Wednesday, June 21, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [23]

Kami tak memaksa dua anak ini untuk membaca, tetapi menciptakan dunianya dengan pilihan yang memungkinkan akrab dengan bacaan. Justru, sekolah Biyya yang menyebabkan murid tahun empat UUM IS ini menggemari buku. Ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam setiap minggu, yaitu mencatat karakter, konflik, dan pengarang buku yang diberikan oleh guru.

Sementara, Zumi belum bisa fokus menikmati karena ia melihat buku sebagai mainan. Menariknya, toko ini menyediakan rak untuk buku untuk anak. Salah satu buku yang berisi cerita berupa mobil-mobilan menarik perhatiannya. Hanya saja, alih-alih mendaras, si adik membunyikan mulutnya seperti suara mobil ketika menjalankan buku di lantai.

Berbeda dengan mainan, ia belum memaksa untuk dibelikan, sementara sang kakak selalu bertanya adakah buku ini mahal? Saya tidak mengecilkan hatinya dengan menjawab, jika senang, ia bisa memilikinya. Namun kalau harganya mahal, kita perlu menyimpan uang untuk membelinya nanti.


Sunday, June 18, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [22]


Kami telah merencanakan untuk pergi ke mal Aman Central untuk terakhir kali di bulan Ramadan. Sesampai di sana, ibu Biyya segera menuju ke Ayam Penyet untuk memesan meja dan makanan. Alamak! Satu jam sebelum berbuka, meja telah tertulis telah dipesan. Lalu, kami pun memutuskan tempat lain dengan menyisir warung makan di sekitarnya. Ternyata, Kenny Rogers, McD, KFC, Jhonny's, dll telah dipesan. Itulah mengapa kami tidak memboikot waralaba asing, karena dalam keadaan darurat mereka bisa menjadi tempat berlindung dari kelaparan.

Lalu, kami pun bergegas ke lantai 4, tempat medan selera, sebutan food court bagi warga Semenanjung. Ternyata, ada meja kosong di kedai steak yang bertema perahu. Setelah duduk, kami memeriksa menu. Aduhai! Satu porsi seharga RM 18. Setelah berpikir keras, kami pun beranjak. Aha, ternyata medan selera di lantai 3. Alhamdulillah, banyak gerai makanan lokal di sana. Untungnya, ada deretan meja kosong yang menyisakan kursi. Ternyata pada deretan ini, Pak Fauzan dan kawan-kawan telah memesannya dengan meletakkan tiga piring berisi nasi dan lauk.Akhirnya mereka yang tampak dalam gambar berdatangan seraya berbinar melihat kami juga ada situ. Dua orang ibu yang berada di depan isteri Pak Fauzan adalah mahasiswa S3. Tentu saja, Syafin menarik perhatian kami.

Ibu Biyya memesan 3 nasi ayam yang berharga RM 6 seporsi dan saya berdiri antri membeli minuman. Mas Aim, panggilan untuk Ibrahim, sempat menawarkan diri untuk membelikan minuman, tapi saya mencegahnya dan mengucapkan terima kasih. Riuh-rendah pun bersahutan. Kegembiran ini disempurnakan dengan foto bersama yang diambil oleh salah seorang lelaki remaja yang juga sedang menunggu azan magrib. Berkah ini tak hanya berhenti di sini. Dengan menimbang pembatalan makan di warung steak, saya telah menyelamatkan sekian ringgit dan menggunakannya untuk mendapatkan buku How Trump Thinks oleh Peter Oborne dan Tom Roberts di toko Populer yang terletak di lantai dua. Zumi dibelikan sebuah tas agar ia bisa menggeretnya di bandara nanti ketika mudik sehingga tak mengganggu kakaknya yang jauh-jauh jari dibelikan tas berwarna ungu. Hasrat itu banyak, tetapi pemenuhan harus dipilih (tunneling) agar tak menghabiskan bandwidth kita sehingga kelangkaan menyandera.

Ramadan di Bukit Kachi [21]

Gambar ini diambil oleh isteri ketika saya tertidur. Sebelumnya, saya bangun lebih awal, jam 12-an. Biasanya kami bangun jam 4 untuk bersahur. Tak pelak, selama menunggu imsak, saya melakukan banyak hal, seperti mendengar radio daring, membaca buku, mencuci piring, dan menyapu lantai.

Setelah berjamaah Subuh di masjid, saya segera pulang untuk mandi dan bersiap-siap ke kampus sambil menunggu Biyya bersedia ke sekolah. Di tengah menanti, saya membaca Existensialism oleh Thomas R Flynn (2006). Pada halaman 2, ada dua bentuk filsafat: ilmiah dan moral. Yang pertama lebih bersifat kognitif dan teoretis, sementara kedua pembentukan-diri dan praktis. Model terakhir ini memerlukan disiplin diri tertentu, seperangkat praktik atas diri seperti perhatian pada diet, kontrol perkataan, dan meditasi secara teratur. Socrates mengamalkannya dengan cara hidup terentu, alih-alih mencapai kejelasan hujah tertentu seperti dilakukan oleh Aristoteles.

Karena kantuk menyerang, saya menyandarkan kepala pada tembok dengan tetap memegang buku. Tak lama kemudian saya terbangun sebab Biyya memanggil untuk segera pergi ke UUM IS. Meskipun terlelap sebentar, saya mendapatkan rehat yang nikmat. Isteri saya sempat berujar pada saya sebelum bertolak bahwa ia mempunyai kejutan. Aha, gambar ini memang ingatan!




Ramadan di Bukit Kachi [20]

Sambil menunggu ibunya, kedua anak ini bermain di area ini. Sebelumnya kami mampir ke pasar malam untuk berbelanja tempe dan sayuran. Di sini, kami membeli lampin dan susu yang tidak ditemukan di pasar.

Saya lihat mengapa anak-anak menyukai pasaraya atau mal? Karena di sana mereka bisa bermain dan bergerak secara lebih leluasa. Si kakak membeli kartu SNAP untuk bermain dengan kami nanti, sementara si adik tak meminta dibelikan mainan seperti biasanya. Kami sengaja memberikan kesempatan untuk berada di sini agak lama, baru setelah puas ia diajak keluar secara bergegas. Berhasil!

Hanya saja, setelah sampai di kasir Zumi menyebut egg dengan intonasi yang khas, telur yang berisi mainan dan coklat (Tolly joy). Ia akan memastikan barang ini dibayar lebih dahulu, khawatir dikembalikan ke tempat semula. Sejatinya kami berpikir keras bagaimana mereka tak selalu meminta sesuatu sehingga berlatih untuk tidak ingin memiliki apa yang dilihat. 

Thursday, June 15, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [19]

Tiga anak ini memilih duduk di depan kami karena kursi masih kosong. Setelah duduk, saya bertanya pada anak yang sebelah kanan, sudah jilid Iqra berapa? Jawabnya lugas, 5. Mereka tak henti-henti bersenda gurau sambil menunggu azan Magrib.

Sebelumnya saya telah mencatat beberapa poin penting dari sambutan rektor, pro-canselor, dan da'i. Orang nomor satu di kampus menyampaikan tentang prestasi yang telah dicapai oleh universiti, pembangunan asrama untuk anak yatim yang akan dihuni oleh 8 anak dengan pembiayaan sekolah dan kebutuhan sehari-hari.Tidak hanya itu, mereka akan mendapatkan kursus tambahan seusai sekolah. Tambahan lagi, penggalangan dana abadi (wakaf, endowment) akan digalakkan untuk membantu mahasiswa yang memerlukan. Sementara, pro-canselor mengingatkan bahwa puasa semestinya mempunyai nilai tambah, bukan sekadar menahan diri dari lapar dan harus. Pesan ceramah agama yang saya catat adalah hadits Nabi tentang dua nikmat yang acapkali dilupakan, yaitu kesehatan (al-shihhah) dan waktu luang (al-faragh).

Begitu banyak warga universitas dan tamu undangan memenuhi tenda. Kebetulan saya juga berjumpa dengan Adha, mahasiswa bisnis internasional, yang datang bersama dengan dua temannya. Lelaki ini seringkali mengumandangkan azan di Masjid Asy-Syafi'i Bukit Kachi, tempat ibadah yang dekat dengan rumah. Selain mereka bertiga, ada seorang mahasiswa S3 asal Pakistan yang turut mengambil tempat di meja kami. Saya pun bercerita bahwa ada dua sarjana negara asalnya yang terkenal di Indonesia, yaitu Fazlur Rahman dan Abul A'la al-Maududi. Ia pun bersemangat berkisah tentang tokoh terakhir yang merupakan pendiri Jamaat al-Islami. Ketika azan tiba, semua mengambil kurma sebagai pembuka, dan saya makan kue puteri ayu. Bukankah kita sunnah berbuka dengan yang manis? 

Wednesday, June 14, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [18]

Puasa tahun ini merupakan tantangan tersendiri bagi Biyya. Betapapun bersarapan sebelum pergi ke sekolah, namun ia mesti menahan diri untuk tidak makan tengah hari seperti pada hari biasa di sekolah. Apalagi, pada minggu kedua kakak Zumi harus mengikuti ujian.

Mata pelajaran yang sering membuatnya mengerutkan kepala adalah matematika. Tak pelak, si ibu turun tangan untuk membantu memahami ilmu pasti ini. Tak hanya itu, biyya juga mengambil kelas tambahan seusai kelas pada gurunya. Namun, untuk ilmu sosial, ia relatif bisa memahami dengan baik. Seperti tampak pada gambar, kakak Zumi sedang membaca kembali bahan-bahan yang harus dipahami sebelum ujian.

Kami selalu menghiburnya bahwa belajar memerlukan kesabaran. Meskipun tak sepenuhnya mendapatkan nilai bagus untuk matematika, tapi ia bisa menjawab sebagian soalan. Semoga pengalaman belajar ini ditulis oleh Biyya dalam buku hariannya. 

Tuesday, June 13, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [17]

Hingga hari ke-17, saya belum merasakan dadih (susu kedelai) yang dicampur dengan gula aren. Untuk ketiga kalinya saya mencarinya di setiap tenda penjual minuman. Di sela berjalan, saya sempat mengambil gambar seperti tampak di gambar sebelah, sate Jawa. Di sini, saya bertemu dengan Zul, mahasiswa UUM.

Hanya beberapa menit lagi, waktu berbuka akan tiba. Pengunjung bazar tak lagi ramai. Sebagian penjual mengemas jualan. Warung makan dipenuhi oleh orang-orang yang sedang menunggu detik-detik azan Magrib.

Seperti biasa, Zumi harus dibelikan mainan agar bisa duduk tenang. Berbeda dengan hari kemarin, si kecil tak lahap. Malah, ia meremas-remas nasi dan telur yang telah disediakan oleh pelayan warung. Beruntung, ia selalu minta untuk mencuci tangan yang berminyak. Kebiasaan akan membentuk karakter anak. Lalu, anak berusia tiga tahun ini bermain mobil-mobilan seraya memonyongkan mulut meniru bunyi mesin. Berbeda dengan kakaknya yang menikmati makannya karena lapar. Si sulung kadang tampak gusar karena mainannya jatuh karena mobilnya bisa terbang. Sabar ya? Namanya juga anak kecil, sarana kami. Selama menikmati berbuka, kami sama sekali tidak membuka telepon pintar.

Monday, June 12, 2017

Ramadhan di Bukit Kachi [16]

Biyya protes ketika saya mengajak Zumi ke sini pada hari Jum'at, "You are not fair", padahal sebelumnya saya berjanji untuk mengajaknya ke kantor. Akhirnya, keesokan harinya, saya memenuhi keinginannya. Di sana, ia membuka Oh My English, sinetron kesukaannya, sementara saya menyelesaikan mendaras buku Move Fast and Break Things oleh Jonanthan Taplin.

Namun ketika mencari seri Road to Jogja, si sulung tak menemukannya di You tube. Ia hanya menonton trailer dan teaser. Saya berjanji untuk mencarikannya dalam bentuk DVD nanti ketika mudik. Setidaknya, ia bisa mengisi waktu luang menunggu berbuka, meskipun tak sepenuhnya berpuasa karena jadual sahur dimulai pada pukul 7-an dan berbuka waktu Maghrib serta mengudap roti di waktu sore dalam perjalanan pulang sekolah. Dua minggu yang lalu, neneknya di Madura meminta untuk tak memaksa cucunya berpuasa penuh melalui percakapan telepon.

Nah, di sela-sela percakapan dalam perjalanan pulang dari kantor, saya bercerita tentang tujuan berlapar-lapar di bulan Ramadan, yaitu belajar menahan diri, seperti tidak mudah meluahkan amarah dan bersabar menghadapi keusilan si adik. Tentu, pada waktu yang sama, ia juga mengambil pelajaran agar kita peduli orang lain ketika pemuasa merasakan betapa susah orang yang tak makan karena tak punya bahan untuk dimasak. Nah, tentu kami sebagai orang tuanya yang mesti menunjukkan sikap kontrol diri dan prihatin pada orang ramai sebagai contoh yang paling dekat dari pesan. Tak mudah, tak kami tak menyerah. Mari saling mendoakan! 

Sunday, June 11, 2017

Ramadhan di Bukit Kachi [15]

Kami terpaksa ke pasaraya ini karena susu Zumi akan habis. Sebenarnya, supermarket terdekat, yang berlokasi di Changlun, menyediakan merek yang bisa diasup oleh si kecil, namun untuk langkah 3 kosong. Tak pelak, kami harus menempuh perjalanan 40 menit ke Jitra. Sejatinya, kami juga merencanakan untuk membelikan Biyya sepatu berwarna hitam sebagai alas ke sekolah dan piyama untuk kegiatan bermalam di sekolah.

Sambil menunggu berbuka, sementara si ibu membeli susu, saya duduk di kursi warung makan sambil mengawasi keduanya. Dengan riang, si sulung mendorong mainan itu dan si adik dengan gembira menikmatinya. Tak hanya kereta, mereka juga menghampiri semua alat permainan tanpa harus merogoh kocek untuk ditukar dengan koin agar bisa merasakan sensasi gerakan dan bunyi.

Setelah puas, keduanya kembali ke meja makan. 15 menit sebelum Magrib, si ibu menyuapi Zumi nasi ayam. Alhamdulillah, dengan lahap anak yang berulang tahun 11 Juni tersebut mencerna setiap suapan dengan penuh semangat. Peristiwa yang jarang berlaku. Lalu, giliran kami menikmati hidangan berbuka, sementara Zumi menonton seri Upin Ipin melalui telepon genggam.

Apa yang kami lakukan adalah sesuatu yang juga dialami oleh ramai. Tidak ada yang aneh. Hanya masalahnya, mengapa susu dan lampin hanya dapat dibeli di pasaraya? Toko-toko kecil di sekitar pasar tak menyediakan. Padahal, kedua barang ini sama seringnya dibeli oleh konsumen sebagaimana kebutuhan pokok yang lain. Pada akhirnya pasar tradisional perlu menyediakan tempat permainan anak agar mereka mau diajak ke sana. 

Saturday, June 10, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [14]

Di hari Jum'at, kami ingin tinggal di rumah saja. Tapi, saya terpaksa pergi ke kota untuk membeli obat flu dan multivitamin untuk kakak di apotik. Dengan mengajak Zumi, saya mengajaknya ke tukang cukur dan sekaligus berharap si kecil mau memotong rambutnya melalui tangan terampil pencukur. Untuk ke sekian kalinya, ia pun menolak. Hanya sekali ia bersedia untuk duduk manis di kursi yang saya duduki ini.

Tukang cukurnya berasal dari India. Di sini, saya menikmati percakapan mereka dan lagu-lagu Tamil. Kebetulan saya juga berjumpa dengan Dr Isyam, kawan sefakultas yang juga memangkas rambut. Hanya perlu 3-5 menit, rambut saya sudah tampak rapi. Lalu, saya menyodor satu lembar 10 ringgit dan menerima kembalian 3 ringgit.

Kepala terasa ringan. Dengan berambut pendek, saya tampak tidak awutan-awutan. Yang tersisa, kapan si kecil mau dirapikan rambutnya. Sang ibu melakukannya dengan gunting dengan penuh perjuangan. Kami sedang merencankan untuk membeli gunting mesin seperti yang dimiliki oleh kedai cukur ini. 

Friday, June 09, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [13]

Anak ini belum berpuasa. Ia hanya tahu bermain dan bermain. Sekali waktu meniru apa yang dilakukan oleh orang yang terdekat. Agar ibu dan kakaknya leluasa berbelanja kebutuhan sehari-hari, saya mengajaknya ke arena permainan. Untuk ke sekian kalinya, saya tak memasukkan koin dan ia pun tak memintanya agar alat permainan ini bekerja.

Setelah puas mencoba, ia pun akan bertanya ibunya, mama, mama. Selain di sini, ia suka melihat-lihat aneka mobil-mobilan dan robot-robotan. Sebelum diajak, ia meminta untuk dibelikan. Kali ini, ia tak melakukannya. Tapi, ketika kami berada di kasir, ia minta mainan telur, yang ada coklat dan kejutan mainan.

Kami terpaksa meluluskan keinginannya karena jika tak dipenuhi, ia akan bikin ulah di warung makan. Alhamdulillah, untuk ketiga kalinya, kami berbuka di Kak Sah. Menunya hampir selalu sama. Inilah kesempatan kakak bicara, kami pun menimpali. Si sulung tak sabar untuk segera mudik. Ketika menyebut pramugari, ia berhenti sejenak lalu bertanya bahasa Inggeris untuk lema ini. Tanpa telepon genggam, acara makan berjalan jauh lebih menyenangkan. 

Thursday, June 08, 2017

Ramadhan di Bukit Kachi [12]

Buku ini dibeli untuk dibaca dalam perjalanan mudik lebaran. Meskipun Biyya pernah bilang tak sabar untuk segera membacanya, namun ia menahan diri. Ketika memegang The Little Brown Bear di toko Populer mal Aman Central, murid UUM IS sempat bertanya, "Is it expensive or not, Ayah?", saya menukas, "No, it is affordable for us."

Dengan menahan diri, ia belajar untuk mengontrol diri. Ketahanan ini penting tidak hanya untuk Biyya, tetapi juga semua anggota keluarga. Ini mengingatkan saya pada Marsmallow test, di mana Walter Mischel menguji daya tahan anak dengan percobaan memberikan manisan yang putih dan empuk. Jika bisa menahan diri pada tawaran pertama, mereka akan mendapatkan lebih banyak.

Kebetulan, di bulan puasa, kata kunci menahan diri (imsak) menempati posisi penting dalam pengertian harfiah dan istilah dari shiyam. Jika kita bisa menunda, maka kita telah belajar untuk menerima keadaan apapun yang terjadi dalam hidup. Ketahanan diri (resilience) mungkin mudah tergerus ketika kehidupan dilimpahi dengan alat instan dan pelayanan yang serba cepat. Ketergasaan membuat orang ramai makin mudah kalap, bukan?   

Ramadan di Bukit Kachi [11]

Setiap kali menjemput Biyya, saya selalu mengitari kawasan sekolah. Selain melihat keriangan anak-anak berlarian dan berteriak, saya juga memerhatikan prakarya dan poster yang ditempel di dinding. Seperti tampak gambar di sebelah, di depan pintu kelas 2, ada beberapa gambar sastrawan yang mewarnai kesusasteraan dunia, seperti Emily Dickinson, Christine Rosseti, dan Edgar Allan Poe.

Anak-anak diperkenalkan pada khazanah dunia untuk meluaskan cakrawala dan pada waktu yang sama merespons isu terkini dalam bahasa mereka. Di bawah poster, ada banyak coretan para murid tentang puasa. Dengan kewajiban ini, mereka mengatakannya sebagai jalan untuk menghormati Tuhan dan peduli terhadap orang miskin.

Sejauh apapun membaca dan berkelana, mereka akan memahami dunia yang dijalani. Tak hanya hari puisi dunia yang dirayakan, hari bumi turut diberi perhatian dengan menyelenggarakan pentas dan kegiatan peduli pada lingkungan. Ada benang merah antara ide dan tindakan. Sememangnya, pendidikan berada pada aras ini. 

Tuesday, June 06, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [10]

Mengikuti Rancangan Strategik UUM yang disampaikan oleh IPQ, saya duduk selama hampir 1 jam setengah. Setelah mengambil gambar, saya menyimak pendedahan bagian kualitas universtas tentang apa yang harus dicapai oleh pengajar terkait pengajaran, penulisan dan pengabdian.

Setelah itu, saya mengikuti rapat penyelasan kualitas fakultas, terkait pengumpulan dokumen dosen. Di sela-sela perbincangan, kami bertukar pandangan yang serius dan kelakar. Di balik kertas-kertas rancangan pengajaran, daftar hadir, soal ujian dan jawaban, ada banyak keinginan yang bisa diurai, yaitu pemeriksaan kembali apa yang telah dilakukan oleh staf pengajar.

Pada sore hari, saya menjemput Biyya di sekolah. Kegiatan rutin ini selalu mendatangkan pengalaman-pengalaman baru. Tidak hanya dinding sekolah yang dihiasi oleh pelbagai prakarya, seperti nama-nama penyair Barat, tetapi juga tingkah murid yang mengandaikan dunia tersendiri. Setiap kali sampai di depan kelas, kawan-kawannya berteriak, ayah Biyya! Secara otomatis, saya berusaha mengenal nama-nama mereka. 

Monday, June 05, 2017

Ramadhan di Bukit Kachi [9]

Pada pagi hari saya merayau-rayau di sekitar kampus. Selain mengantar kertas jawaban ujian mata kuliah Filsafat dan Etika ke rektorat saya mampir ke perpustakaan. Hujan rintik. Saya berjalan menyusuri lorong beratap seng. Dengan memilih menggunakan kaki, saya menerapkan apa yang selalu dikatakan di kelas bahwa adalah zalim jika kita tak memanfaatkan anugerah Tuhan berupa dua penyangga tubuh. Apalagi, seeloknya setiap orang berjalan 8000 langkah setiap hari agar sehat dan cergas.

Pada sore hari, kami pergi ke pasar Ramadan untuk menikmati suasana dan membeli kue untuk berbuka, seperti klepon, karipap, dan lupis. Kami memanjakan kaki dan mata melihat pelbagai aneka makanan dan kudapan. Sebelumnya, ibu Biyya telah menelepon Kak Sah, pemilik warung masakan Kelantan, sekaligus memesan meja agar nanti kami bisa berbuka di sana. Begitu banyak makanan, betapa selera seakan ingin melahap semua.

Pada malam harinya, setelah tarawih saya membeli obat Hurix's sirup di toko asrama. Tenggorokan panas akibat batuk yang datang menderu. Tidur terganggu di tengah malam sehingga saya terpaksa turun ke lantai kedua agar tak mengganggu tidur anak-anak. Untuk mengisi waktu, saya mengikuti pengajian tasawuf kiai Kuswaidi melalui Facebook selain terpaksa membuka bungkus plastik buku yang disiapkan untuk teman perjalanan mudik nanti, Jonathan Taplin, Move Fast and Break Things (2017) sebagai teman menunggu sahur. Ternyata, alur hidup tak selalu direncanakan, meskipun tidak kemudian kita mengalir begitu saja, sebab ada hal rutin yang sangat berat dirawat, asupan badan dan batin. 

Sunday, June 04, 2017

Ramadhan di Bukit Kachi [8]

Di hari libur, saya mengajak Zumi ke kampus. Ia senang alang-kepalang ketika melihat begitu banyak mainan mobil-mobilannya di kamar kerja. Saya sengaja menyimpannya sebab di rumah barang yang sama juga ada, sehingga mainannya bisa diselamatkan. Maklum, ada banyak suku cadang atau badan mobil retak, rusak, dan lepas.

Tak perlu waktu lama, ruangan berantakan karena mainan itu bertebaran di mana-mana, seperti pojok, bawah meja dan karpet. Lalu, saya memutar serial Upin-Upin agar ia bisa menonton dan duduk tenang, sementara saya bisa menyimpan kembali mainannya dengan harapan nanti adik Biyya ini belajar menempatkan barang di tempat yang telah disediakan. Mobil pemadam kebakaran yang tampak dalam gambar adalah salah satu korban imajinasi, yakni mobil bisa terbang dan meluncurkan deras ke lantai. Ban depan tanggal sehari setelah dibeli. Saya memindahkan ban belakang ke depan. Di mana saya bisa mendapatkan roda pengganti?

Kue oat yang disiapkan ibunya dihabiskan di sela asyik dengan mainannya. Setelah lelah dan bosan, ia pun mengajak pulang seraya menyebut mama berapa kali. Tentu, ia ingin minum susu dan tak bisa lama berpisah dengan sang ibu. Tak seperti kakaknya yang menyesapnya dengan perlahan, si adik hanya perlu beberapa detik untuk menandaskan isi botol. Dengan mengajaknya ke luar dari rumah, saya mau membiasakannya melihat dunia luar dan pada waktu lain kami ajak ke lapangan sepak bola agar yang bersangkutan tak rentan mengalami miopia, rabun jauh, kelak karena selalu berada dalam ruangan. Oh ya, dulu saya pernah mengajaknya ke taman rusa kampus agar memberikan kesempatan pada ibunya tidur siang setelah penat mengikuti gerakannya sejak pagi. 

Saturday, June 03, 2017

Ramadhan di Bukit Kachi [7]

Setelah memasuki seminggu puasa, tubuh bekerja seperti mesin saja, kapan kosong dan terisi. Namun tetap saja angin penyegar udara menusuk tubuh bila badan terpapar dalam waktu lama. Hari ini, saya mengawasi ujian Filsafat Moral dan Etika. Batuk yang menyerang semalam masih bertahan di badan. 

Di tengah menemani mahasiswa menjawab soal, saya sempat memerhatikan ketua pengawas yang sedang mendaras buku Adolf Hitler, Mein Kamft. Wajahnya tenang berjanggung panjang. Benak tiba-tiba merenung tentang paradoks. Dengan Inggeris yang fasih, beliau mengumumkan ujian akan segera berakhir dan meminta mahasiswa tidak lagi menulis. Setelah usai, saya pun berkata bahwa bukunya menarik. Ia pun membalas bahwa kita perlu membaca ide-ide besar di luar sikap kita terhadap bersangkutan. 

Di sore hari, saya dan keluarga memenuhi undangan pengurus Persatuan Pelajar Indonesia UUM. Seperti tampak dalam gambar, Bapak Irwan, konsul, dan Ibu Isana, pelaksana fungsi Sosial Budaya, ditemani Pak Syafii, dosen tamu UUM, sedang mendengar kesan-kesan mahasiswa yang sedang menjalani program pertukaran pelajar dari Indonesia. Sebelumnya, kami mendengar tausiyah dari Dr Hamid Busthami Nur lalu mengikuti salat berjamaah Maghrib. Satu hal yang selalu saya lakukan dalam pertemuan seperti ini adalah menambah teman baru dengan cara menyapa dan mengenal nama. Dengan menghadirkan nama mitra wicara dalam percakapan, kita telah memecah kebekuan. 

   


Friday, June 02, 2017

Ramadhan di Bukit Kachi [6]

Hampir segenap seminggu, saya baru berjumpa secara kebetulan dengan ustaz di pagar masjid. Ia pun bertanya, "Balik kampung?", Saya menukas, "Ya, kami akan mudik". Saya melihat aura yang tenang dan ramah dari staf Pusat Islam ini.

Untuk hari itu, saya melakukan aktivitas seperti biasa, mengantarkan Biyya ke sekolah dan lalu ke kampus. Sepanjang perjalanan, kami bicara banyak hal. Sekali waktu, ketika kakak Zumi ini asyik dengan pikirannya, saya memerhatikan pagi yang lengang karena warung di tepi jalan tutup. Selalu saja sinar matahari pagi yang menimpa bukit itu mendatangkan ketakjuban.

Seperti direncanakan malam sebelumnya, kami ingin berbuka di Mal Aman Central. Seperti tampak dalam gambar, saya dan Zumi sempat berfoto bersama di miniatur masjid yang sengaja direka untuk menyambut Ramadan. Ada pohon kurma, yang tampak seperti asli, padahal terbuat dari plastik. Pelantang suara memutar instrumentalia padang Pasir dengan suara biola yang dominan, tak lama kemudian lagu bertema hari raya berkumandang. Alahai, baru hari ke-6 nyanyian lebaran telah menggema.

Sambil menunggu berbuka, sebelumnya kami telah memesan nasi penyet di warung yang bersebelahan dengan KFC, McDonald dan Johny's di lantai 1, kami menghabiskan waktu di toko buku Popular dan duduk di area ini. Biyya membeli satu buku The Little Brown Bear sebagai bahan bacaan di kampung halaman. Sebelumnya murid UUM IS juga mengoleksi satu buku dari seri yang sama untuk dibaca dalam perjalanan. Saya pun membeli buku Jonathan Taplin berjudul Move Fast and Break Things, yang  disisipi keterangan how Facebook, Google and Amazon have cornered culture and what it means for all of us. Saya sengaja menggarisbawahai kata means, karena lema ini kata kunci. Ketika blog ini ditulis, karya tersebut masih bersampul plastik. Pengalaman hari ini mengingatkan saya pada status Facebook Hairus Salim, antropolog Jogjakarta, bahwa mal adalah tempat orang ramai menghadirkan hasrat berbelanja, berbudaya, dan beragama. 

Thursday, June 01, 2017

Ramadhan di Bukit [5]

Setiap berjalan ke surau untuk bersembahyang Subuh, saya berusaha untuk menikmati setiap langkah kaki dengan mereguk udara segar dan merasakan alam dan seluruh isinya. Sekali waktu di simpang tiga, bau bunga menyeruak begitu saja. Bulu roma berdiri, saya merinding. Lalu, rasio menyergah bahwa ini fenomena alam. Gila, tubuh ternyata juga digerakkan oleh rasa. Di waktu lain, gemericik air terdengar lebih keras dari biasanya. Tak jarang, saya sengaja berdiri di bawah pohon yang ditinggali oleh burung. Eh, ternyata pengicau ini diam setelah tahu ada orang di bawahnya.

Sejatinya apa yang dilakukan atas, saya juga sering lakonin di luar Ramadhan, termasuk membaca surat kabar dan buku. Kebetulan, koran Sinar Harian edisi 31 Mei 2017 memuat tulisan tentang lingkungan yang dikaitkan dengan iman. Kepercayaan itu nyata dengan kepedulian pada alam sekitar, sesuatu yang jarang dibela dengan mati-matian dibandingkan dengan isu kafir, murtad, dan syariah formal. Andaikata, iman itu bisa hadir di masjid, ia juga merembes pada kehidupan sehari-hari, di hutan, bukit, pasar, dan jalan raya.

Selain itu, buku Henry Giroux yang tampak seperti dalam gambar di kiri atas adalah karya yang saya sedang baca untuk menangkap ruh dari ide pedagog ini tentang pendidikan kritis. Pada dekade terakhir, sekolah negeri di Amerika Serikat dikritik sengit oleh pengkritik radikal dan konservatif. Keduanya berseberangan tentang posisi institusi ini sebagai ruang publik reproduktif. Apapun, dialektika keduanya akan melahirkan sintesis, yang meskipun tidak tersurat, tetapi tersirat pada hati dan pikiran pada setiap pegiat pendidikan. 

Syawalan Kesepuluh

Senarai keinginan ditunjukkan di X agar warga yang membaca bisa menanggapi. Maklum, buku ini tergolong baru di rak buku Periplus mal Galaxi....