
Inilah buku yang menggedor dan mengguncang. Berbeda dengan dua bacaan sebelumnya, Climbing: Philosophy for Everyone dan Food Philosophy: Eat, Think, and Be Merry, yang berbicara isu naik gunung dan makanan secara filosofis. Selain belum pernah mendaki gunung dan abai pada keasyikan kuliner, saya pernah mengalami jalan kaki sejak kecil. Ketika mengunjungi keluarga bapak yang tinggal di atas bukit, kami menggunakan tungkai untuk sampai ke sana. Tiba-tiba buku ini memaksa saya untuk memindai kembali kisah perjalanan yang lain.
Saya
acapkali menghela napas, berhenti sejenak, untuk memahami satu kalimat.
Seakan-akan satu ayat (sebutan jiran untuk kalimat) bisa berdiri
sendiri. Lagipula, kutipan terhadap aforisme Nietzsche memungkinkan satu
proposisi mengandaikan satu pandangan yang mendalam. Ia hadir untuk
membayangkan satu ilham. Tak pelak, buku ini dimulai dengan tulisan penulis Gay
Science, “Duduklah sesedikit mungkin, jangan percaya ide apapun yang tidak
lahir dari udara terbuka dan gerakan kaki yang bebas!”
Menariknya,
karya ini dikategorikan sebagai “self-improvement”, seakan-akan tak ubahnya
buku “how to” yang populer. Belum lagi, di sampul buku, pembaca akan bersirobok
dengan bujukan berupa temukan 25 rahasia yan bisa membuatmu keluar dan berjalan
kaki setiap hari. Plus cara-cara sederhan yang membuatmu semakin kreatif,
bahagia, dan tidak stres. Betapa ajakan ini menyederhanakan ikhtiar para filsuf
yang berusaha menemukan kebenaran dengan ritual jalan kaki.
Jelas,
nama-nama pemikir yang dijadikan model bukan orang sembarangan. Nietzsche,
Rosseau, Rimbaud, Nerval, Thoreau, Kant, dan Gandhi telah ditabalkan sebagai
sosok yang mewarnai dan mengilhamkan banyak orang dalam pelbagai aspek
kehidupan. Lalu, dengan menjadikannya teladan bagi orang ramai adakah usaha
mereka tak ubahnya nasehat yang bisa dilakukan begitu saja, padahal mereka
melakukannya dengan mengorbankan jiwa dan raga. Pendek kata, mereka
berdarah-darah untuk mewujudkannya.
Jalan
kaki selama ini dipandang tak lebih pergerakan tungkai. Padahal, kegiatan ini
mendorong pejalan untuk berdiri di suatu tempat di bawah cerahnya langit dan
permainya pemandangan. Dari sini, petualangan bermula. Pelaku tak lagi sekadar
mengayunkan langkah, tetapi hendak menemukan dirinya setelah meninggalkan
rumah, jati diri, pekerjaan, status, dan lain-lain. Artinya, di depan sana, ada
pilihan lain yang menuntunnya pada kebaruan. Kebebasan telah dirayakan
sepenuhnya (Bagian 2).
Baru
di bagian ketiga, kita akan menyelusuri kisah hidup Nietzsche. Filsafat tak
lagi hadir dalam teori, tetapi kisah kehidupan sang filsuf. Betapa gagasan dan
narasi tiba-tiba menganga. Pemikir dari Jerman ini dikenal sebagai pejalan kaki
yang luar biasa. Ia menyebutnya tentang kegemaran merayau di banyak
tempat. Hidupnya seakan-akan cermin dari kakinya yang sering melangkah,
meninggalkan kemapanan. Tak pelak, hidupnya adalah retakan, perpecahan,
keputusasaan, dan kesendirian dari dunia, sahabat, kolega, istri, teman, dan
relasi (hlm. 16).
Namun
dari kehidupannya yang berantakan, Nietzsche melahirkan karya yang mempengaruhi
banyak pemikir sesudahnya. The Dawn of the Day (1881), On the
Genealogy of Morality (1887), The Gay Science (1882), Beyond Good
and Evil, dan Zarathustra menampilkan gagasan-gagasannya yang lahir
dari pengembaraannya. Dari kesendirian, ia menjadi petapa dan berjalan kaki
sepuluh jam setiap hari. Adakah sarjana masa kini yang akan melakukannya?
Pejalan
lain yang digambarkan dengan mendebarkan di sini adalah Arthur Rimbaud. Karena
hidup dengan berjalan kaki, dalam Surat dari Aden (3 Mei 1884), filsuf Perancis
ini menulis bahwa aku tidak bisa memberimu alamat untuk membalas surat, karena
aku sendiri tidak tahu di mana aku akan tinggal, lewat rute mana, dan menuju ke
mana, mengapa dan bagaimana! Duh, orang masa sekarang tentu tak bisa
melakukannya karena ia berkepit dengan telepon pintar. Siapapun bisa
menghubungi dan menemuinya melalui media sosial.
Itulah
mengapa kita perlu menyoal peruntukan buku ini. Tak semua orang bisa melakukan
perjalanan ala Nietzsche, Thoreau, dan Rosseau yang menyebabkan mereka
ditolak oleh banyak orang. Bayangkan, saat berjalan kaki, Anda harus menemukan
irama dasar Anda sendiri dan mempertahankannya. Dengan demikian, Anda tida
merasa lelah dan dapat mengayunkan
tungkai selama 10 jam. Kini, sepeda motor telah makin memanjakan orang banyak
untuk tak lagi menikmati jalan kaki.
Tak
mudah mencangkokkan pandangan Thoreau ke dalam benak orang ramai. Ketika
berjalan kaki, pejalan tidak sendirian. Ladang, rumah, hutan, jalan setapak
berada dalam kekuasaan pejalan. Setelah itu, kita akan merasa bahagia. Melihat,
mendominasi, dan memandang itu, berarti memiliki. Dalam konteks ini,
kepemilikan tidak direpotkan dengan dokumen resmi. Adakah khalayak mudah
merasakan hal demikian?
Malah,
berjalan kaki yang menjadi kebiasaan Immanuel Kantpun tak mudah ditiru. Meskipun
penulis The Critique of Pure Reason ini tidak pernah bepergian jauh,
tetapi filsuf kelahiran Rusia tersebut dikenal sebagai pejalan kaki dari rumah
ke taman secara teratur. Karena begitu tertib, orang menyebutnya “jam Kรถnigsberg”. Betapa kegiatan jalan kaki
mengubah hidup seseorang dan banyak orang. Tentu, yang terakhir ini terjadi
pada mars yang dilakukan oleh Gandhi sebagai protes terhadap pajak garam oleh
Inggris. Tokoh Satyagraha ini berjalan ratusan kilometer bersama pengikutnya.
Jadi, untuk mengubah hidup Anda, jalan saja dulu! []
Judul buku : A Philosophy of Walking: Filosofi Jalan Kaki
Penulis : Frederic Gros
Penerbit : Renebooks
Cetakan : Pertama, 2020
Tebal : 273 Halaman
No comments:
Post a Comment