Mereka hampir-hampir menjalani hidup dengan tertib. Bahkan untuk berhari raya, para pahlawan devisa itu menggunakan angkutan dari tempat bekerja, seakan-akan keterikatan mereka pada pabrik begitu kuat. Namun, tak ada wajah muram ketika mereka merayakan hari lebaran, terserlah dari senyum menyungging dan berpose untuk sebuah gambar di depan lambang garuda yang ditempel di tembok rumah wakil RI di Pulau Pinang. Satu sama lain saling memejet tombol kamera untuk mengabadikan peristiwa setahun sekali.
Ternyata, keperluan kita sama saja, keinginan untuk dipandang oleh liyan. Perbedaan status luruh menjadi identitas tunggal, warga negara yang sedang merayakan hari kemenangan. Kita setara di hadapan yang lain, meski tak dapat dielakkan status itu masih bertahan, konsul berdiri di belakang imam dan yang lain mengikuti di barisan samping dan belakangnya, demikian pula, khalayak tetap bersabar untuk menanti giliran bersalaman dengan orang nomor satu di konsulat. Hierarki masih berjalan, meski mereka berada di suasana fitri, sebuah keadaan paling asali dari manusia yang hanya membawa ruh dan raga yang sama, tak berbeda.
2 comments:
wah... saya ada di salah satu kerumunan itu pak...
hehehe...
Terima kasih, semoga pas Idul Adha kita bisa berjumpa, bertukar cerita.
Oktober depan, saya pulang ke Sumenep, melalui Surabaya.
Post a Comment