Wednesday, May 12, 2010
Memelihara Tradisi Rakyat
Ternyata tidak mudah memelihara tradisi rakyat. Beberapa pembicara dalam acara di atas mengeluhkan serbuan kebudayaan 'asing' (alien) dalam keseharian anak-anak, bahkan anak mereka sendiri. Namun apa daya, kuasa media telah membuat banyak permainan lama, seperti Galah Panjang, Ting-Ting, Congkak, tak lagi menarik. Anak-anak lebih menyukai permainan PS2, misalnya, dalam menghabiskan waktu luang. Padahal dibandingkan yang terakhir, permainan tradisional itu membuat pemain lebih nyaman karena berada di alam bebas dan melibatkan teman sebayanya, tidak bersifat individual. Apakah ini petanda bahwa pada masa dewasa anak-anak itu makin individualis? Tentu, kita menunggu waktu.
Tak hanya permainan, kebudayaan lagu dan tarian setempat pun juga dapat tempat. Encik Omar Md Hashim menyesalkan Boria makin terpinggir. Tradisi lokal yang berasal dari Persia, Iran, makin menyusut. Dulu di masa kejayaannya, ada 80-an kelompok, namun sekarang 4-5 kelompok yang masih menghidupkannya. Namun, dalam sesi diskusi, praktisi kebudayaan ini berharap bahwa tradisi itu tidak akan musnah dan akhirnya mendekam di musium. Apatah lagi, tokoh-tokoh yang mempertahankan kelestarian warisan tersebut sudah meninggal dunia, seperti Abdullah Darus dan Pak Kan. Ia sendiri berujar akan mewakafkan dirinya untuk meneruskan estafet dan berharap berumur panjang. Kata terakhir ini memantik tawa hadirin.
Selain diskusi, acara pameran juga digelar untuk memperlihatkan pada khalayak mengingat kembali permainan masa dulu, seperti congkak dan getah (karet). Sebagai karnaval tradisi rakyat, acara ini memang tidak melulu bersifat akademik, namun juga hiburan. Untuk itu, ide Prof Azlena, yang mengutip Pattiya Jimreivat, agar permainan tradisional dimasukkan dalam kurikulum sekolah patut disambut gembira. Sebab, nilai-nilai yang bisa ditanamkan dari permainan itu tidak hanya berkait dengan psikomotorik, tetapi juga kognitif, seperti berhitung dan berbahasa. Malah, penyesuaian dengan proses digitalisasi tidak ditampik agar anak-anak masih mengenal permainan generasi sebelumnya.
Permainan galah panjang atau orang Jawa menyebutnya gobak sodor adalah salah satu permainan yang saya lakoni dulu. Di sini, setiap anak tidak hanya harus gesit berlari, tetapi juga diuji kejujurannya. Ia tidak boleh melewati garis dalam menghalang seseorang melewati daerah teritorial yang menjadi tanggungjawabnya. Kadang, kami beradu urat leher untuk menunjukkan tak melanggar aturan. Selain itu, kami juga tak perlu menghabiskan uang untuk permainan semacam ini. Ia hanya memerlukan ruang lapang dan sejumpah pemain. Berbeda dengan permainan sekarang, seperti PS, yang memaksa anak-anak untuk duduk, tak bergerak dan menguras kocek mereka. Kalaupun di rumah para orang tua menyediakan perkakas ini (gadget), ia juga menyedot arus listerik, yang tentu melonjakkan tagihan bulanan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tasawuf
Kala malam datang, mahasiswa belajar tasawuf. Ia seakan-akan menjelaskan "litaskunu ilaiha" mendapat kepahaman lebih luas, tenang ...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment