Hari ini di Republika (12/1/07), saya menyatakan sikap saya terhadap perseteruan antara Kelompok Islam 'Murni' dan 'Akomodatif', yang acapkali mewarnai jagad perebutan makna kebenaran di Indonesia.
Sebenarnya, perbedaan itu selalu menyergap keseharian kita. Setiap diri selalu dihadapkan dengan pilihan. Dari artikel ini sejatinya kita bisa melihat bahwa keberpihakan itu bukan pada 'bentuk' atau 'pribadi', tetapi pada 'substansi' dan 'gagasan' yang diperjuangkan menjadi kenyataan.
Pemilihan ketua PPI besok adalah instrumen untuk melanjutkan tradisi dan memberikan ruang pada pelajar Indonesia di negeri jiran ini untuk menyatukan komitmen dalam upaya menjadikan setiap individu 'dewasa'.
Aspirasi dari Muhammad Syarqawi bahwa ketua PPI yang akan datang memperhatikan keinginan penyuka sepak bola agar melanjutkan turnamen PPI USM Cup adalah gagasan yang perlu diperhatikan. Saya sendiri mengusulkan supaya 'Masyarakat Cinta Membaca' yang diusulkan beberapa waktu yang lalu mendapat tanggapan yang memadai. Dengan senang hati, saya akan menjadi salah satu fasilitator untuk kegiatan perbukuan. Pendek kata, asupan lahir dan batin dapat dipenuhi oleh kepengurusan periode XIV.
Selamat Musta PPI!
Ahmad Sahidah
Fasilitator Masyarakat Cinta Membaca
Jumat, 12 Januari 2007
Adil terhadap Pembaruan Islam
Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia
Membaca tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi (Republika, 28/12/06) dan Ismail F Alatas (5/1/07) tentang pembaruan pemikiran Islam, kita sebenarnya mengulang kembali perdebatan lama antara 'kaum tua' dan 'kaum muda'. Uniknya, sekarang sesama kaum muda malanjutkan tradisi ini, yang boleh digambarkan sebagai perseteruan antara pembela keislaman 'murni' dan 'akomodatif'.
Meskipun tidak bisa dikatakan baru, namun perkelahian pemaknaan ini menjadi sangat penting untuk menjaga kelanjutan tradisi keilmuan Islam. Pembedaan dua kelompok tersebut tidak dimaksudkan sebagai klasifikasi 'ketat' melainkan ingin memosisikan keduanya untuk menemukan kemungkinan sintesis yang saling mengokohkan, namun kemudian melampaui dua kategori ini.
Ambiguitas
Kalau kita memperhatikan secara saksama, Hamid menyuguhkan ambiguitas dalam paragraf pertama. Setelah mendaku sebagai direktur Institute for Study of Islamic Thought and Civilization, beliau membuka artikelnya dengan kalimat menyengat bahwa tantangan eksternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni konsep-konsep Barat.
Lembaga yang dipimpin Hamid sebenarnya secara telanjang tidak bisa dilepaskan kegamangan beliau untuk tidak berada di bawah bayang-bayang dominasi Barat. Sebab secara semantik setiap kata dari lembaga yang dipimpinnnya, seperti institute, study, thought, dan civilization memuat makna yang tidak bisa dilepaskan dari konsep Barat tentang dirinya. Namun demikian, saya tidak akan mengusulkan Markaz Dirasah Al Fikrah wa Al Hadharah Al Islamiyyah sebagai alternatif agar terlepas dari beban terbaratkan. Hanya, kita perlu merenungi apa yang diungkapkan oleh Naquib Al Attas bahwa bahasa mencerminkan sebuah ontologi.
Masalahnya bukan pada terminologi semata-mata, tetapi juga sanggahan Hamid terhadap epistemologi Barat menjadi boomerang karena justeru ia menggunakannya untuk menegaskan posisi intelektualnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa model epistemologi Barat berpijak pada sang subjek, Aku mengetahui dan mengakui diri melalui yang lain.
Lebih jauh, sebenarnya akar epistemologi ini berakar pada pemikiran Yunani, yaitu penegasan (itsbat) dalam pemikiran Barat yang hanya mungkin melalui peniadaan (nafy). Filsuf Permenides membahas wujud dengan membuat dalil tentang non-wujud.
Islam murni dan akomodatif
Islam murni mengandaikan bahwa ada sebuah 'wujud' Islam yang mandiri dan steril dari anasir asing. Ini dapat ditemukan apabila seseorang hanya merujuk pada khazanah pemikiran Islam. Anehnya, Justru Nurcholish Madjidlah yang menyunting buku 'Khazanah Pemikiran Islam' yang diterbitkan oleh Bulan Bintang. Sebuah sosok yang acapkali dihujat sebagai agen Barat.
Sementara kalangan akomodatif tidak menutup pintu untuk menggunakan 'tradisi' pembacaan Barat untuk memahami ajaran Islam. Bagi saya, pendekatan ini adalah cara untuk mengkomunikasikan pesan teks, yang tetap terkait erat dengan keyakinan dan eksistensi sosial-kultural sang penafsir. Oleh karena itu, adalah wajar jika segala model pembacaan Barat digunakan untuk merangkai kembali pesan utama Islam sepanjang ia tidak 'menerabas' dasar-dasar epistemologi Islam, yaitu wahyu adalah 'sumber pengetahuan' dari pandangan hidup Muslim.
Sayangnya, para pengkritik pembaruan mengidentikkan 'pemikiran' di IAIN telah terbaratkan dengan hanya membatasi pada Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Bahkan, Amin Abdullah dan Azyumardi Azra dianggap mewarisi pemikiran yang sama dan berbahaya, sebagaimana dituduhkan oleh mereka yang berhaluan 'murni'.
Saya masih ingat betul pernyataan Amin Abdulah dalam sebuah Dies Natalies IAIN ke-53, bahwa sebagai lembaga pendidikan tinggi, IAIN membuka ruang untuk membahas pelbagai genre pemikiran. Pendek kata, kelompok murni dan akomodatif sama-sama menempati rumah ini dengan tenang. Secara pribadi, saya tidak merasakan bahwa IAIN telah dibajak oleh sebuah kuasa besar yang akan menjadikannya boneka.
Jika yang dikehendaki oleh Hamid bahwa sudah saatnya kita menjelajah kembali khazanah pemikiran keislaman dan dengan sendirinya diharapkan tidak lagi menggunakan justifikasi epistemologi Barat terhadap pemikiran keislaman, maka epistemologi Rusydian patut untuk dikedepankan. Sang filsuf dari Andalusia ini menyatakan bahwa kita harus memahami liyan dalam sistem referensinya sendiri. Dengan kata lain, seseorang harus memahami tatanan yang ditelaah menurut alur logika yang berlaku dalam sistem yang dikajinya.
Jadi, bagi Ibn Rusyd, epistemologi itu terbuka. Ia mengandaikan sebuah dialog, karena setiap peradaban sama-sama mencari kebenaran. Ini juga berlaku pada hubungan internal kelompok. Nah, gagasan dialogis Rusydian telah diwujudkan dalam rubrik opini Republika di mana kelompok yang berseteru secara adil diberikan ruang untuk mengungkapkan keyakinannya (baca perdebatan edisi sebelumnya tentang penafsiran Al-Baqarah 62 dan Al-Maidah 69 yang dimulai oleh Buya Syafii Maarif). Pada hakikatnya, penerimaan terhadap gagasan luar akhirnya tetap mengacu pada subjektivitasnya sendiri, meskipun secara teoretik, kata Paul Ricoeur, dimulai dari objektivitas.
Ketika sebagian sarjana menggunakan hermeneutik (yang ternyata tidak tunggal), maka aplikasi teoretiknya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda karena weltanschauung sebagai kata kunci dalam pendekatan ini memberikan ruang 'kekhasan' pandangan hidup Muslim dengan yang lain. Oleh karena itu, Islam tidak akan sama dengan agama yang lain.
Untuk menegaskan keunikan Islam, Syed Naquib Al Attas (1995: 3) mengusulkan sebuah metodologi pengetahuan tauhid yang berbeda dengan pendekatan Barat. Dengan demikian, para wakil pemikiran keislaman menerapkan beragam metode di dalam penyelidikannya tanpa cenderung pada salah satu metode khusus. Justeru, mereka menggabungkan metode empirik dan rasional, deduktif dan induktif dan menegaskan tidak adanya pemisah antara subjektivitas dan objektivitas.
Kekhasan Islam bermula dari perbedaan perspektif Islam tentang pandangan dunianya yang tidak semata merupakan pandangan akal budi tentang dunia fisik dan keterlibatan sejarah, sosial, politik, dan bahkan kultural manusia di dalamnya. Hal ini disebabkan pandangan dunia Islam tidak didasarkan pada spekulasi filsafat yang dirumuskan terutama dari penyelidikan terhadap data pengalaman inderawi.
Dari kedua gagasan tersebut, sebenarnya epistemologi Barat adalah satu sisi dari sumber 'data' yang boleh dimanfaatkan untuk memperoleh makna dari teks Islam secara utuh. Ia tidak lebih sebagai sebuah instrumen untuk mengkomunikasikan pesan Islam agar mendapat audiens yang lebih luas.
Merujuk pada Asma Barlas bahwa pendekatan linguistik Barat (baca: hermeneutik) yang dia gunakan tidak menggerus keyakinannya terhadap kemutlakan Alquran dan bahkan tidak menyebabkan terperosok pada kutub relativisme. Pemahaman yang berbeda bukan pada ketidakajegan kitab suci, tetapi justeru kekuatan teks kitab suci yang mampu mengayomi setiap tingkatan eksistensi manusia.
Ikhtisar
- Isu pembaruan pemikiran Islam terus menjadi debat panjang antara penganut Islam murni dan Islam akomodatif.- Pendukung Islam murni mengidamkan Islam steril dari unsur asing, sedang kalangan akomodatif tidak mengharamkan adanya tradisi pembacaan barat untuk memahami Islam.- Gagasan Ibnu Rusyd yang mengedepankan dialog antarperadaban bisa dikedepankan untuk menengahi kedua 'kubu' tersebut.- Unsur Barat dalam Islam sebaiknya diposisikan sebagai instrumen untuk mengkomunikasikan Islam kepada audiens yang lebih luas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment