Untuk kesekian kalinya, kami pergi mengunjungi pasar malam Gelugor untuk berbelanja keperluan sehari-hari, seperti lauk-pauk, sayur dan buah (tadi pepaya). Biasanya, kami berangkat ke pasar ini setelah shalat Maghrib. Namun, sekarang waktunya dimajukan sebelum malam. Ya, memang kami akan kehilangan maknanya, sebab pasar itu tidak lagi disebut pasar malam karena hari masih sore.
Mungkin, karena tempatnya dekat dengan kampus, acapkali saya bertemu dengan teman-teman mahasiswa. Hari itu, saya bertemu dengan Marwan dan puterinya, Aisyah. Malah, dari kejauhan saya melihat Dr Hamima Donna, direktur Pusat Kajian Wanita USM, juga sedang berdiri di depan penjual sayuran, tempat kami juga sering membeli kacang panjang, tempe, tahu dan lain-lain.
Sesuatu yang menarik perhatian saya adalah perempuan penjual sayuran yang menggunakan cadar. Hanya kedua biji matanya terlihat. Dia tampak gesit melayani pembeli. Tak ada kesan kikuk. Malah, untuk ketiga kalinya, dia juga dibantu oleh dua orang perempuan yang juga memakai cadar. Biasanya, di sini isteri saya membeli cabe giling. Tebersit di benak, betapa mereka mampu membuat pilihan yang susah dilakukan orang lain, namun pada saat yang sama, mereka justeru melakukan dua hal yang berbeda, satu sisi cadar mengandaikan pemisahan yang tegas antara dunia lelaki dan perempuan, tapi sekaligus mereka mendekatkan dengan menjadi penjual di pusat keramaian.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment