Wednesday, March 01, 2006

Kebenaran dan Metode



Buku terjemahan saya berjudul Truth and Method yang diterbitkan Pustaka Pelajar dibuat resensinya di http://www.mediaindo.co.id/resensi/details.asp?id=65

Debat Kritis tentang Imanensi Fenomenologis

Oleh: Syafruddin Azhar


Judul buku : Kebenaran dan Metode
Judul asli : Truth and Method
Penulis : Hans-Georg Gadamer
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edisi : 2005
Tebal buku : xxix + 676 hlm

"Bahasa bukanlah konvensionalismenya yang rumit, juga bukan beban praskematisasi yang membebani kita. Tetapi, bahasa adalah kekuatan generatif dan kreatif yang tanpa henti membuat keseluruhan ini mengalir. (Hans-Georg Gadamer, 1975)

TOPIK hermeneutika merupakan fenomena paling menarik bagi para ilmuwan dan teoretikus modern sekarang ini. Istilah ini dalam historisitasnya berasal dari akar kata Yunani hermeneuein (menafsir) dan hermeneia (tafsiran). Dalam mitologi Yunani, istilah ini identik dengan sosok Dewa Hermes yang bertugas menghubungkan pesan dari Dewa Jupiter kepada manusia. Akan tetapi, pesan tersebut harus ditafsirkan terlebih dahulu oleh si pembawa pesan sebelum disampaikannya kepada manusia. Berawal dari mitologi ini, secara tersirat terkandung unsur penting perilaku menafsir, yakni menjelaskan dan menerjemahkan.

Pada abad ke-19, hermeneutika dianggap sebagai prinsip dasar penafsiran segala bentuk teks sebagai metode khusus dalam ilmu humaniora. Kemudian menjadi kerangka berpikir baru kefilsafatan sejak Martin Heidegger (1889-1976) dan Hans-Georg Gadamer (l. 1900), filsuf terkemuka Jerman. Perjalanan waktu ini menjadikan pengertian di balik istilah “hermeneutika” terus bermetamorfosis dengan kemajuan ilmu pengetahuan (sains).

Kajian utama karya monumental Gadamer ini Kebenaran dan Metode (Truth and Method), hanyalah pengertian mutakhirnya saja sebagai ajang untuk membawa pembaca ke dalam semangat berpolemik. Hans-Georg Gadamer ingin menantang secara konstruktif metode empiris untuk memasuki wilayah humaniora yang diulas secara kritis-estetika modern dan teori pemahaman historis dari perspektif Heideggerian, juga merupakan sebuah hermeneutika filosofis yang bersandarkan pada ontologi bahasa.

Kajian ini menaruh perhatian pada masalah hermeneutik. Fenomena pemahaman dan penafsiran yang benar terhadap apa yang dipahami bukan hanya merupakan masalah yang cocok bagi metodologi ilmu pengetahuan manusia. Untuk waktu lama, ada hermeneutika teologis dan hukum, yang secara teoretis tidak banyak berkaitan dengan, dan merupakan bantuan bagi, aktivitas praktis seorang hakim atau pendeta yang telah menyelesaikan pendidikan teoretisnya. Dari asal usul sejarahnya, masalah hermeneutika melampaui batas-batas konsep tentang metode yang telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan modern. Pemahaman dan penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmu pengetahuan, tetapi jelas merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia.
Fenomena hermeneutik pada dasarnya juga bukan sebuah metode. Hermeneutika tidak berkaitan dengan metode pemahaman, yang dengan memakai metode tersebut teks diungkap melalui penyelidikan ilmiah seperti semua objek pengalaman yang lain. Ia tidak semata-mata berkaitan dengan pengumpulan pengetahuan yang telah disahkan untuk memuaskan ideal metodologis ilmu pengetahuan, namun hermeneutika juga berkaitan dengan pengetahuan dan kebenaran. Dalam memahami tradisi tidak hanya dengan memahami teks, tetapi wawasan juga harus diperoleh dan kebenaran harus diakui. Tetapi jenis wawasan dan kebenaran apa?
Di hadapan ilmu pengetahuan modern (sains) yang mempunyai posisi dominan dalam penjelasan dan pembenaran filosofis terhadap konsep pengetahuan dan kebenaran, pertanyaan seperti ini tampaknya tidak sahih. Namun pertanyaan ini tidak dapat dihindari, bahkan di dalam ilmu pengetahuan sekalipun. Fenomena pemahaman tidak hanya mencakup semua hubungan manusia dengan dunianya. Ia juga mempunyai kesahihan tersendiri dalam ilmu pengetahuan dan mempertahankan setiap usaha untuk mengubahnya ke dalam metode ilmu pengetahuan. Penyelidikan yang dilakukan di dalam buku karya Gadamer ini dimulai dengan perlawanan di dalam ilmu pengetahuan terhadap klaim universal metode ilmiah. Penyelidikan ini mempunyai perhatian untuk mencari pengalaman kebenaran yang melampaui ruang kontrol metode ilmu pengetahuan di manapun ia ditemukan, dan menyelidiki legitimasinya.

Buku Gadamer ini bersifat fenomenologis di dalam metodenya. Ini tampak paradoksikal sebagaimana juga kritisisme Heidegger terhadap persoalan transendental dan pemikirannya tentang bentuk ‘pembalikan’ dari dasar perlakuan Gadamer terhadap masalah hermeneutika universal. Namun Gadamer melihat bahwa prinsip pemaparan fenomenologi dapat diterapkan pada penggunaan Heidegger ini, yang akhirnya menunjukkan masalah hermeneutik. Karena itulah, Gadamer menyebutnya sebagai "masalah imanensi fenomenologis."

"Kebenaran dan metode" adalah sesuatu yang terus mengembang dalam relasi horizontal-vertikal yang penuh kontradiksi dan paradoks. Dalam kerangka pemikiran filsafat strukturalisme the endless play-nya Jacques Derrida (1930-2004), manusia dalam memahami realitas selalu hanya pada aspek tertentu yang terus saja bermunculan tanpa akhir. Untuk mencapai kebenaran dalam konteks konstelasi penafsiran, seorang hermeneutis harus lari dari cengkeraman metode untuk kemudian menceburkan diri di tengah pusaran dialektika. Menurut Gadamer, dipergunakannya metode justru merintangi kebenaran; sedangkan dialektika tiada henti mengumpulkan serpihan kebenaran itu hingga akhirnya menjadi "bulat dan utuh."
Kajian tentang subjek tertentu yang ada di sini juga menggagas kemungkinan teori hermeneutika berbasis fenomenologi seperti yang dilakukan Heidegger. Gadamer secara eksplisit menjadikan analisis Heidegger tentang prastruktur pemahaman dan historisitas intrinsik keberadaan manusia sebagai fondasi dan titik awal analisisnya tentang kesadaran sejarah. Gadamer mengasumsikan dialektika yang didasarkan pada struktur keberadaan sebagaimana dijelaskan pada prastruktur pemahaman dalam karya Heidegger, Sein und Zeit (1927) atau Being and Time (1962). Heidegger memasuki masalah hermeneutika dan kritisisme historis hanya untuk mengembangkan, demi tujuan ontologi. (hlm. 321)

Rekonsepsi pemahaman radikal Heidegger dalam pemikiran Gadamer digiring ke dalam ekspresi yang sistematis. Konsepsi hermeneutika yang lama sebagai basis metodologis, khususnya ilmu humaniora (Geisteswissenschaften), telah ditinggalkan. Status metode itu sendiri menjadi dipertanyakan karena Gadamer mengulasnya sebagai suatu ironi: metode bukanlah cara menuju kebenaran. Sebaliknya, kebenaran menegasikan manusia yang metodis.
Sekalipun demikian, Gadamer tidaklah bersifat anti-metodologis. Ia berargumen bahwa pretensi metodologi apa pun (positivistik atau bukan) adalah "buta" kalau memandang dirinya sebagai epistemologi, yakni menghilangkan syarat kebenaran (the true) menjadi syarat yang benar (the right) dari sebuah aplikasi teknik. Gadamer menilai karya monumentalnya ini sebagai upaya dalam memenuhi aspirasi metodologi yang terdalam. Di bawah metode ini, ia ingin menjelaskan syarat mendasar bagi munculnya kebenaran yang bukan sekadar suatu teknik tentang sesuatu yang dilakukan subjek, melainkan sebagai akibat dari sesuatu yang "terjadi tanpa kemauan kita dan sesuatu yang terjadi di luar tindakan kita."

Kajian filosofis yang cerdas dan mendalam dalam buku Kebenaran dan Metode ini hanya dapat disejajarkan dengan dua karya monumental lainnya tentang teori hermeneutika yang ditulis pada abad ke-20 karya Joachim Wach, Das Verstehen, dan karya Emilio Betti, Teoria Generalle della Interpretazionne. Karya monumental Betti mencakup lintas wilayah disiplin interpretasi bagi ilmu humaniora. Dengan dipublikasikannya karya Gadamer ini menjadikan teori hermeneutika memasuki suatu fase baru yang penting. Ia telah berjasa dalam menemukan problem filosofis pengembangan ontologi baru peristiwa pemahaman.

Apa yang menarik dari buku ini? Membaca buku karya Gadamer ini memang membutuhkan keseriusan dan ketekunan ekstra mengingat apa yang disajikan dalam buku ini termasuk salah satu topik yang cukup berat dan serius. Kendati demikian, buku ini memberikan nuansa baru dalam berpikir rasional melalui filsafat hermeneutika pada ontologi bahasa. Gadamer tampaknya ingin kembali pada eksistensi humanisme, yakni rasionalitas.

Melalui buku Kebenaran dan Metode ini, Gadamer mengangkat tema kritis terutama tentang kesadaran hermeneutik yang harus dijaga. Ia menyadari klaim superioritas yang dibuat oleh pemikiran filosofis mempunyai sesuatu yang samar dan tidak real. Kesadaran ini mengonfrontasikan kehendak manusia yang lebih dari sekadar memperdalam kritisismenya terhadap apa yang hilang sebelum hal itu menjadi utopian atau kesadaran eskatologis, dengan sesuatu yang berasal dari kebenaran ingatan: "Apa yang masih dan juga nyata."
Karya genius filsafat hermeneutika ini dapat dijadikan sebagai penampakan pengaruh yang kuat dari analisis pemahaman ontologi Heidegger. Akan tetapi beberapa bidang lain perlu dieksplorasi mengenai signifikansi teori hermeneutika. Misalnya, filsafat bahasa, analisis logika, teori informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (orasi).

Gadamer melakukan penjelajahan intelektual pada tataran filosofis dan teoretis yang membongkar hingga ke dasar substansinya. Dengan paparan bernas, Gadamer mencoba mengklarifikasi tema interpretasi hermeneut-ekspresivist melalui debat kritis estetika kontemporer beserta segenap kritikannya yang menukik dan cerdas. Dengan demikian medan jelajah buku Kebenaran dan Metode ini berada dalam dataran filsafat, politik, bahasa, sains, seni, dan kajian ilmu humaniora dengan penekanan khusus pada "filsafat hermeneutika" sebagai kerangka konseptual sekaligus metode analisisnya.

Tak dapat dipungkiri gaya penuturan Gadamer dalam buku ini memang memesona walau dalam tataran khazanah filsafat yang njlimet. Ia menyumbangkan pemikirannya yang reformatif dan progresif. Namun demikian, ada satu keterbatasan sebagaimana dalam karya terjemahan umumnya, pembaca kadang tersandung oleh deretan kata atau kalimat yang tidak jelas konsepnya. Ini rupanya tak dapat dihindari karena bahasa adalah ekspresi perasaan dan pikiran penerjemahnya. Mungkin juga perbedaan budaya, ide, dan cita rasa. Karena itu, kajian filsafat seperti ini erat kaitannya dengan ontologi bahasa. Sebagaimana dikatakan Gadamer dalam buku ini (hlm 660), bahwa bahasa adalah kekuatan generatif dan kreatif yang tanpa henti membuat keseluruhan ini mengalir.

Pertanyaan mendasarnya adalah seberapa jauh aspek pemahaman itu sendiri dan linguistisitasnya dapat dicapai? Bisakah ia mendukung rujukan filosofis umum di dalam proposisi, "Apa yang bisa dipahami itu adalah bahasa?" Sejatinya, universalitas bahasa membutuhkan sebuah kesimpulan metafisik yang tak dapat dipertahankan bahwa ‘segala sesuatu’ hanya bahasa dan peristiwa bahasa? Benar, referensi yang jelas terhadap yang tak bisa salah tidak dengan sendirinya memengaruhi universalitas bahasa.

Debat kritis tentang imanensi fenomenologi yang njlimet, namun penuh daya pikat ini diungkapkan secara menarik oleh Gadamer. Buku Kebenaran dan Metode yang diterjemahkan dari edisi Inggris ini dinilai kontroversial di kalangan ahli filsafat hermeneutika Jerman.©

Syafruddin Azhar, pengamat perbukuan dan editor sebuah penerbit di Jakarta.

Lalu, saya menimpali dalam 'ruang' tanggapan:

Saya, sebagai penerjemah buku ini, mengungkapkan terima kasih karena resensi ini telah mencerminkan apa yang dikatakan gadamer bahwa memahami teks adalah sekaligus menafsirkan. Lebih jauh lagi, penafsiran itu dibatasi oleh situasi diri sang penafsir, namun demikian ada makna yang bisa dimiliki bersama, atau dalam bahasa Gadamer disebut dengan die sache.

Peresensi menambahkan:

Terjemahan buku ini menurut hemat saya cukup baik. Namun demikian, karena perbedaan persepsi dan kultur penulisnya, tentu terdapat distorsi makna yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini. Saran saya, penerjemah setidaknya dapat memilih pilihan kata sesuai dengan maksud penulis, dan sebisa mungkin mengurangi persepsi atau penafsiran. Dengan demikian, walaupun buku-buku filsafat berkesan njlimet dan 'berat' akan menjadi menarik dan 'enteng' untuk dibaca oleh banyak kalangan (awam dalam bidang filsafat sekalipun). Saya perlu menyampaikan di sini bahwa penerjemah buku ini cukup teliti dan berhati-hati dalam menrik suatu persepsi atau penafsiran pikiran Hans-Georg Gadamer.
(Syafruddin Azhar-peresensi buku ini)

2 comments:

mufli said...

Hai Ahmad,
Apa kabar? tulisannya Oke
Msh ingat saya?
IIE

Ahmad Sahidah said...

Baik, Mbak.

Semoga sehat dan sejahtera selalu.

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.