Tuesday, July 22, 2025

Filsafat Bahasa dan Kita

Ada sebuah ide, di mana seseorang dapat menentang Prinsip Marsian: Wittgenstein mengungkapkannya dalam "Investigations" §136:

Apa itu proposisi, dalam satu arti ditentukan oleh aturan-aturan pembentukan kalimat (dari bahasa Jerman, misalnya) dan dalam arti lain oleh penggunaan tanda tersebut dalam bahasa Jerman — dan karenanya, ia termasuk dalam konsep kita tentang proposisi benar dan salah. Kita juga dapat mengatakan bahwa check (periksa atau skak) termasuk dalam konsep kita tentang permainan catur. Mengatakan bahwa check tidak sesuai dengan konsep kita (misalnya, dengan mengatakan bahwa tidak jelas bidak mana yang diperiksa, atau bahwa permainannya terlalu rumit atau membosankan, atau bahwa semua bidak telah kalah) berarti bahwa permainan itu, secara begitu-begitu, tidak lagi merupakan bagian dari jenis permainan catur.

Apa kaitannya dengan agama?

Kebenaran tidak hanya bergantung pada proposisi atau doktrin, tetapi pada cara hidup, ritual, dan keyakinan bersama. Dalam istilah Wittgenstein, agama adalah salah satu bentuk "language-game" yang kaya dengan aturan makna tersendiri. Jadi, menilai agama dari luar — dengan kriteria sains atau logika formal — seperti mencoba memahami catur sambil menolak seluruh aturannya. Kesimpulannya, dalam ibadah kita sedang mengatur langkah sesuai aturan yang ada di dalamnya. Bila ia hadir dalam sunyi, kita tak lagi memerlukan bidak.
 

Sunday, July 20, 2025

Mengubah Hidup dengan Jalan Kaki

Inilah buku yang menggedor dan mengguncang. Berbeda dengan dua bacaan sebelumnya, Climbing: Philosophy for Everyone dan Food Philosophy: Eat, Think, and Be Merry, yang berbicara isu naik gunung dan makanan secara filosofis. Selain belum pernah mendaki gunung dan abai pada keasyikan kuliner, saya pernah mengalami jalan kaki sejak kecil. Ketika mengunjungi keluarga bapak yang tinggal di atas bukit, kami menggunakan tungkai untuk sampai ke sana. Tiba-tiba buku ini memaksa saya untuk memindai kembali kisah perjalanan yang lain.

Saya acapkali menghela napas, berhenti sejenak, untuk memahami satu kalimat. Seakan-akan satu ayat (sebutan jiran untuk kalimat) bisa berdiri sendiri. Lagipula, kutipan terhadap aforisme Nietzsche memungkinkan satu proposisi mengandaikan satu pandangan yang mendalam. Ia hadir untuk membayangkan satu ilham. Tak pelak, buku ini dimulai dengan tulisan penulis Gay Science, “Duduklah sesedikit mungkin, jangan percaya ide apapun yang tidak lahir dari udara terbuka dan gerakan kaki yang bebas!”

Menariknya, karya ini dikategorikan sebagai “self-improvement”, seakan-akan tak ubahnya buku “how to” yang populer. Belum lagi, di sampul buku, pembaca akan bersirobok dengan bujukan berupa temukan 25 rahasia yan bisa membuatmu keluar dan berjalan kaki setiap hari. Plus cara-cara sederhan yang membuatmu semakin kreatif, bahagia, dan tidak stres. Betapa ajakan ini menyederhanakan ikhtiar para filsuf yang berusaha menemukan kebenaran dengan ritual jalan kaki.

Jelas, nama-nama pemikir yang dijadikan model bukan orang sembarangan. Nietzsche, Rosseau, Rimbaud, Nerval, Thoreau, Kant, dan Gandhi telah ditabalkan sebagai sosok yang mewarnai dan mengilhamkan banyak orang dalam pelbagai aspek kehidupan. Lalu, dengan menjadikannya teladan bagi orang ramai adakah usaha mereka tak ubahnya nasehat yang bisa dilakukan begitu saja, padahal mereka melakukannya dengan mengorbankan jiwa dan raga. Pendek kata, mereka berdarah-darah untuk mewujudkannya.

Jalan kaki selama ini dipandang tak lebih pergerakan tungkai. Padahal, kegiatan ini mendorong pejalan untuk berdiri di suatu tempat di bawah cerahnya langit dan permainya pemandangan. Dari sini, petualangan bermula. Pelaku tak lagi sekadar mengayunkan langkah, tetapi hendak menemukan dirinya setelah meninggalkan rumah, jati diri, pekerjaan, status, dan lain-lain. Artinya, di depan sana, ada pilihan lain yang menuntunnya pada kebaruan. Kebebasan telah dirayakan sepenuhnya (Bagian 2).

Baru di bagian ketiga, kita akan menyelusuri kisah hidup Nietzsche. Filsafat tak lagi hadir dalam teori, tetapi kisah kehidupan sang filsuf. Betapa gagasan dan narasi tiba-tiba menganga. Pemikir dari Jerman ini dikenal sebagai pejalan kaki yang luar biasa. Ia menyebutnya tentang kegemaran merayau di banyak tempat. Hidupnya seakan-akan cermin dari kakinya yang sering melangkah, meninggalkan kemapanan. Tak pelak, hidupnya adalah retakan, perpecahan, keputusasaan, dan kesendirian dari dunia, sahabat, kolega, istri, teman, dan relasi (hlm. 16).

Namun dari kehidupannya yang berantakan, Nietzsche melahirkan karya yang mempengaruhi banyak pemikir sesudahnya. The Dawn of the Day (1881), On the Genealogy of Morality (1887), The Gay Science (1882), Beyond Good and Evil, dan Zarathustra menampilkan gagasan-gagasannya yang lahir dari pengembaraannya. Dari kesendirian, ia menjadi petapa dan berjalan kaki sepuluh jam setiap hari. Adakah sarjana masa kini yang akan melakukannya?

Pejalan lain yang digambarkan dengan mendebarkan di sini adalah Arthur Rimbaud. Karena hidup dengan berjalan kaki, dalam Surat dari Aden (3 Mei 1884), filsuf Perancis ini menulis bahwa aku tidak bisa memberimu alamat untuk membalas surat, karena aku sendiri tidak tahu di mana aku akan tinggal, lewat rute mana, dan menuju ke mana, mengapa dan bagaimana! Duh, orang masa sekarang tentu tak bisa melakukannya karena ia berkepit dengan telepon pintar. Siapapun bisa menghubungi dan menemuinya melalui media sosial.

Itulah mengapa kita perlu menyoal peruntukan buku ini. Tak semua orang bisa melakukan perjalanan ala Nietzsche, Thoreau, dan Rosseau yang menyebabkan mereka ditolak oleh banyak orang. Bayangkan, saat berjalan kaki, Anda harus menemukan irama dasar Anda sendiri dan mempertahankannya. Dengan demikian, Anda tida merasa lelah  dan dapat mengayunkan tungkai selama 10 jam. Kini, sepeda motor telah makin memanjakan orang banyak untuk tak lagi menikmati jalan kaki.

Tak mudah mencangkokkan pandangan Thoreau ke dalam benak orang ramai. Ketika berjalan kaki, pejalan tidak sendirian. Ladang, rumah, hutan, jalan setapak berada dalam kekuasaan pejalan. Setelah itu, kita akan merasa bahagia. Melihat, mendominasi, dan memandang itu, berarti memiliki. Dalam konteks ini, kepemilikan tidak direpotkan dengan dokumen resmi. Adakah khalayak mudah merasakan hal demikian?

Malah, berjalan kaki yang menjadi kebiasaan Immanuel Kantpun tak mudah ditiru. Meskipun penulis The Critique of Pure Reason ini tidak pernah bepergian jauh, tetapi filsuf kelahiran Rusia tersebut dikenal sebagai pejalan kaki dari rumah ke taman secara teratur. Karena begitu tertib, orang menyebutnya “jam Kรถnigsberg”. Betapa kegiatan jalan kaki mengubah hidup seseorang dan banyak orang. Tentu, yang terakhir ini terjadi pada mars yang dilakukan oleh Gandhi sebagai protes terhadap pajak garam oleh Inggris. Tokoh Satyagraha ini berjalan ratusan kilometer bersama pengikutnya. Jadi, untuk mengubah hidup Anda, jalan saja dulu! []

Judul buku    : A Philosophy of Walking: Filosofi Jalan Kaki
Penulis          : Frederic Gros
Penerbit         : Renebooks
Cetakan         : Pertama, 2020
Tebal              : 273 Halaman


 

Panopticon dan Foto Kita

Media menyunting realitas dengan "membingkai" pengalaman yang dilalui sebagai sebuah kisah atau gambar yang terpadu. 

Bukankah bingkai foto kita di media sosial telah diedit? Mungkinkah ia menyodorkan apa adanya? Kata buku ini, tidak. Ia ingin hadir sesuai dengan apa yang ingin dilihat oleh orang lain.

Oh ya, lagu latar ini pertama kali saya dengar kala belajar bahasa Inggris pada Rob Baedeker di Pondok Annuqayah. Kami memerisa bahasa asing melalui nyanyian. Seronok!

 

Saturday, July 19, 2025

Mengeja



Anak ini mengeja judul buku dengan perlahan. Betapa senang kami mendengarnya. Si ibu berusaha keras agar murid kelas 1 ini bisa membaca. Mainan huruf, nugget aksara, buku Plants vs Zombies, dan papan tulis dibeli agar penyuka lagu Rhoma tersebut mampu mendaras. 

Ternyata, rasa ingin tahu itu semakin dipicu setelah teman-teman sekelasnya bisa membaca. Ternyata, setiap anak menemukan jalan literasinya sendiri. Kami memastikan agar setiap malam penyuka Dinosaurus mau membaca Plants. Akhirnya ia menamatkan beberapa serial dari bacaan ini.

Kini, ia lebih sering memelototi gawai dan bermain gim secara online dengan teman-temannya. Setidaknya, sekali-kali ia mau mengaji dan bersembahyang bersama di masjid kampung. Tentu, kegiatan main bola dan bulutangkis adalah aktivitas yang membuat kami gembira. Lingkungan turut membentuk kebiasaan anak-anak. 

Wednesday, July 16, 2025

Bermain Bola

Kemarin, Zumi bilang bahwa ia mau membawa bola ke sekolah. Hari ini, penyuka Neymar tersebut menggocek si plastik bundar bersama-bersama kawan-kawannya. 

Meskipun panas karena matahari hampir berada di atas kepala, mereka tampak bersemangat. Ini mengingatkan kami dulu waktu kecil di kampung halaman. Saya dan teman-teman sering melakukan hal serupa, bahkan sekali waktu bermain di waktu malam kala bulan purnama di halaman madrasah. 

Inilah salah satu kegiatan yang mendatangkan keriangan pada murid. 
 

Membaca Buku

 Saya dan istri duduk di depan pasar mini sambil menikmati kue setelah jalan  kaki di alun-alun Kraksaan. Udara pagi yang segar menjadikan kami tampak bugar. Ada banyak orang yang juga mengayunkan tungkai kaki mengelilingi ruang yang membatasi rumah dinas bupati dan kantor pemkab.

Di sini, saya memeriksa kembali karya Henry Giroux. Katanya, kewarganegaraan kini dikaitkan dengan tindakan membeli dan menjual komoditas (termasuk calon wakil rakyat), bukan memperluas kebebasan dan hak-hak rakyat. Apa fenomena yang sama juga terjadi negeri kita?

Kita perlu daya ungkap baru agar nilai demokrasi bisa dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, politik adalah ajang 5 tahunan di mana uang dijadikan alat tukar untuk dapat dukungan. Meskipun demikian, ada segelintir pemimpin yang tidak merogoh kantong untuk mendapatkan sokongan.

Thursday, July 10, 2025

Buku Teks

Barusan kami mengambil buku pelajaran Zumi. Ia dan kawan-kawan membelinya dari sekolah. Tadi, kami bertemu dengan banyak orang tua yang juga membantu anak-anaknya mendapatkan bahan pelajaran. Di kelas lima, si bungsu akan belajar dan bermain dengan menimbang kesadaran agama, sehat, budaya lokal, dan teknologi. Kita tentu senang dengan ketetapan sekolah untuk menyelaraskan pembelajaran dengan kebiasasan sehat, ramah pada budaya, taat beragama dan tidak gagap teknologi.

Lalu, apakah pedagogi sekolah kita berada di garis konservatif, liberal, atau kritis?

 


Wednesday, July 09, 2025

Renungan

Dulu, kita tak mudah dapat mainan dan memilih berenang di sungai atau menggocek bola plastik. Untuk mendapatkan mobil-mobilan, kita bisa mengubaisuai bekas bungkus rokok dan membuat ban dari sandal yang dibuang.

Kini, mainan pabrikan mudah ditemui di warung, dan lapak belanja daring. Namun, kala lihat anak-anak kampung memancing di sawah, masa kecil berpendaran. Apa yang alamiah adalah berkah.

Duh, Raja Pop? Dulu, secara latah saya mengenalkan diri sebagai Ahmad Jackson ketika ditanya Pak Akib di acara Pramuka. Lagu-lagunya dikenal oleh remaja yang sekolah ke kota. Black or White menguncang selera musik warga, tanpa saya tahu makna terdalam dari nyanyian ini. 

Kini, dua kata ini bisa ditukar dengan lema apa saja untuk menegaskan identitas usah menutup hakikat bahwa kita adalah manusia yang sama dan setara. Budayalah yang menciptakan tanda, apakah kelas, keyakinan, dan kedudukan. Dalam sunyi, jati diri hadir.

Dalam kerumunan, setiap orang bersolek. Aneh, ia perlu pengesahan dari liyan. Padahal, apa pun yang kita lakukan acuannya adalah rasa nyaman. Menyiksa diri agar tampil sesuai keinginan khalayak adalah celaru. Pelik, kita sering menggelorakan kesejajaran seraya menyebut pesan simbolik ihram haji, tetapi pulang kita merayakan kebedaan.

 

Identitas

Zumi: Why do we stay here, not in Malaysia? Tiba-tiba, si bungsu bertanya setelah kami bermain badminton dan menyusuri selokan untuk melihat ikan. 

Jati diri Arab mitos, itu kata Musa Kazhim. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Hakikatnya, kini batas-batas runtuh. Dunia dilipat. Tetapi, secara administratif, kita harus memiliki kartu pengenal. 

Bahkan, sejatinya identitas itu juga politik. Cukup dengan naturalisasi, meskipun tak fasih berbahasa Indonesia, seseorang bisa memakai kaus Garuda. Lagi-lagi, lambang yang terakhir itu juga mitologi. Aha!

Mari berhitung seberapa Indonesiakah kita? Saya memulai dengan menikmati lagu Indonesia Rhoma Irama. Kata Bang Haji hijau merimbuni daratannya. Kini, tanah kita di sana sini gundul. Negeri kita hilang. Ia hanya ada di slogan.

 

Tuesday, July 08, 2025

Diskusi buku "The Gene"Siddharta Mukherjee.

Bedah buku ini tidak menampilkan satu atau dua pembicara, tetapi memberikan kesempatan pada peserta untuk berbagi pandangan. Misalnya, Faisal dengan latar Kimia, Agus dengan Psikologi, dan Carissa lulusan dokter gigi menyuguhkan gagasan sesuai dengan latar belakangnya. Pesertanya adalah warga Indonesia yang tinggal di banyak tempat, seperti Jakarta, Yogyakarta, Maroko, Doha, dan Singapura.
Aslam melihat bahwa ada kecenderungan orang berpikir kategoris, hanya berdasarkan satu disiplin tertentu. Dengan memahami genetik secara biologis, pembaca bisa mengandaikan implikasi etis dan politis, misalnya obat tertentu bisa cespleng untuk ras ini dan itu. Dengan demikian, soal tubuh tidak hanya dilihat dari satu ilmu, tetapi juga disinggung oleh pengetahuan yang lain.
Pendek kata, gagasan besar Amin Abdullah tentang kajian agama secara multidisiplin mendapat tempat dan pada gilirannya dalam menyelesaikan masalah bersifat multidimensi, sehingga dalam pengambilan keputusan tidak bias. Lalu, bagaimana dengan vaksin? Sama saja, suntikan itu juga mengandaikan orang yang diuji klinis sebelumnya.
Saya sendiri menyodorkan soal bagaimana tentang meramalkan masa depan dari gen - dan kemudian mengubah takdir melalui manipulasi genetik? (hlm. 417) Jelas, kehadiran sains menantang pandangan Akidah atau Teologi tentang nasib manusia. Jadi, perdebatan tidak hanya soal aliran-aliran kehendak bebas ("free will") dan determinisme dalam narasi yang beku.

 

Diskusi Pagi

Biyya, kerelaan suami menjadi jalan bagi isteri untuk masuk surga. Ia menjawab, "It must be equal between husband and wife".

"Equality" dan "equity" adalah dua istilah yang berbeda dalam kebahasaan. Kesetaraan itu harus, tetapi kesaksamaan itu ditimbang. Di rumah, istri bisa menguasai keuangan karena yang bersangkutan mengatur pengeluaran dan lebih mengetahui harga kebutuhan. Kekuasaan berkait erat dengan pengetahuan.

Atau, suaminya tidak perlu uang sebab dalam Filsafat Keuangan, duit itu alat tukar. Kalau barang bisa didapat tanpa dibeli, mengapa harus menyimpan doku di dompet?

Surga itu rasa nyaman. Neraka itu kegelisahan. Secara kiasan, mengapa ada Trouble in Paradise, sebab di mana pun hidup, setan pasti hadir. Namun percayalah, kata Rhoma Irama, ia pasti kalah

 

Sunday, July 06, 2025

Membaca Giroux

Masuknya budaya korporasi dan militer ke dalam kehidupan universitas merongrong tanggung jawab universitas untuk memberikan pendidikan kepada mahasiswa yang memungkinkan mereka mengenali impian dan janji dari sebuah demokrasi yang substantif (hlm. 178).

Kita bisa memahami kedudukan Giroux sbg pengusung pedagogi kritis. Ia menyoal neoliberalisme yang mengutamakan kuasa segelintir orang untuk mengelola banyak hal. Padahal, kehidupan adalah ruang bersama, bukan kelas dominan saja, tetapi yang terpinggirkan. 

Membaca ide Giroux adalah keperluan di tengah semakin mahalnya pendidikan tinggi dan budaya korporatisme. Namun demikian, kewirausahaan tetap digalakkan mengingat bahwa tugas insan cendekia adalah menumbuhkan usaha yang berdasarkan kepekaan sosial dan lingkungan.

 

Tuesday, July 01, 2025

Big Bad Wolf

Setelah memeriksa apa yang saya unggah, baik kata maupun foto, saya melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh orang lain, kalau tidak A, ya B, atau C. Pendek kata, tidak ada yang perlu dilihat sebagai keistimewaan. Namun demikian, ada lapisan makna yang mungkin perlu digali agar semakin banyak pesan yang bisa diteroka.
Semisal, tatkala saya mengunggah hendak ke Big Bad Wolf Books pameran buku bekas di Jatim Int Expo, ternyata banyak orang lain yang juga pernah dan akan menunaikan hasrat serupa. Tetapi, bagi kami, ini mengingatkan perjalanan panjang dari Kedah ke Pulau Pinang. Di pasaraya Timessquare, kami menemukan banyak buku asing dengan harga miring. Kami ngedeprok di lantai sambil mengulik bacaan dan yang paling seronok adalah Zumi berfoto di depan Transformer. Anak tidak bisa dipaksa untuk membaca, sebab mendaras bisa dilakukan secara berbeda.
Setelah itu, kami mampir ke warung makan waralaba McDonald. Lagi-lagi Zumi senang alang-kepalang karena akan mendapatkan mainan. Kadang saya berseloroh pada maminya, bahwa bagi seorang anak tempat bisa dipahami secara berbeda. Untuk itu, cukup sekali saja ke sini. Hihi
Semalam pun heboh. Dua krucil itu bertanya, di sana mau ngapain saja? Alamak! Efek liburan panjang membuat mereka tak betah melakukan itu-itu saja. Padahal, ayahnya merasa nyaman berduduk di kursi sambil mendengarkan radio dan imajinasinya melayang menembus batas-batas tanpa beranjak dari tempat duduk.
Akhirnya, betul kata sang filsuf, kekuasaan itu menyebar, tak menumpuk pada satu titik. Dua anak itu memaksa kami untuk menurut kehendaknya, toh kami pun tidak merasa terpaksa, malah turut tumpang bergembira. Seronok, bukan?
Karya Evgeny Morozov adalah salah satu koleksi yang saya punya. Harganya 8.90 ringgit. Dari sini, saya mengikuti akun Twitternya. Tesisnya adalah bahwa internet tidak akan membebaskan dunia dari kesewenangan otoritarian, ini sebelum Elon Musk memborong saham Twitter. Kini, media telah dikuasai oleh pemodal. Sial.

 

Otentik

Hidup otentik itu adalah penikmatan pada apa yang kita miliki kini, di sini, sebegini. Sekali-kali kita keluar dari kebiasaan untuk mengecas kembali tubuh dan jiwa dalam menekuri apa yang ada.
Sarapan nasi dari beras Paiton, kopi dari Jember, dan ayam lokal dari Banyuglugur seraya menikmati Santai Rhoma Irama adalah wujud keaslian.
Buku ini adalah pemanis.

 

Lukisan

Ini lukisan Rafiee Ghani. Saya mendapatkan surel dari Galeri musium USM, Pulau Pinang tentang pagelaran karya. Saya merasa berjalan-jalan kembali di "lorong" musium.
Bagi pelukis, itu adalah pantai di seberang. Hidup itu indah bila dilihat dari banyak sudut. Sayangnya, kita sudah mati langkah. Tidak mau keluar dari zona yang dibuat oleh kita sendiri.
Dengan internet, kita lebih jauh bisa berkomunikasi dengan sosok artis kelahiran Kedah. Lukisan-lukisannya dari cat air itu hendak merekam perjalannya ke banyak benua, negara, dan etnik. Benar, seni lah yang bisa menguak banyak hal jauh lebih utuh.

 

Rindu Kelantan

Kami menginap di sini selama tiga hari di sebuah lebaran. Kami punya keluarga Cikgu Rahim, dr Adi, dan Dr Sri. Kawan dekat saya adalah Dr Supyan, Dr Zailani, dan Dr Fauzi yang juga berasal dari negeri Cik Siti Wan Kembang. Tatkala belajar di USM, kami sering makan malam Tomyam di Sungai Dua.

Alhamdulillah, saya pernah mengajar kelas jauh di Kota Bharu. Tentu, pengalaman menunaikan salat dhuha di masjid almarhum NIk Aziz Nik Mat, sangat membekas kuat. Betapa cahaya tokguru itu menyinari rumah di dekatnya.

Semoga hasrat ke Semenanjung tertunai untuk sekaligus menyusuri tempat dua anak kami lahir, Minden dan Jitra. Amin
 

Bukit Gambir

Ketika lahir, anak ini jauh dari keluarga besar, tetapi tak kehilangan perhatian karena mereka menyambut dengan riang kehadirannya di dunia. Bila mudik, ia menjadi pusat perhatian.
Prof Sohaimi memberikan hamper besar. Dr Zailani dan Dr Supian menjenguknya di flat Bukit Gambir. Tukwan dan Maktuk merasa mendapatkan cucu baru.
Kenangan Pulau Pinang manis. Kemarin, ia masih mengekori kata lah di belakang kosa kata Inggris. Of course, lah! Damn it! What the hell! Hehe

 

Dora

Anak-anak belajar dari film. Mereka sebenarnya tidak hanya belajar bahasa, tetapi juga tata cara kehidupan. Selain itu, ia juga menikmati Peppa Pig.
Apa makna gambar ini? Sebuah flat tempat kami tinggal tak jauh dari kampus. Dari jendela, saya melihat bukit Gambir dalam segala cuaca.

Di depan rumah ini, ada sepasang suami yang mengajar kami harmoni, sebuah keluarga Tionghoa yang sering bicara dalam diam dengan kami. Di sebelahnya, ayah dan emak angkat kami bertempat tinggal. Pengalaman adalah pengetahuan.

 

Filsafat Bahasa dan Kita

Ada sebuah ide, di mana seseorang dapat menentang Prinsip Marsian: Wittgenstein mengungkapkannya dalam "Investigations" §136: Apa ...