Showing posts with label Pasar. Show all posts
Showing posts with label Pasar. Show all posts

Tuesday, January 08, 2013

Blusukan Ke Pasar

Di hari Jum'at pagi, sambil menunggu Nabbiyya belajar bahasa Inggeris di Vital Years School, kami berbelanja aneka bahan untuk Garangasam, seperti ayam, tomat, dan bawang. Menelusuri lorong seraya melihat begitu banyak orang dan barang jualan, saya yakin bahwa pengagihan kue ekonomi pasar tradisional itu jauh lebih merata dibandingkan dengan pasaraya.

Kami sempat bingung mencari daun pisang untuk mengukus ayam, namun seorang ibu penjual bawang putih memberitahu kami bahwa penjual daun di ujung sana tak jauh dari penjaja surat kabar. Alhamdulilah, akhirnya kami mendapatkan tiga ikat daun dengan harga 'berpatutan'.

Selain itu, kami tak lupa juga membeli beberapa potong tempe. Kami sering berlauk mendoan, tempe yang dibalut tepung, atau memakannya begitu saja dengan lombok kecil. Sensasi pedas cabe dan secawan teh panas menghangatkan sore yang belakangan ini acapkali diserbu oleh hujan. Kami pun akan kembali lagi ke Pasar Jitra ini untuk bertukar sapa dengan penjual, yang tak akan terjadi di Pasaraya.

Selain bumbu di atas, santan adalah penyedap Garangasam. Kami membelinya dari kedai yang telah menyediakan perasan parutan kelapa ini. Seorang ibu berjilbab menyahuti Bunda, "Dari Sabah, ya?" Pertanyaan ini sering saya juga alami. Betapa pun kami mencoba untuk bercakap dengan loghat Kedah, warga di sini sering menemukan keanehan pada dialek kami, sehingga mereka sering menyangka asal-muasal kami dari negeri 'Borneo'.

Ya, percakapan seperti inilah yang membuat kami menikmati 'blusukan' ke pasar tradisional. Mungkin, cara berbelanja seperti ini dianggap membuang-buang waktu, namun saya justeru menemukan hubungan manusia yang bermutu. Mengapa kita perlu bergegas? Toh, akhirnya kita berdiam di rumah bersama alat-alat elektronik yang makin membuat kita menjauh dari rasa kehidupan manusiawi.


Friday, January 07, 2011

Agama, Pasar dan Rakyat

Tadi, sebelum senja habis diterkam gelap malam, kami, Pak Cik dan Mak Cik pergi ke Pasar Rakyat untuk berbelanja keperluan sehari-hari, seperti sayur dan ikan. Kata Bunda, sayur kankungnya jauh lebih muda dan segar dibandingkan di Pasaraya. Hanya RM1 seikat. Ya, penjual Tionghoa yang ramah itu tak menyebut berat. Sebelumnya, kami membeli tepung kue di warung Bakery Paradise dan si kecil diberi satu bungkus kismis oleh penjualnya. Padahal harga sebungkus manisan buah kering itu RM1.50. Kami pun senang alang-kepalang.

Lalu, apa hubungannya dengan agama? Kerukunan. Di pojok, ada warung daging babi, sementara di pojok lain warung daging ayam halal, terkesan dari nama warung bersangkutan. Semua mendapat tempat dan pelanggan masing-masing. Ketika Mak Cik mendekati seorang penjual tahu dan makanan kukus, orang muda itu mengatakan bahwa otak-otak itu halal, tanpa ditanya. Di atas kepalanya, sebuah papan tergantung yang menerakan tanda tulisan Arab halal. Lalu, ketika beranjak ke warung yang lain, kami terkejut karena sepotong tempe dijual RM1.20, jauh lebih mahal 20 sen dibandingkan di Pasar Malam Gelugor dan penjual sayur keliling.

Di sela-sela berkeliling pasar, saya sempat mengambil gambar di atas. Coba lihat nama pasar yang berada di bawah wewenang MPPP (Majlis Perbandaran Pulau Pinang) itu, keren bukan? Tak hanya pasar, tetapi juga balai rakyat, tempat berkumpul orang kebanyakan. Jauh dari kesan kotor dan kumuh, sebagaimana kebanyakan pasar rakyat, ia masih bertahan di tengah serbuan pasaraya yang dimiliki perusahaan multinasional, seperti TESCO, Giant, dan Jusco. Di dalam perjalanan pulang, saya berujar pada Pak Cik, kalau kita pergi ke pasar, kita telah menyelamatkan banyak periuk orang kebanyakan, namun jika berbelanja di pasaraya, kita menambah pundi-pundi orang-orang kaya. Lalu, Pak Cik menukas, apa boleh buat? Dalam hati, kita bisa banyak berbuat untuk melawan pemilik modal besar itu.

  Pengakuan pengaruh luar terhadap identitas dapat melonggarkan batas. Betapa lancung menegaskan jati diri seraya menutup diri sementara tan...