Showing posts with label Tradisi. Show all posts
Showing posts with label Tradisi. Show all posts

Sunday, November 11, 2012

Kompang dan Perkawinan


Kami berangkat satu jam sebelum penganting datang. Setelah mengasup makanan yang lezat, kami pun duduk diam menikmati lagu-lagu yang dibawakan oleh penyanyi dengan bantuan karaoke. Selain lagu-lagu Melayu lama, tiba-tiba suara berat Broery Pesolima yang menyanyikan Widuri memecah hiruk-pikuk. Lalu tak lama, nyanyian Ayat-Ayat Cinta yang dipopulerkan oleh Rossa memenuhi ruangan. Sebelum jam 2, pukulan kompang mengejutkan para tamu undangan, sebagai pertanda pengantin telah datang. Bacaan shalawat itu begitu menggetarkan.

Sabrina dan Nasir pun melangkah masuk. Tetabuhan dipukul bertalu-talu. Cahaya kamera menyerbu wajah keduanya. Wajah-wajah tamu mengembang riang. Anak-anak kecil pun menyemuti iring-iringan. Setelah keduanya duduk di pelaminan, acara dilanjutkan dengan acara merenjis oleh kedua orang tua raja dan ratu sehari ini. Kami merasakan khidmat acara yang dihelat di Markas Angkatan Darat Malaysia, yang terletak di atas bukit tak jauh dari Lapangan Terbang Interasional Bayan Lepas Pulau Pinang.

Mungkin banyak cerita dari acara ini, namun saya justeru memerhatikan dari dekat bagaimana Prof Sohaimi Abdul Aziz menyelipkan kumpulan Kompang atau Rebana dalam menyerikan pesta perkawinan anak puterinya sulungnya. Para remaja berbaju dan bersongkok hitam sedang bersiap-siap untuk memainkan kembali rebana dengan lantunan pujian pada Nabi. Bagaimanapun, tradisi itu akan abadi apabila ia hadir dalam banyak kegiatan warganya. Namun demikian, sebagai acara untuk banyak tamu undangan yang berlatarbelakang berbeda, panitia pun menghadirkan lagu Love Just Ain't Enough oleh Patty Smith. Aha! lagu ini pun tak asing bagi saya karena pada tahun 1990-an ia begitu akrab di telinga orang ramai. Saya pun latah ikut-ikutan menyukainya. Alamak! Ternyata lagu ini juga enak. 

Sunday, January 23, 2011

Pondok Jawa Timur

Malam sebelumnya, saya telah merencanakan untuk menikmati ayam penyet. Meski hanya melihat gambarnya di papan tanda, yang dipasang di depan Plaza Singapura, saya membayangkan menu makan malam yang lezat keesokan harinya. Ternyata, sambal ayam penyet yang ditambahi dengan tahu-tempe betul-betul memantik selera. Tak hanya itu, pekerjanya yang berasal dari Sunda dan Kalimantan tampak sangat ramah. Demikian pula, pekerja lokal berlaku sama, dekat dengan pelanggan.

Menikmati ayam penyet akan terasa afdol dengan menggunakan tangan. Ini mengingatkan saya pada masa kuliah,di IAIN Sunan Kalijaga di mana hampir setiap malam mengasup makan malam berupa tempe penyet di warung Pak Hasan, tak jauh dari tempat kos dan kampus. Terus terang, saya tak begitu menikmati makanan cepat saji, karena kadang disebut dengan makanan sampah (junk food), kecuali dalam keadaan terdesak dan menukar kupon yang diperoleh secara gratis ketika berurusan dengan bank. Kata pengamat, budaya kita yang santai tak cocok dengan gaya makan di kedai tersebut yang diperuntukkan untuk orang yang tergesa-gesa.

Malam itu, saya tak hanya memenuhi rasa kangen itu, tetapi juga melihat suasana warung yang kental dengan nuansa Jawa Timuran, seperti topeng, batik jarit, dan sate Madura. Pada waktu yang sama, tak jauh dari warung, Just Beer, warung minuman keras, menyajikan musik hidup (music life), seorang penyanyi perempuan berambut pendek pirang dan pemain gitar lelaki. Semua lagu yang dilantungkan berbahasa Inggeris, termasuk Waka Waka oleh Shakira yang membuat malam terasa lebih hangat. Di Negeri Singa, semua tampak serasi, berjalan harmoni.

Saturday, November 06, 2010

Memahami Sesat

Kami pergi untuk memahami fenomena ajaran sesat. Sebelumnya, saya ngobrol dengan kawan karib, Ismae Katih, peneliti, tentang sisi sosiologis dari kaum sesat. Ternyata, individu atau kelompok yang dianggap menyimpang itu sepatutnya tidak hanya dilihat dari sisi teologis, tetapi juga sisi lain yang menjelaskan mengapa mereka mengambil jalan yang berbeda. Adakah ini juga petanda bahwa pengawal agama gagal menyapa mereka? Jangan-jangan kita pun turut abai karena tak peduli.

Untuk menambah pengetahuan, kami pun pergi ke kantor agama propinsi, berjumpa salah seorang pegawainya untuk berbagi cerita. Di sana pun, kami mencoba mencari asal-muasal ajaran sesat, tetapi juga bertukar kabar tentang genealogi pemikiran keagamaan di Pulau Pinang dan sekitarnya. Mungkin, ini akan selalu terjadi, kita akan berbincang hal ihwal di luar kewajiban, mencari tahu tentang pertanyaan penelitian. Lalu, setelah informasi di tangan, kami pun pamit dan sempat berfoto di depan kantor. Malah, kami sempat membeli goreng pisang dan ketela.

Selanjutnya, kami berempat, Halim, Ismae, dan Saiku menuju pantai. Di sana, cerita mengalir sahdu di tepi laut yang berlatar jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Kebetulan, si pemilik kedai mau bergabung dan bercerita bahwa pihak berwenang memintanya untuk pindah karena warung ini tidak memenuhi syarat, seperti tempat pembuangan air kumbahan, fasilitas kamar mandi dan tentu mengambil ruang publik, pantai. Aha, ternyata saya selalu menemukan masalah setiap kali ingin mengerti tentang hidup.

Wednesday, May 12, 2010

Memelihara Tradisi Rakyat


Ternyata tidak mudah memelihara tradisi rakyat. Beberapa pembicara dalam acara di atas mengeluhkan serbuan kebudayaan 'asing' (alien) dalam keseharian anak-anak, bahkan anak mereka sendiri. Namun apa daya, kuasa media telah membuat banyak permainan lama, seperti Galah Panjang, Ting-Ting, Congkak, tak lagi menarik. Anak-anak lebih menyukai permainan PS2, misalnya, dalam menghabiskan waktu luang. Padahal dibandingkan yang terakhir, permainan tradisional itu membuat pemain lebih nyaman karena berada di alam bebas dan melibatkan teman sebayanya, tidak bersifat individual. Apakah ini petanda bahwa pada masa dewasa anak-anak itu makin individualis? Tentu, kita menunggu waktu.

Tak hanya permainan, kebudayaan lagu dan tarian setempat pun juga dapat tempat. Encik Omar Md Hashim menyesalkan Boria makin terpinggir. Tradisi lokal yang berasal dari Persia, Iran, makin menyusut. Dulu di masa kejayaannya, ada 80-an kelompok, namun sekarang 4-5 kelompok yang masih menghidupkannya. Namun, dalam sesi diskusi, praktisi kebudayaan ini berharap bahwa tradisi itu tidak akan musnah dan akhirnya mendekam di musium. Apatah lagi, tokoh-tokoh yang mempertahankan kelestarian warisan tersebut sudah meninggal dunia, seperti Abdullah Darus dan Pak Kan. Ia sendiri berujar akan mewakafkan dirinya untuk meneruskan estafet dan berharap berumur panjang. Kata terakhir ini memantik tawa hadirin.

Selain diskusi, acara pameran juga digelar untuk memperlihatkan pada khalayak mengingat kembali permainan masa dulu, seperti congkak dan getah (karet). Sebagai karnaval tradisi rakyat, acara ini memang tidak melulu bersifat akademik, namun juga hiburan. Untuk itu, ide Prof Azlena, yang mengutip Pattiya Jimreivat, agar permainan tradisional dimasukkan dalam kurikulum sekolah patut disambut gembira. Sebab, nilai-nilai yang bisa ditanamkan dari permainan itu tidak hanya berkait dengan psikomotorik, tetapi juga kognitif, seperti berhitung dan berbahasa. Malah, penyesuaian dengan proses digitalisasi tidak ditampik agar anak-anak masih mengenal permainan generasi sebelumnya.

Permainan galah panjang atau orang Jawa menyebutnya gobak sodor adalah salah satu permainan yang saya lakoni dulu. Di sini, setiap anak tidak hanya harus gesit berlari, tetapi juga diuji kejujurannya. Ia tidak boleh melewati garis dalam menghalang seseorang melewati daerah teritorial yang menjadi tanggungjawabnya. Kadang, kami beradu urat leher untuk menunjukkan tak melanggar aturan. Selain itu, kami juga tak perlu menghabiskan uang untuk permainan semacam ini. Ia hanya memerlukan ruang lapang dan sejumpah pemain. Berbeda dengan permainan sekarang, seperti PS, yang memaksa anak-anak untuk duduk, tak bergerak dan menguras kocek mereka. Kalaupun di rumah para orang tua menyediakan perkakas ini (gadget), ia juga menyedot arus listerik, yang tentu melonjakkan tagihan bulanan.

  Pengakuan pengaruh luar terhadap identitas dapat melonggarkan batas. Betapa lancung menegaskan jati diri seraya menutup diri sementara tan...