Oleh Ahmad Sahidah
Selama November 2007, Malaysia rusuh dua kali. Demonstrasi jalanan yang ditabukan selama ini runtuh. Pada 10 November 2007, pihak oposisi (di sana disebut pembangkang) bersama sejumlah LSM (lembaga swadaya masyarakat) turun ke jalan untuk menyerahkan petisi kepada Raja Agung yang berisi tuntutan pemilu bersih. Bisa ditebak, kebanyakan media "menyudutkan" peserta aksi dan menggiring opini bahwa aksi jalanan itu mengganggu ekonomi dan ketertiban.
Untuk yang kedua, rakyat di sana kembali tumpah ke jalan. Unjuk rasa tersebut diluahkan komunitas Hindu yang "menuntut" nasibnya diperhatikan oleh negara. Lagi-lagi, media cetak dan elektronik mainstream mendiskreditkan mereka. Itu tampak dari judul halaman depan surat kabar, seperti Perhimpunan Bertukar Ganas (Utusan), Penyokong Hindraf Ganas (Berita Harian), Defiance (New Strait Times), dan Show of Defiance (Star).
Tidak hanya judul yang sumir, tetapi juga gambar yang ditampilkan menunjukkan demonstran bertindak keras dengan melemparkan batu dan merusak marka jalan, serta memperlihatkan seorang polisi menderita luka di kepala. Hanya Star (yang dikuasai komunitas Tionghoa) yang "memperlihatkan" gambar polisi dari belakang sedang bergerak menghalau demonstran.
Kebetulan juga, saya sempat menonton liputan di TV3 (sebuah TV swasta terkenal yang dimiliki sejumlah orang yang dekat dengan pemerintah) yang menempatkan sebagai berita utama. Lagi-lagi sudut pengambilan gambar hanya mempertontonkan tindakan anarkisme, tanpa memberikan pemberitaan yang seimbang dari demonstran. Bahkan, wartawan TV bersangkutan mewawancarai nara sumber yang mengeluhkan demonstrasi karena mengganggu dunia bisnis.
Tentu saja, suara resmi pemerintah, yang disampaikan Wakil Perdana Menteri Najib Tun Razak, menyesalkan aksi turun jalan oleh masyarakat. Yang mengkhawatirkan jika peristiwa itu akan memantik isu hubungan etnik. Itu wajar karena ada beberapa kasus kerusuhan yang melibatkan etnik Melayu dan India, meskipun dalam konteks yang berbeda.
Akar Masalah
Secara umum, negara jiran mengakomodasi praktik demokrasi. Namun, para pengamat politik melihat itu sebagai semu. Meskipun komposisi pemerintah mencerminkan keragaman masyarakat, yaitu Melayu, Tionghoa, dan India, itu tidak lebih sebagai kompromi untuk melestarikan kekuasaan oligarki.
Dalam kenyataan sehari-hari, banyak didapati kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kaum Melayu. Dua etnis lain merasa diperlakukan tidak adil. Namun, kaum Tionghoa tidak banyak tingkah karena mereka yang menguasai perekonomian. Sementara kaum India merasa dipinggirkan, sebagaimana dinyatakan secara terbuka pada demonstrasi pada 25 November 2007.
Jika kita melihat pernyataan pemerintah dan gambar-gambar di media yang menunjukkan kedekatan ketiga etnik dalam beberapa acara politik (Barisan Nasional), mungkin ini tidak perlu mendapatkan apresiasi yang lebih. Sebab, setiap hari pemandangan semacam itu mengisi berita di media. Namun, jika kita melihat langsung kehidupan nyata, ketiga etnis tersebut hidup secara terpisah, bahkan meskipun berada dalam satu ruang yang sama.
Pengalaman saya di kampus menegaskan hal tersebut. Mereka hidup berkelompok. Sebab, tidak ada entitas yang bisa menyatukan. Perbedaan etnis sekaligus mengandaikan perbedaaan bahasa dan agama. Secara sambil lalu, saya merekam sikap teman-teman Melayu yang memandang Tionghoa adalah pendatang, bukan warga Malaysia, dan kaum India adalah warga kelas kedua yang mengganggu kehidupan agamanya karena banyaknya tempat ibadah mereka yang tidak mendapatkan persetujuan masyarakat.
Harapan Kita
Tentu saja, kita berharap agar pertengkaran pemerintah dan masyarakat tidak semakin luas dan cenderung anarkis. Semestinya, mereka bisa duduk bersama. Ketegasan pemerintah melarang rakyat turun ke jalan adalah berlebihan. Sebab, Malaysia berdiri karena dulu warganya turun ke jalan juga menentang Malaya Union bentukan Inggris. Kesan bahwa aksi jalanan dan keterbukaan hanya mendatangkan keadaan tak terkendali acapkali muncul di halaman surat kabar. Tak jarang, mereka menyebut Indonesia yang justru tidak sejahtera dengan reformasi. Saya sering menemukan pernyataan semacam itu. Padahal, para akademisi di sana menuntut pemerintah untuk membuka keran demokrasi, yaitu akses informasi yang tidak dikekang.
Keterbukaan itu penting karena juga menyangkut nasib warga negara Indonesia yang sering berurusan dengan aparat di sana. Banyak kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipetieskan dan tidak bisa diakses publik secara lebih seimbang. Wajah warga kita di surat kabar lokal tampak murung dan nelangsa karena dianggap pembuat onar.
Pernyataan Abdullah Badawi terbaru, perdana menteri Malaysia, (Jawa Pos, 3/12/2007) bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk menyejahterakan rakyatnya, tanpa diskriminasi, mudah-mudahan merupakan pernyataan tulus yang mempunyai dampak pada makin terbukanya akses informasi di negeri tetangga.
Ahmad Sahidah, kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia
Wednesday, December 05, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...