Thursday, May 10, 2007

Bahagia itu Mudah

Jika kita ditanya apakah kita bahagia? Rasanya susah kita secara spontan menjawabnya, ya! Paling tidak, kita mengernyitkan dahi sejenak untuk mencerna apa itu bahagia? Ketika kita terkuras energi untuk memikirkan jawabannya, sebenarnya kebahagiaan telah menjauh dari kita.

Mudahkan saja! Jawab ya. Karena kita masih diberikan napas untuk hidup dan menjalaninya tanpa diganggu oleh kesakitan. Memang, kaum utilitarian menegaskan kebahagiaan tiadanya rasa sakit dan lebih jauh perolehan kesenangan. Namun, berbeda dengan Sade, yang justeru memperoleh kebahagiaan dari rasa sakit [Silahkan lihat film The Quill. Sebuah nubuat yang mungkin bisa dipertimbangkan dari Sade adalah It has pleased nature to help us achieve happiness only through pain). Tapi, pernahkah kita merasa tenang dan nyaman dengan keadaan sebegini? Ini berpulang pada kita. Sebab, ternyata hidup sekarang telah menuntut banyak dari kita.

Bagi saya, hal yang mendasar dari pengertian di atas adalah bagaimana melakoni hidup ini apa adanya. Bahagia bagi saya adalah ketika, seperti siang ini, saya bisa melangkahkan kaki ke warung makan Zubaidah untuk menyantap makan siang. Sengaja saya mengambil air dingin di IPS untuk minum sehabis makan, sebagai kiat untuk mengurangi konsumsi gula. Menjaga asupan glukosa penting karena ia bisa menyebabkan diabetes. Makan yang semula diniatkan untuk menjaga kesehatan kadang justeru mendatangkan bahaya.

Adalah keasyikan tersendiri mengunyah nasi dengan menikmati video musik India [Menu tambahan Kedai Makan Zubaidah USM]. Mungkin bagi sebagian orang, film India terasa sangat membosankan karena dijejali dengan tarian dan nyanyian. Tak tanggung-tanggung, hampir dalam setiap adegan tertentu, sang tokoh juga mengekspresikan pesan melalui gerakan. Justeru, saya menikmatinya. Selain gerakannya yang dinamik, biasanya setting untuk pengambilan gambar adalah tempat lapang, bisa di pegunungan, pinggir laut, dan di sela-sela bangunan-bangunan kuno.

Setelah kenyang, saya masih duduk sebentar untuk memberikan jeda pada tubuh sebab baru diisi 'minyak'. Lalu beranjak menelusuri lorong-lorong dan keluar di pelataran Fakultas Seni. Pohon pukul lima tampak kukuh dan daun-daun kecilnya berguguran diterpa sinar matahari. Ada pendaran dan satu persatu sepertinya melakukan gerakan ritmik yang menggugah naluri artistik. Semacam ada musik alam yang melantukan harmoni. Damai di hati, damai di jiwa. Jangan tanya, ini masuk akal atau tidak, sebab itu urusan logika. Tidak semuanya harus diukur oleh rasio. Nikmati saja! Maka bahagia akan datang.

Lalu, mengapa saya mau melakukan ini semua? Karena saya ingin menghadirkan kebahagiaan sebagai peristiwa yang ada di hadapan kita, bukan keinginan yang ada di seberang. Rasa riang ini bertambah karena ketika mau mengakhiri tulisan ini saya disuguhkan lagu Love of a Life Time Firehouse. Lagi-lagi, pengalaman tentang lagu ini adalah potongan cerita kebahagiaan yang lain.

Bahkan, ketika saya banyak belajar dari Pak Yatno tentang pelbagai hal, ini juga adalah kebahagiaan. Beliau membuka kisi-kisi hidup makin berwarna. Selalu saja ada tafsir kedua tentang kenyataan. Lalu, jika tafsir saya tentang realitas yang berlapis digabungkan dengan milik orang lain, bukankah inilah kekayaan itu? Sesuatu yang dicari oleh banyak orang? Tapi, saya tidak pasti dengan Anda tentang bagaimana menjadi kaya?
Mungkin fragmen-fragmen ini juga kebahagiaan:
  • Kemarin, saya bangun bagi. Seperti biasa, selepas dari surau, saya menyalakan komputer untuk membaca koran secara on line. Biasanya, kegiatan ini tidak lama karena saya selalu membatasi diri untuk membaca rubrik 'tajuk' (editorial), opini, berita politik dan human interest. Selang beberapa menit kemudian, saya melongok ke luar jendela untuk menikmati hijanya pepohonan. Ups, bukit di atas tampak 'murung' karena masih digelayuti kabut, yang bersemayam dengan tenang. Kalau diperhatikan, ia seperti kapas. Ingin rasanya bisa bermain di sana.
  • Mendapat balasan surat dari ketua penyunting Jurnal Pemikir bahwa penyumbang tulisan tidak dikirimi naskah, tetapi jumlah honorarium (bayaran) ditingkatkan. Oleh karena itu, saya tidak menunda lagi untuk membeli jurnal tersebut seharga RM 25 di kedai mahasiswa. Selain itu, beliau meminta saya untuk menulis kembali berkaitan dengan tema 50 tahun kemerdekan negeri Jiran
  • Semalam saya terbangun di tengah malam. Mungkin, malaikat berbaik hati untuk menyela tidur saya karena saya belum bersembahyang Isya'. Tiba-tiba, hati saya melonjak kegirangan karena hujan turun. Bunyi genteng yang dijatuhi air menentramkan jiwa, sebab degup jantung menyertai iramanya, laksana satu simfoni.
  • Bermain tenis lapangan. Pak Allwar dengan sabar mengajari saya memegang raket yang benar, melakukan service, dan lain-lain. Belum lagi, di lapangan saya bertemu dengan banyak orang, seperti Pak Rahmat, Mas Iwan, Pak Iman, Pak Dodi, Pak Kum, Pak Afrizal, dan tentu Mas Hilal dan Pak Supri. Sebelumnya, saya pernah berlatih tenis pada Pak Mustar, teman Melayu. Karena masih pukul 5, matahari dengan garang menerjang tubuh sehingga keringat meleleh deras dan tenggorokan kering. Ternyata minum air dalam keadaan dahaga adalah satu kenikmatan tiada tara. Sepertinya, saya memberi kehidupan dan tenaga pada tubuh yang meradang karena energinya dikuras dan cairannya dihisap oleh terik.
  • Menonton film the Next di Q-Bay bersama Pak Allwar, Mas Ayi, Mas Dian dan Adik Woelan. Kalo hanya film ini yang membuat saya bahagia, rasanya tidak. Sebab, di kamar saya sering menikmati film (bajakan). Mungkin, karena kebersamaan menjalani detik-detik layar memancarkan gambar adalah kegembiraan yang lain. Ada banyak cerita lucu dan anedot mengalir.
  • Kami, Pak Allwar, Pak Yatno, Pak Zainal sering menghabiskan waktu berbual di kamar. Tak ada tema, semuanya muncul spontan. Justeru di sinilah kekuatannya. Kelucuan hadir karena bapak-bapak ini kaya akan pengalaman. Tak jarang, saya terpingkal-pingkal dan perut terguncang karena melepas tawa.

Jika kebahagiaan adalah sesederhana di atas, maka sejatinya kita akan memungut kebahagiaan setiap hari. Ia dengan sendirinya selalu ada dan bisa diwujudkan. Semuanya bisa dikendalikan oleh otak kita. Peristiwa itu netral, kata Pak Rahmat. Kita yang memberinya makna. Dengan kemauan untuk meletakkannya di dalam pelbagai tafsir, kita tak akan pernah berkubang pada kenestapaan. Percaya!

Lagi-lagi, setiap kali jari ini menari mengetuk huruf-huruf, soundtrack film serial Dawson Creek turut menemani. Tak terelakkan, kegembiraan bertambah-tambah. Dulu, saya sangat mengandrungi film remaja ini. Masih terbayang jelas betapa lugunya si Katie Holmes. Sempat terbersit, saya ingin mengajaknya terbang di awan.

No comments:

Syawal Keduapuluhsatu

Kolom Falsafah Harian di koran Kabar Madura pernah dibaca oleh 2000-an pembaca. Kumpulan dari anggitan ini akan diterbitkan.  Sementara, say...