Wednesday, June 06, 2007

Musuh dalam Cermin

Membaca buku bertajuk Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern (2002) dengan sendirinya mengajak kita untuk memeriksa kembali posisi dalam membawakan diri sebagai mahasiswa dalam peta pertarungan ideologi antarbangsa, agama dan bahkan etnik.

Di sini Roxanne L. Euben mencoba menggugat pandangan-pandangan koleganya sendiri yang selalu menilai gerakan Islam sebagai monolitik, tidak rasional, dan transendental. Sebenarnya dari judul di atas, kita bisa melihat bahwa orang Barat sendiri telah mengolok-ngolok dirinya sendiri karena musuh sebenarnya adalah mereka sendiri. Coba perhatikan dengan seksama kata-kata musuh dalam cermin? Jika mereka berkaca, maka sebenarnya bayangan yang ada di dalam kaca adalah wajahnya sendiri yang dimusuhi. Ya, mereka telah mengalami persoalan kepribadian karena tidak bisa mengatasi persoalannya yang membelit dirinya, alih-alih ingin mencangkokkan pemikirannya ke dunia lain, yang pandangan dunianya jelas-jelas berbeda.

Euben telah berhasil menyuguhkan strategi pembacaan baru dalam menilai gerakan Islam. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh para sarjana Barat, sebut saja John L Esposito, E. Piscatori dan Montgomerry Watt. Jika Sayyid Qutb selama ini dipandang sebagai wakil Islam yang fundamentalis dan tidak rasional, beliau justeru melihatnya sosok yang dalam banyak hal menggagas kebebasan dan kesetaraan yang juga diperjuangkan oleh Barat. Hanya sudut pandangnya yang berbeda. Bagi Qutb (lihat halaman 125-126) bahwa peradaban sejati, peradaban Islam, didasarkan pada kebebasan dan kesetaraan dari setiap individu dalam masyarakat. Sebagaimana Isaiah Berlin, Qutb melihat kebebasan sejati itu dibagi dua: positif dan negatif. Artinya, kebebasan itu berarti kebebasan dari kepatuhan kepada kekuasan tirani, yang dirumuskan sebagai ketiadaan kekangan bagi kedaulatan. Kebebasan juga berarti kebebasan untuk masuk menjadi anggota masyarakat Tuhan, yaitu untuk menolak dominasi hasrat dan dorongan menyimpang untuk menjadi manusia seutuhnya.

Ulama yang menjadi martir ini menegaskan:

Tujuan dari bimbingan yang benar ini adalah kebaikan dan kemakmuran kemanusiaan: kebaikan yang muncul dari kembalinya umat manusia kepada Sang Pencipta, kemakmuran yang memancar dari kesatuan antara pergerakan kemanusiaan dengan bimbingan yang bisa mengarahkan kepada jalur khusus kemerdekaan. [Kesatuan semacam ini] akan meningkatkan [umat manusia] ke derajat kemuliaan yang dimaksudkan Tuhan, yaiut keadaan yang terbebas dari dominasi hasrat. [dikutip dari Signpost, hlm. 151]

Demikian pula, kesetaraan manusia hanya menjadi wujud di bawah kedaulatan ilahiah, di mana setiap anggota setara karena sama-sama tunduk kepada Tuhan. Menurut Euben, ini berbeda dengan gagasan kesetaraan yang diusung oleh John Locke yang menyatakan bahwa masing-masing individu memiliki hak alamiah untuk hidup, merdeka dan memiliki kekayaan. Menurut Qutb mereka semua tunduk kepada seruan Tuhan, semuanya, karenanya, adalah setara: kewarganegaraan dalam Islam adalah kewarganegaraan keimanan di mana semua...setara di bawah panji Allah (lihat Signpost, hlm. 25.)

Lalu, bagaimana mewujudkan gagasan Qutb di Malaysia sebagai pelajar Indonesia yang peduli dengan agama dan negaranya? Ini berpulang pada kita. Sebab, kalau kita merujuk pada warna ideologi para kandidat ketua PPIM di kongres PPI di Sintok Kedah, kita akan mendapati beberapa aliran yang berada di belakangknya. Secara sederhana kita bisa menyebutnya golongan konservatif, tradisional, liberal, dan sekuler. Saya rasa kita telah memaklumi hal ini.

Jadi, meskipun masing-masing kandidat mencoba untuk menampilkan dirinya sebagai orang yang independen dan mandiri, ini tak lebih daripada lip service untuk meraup suara. Akhirnya, setelah perhelatan, masing-masing akan bertarung lagi untuk mendesakkan kepentingan kelompoknya ke dalam seluruh kebijakan dan penyusunan struktur pengurus. Ini tidak boleh dinafikan dan harus diterima sebagai keniscayaan. Tak ada yang salah dengan model beginian.

Sekarang, kita tinggal mencoba untuk mengedepankan konsensus minimal (Lihat komunikasi efektifnya Jürgen Habermas) agar sumbangsih kita di sini tidak bersifat ad hoc, sektarian dan primordial. Maukah kita melakukannya?

No comments:

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.