Dengan serta merta, saya menyanggupi untuk membantu mereka dan tambahan lagi, si bule dari California itu ingin bergabung untuk berkongsi ongkos. Tentu, keadaan seperti ini perlu mendapatkan perhatian pihak berwenang karena pintu kedatangan adalah wajah pertama yang akan dinikmati para pelancong. Jika dibiarkan, mereka tentu telah merasa tak nyaman pertama kali menginjakkan kakinya di bumi nusantara.

Saya sendiri keluar dari areal bandara untuk membeli kartu perdana telepon agar bisa menghubungi keluarga. Tak lama kemudian, saya menyewa angkutan ke rumah dengan membayar Rp 30 ribuan. Sang supir bercerita bahwa dari pagi hingga menjelang malam, ia baru mendapatkan satu penumpang dan mengeluhkan keadaan yang tak membantunya untuk mengongkosi hidup. Malah, iseng-iseng, saya menanyakan hiruk pikuk kampanye, yang dianggapnya tak lebih dari hiburan. Hanya perlu 10 menit, saya telah sampai di halaman rumah.

Setelah hampir dua tahun, saya menginjak tanah dan membaui dedaunan yang beragam. Angin terasa lebih segar, karena di sebelah rumah terbentang sawah dan di bawahnya sungai mengalir, meski airnya tak deras. Mungkin, di hulu, hutan telah gundul. Dengan merebahkan tubuh di ranjang, saya merasakan malam itu menyenangkan karena katak bernyanyi riang. Malah, dengan penuh harap, keesokan harinya saya akan bangun dengan bahagia sebab ayam akan menyapa dengan kokoknya, selalu begitu. Saya juga heran mengapa pagi, bagi saya, adalah celotehan ayam, tidak yang lain. Tentu, azan subuh yang saling bersahutan memecah kesunyian dan mengajak orang yang terlelap untuk segera beranjak.

Monday, November 17, 2008

Pantai Miami di Malaysia

Kemarin, di Minggu pagi yagn cerah, serombongan mahasiswa Indonesia mengunjungi pantai Miami untuk merayakan perpisahan Dr Jamhir dan Keluarga Pak Suwarno. Dengan menaiki bas (bus) sekolah, kami berangkat dari depan masjid kampus dan kemudian menjemput sebagian yang lain di rumah keluarga dalam kampus. Namun, perjalanan ini terhenti, karena sang supir ngambek. Dia tidak mau mengantarkan kami karena jumlah penumpang melebihi kapasitas. Ya, sebelumnya panitia memberitahu bahwa ada 44 orang yang akan menumpang bis, namun ternyata setiap keluarga kadang membawa dua, tiga sampai empat orang anak. Setelah berunding, akhirnya sebagian dari kami menggunakan mobil Pak Allwar, mahasiswa PhD bidang Kimia, menuju lokasi.

Inilah pengalaman pertama saya ke pantai bernama asing ini, Miami Beach. Sesampai di sana, Pak Warno memimpin membakar sate daging sapi, ayam, sosis dan udang. Sementara anak-anak teman kami berenang dan sebagian orang tua mereka mengawasi sambil turut berendam di pinggir pantai. Ternyata makan sate di pinggir pantai mendatangkan sensasi tersendiri. Tidak hanya mengucah daging empuk ini, kami sering kali bercanda menyempurnakan kebersamaan. Tampak pantai yang mempunyai pasir putih ini dijaga dengan baik, demikian pula fasilitas toilet umum yang bersih, menjadikan rekreasi ini ajang pelepasan suntuk.

Acara ini ditambahi dengan perkenalan masing-masing mahasiswa. Aha, ini semacam acara anak-anak yang acapkali meletupkan tawa. Celetukan di sana-sani disahut dengan kata lucu yang lain. Akhirnya, kami pun menyelesaikan acara perkenalan. Sebuah cerita yang kuat di ingatan.

Friday, July 04, 2008

Jakarta di Hari Ke-2

27 Juni 2008

Hari kedua di Jakarta, saya praktis hanya berdiam diri di rumah adik saya bersama Bunda. Selain, merasakan sarapan pagi ‘nasi uduk’, saya juga meminum susu murni nasional rasa coklat yang dibeli dari penjual keliling. Agak heran, sebungkus nasi yang dibubuhi tahu dan ‘bakwan’ hanya dihargai Rp 2500 dan susu murni itu hanya Rp 2000. Saya memilih keduanya adalah bentuk pembelajaran untuk mengonsumsi barang dalam negeri. Nasi uduk itu dijual ama penduduk asli Jakarta Betawi, sementara susu nasional produk Jawa Tengah.

Pagi-pagi sekali, TV One, menayangkan kasus demo mahasiswa yang berakhir rusuh. Sebenarnya, saya mendengar kerusuhan di depan DPR dari supir taksi yang kami ajak ngobrol. Tambahan lagi, ketika saya membeli koran TEMPO (26/6/08) di terminal Kampung Melayu, saya miris melihat ‘gambar’ di halaman depan mahasiswa disemprot oleh water canon dengan judul besar “Demo Brutal”.

Yang lebih membuat saya tersentuh ‘tayangan’ pemukulan polisi terhadap mahasiswa dalam kasus demo mahasiswa dan pemukulan laskar FPI terhadap AKKBB dalam berita bertajuk bulan kekerasan. Akhir dari penayangan dalam berita ini adalah STOP KEKERASAN! Ya, menurut saya udah nggak jamannya main pukul.

Tapi, sebelumnya saya mencoba untuk membersihkan halaman depan rumah Adik. Agar tidak berdebu, saya menyiramnya dengan air. Sayangnya, air buangan rumah di sekitarnya langsung ke selokan kecil di depan rumah. Bisa diramalkan jika nyamuk mendapatkan rumah yang nyaman dan tentu saja bau. Ini khas Jakarta. Padahal di kampung, rumah tangga dilengkapi dengan jurang tempat membuang air kamar mandi secara tertutup. Boleh dikatakan, kampung saya tak ditingkahi oleh nyamuk yang berkeliaran karena selokan yang berbau.

Saya hanya ingin beristirahat sejenak untuk memikirkan semua carut marut Jakarta. Sebelumnya saya telah mendapatkan koran Media Indonesia (25/6/08) dalam penerbangan dari bandara Pulau Pinang-Jakarta. Dalam ruang ‘Selamat Siang Indonesia’ bertajuk Jakarta, wartawannya (teguh@mediaindonesia.co.id) membuka paragraf dengan kalimat menyengat ‘Jakarta 481 tahun. Tua, sesak dan amburadul. Ibu Kota ini menyimpan seribu satu masalah.

Friday, June 27, 2008

Jakarta di Hari Ke-3

Atrium Senin jam 3.16

Saya telah mengunjungi Perpustakaan Nasional Jakarta di Jalan Salemba No. 28. Karena turun di Salemba UI, saya harus berjalan beberapa meter untuk sampai ke surga buku ini. Di sana, saya langsung menuju pos satpam untuk menanyakan perpustakaan, dengan ramah bapak penjaga keamanan memberi jawab silahkan ke lobby. Meskipun bukan anggota, saya dengah mudah mendapakan informasi ruangan manuskrip lama, yaitu lantai lima.

Di sini, saya hanya mengisi buku tamu dan disambut dengan ramah oleh pegawainya. Tanpa banyak basa-basi, kerani memberikan daftar manuskrip dan menjelaskan bahwa naskah kuno bisa dicari di A. Tanpa banyak kesulitan saya menemukan A 101 dan A 108 yang berjudul tasawuf. Lalu, dengan hanya mengisi lembaran daftar naskah, saya akhirnya mendapatkan dua naskah kuno. Benar, ternyata lembaran Bahr al-Lahut ada di tengah halaman, yaitu 402-409. Sayangnya, ketika saya mau memfoto kopi, tinta habis. Malangnya, saya tidak bisa membawanya untuk difoto kopi di bawah. Lebih malang lagi, kepastian untuk mendapatkan salinan tak mudah, karena tinta itu hanya diperoleh dari rekanan. Padahal, saya bilang bahwa saya ada di Jakarta hanya seminggu.

Namun, saya tak perlu bimbang. Paling tidak, saya telah mengenal fisik naskah yang sudah mulai menguning dan hurufnya mengabur. Malah halaman judul telah berlubang, sehingga tak bisa dibaca sepenuhnya. Kemudian, saya harus beranjak karena mesti menunaikan shalat Jum'at di gedung pertemuan PNRI ini. Di sana saya mengambil wudhu di kran dan menikmati bacaan yang diambil dari kotak sumbang, Forum Ahlussunah. Tak perlu berkening, saya telah mengerti paham yagn dianut oleh buletin Jumat ini, karena pada halaman paragraf telah dibuka dengan pernyataan tokoh agama Saudi Arabia, Abdullah bin Baz.

  Pengakuan pengaruh luar terhadap identitas dapat melonggarkan batas. Betapa lancung menegaskan jati diri seraya menutup diri sementara tan...