Friday, March 30, 2007
Selamat Hari Film Nasional!
Untuk itu, rencana Pagelaran Film Indonesia bisa dikerjakan lebih awal untuk memastikan agar PPI bisa menggelar kembali acara tahunan ini. Saya adalah saksi bagaimana Mas Ali, Mas Romi dan Mas Baim berkejaran dengan waktu untuk menyukseskan hajat bersama agar kita bisa menonton film kita di sini, lebih jauh memahami bahasa gambar yang jauh lebih rumit dari teks verbal. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Robert Langdon (Tom Hanks) dalam The Da Vinci Code, The picture (read: symbol) has a thousand of words. But, which words?
Saya juga tidak menampik peran seluruh panitia dan mereka yang memberikan dukungan bagi terlaksananya PFI I. Sayangnya, PFI II kemarin tidak bisa dilaksanakan karena tidak adanya dana, meskipun kerja-kerja teknis telah rampung.
Saya rasa, acara PFI tetap dilaksanakan dengan melakukan perampingan acara agar dana yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Satu film dan satu sesi untuk membahas film, seperti dilakukan oleh Mr Jack terhadap film Pasir Berbisik, adalah lebih dari cukup untuk mengingatkan kita bahwa ada lembaga baru yang mengajarkan banyak nilai pada kita, yaitu film. Tentu saja, acara seremoni penting karena saya bisa menyanyikan Indonesia Raya lagi.
Mungkin, Rafika Anggrainy boleh membantu kita di sini untuk memungkinkan mengajak orang film di Jakarta agar mau datang ke USM untuk menyapa kami bagaimana mereka bekerja dan menerjemahkan bahasa realitas ke filmis. Oh ya, saya sendiri mengusulkan Titi Kamal untuk bercerita bagaimana proses kreatif Mendadak Dangdut lahir? Menurut Anda saya ngefan ama Titi Kamal atau Dangdutnya?
Mungkin ada usul lain?
Ahmad Sahidah
Penikmat Film
NB. Film terakhir yang saya tonton adalah You are Who You Meet yang dibintangi oleh Morgan Freeman dan Pas Vega.
Tuesday, March 27, 2007
Keindonesiaan di Negeri Jiran
Indonesia Raya yang kita nyanyikan adalah penanda bahwa kita punya rumah yang selalu dirindukan. Tambahan lagi, adik-adik kita membawakan lagu Rumah Kita, yang dipopulerkan oleh Ahmad Albar, benar-benar mampu menyihir saya akan kampung halaman. Meskipun beratapkan jerami dan beralasan tanah, ia tetap rumah kita. Sebuah metafor yang agak melankolik, tapi kita merasa menemukan bahasa yang menyentuh, yang menggerus pongah.
Pembacaan puisi oleh Aziz dan Cut yang mendeklamasikan ulang kegeraman Kyai Mustafa Bisri terhadap carut marut bangsa dan diiringi petikan gitar oleh Edo makin mengukuhkan pesan teks agar kita memproklamasikan kembali kemerdekaan, karena penjajah masih tak beranjak dari dwipa nusantara.
Meskipun, tak jarang dalam acara seperti ini terlontar kekesalan pada aparatus negara, itu tidak berarti kita sedang mencari 'kambing hitam', tapi ingin mengenal pasti (bahasa Malaysia) masalah yang sedang menggelayuti tanah air dan tentu kita semua akan menanggungnya bersama. Atau, jangan-jangan kita yang alpa sehingga bangsa kita selalu dirundung malang? Lebih dari itu, pengucapan tentang nestapa sebenarnya cara mudah kita untuk tidak selalu merasa didera. Hannah Arendt pernah berucap, "ketika penderitaan diceritakan, sebenarnya ia telah tertanggungkan." Indah, bukan?
Nah, setelah kita bisa mengidentifikasi masalah, sudah waktunya kita bekerja. Ini telah dimulai oleh lima mahasiswa yang telah membentangkan karyanya. Mas Baim, Mas Hilal, Ibu Hamidah, Mbak Erna, dan Mas Nicky dengan rela hati berbagi dengan kami. Mereka adalah sarjana yang mempunyai komitmen intelektual yang kukuh.
Ruangan DK A yang dingin berubah hangat ketika film Gie ditayangkan. Terus terang, saya harus memeras ingatan untuk mencocokkan dunia filmis dengan buku Catatan Harian sang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 2005). Ada jurang yang menganga antara bahasa gambar dan buku. Namun demikian, secara keseluruhan, film itu telah berhasil melengkapi imajinasi saya tentang akar keindonesian yang sekarang mulai kelimpungan diterjang globalisasi (duh, setan gerangan apakah ini?)
Ternyata, walaupun disatukan oleh darah yang sama, kita mempunyai asumsi yang berbeda tentang sikap patriotik menghadapi serbuan imperialisme baru, kapitalisme neo-liberal. Nasionalisme susah diterjemahkan menjadi tindakan. Tetapi, kita masih mendapatkan titik temu yang akan menggerakkan langkah bersama, berdikari dan mencintai produksi negeri sendiri. Tentu saja, pada tataran praksis, ini adalah sulit diwujudkan. Namun, haruskah kita menyerah?
Keharuan saya tidak hanya bergetar ketika menyanyikan lagu kebangsaan, tetapi kehadiran mahasiswa senior yang telah menggenapkan kesatuan sebagai pelajar Indonesia di negeri Jiran. Bagi saya, mereka adalah pemantik semangat untuk adik-adik kita.
Oh ya, penanda buku yang diberikan oleh panitia kepada peserta selalu mengingatkan saya bahwa tak ada yang lebih membahagiakan daripada kebersamaan. Maaf, saya selalu mengucapkan ini dalam banyak kesempatan, karena sikap istiqamah untuk melafazkan adalah cara yang baik agar ia tidak raib oleh angin kejahatan.
Ahmad Sahidah
Anggota PPI USM
Friday, March 23, 2007
Nasionaliskah Kita?
Meskipun demikian, sebagai bagian dari bangsa kita tentu akan memahami bahawa tugas kita bukan membela gajah secara keseluruhan. Mungkin saja, si A mengurus ekornya, si B mengelus belalai dan si C menunggang gajah itu sendiri (Nah, yang terakhir ini saya rasa paling nyaman).
Kalau kita membaca buku Confessions of An Economic Hitman oleh Perkins, Indonesia pernah dikerjai negara Maju untuk terjebak hutang sehingga Indonesia tak bisa menolak jika mereka ingin menguras harta kekayaan berupa minyak, emas, tambang dan lain-lain. Ini adalah sebuah pengakuan yang jujur dari pelaku ekonomi negara Maju yagn sudah bertobat, tetapi mungkin sekarang mungkin ada Perkins lain yang akan terus menggerus kekayaan Nusantara.
Lalu, apa yang mesti kita lakukan? Pertama, kita harus mencintai produk sendiri, kain batik, umpamanya. Bagi yang lain bisa jadi menggunakan produk budayanya sendiri. Kedua, kita meyakinkan teman-teman dari negara lain di sini untuk berkunjung ke Medan atau daerah di Indonesia, agar dunia pariwisata bisa berkembang dengan baik. Ketiga, kita mengajak teman-teman Melayu untuk makan di warung Indonesia yang ada di Pulau Pinang, hingga kita bisa membayar lunas hutang kita karena menghabiskan uang di negeri orang dan menarik uang mereka untuk mendapatkan pulangan.
Jadi, menurut saya, nasionalisme tidak lagi diteriakkan melalui kemarahan atawa perang sebagaimana dilaungkan oleh teman-teman DPR terhadap negeri Jiran. Kita harus mempunyai cara sendiri yang lebih santun, elegan, dan bermartabat. Atau Anda mempunyai usulan lain?
Persoalannya, kalau memang benar-benar terjadi perang, apakah kita mesti tiarap? Untuk itu, teman-teman Indonesia bisa memberikan gagasannya di sarasehan PPI USM 25 Maret 2007 Dewan Kuliah A.
Thursday, March 22, 2007
Tafsir al-Qur’an Menuju Praksis
Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia
Perdebatan tentang tafsir ayat al-Qur’an pernah mengharubirukan ruang opini harian ini, yang melibatkan pelbagai generasi, pandangan, dan ideologi. Lalu, setelah ‘perkelahiran’ usai, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang harus dilakukan setelah memahami pesan teks kitab suci? Apakah menggelar arena perdebatan dengan tema lain? Atau, dengan inspirasi kata-kata kata Karl Marx, bahwa kita tidak lagi mau memahami dunia, tetapi mengubahnya, maka al-Qur’an seharusnya tidak hanya menjadi konsumsi para intelektual dan sejenisnya, tetapi mampu mengubah masyarakat pemiliknya.
Bagi saya, interpretasi para sarjana Muslim sekarang ini bisa dianggap mewakili semua genre penafsiran yang pernah hidup dalam kajian al-Qur’an. Namun demikian, perbedaan ini perlu dibingkai dalam sebuah penalaran tafsir itu sendiri agar kita bisa memahami lebih jauh mengapa pertengkaran ini menyeruak ke permukaan dan lebih dari itu pentingnya pengungkapan hal-hal yang tak terungkap dalam perdebatan semacam ini.
Al-Imām ‘Abd al-Razzāq (2003: 30) menegaskan bahwa tafsīr merupakan sebuah aspek pengetahuan yang hidup. Ia mencerminkan trend intelektual, sosial, spiritual dan ilmiah dari sebuah masyarakat. Aspek ini adalah trend yang muncul pada era modern setelah umat Islam dihadapkan dengan banyak tantangan dan kritik dari luar. Inilah sebuah era yang telah makin menumbuhkan apresiasi terhadap kajian keislaman, meskipun tidak jarang pengkajian terhadap isu-isu keislaman menyerimpung dari keinginan mencari kebenaran.
Dari kutipan di atas, seyogyanya al-Qur’an merespons persoalan kedisinian dan kekinian. Meskipun kalangan objektivis mencoba sekuat tenaga untuk menghadirkan kembali keaslian pesan teks, tetapi akhirnya ia akan dibaca, dilihat dan diaplikasikan pada kehidupan aktual sekarang dan tempat kita mereguk udara.
Dunia Teks dan Penafsir
Asma Barlas menegaskan bahwa sebagai wacana Ilahi Alqur’an tidak bisa ditiru, diubah, dipalsukan, dan digugat. Namun, keadaan ini tidak berlaku bagi pemahaman kita tentangnya (2005: 89). Petikan ini sengaja dikutip dari pemikir yang familiar dengan pendekatan modern (baca: tradisi linguistik Barat) untuk memberikan pijakan bahwa keyakinan terhadap otentisitas kitab suci juga diyakini oleh mereka yang terbaratkan. Sebagaimana juga keyakinan mereka akan keragam tafsir juga diakui oleh para ulama tafsir sendiri, baik secara tersirat maupun tersurat. Kesepakatan ini didasarkan pada makna al-Qur’an itu sendiri yang terdiri dari empat macam, yaitu harfiah (zahir), metaforis (batin), moral (had) dan analogis (muttala’). Pendek kata, al-Qur’an mempunyai karakter polisemik (banyak makna).
Upaya untuk menyatukan keempat makna di atas tidak mudah. Bahkan sebuah upaya yang mengandaikan pendekatan interdisipliner yang meliputi analisis semantik, sosio-antroplogi, sejarah, dan hermeneutik tetap akan menghasilkan pandangan yang bersifat khas, lokal dan kondisional. Ia tidak akan mampu meyakinkan liyan untuk menerimanya serta merta. Namun demikin, ini tidak segera dianggap wujud dari relativisme penafsiran terhadap teks, melainkan sebuah penegasan bahwa pemahaman yang benar adalah ketika kita memahami sesuatu secara berbeda terhadap sesuatu yang sama atau dalam bahasa Karl Mannheim relasionisme.
Selanjutnya, selain pendekatan keilmuan murni di atas, terdapat fungsi tafsīr yang ingin menyesuaikan teks dengan situasi kekinian pentafsir, dengan kata lain, kebanyakan pentafsiran tidak murni bersifat teoretis, tetapi juga mempunyai aspek praktis sehingga boleh diterapkan dalam iman dan pandangan hidup orang yang beriman (Andrew Rippin, 1987:237). Di sinilah, terdapat hubungan yang dinamis antara teori dan praktik yang memunculkan sebuah tindakan unik. Realitas yang terakhir ini kadang tak terjangkau oleh teks.
Selain itu, ada perbedaan penting yang sangat mendasar mengenai syarat penafsiran dalam tradisi al-Qur’an. Sarjana muslim yang merujuk pada karya klasik menyatakan bahwa selain syarat yang bersifat akademik, prilaku sang penafsir yang bersifat pribadi juga dipertimbangkan. Hubungan keduanya dijadikan barometer untuk menilai tafsir. Sedangkan kalangan modernis, Misalnya Fazlur Rahman, tidak melibatkan hal yang bersifat pribadi sebagai kriteria, seperti keyakinan dan prilaku etik.
Penafsir tidak saja harus menguasai keilmuan berkaitan dengan kajian al-Qur’an, tetapi juga mempunyai keyakinan dan melakukan apa yang dikatakan, sehingga pendapatnya bisa diterima secara bulat. Adalah aneh jika pernyataan dan kenyataan tidak sejalan. Di atas kertas, ia meneriakkan pluralisme tetapi di ruang lain menyanjung pemikiran primordialisme.
Namun demikian, cara pandang yang terakhir akan mudah menuai kritik karena telah memasuki wilayah pribadi sang penafsir. Dalam tradisi ilmiah, sebuah diskursus biasanya didorong untuk tidak melakukan penyerangan pribadi (ad hominim), melainkan mengkritik alur logika dan rasionalitasnya. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi juga meninggalkan banyak persoalan.
Selain itu, pembacaan atas sebuah teks selalu dilakukan di dalam sebuah komunitas, tradisi atau arus pemikiran tertentu, yang kesemuanya menggambarkan praduga-praduga dan urgensi-urgensi masing-masing – tanpa menghiraukan apakah pembacaan dekat kepada quid atau tidak, yaitu sudut pandang yang mendasari penulisan teks (Josef Bleicher, 2003: 362). Jadi, tidak aneh jika kita mendapati para penanggap tentang ayat tentang tema tertentu tidak tunggal.
Hikmah Perdebatan
Kalau kita percaya bahwa sebuah penafsiran adalah pertemuan pribadi dengan sebuah teks, di mana latar belakang personal turut memengaruhi cara pandang terhadap sebuah persoalan (subject matter), maka jelaslah dengan sendirinya ia bersifat subjektif. Dari sinilah diharapkan pilihan tematik terhadap ayat al-Qur’an akan memenuhi kebutuhan kontemporer umat, seperti tafsir mengenai hubungan antara agama yang dilakukan oleh Muhammadiyah.
Hal lain yang perlu disadari adalah keragaman latar belakang pentafsir, seperti NU, Muhammadiyah, dan DDII tidak lagi dipandang sebagai pemiskinan makna, tetapi justeru makin mengkayakan. Untungnya, sekarang batas-batas ini menjadi lumer, karena lembaga ternyata tidak memengaruhi kemandirian para sarjana bersangkutan. Lebih jauh, masing-masing dari mereka diuji untuk meyakinkan publik bagaimana sebuah gagasan itu diwujudkan dalam ranah konkret sebagai kelanjutan wajar dari sebuah pemikiran. Untuk itu, keberadan lembaga menjadi sangat penting.
Lebih penting dari itu adalah upaya untuk menghilangkan sekat psikologis yang acapkali menghalangi dialog antara sarjana dan tokoh keagamaan untuk menemukan titik temu dan kemudian mengembangkan sebuah tafsir yang lebih peduli tentang persoalan yang nyata yang justeru melupakan apa yang disebut Paul Ricoeur la chose du text, pesan utama yang sebenarnya ingin disampaikan oleh teks kepada kita. Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh Muhammad al-Ghazali, penulis Kaifa Nata'ammal ma'al-Qur'an.
Misalnya, ketika kita dihadapkan dengan pesan kitab suci tentang kebenaran iman kelompok lain. Penganjur pluralisme mengakui kemajemukan, sedangkan kelompok anti-pluralisme (dalam pengertian yang terbatas) menolak serta merta karena dikhawatirkan mengikis akidah umat Islam. Sebenarnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah konsekuensi etik dari pemahaman ini. Jika pada hubungan sosial kedua kubu ini tidak menolak keberadaan komunitas yang lain, maka dengan sendirinya persoalan iman itu terkait dengan keyakinan yang bersifat individual.
Selanjutnya, pemahaman bergerak kepada medan semantik dari iman yang paling penting, yaitu perbuatan baik atau amal al-shalihah. Jika ayat yang dipertikaikan itu berkisar pada persoalan pada kebenaran agama lain, dengan sendirinya mereka menegaskan kebenaran iman Islam, di mana keyakinan ini tidak berhenti hanya pada pernyataan secara verbal, tetapi arti yang sesungguhnya adalah upaya mewujudkan iman dalam tindakan nyata, yaitu kebajikan sosial sehingga makna iman yang sejati bisa diraih.
Memang, analisis linguistik di atas membantu memahami pesan ayat suci pada batas-batas tertentu, namun Islam juga berkaitan denga fakta lain, yaitu Nabi Muhammad dan sejarah. Ketiganya memungkinkan untuk melahirkan pandangan khas, karena tidak membatasi warana keislaman hanya pada teks, tetapi lebih dari itu praktik Nabi dan perwujudan pesan teks dalam sejarah Islam selama seribu empat ratus tahun.
Akhirnya, ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan tafsir al-Qur’an praksis, bahwa pertama, sejak masa sahabat perbedaan penafsiran al-Qur’an telah muncul, sehingga tidak perlu ada penyeragamaan pemahaman karena tidak menyangkut hal-hal prinsip. Kedua, subjek utama al-Qur’an adalah manusia, oleh karena itu penafsiran terhadapnya untuk mensejahterakan manusia dan terakhir al-Qur’an adalah sebagian ayat Tuhan yang terangkum dalam rentang sejarah, geografi dan masa tertentu. Untuk itu, keilmuan di luar tradisi Muslim selama ini, seperti ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, adalah ayat Tuhan yang juga perlu dibaca. Di sinilah, pesan al-Qur’an menemukan sisi praktisnya karena memungkinkan keterbukaan untuk memahami realitas, tetapi berpijak pada nilai etik al-Qur’an, yaitu menjaga kemanusiaan.
[ ]
Tuesday, March 20, 2007
Dua Tetangga Menuju Perang?
Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah pertahanan meminta Tentara Nasional Indonesia bertindak lebih tegas terhadap kapal-kapal Malaysia yang semakin sering melanggar perbatasan di wilayah perairan Ambalat (Kompas, 5/3/07). Peristiwa lama terulang kembali dan menimbulkan amarah anggota legislatif di Senayan.
Tidak itu saja, anggota dewan juga menyuarakan dengan galak agar tentara kita tidak perlu memberikan toleransi pada Angkatan Laut Malaysia. Bahkan, panglima tak perlu meminta izin presiden untuk menembak kapal Asing yang melanggar wilayah RI.
Hebatnya lagi, jawaban yang diberikan panglima TNI Djoko Suyanto adalah "Bahkan, kalau terjadi perang, saya dan KSAU akan nyopir pesawat sendiri, KSAD nyopir tank sendiri, dan KSAL nyopir kapal sendiri ikut perang," (Jawa Pos, 5/3/07). Namun, pernyataan keras ini kemudian diakhiri dengan kalimat diplomatis bahwa TNI harus bertindak berdasarkan hukum internasional. Lebih jauh menurut dia, jalan konfrontatif tidak akan menyelesaikan masalah.
Sebagai langkah penyelesaian , Djoko kembali menegaskan bahwa pihaknya akan terus meningkatkan intensitas patroli keamanan di perbatasan, khususnya Blok Ambalat. Penghalauan dan pengusiran akan tetap dilakukan terhadap setiap pelanggar perbatasan. Dengan tegas beliau memberikan kata akhir, "Apa jadinya negara ini kalau panglima TNI-nya suka main tembak dan main bom.”
Bagi kita, pemandangan di atas tak lebih dari drama panggung. Telah diketahui bersama bahwa para panglima kita telah mempunyai kontak dengan panglima tentara Malaysia. Kedekatan ini acapkali ditunjukkan di koran-koran Malaysia. Bahkan, ketika masalah Ambalat muncul lagi ke permukaan, media massa di negeri Jiran tak satupun yang memberitakannya. Singkatnya, dengan wadah Malindo (kerja sama militer dua negara), para petinggi keduanya bisa melakukan dialog untuk mencegah isu ini mencederai hubungan baik selama ini.
Retorika kosong
Peristiwa di atas tampak ironis karena terjadi setelah Pemerintahan Indonesia memberikan penghargaan tertinggi Adipradana pada Abdullah Badawi di Jakarta. Bahkan jauh sebelum itu, Universitas Islam Negeri Jakarta juga memberikan gelar doktor kehormatan atas prakarsanya untuk memajukan Islam Hadlari yang toleran, responsif terhadap modernitas dan mengedepankan dialog peradaban.
Tak pelak, kisah manis di atas hilang ditelan gelombang drama panggung di senayan. Kita sepertinya diperlihatkan patriotisme wakil kita. Kata-kata seram bermunculan agar tentara berani untuk menembak, menubruk kapal lawan, dan bahkan salah satu anggota legislatif menegaskan perang, meskipun kita kalah dalam persenjataan, tapi orang kaya biasanya takut mati.
Terus terang, kita hanya bisa menahan tawa dengan retorika di atas. Sebenarnya, peristiwa ini tidak seharusnya dijadikan konsumsi politik karena kedekatan Pak SBY dan Pak Lah mampu meredam isu ini menjadi liar. Kita tak ingin mengulang demonstrasi yang didesakkan ke perwakilan Malaysia di Indonesia. Apalagi ditunjukkan dengan mobilisasi massa untuk memasuki gelanggang perang. Lagipula, kekuasaan Perdana Menteri Malaysia yang begitu besar bisa langsung didengar dan dijalankan pada tingkat paling bawah.
Jalan Keluar
Sebenarnya kalau kita cermati bahwa pihak berwenang Indonesia belum memberikan nota protes dan sekaligus mendapatkan jawaban Malaysia mengenai pelanggaran yang dituduhkan. Lebih jauh, mengapa persoalan ini tiba-tiba menyeruak ke permukaan? Kita patut mencurigai ini sebagai bentuk pengalihan isu di tanah air yang sepertinya memasuki labirin. Untuk itu, ambil jalan pintas, bikin musuh baru. Yang paling mudah tentu saja Malaysia, sebuah negara yang dalam banyak hal mendatangkan kecemburuan dan mempunyai preseden konfrontasi yang masih membayangi emosi kedua negara.
Selain itu, legislatif yang harus mengedepankan jalan keluar justeru menjadi pahlawan yang tampak gagah karena menyatakan perang. Malangnya lagi, modal untuk perang adalah rakyat Indonesia yang bisa dikerahkan menjadi sukarelawan dan tentu saja akan memenangkan perang karena musuhnya yang akan dihadapi adalah orang kaya yang takut mati. Politisi sipil tampaknya lebih galak dibandingkan militer yang menyadari sepenuhnya kekuatan yang dimiliki, sehingga perang bukan pilihan.
Seharusnya anggota dewan tidak hanya menunjuk jari pada negeri Jiran, tetapi juga pada ketidakbecusan negara ini mencegah warganya melakukan pelanggaran di Malaysia. Ada ratusan ribu pekerja Indonesia secara tidak sah masuk ke wilayah negeri Jiran untuk mencari sesuap nasi. Belum lagi, kejahatan yang dilakukan oleh orang Indonesia, yang selalu diekspos di media sehingga memunculkan sikap antipati warga Melayu terhadap orang Indon (sebutan peyoratif untuk warga Indonesia).
Dari drama panggung ini tampak jelas bahwa dewan perwakilan rakyat masih memperlihatkan sifat kekanak-kanakkan. Alih-alih memberikan jalan keluar, mereka justeru menambah kusut masai masalah yang sedang dihadapi oleh kedua negara ini. Bagi saya, isu ini diangkat ke permukaan untuk menutupi banyak masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yang memerlukan ‘jalan pintas’ agar tidak menggerus kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat dan pemerintahan. Sebagaimana juga di Negeri Jiran, isu pembatasan gerak warga asing untuk menghindari merebaknya kejahatan adalah cara mudah untuk menutupi kegagalan aparatnya memberantas tindak kriminal. Sebab, sebagaimana diketahui, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh orang luar hanya 5 persen.
Kita tentu saja merasa miris jika masalah ‘konfrontasi’ ini selalu muncul ke permukaan untuk mencapai tujuan jangka pendek. Lebih mengkhawatirkan lagi jika sikap keras wakil kita memantik emosi massa yang berujung pada demonstrasi jalanan sehingga mengganggu hubungan lebih luas antara kedua negara. Tidak saja ia akan berakibat berkurangnya arus investasi yang akan mengalir ke Indonesia, tapi juga nasib dua juta pekerja yang sedang mengadu nasib karena di tanahnya sendiri mereka ditelantarkan oleh negara.
Oleh kerana itu, upaya diplomatik tidak boleh tidak harus dikedepankan dan diharapkan proses ini tidak dicemari oleh pembentukan opini yang cenderung menyesatkan. Pandangan yang seimbang akan memberikan kita kesempatan untuk bertindak arif dan tidak membesar-besarkan masalah. Pekerjaan yang lebih besar adalah bagaimana kedua negara ini menuntaskan kerja sama yang telah dirintis dalam bidang tenaga kerja, investasi dan pendidikan. Semoga.
Sunday, March 18, 2007
Fast Food Nation
Tidak saja di negeri asalnya pola makan semacam ini menyumbang pada obesitas anak, tetapi juga menyebabkan banyak penyakit, sehingga disebut makanan sampah. Tetapi, di negeri kita, ia menjadi katedral tempat merayakan gaya hidup.
Mungkin, film di atas akan membelakkan mata kita bahwa proses pengolahan daging sebagai bahan asas dari makanan ini tidak sepenuhnya hieginis. Ecoli, nama penyakit yang disebabkan tempat pengolahan daging yang tidak sehat, sempat merebak dan telah mengguncang selera makan orang Amerika.
Lebih dari itu, sekelompok anak muda (setingkat high school) mencoba untuk 'melakukan' sabotase dengan memotong kawat pagar agar sapi ternak perusahaan UMP kabur. Di sini, kita melihat sebuah kecerdasan anak muda di sana yang memberontak terhadap ketidakbecusan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja Meksiko dengan harga murah dan tanpa 'izin' yang membuat mereka menjadi sapi perahan.
Meskipun, kita tidak akan menemukan sebuah cerita yang berakhir dengan kemenangan tokoh protagonis, tetapi di sinilah kekuatan film ini karena memberikan ruang tafsir bagi kita untuk melawan kesewenang-wenangan perusahaan multinasional yang keropos karena menyembunyikan kejahatannya dengan citra yang baik di dalam iklan di sini.
Maaf, saya tak mampu sepenuhnya melawan, sebab dalam keadaan darurat saya kemarin mampir ke KFC dekat rumah sakit Adventist untuk menikmati ayam goreng. Meskipun, sebelumnya, saya berusaha mencari warung terdekat untuk makan malam.
Tuesday, March 06, 2007
BAB DUA
2. 1. Tugas Hermeneutik
Sebelum membahas bagaimana menerapkan hermeneutik pada pembacaan teks, perlu diungkapkan di sini asal-usul hermeneutik, tugas dan pertembungan di antara pemikir tentang kedudukan hermeneutik di dalam usaha pemahaman teks. Ini dilakukan untuk memudahkan kita menempatkan perkembangan hermeneutik dalam sejarah pemahaman terhadap teks.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani hermēneutikós ('Ερμηνεύς), yang bererti menerangkan, menjelaskan, membuat yang tidak jelas menjadi jelas.[1] Kata tersebut berasal dari mitologi Yunani Hermes yang bertugas menyampaikan pesan para dewa kepada manusia, namun demikian ia tidak hanya mengumumkan pesan itu secara apa adanya (verbatim), tetapi juga bertindak sebagai penafsir yang menjelaskan perkataan para dewa.[2]
Disiplin ini pada awalnya adalah subdisiplin dari filologi untuk memahami teks yang dianggap penting di dalam dunia Kristian, yang meliputi teks-teks anonim, persoalan otentisiti, versi asli dan palsu. Secara singkat, ia mencuba untuk menemukan makna sejati.[3] Berguna untuk mengingatkan kembali bahawa masalah hermeneutik pertama kali diangkat di dalam batas-batas exegesis, yaitu, di dalam kerangka sebuah disiplin yang mengusulkan untuk memahami sebuah teks - untuk memahaminya dimulai dengan maksudnya, atau atas dasar apa yang ia ingin katakan. Jika exegesis mengangkat sebuah masalah hermeneutik, yaitu, masalah penafsiran, ini karena setiap pembacaan sebuah teks selalu terjadi di dalam sebuah komuniti, sebuah tradisi atau arus pemikiran yang sedang berlangsung, yang semuanya mempamerkan pengandaian dan eksigensi - tanpa mengabaikan betapa dekatnya sebuah pembacaan yang terikat dengan sesuatu (the quid), berdasarkan pandangan apakah teks itu ditulis.[4] Namun, perkembangan selanjutnya telah melahirkan banyak sudut pandangan sehingga satu sama lain saling bertentangan.
Sebagai teori penafsiran, ia digunakan untuk menerjemahkan kesusasteraan autoritatif yang tidak boleh difahami langsung, mempunyai jarak waktu dan tempat, perbezaan bahasa.[5] Di dalam kedua-dua keadaan ini, makna original dari teks biasanya dipertentangkan atau masih tersembunyi, yang meniscayakan untuk ditafsirkan agar maknanya terang benderang. Sebagai teknik pemahaman yang benar, ia digunakan pada tahap awal pada tiga kemampuan: satu, untuk membantu pembahasan tentang bahasa teks (misalnya, kosa kata atau nahu), menjelaskan, ada akhirnya tentang filologi; dua, untuk memudahkan penafsiran terhadap Injil, dan ketiga untuk menjadi petunjuk yang mempunyai kuasa (jurisdiction).
Ricoeur melihat paling tidak ada dua kecenderungan sejarah hermeneutik masa kini.[6] Pertama, ia cenderung secara progresif memperluas tujuan hermeneutik, di mana semua hermeneutik regional, Hirsch menyebutnya lokal,[7] dimasukkan ke dalam hermeneutik am (general), yang diwakili oleh Schleiermacher dan Dilthey dan yang kedua, perubahan dari epistemologi pada ontologi yang diwakili oleh Heidegger dan Gadamer.
Sebelum Schleiermacher, aktiviti penafsiran meliputi dua cabang hermeneutik besar, iaitu filologi teks klasik dan penafsiran kitab suci, sama ada Perjanjian Lama dan Baru. Hermeneutik itu sendiri lahir untuk menaikkan penafsiran (exegesis) dan filologi pada tingkat Kunsltlehre, iaitu sebuah teknik, yang tidak terbatas hanya pada sebuah pengumpulan operasi yang tak berkaitan semata. Penafsiran teknikal diperuntukkan untuk ketunggalan pemaknaan, bahkan sesuatu yang genius dari pesan penulis.
Schleiermacher, sebagai bapa Hermeneutik moden, mengusung dua aliran yaitu falsafah transendental dan romantisisme. Dari sudut pandangan ini, dia mengajukan sebuah bentuk pertanyaan - syarat kemungkinan pentafsiran yang sahih - dan sebuah konsep baru tentang proses pemahaman. Sekarang pemahaman dilihat sebagai sebuah reformulasi kreatif dan rekonstruksi. Penekanan Fichte terhadap produktiviti ’Aku’ aktif (Ego) menghantarkan Schleiermacher pada penemuan hukum hermeneutik bahawa setiap pemikiran pengarang berkaitan dengan kesatuan subjek yang dikembangkan secara aktif dan teratur: hubungan antara individualiti dan totaliti menjadi titik penting dari hermeneutik romantik.[8]
Masalah utama hermeneutik adalah soalan penafsiran, tetapi bukan sebarang penafsiran sesuai dengan erti kata ini, melainkan ditentukan oleh dua cara: pertama, berkaitan dengan penerapannya dan kedua, berhubungan dengan kekhususan epistemologinya.[9] Pertama, jelas Ricoeur, terdapat masalah penafsiran kerana kemandirian teks (text autonomy), teks tertulis, menyebabkan banyak kesukaran. Autonomi bererti kemandirian teks berkaitan dengan maksud pengarang, situasi karya dan pembaca tulen. Kedua, konsep penafsiran tampaknya berbeda secara epistemologi dengan konsep penjelasan (explanation).
Sebenarnya dua konsep ini berhubungan di dalam proses pembacaan.[10] Bagi Dilthey, satu sama lain saling meniadakan: penjelasan itu terkait erat dengan ilmu alam, sedang pemahaman itu berhubungan dengan sejarah. Tetapi, Ricoeur menunjukkan bahawa konsep tentang teks menuntut pembaharuan terhadap dua gagasan ini, sehingga kedua-duanya tidak lagi bertentangan.
Perbezaan antara dua idea ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahawa objek dari penjelasan adalah alam yang diteliti secara ilmiah, yang tunduk pada usaha matematisasi sejak Galileo dan kanun induksi logik sejak John Stuart Mill. Sementara objek dari pemahaman adalah intellect (mind) yang merupakan ranah psikologikal, di mana kehidupan mental menjelmakan dirinya.
Ricoeur menegaskan bahawa strukturalisme sebagai cara memahami teks berdasarkan strukturnya sendiri, tanpa mempertimbangkan pengarang dan referensi. Ia menghubungkan pembacaan eksplanatori dengan strukturalisme, yang memberikan sebuah penjelasan tentang teks berdasarkan struktur yang ada di dalam dirinya (inherent). Gagasan yang dipinjam dari Claude Lévi Straus (1908-) menunjukkan bahawa strukturalisme berusaha untuk mengungkap keteraturan dasar, sistem-sistem hubungan yang membentuk struktur yang diasumsikan tersembunyi di balik mitos, seluruh budaya atau sesebuah teks tunggal.
Menurut Gadamer tugas hermeneutik adalah membuka dimensi hermeneutik di dalam seluruh ruang lingkupnya,[11] dengan menunjukkan kepentingan fundamental untuk seluruh pemahaman kita terhadap dunia dan kemudian semua bentuk di mana pemahaman ini mewujudkan dirinya: dari komunikasi antara-manusia hingga manipulasi terhadap masyarakat, dari pengalaman peribadi oleh seseorang di dalam masyarakat di mana dia sebagai peribadi berhubungan dengan masyarakat, dari tradisi baik berupa bangunan agama, perundang-perundangan, seni dan falsafah hingga kesedaran revolusioner yang melepaskan diri dari tradisi melalui kesedaran emansipatori. Ertinya, tugas falsafah hermeneutik bersifat ontologik dibandingkan metodologik.[12] Ia menjelaskan kondisi-kondisi fundamental yang menggarisbawahi fenomena pemahaman di dalam semua modnya, baik ilmiah atau bukan ilmiah dan membentuk pemahaman sebagai sebuah peristiwa.[13]
Ricoeur mendefinisikan hermeneutik sebagai teori operasi pemahaman dalam kaitannya dengan penafsiran terhadap teks.[14] Tugasnya menemukan kepada siapa teks ditujukan dan mengidentifikasi dirinya dengan pembaca tulen.[15] Sementara Bleicher, berdasarkan bahawa Hermes mengirimkan pesan dari para dewa pada manusia, tetapi dia tidak hanya mengumumkan pada mereka secara apa adanya (verbatim) tetapi bertindak sebagai penafsir yang menerjemahkan pesan para dewa agar boleh difahami – dan bermakna – yang memerlukan beberapa klarifikasi atau komentar tambahan, tugas hermeneutik adalah menjelaskan isi makna yang tepat daripada sebuah kata, ayat, teks dan lain-lain serta menemukan perintah yang terkandung di dalam bentuk-bentuk simbolik.[16]
Dari pelbagai pertembungan pemaknaan terhadap teks, P.D. Juhl cuba untuk membuat senarai pelbagai teori tentang penafsiran yang boleh dibahagi ke dalam tujuh kelompok,[17] iaitu pertama seseorang mengungkapkan bahawa apa yang dimaksudkan oleh sebuah karya literer tergantung pada tujuan pembaca. Misalnya, seorang pakar di dalam kesusasteraan Elizabethan akan mengambil berat untuk menafsirkan sebuah karya sastra masa itu berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan pengarangnya, sedangkan pembaca lain boleh jadi mengutamakan penafsiran dengan cara yang sesuai dengan pandangan-pandangannya, atau mungkin pembaca lain akan memilih untuk menonjolkan nilai estetiknya.
Kedua adalah sama dengan yang diatas, pernyataan interpretif pada hakikatnya bersifat normatif, ertinya boleh dibenarkan sesuai dengan aturan baku khusus atau aturan baku penafsiran, tetapi persoalannya apakah kebakuan yang tepat itu adalah benar-benar bersifat normatif. Ertinya ia sesuai dengan ketetapan tersurat dan tersirat oleh pengkritik bagaimana sebuah karya itu dibaca.
Ketiga adalah sebuah kelainan teori yang merumuskan makna dari sebuah karya sebagai sekelompok pengalaman yang sama, yang seharusnya dikenal oleh pembaca sesuai dengan bahasa di mana karya itu ditulis.
Keempat, paling tidak ada tiga kriteria yang berbeza yang secara bersama-sama menentukan apa yang dimaksudkan oleh sebuah karya sastra. Pertama, adalah korespondensi, mensyaratkan bahawa sebuah penafsiran didasarkan pada pengetahuan historikal yang berkaitan "pokok-persoalan" di dalam sebuah karya khusus. Misalnya, jika sesebuah puisi mengandung sebuah rujukan pada mitos tertentu, maka seorang pengkritik perlu mengenal mitos yang dibahas atau pelbagai versi dari mitos itu pada masa puisi itu ditulis untuk menafsirkannya dengan benar.
Kelima berdasarkan pada sebuah teori fenomenologikal yang menonjol tentang penafsiran, makna sesebuah karya ditentukan sebahagian oleh "situasi historikal" dari pengkritik. Proses pemahaman sebuah teks melibatkan sebuah "penggabungan horizon" (Horizonverschmelszung) dari pengkritik dan teks. Teori ini didasarkan pada apa yang disebut dengan lingkaran hermeneutik, tesis bahawa pemahaman terhadap keseluruhan tergantung pada pemahaman pada bahagian-bahagiannya dan sebaliknya.
Keenam adalah pandangan yang barangkali dipegang secara luas bahawa makna sesebuah karya tergantung pada (i) aturan-aturan (atau konvensyen publik) bahasa di mana teks ditulis (ii) koherensi dan kompleksiti dari sebuah karya literer di dalam penafsiran tertentu. Mengatakan bahawa sesebuah karya literer bererti m sama ertinya dengan menyatakan bahawa m adalah salah satu kemungkinan pembacaan secara linguistik terhadap teks dan m memaksimumkan koherensi dan kompleksiti karya itu.
Akhirnya, ketujuh adalah makna sebuah karya ditentukan oleh maksud pengarang. Biasanya, ditambahkan bahawa makna sebuah karya tergantung maksud pengarang hanya di dalam batas-batas apa yang boleh ditunjukkan oleh teks – dengan adanya aturan-aturan bahasa. Menurut pandangan ini, sebuah pernyataan tentang makna sebuah karya merupakan pendakuan objektif, sebagaimana juga pandangan yang keempat dan keenam.
Juhl menyimpulkan bahawa teori-teori tersebut di atas mempunyai implikasi tertentu mengenai jenis bukti apa yang membentuk bukti untuk makna sebuah karya literer.[18] Memang, bias daripada setiap teori tidak dapat dihindari, namun demikian ini tidak akan menghalangi akses pada makna teks kerana sudut pandangan yang digunakan berbeza. Malahan, pelbagai teori mengkayakan pemahaman terhadap teks sehingga penafsiran itu tidak tunggal.
Sedangkan Bleicher membahagi hermeneutik kontemporeri ada tiga kecenderungan, pertama adalah teori hermeneutik yang memfokuskan pada permasalahan teori am dari penafsiran sebagai metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (atau Geisteswissenschaften, yang meliputi ilmu-ilmu sosial). Melalui analisis verstehen sebagai metode yang cocok dengan mengalami-kembali atau memikirkan kembali apa yang dirasakan atau difikirkan pengarang secara tulen, Betti berharap untuk memperoleh sebuah wawasan tentang proses pemahaman secara am, iaitu kita boleh memindahkan sebuah kompleks makna yang diciptakan oleh orang lain ke dalam pemahaman kita sendiri dan dunia kita.[19] Metodologi yang menggunakan keupayaan intuitif ini berperanan untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang relatif objektif. Ia mendekati ‘bentuk-bentuk bermakna’ dengan seperangkat kanun yang dirumuskan untuk memudahkan penafsiran terhadap objektivikasi aktiviti manusia atau kesedarannya, yaitu ekspresi manusia.
Kedua, adalah Hermeneutik falsafah yang menegaskan bahawa ilmuwan sosial atau penafsir dan objek dihubungkan dengan sebuah konteks tradisi – yang berakibat tidak langsung bahawa dia telah mempunyai pra-pemahaman terhadap objeknya ketika dia ingin memahaminya, oleh itu ia tidak boleh memulai dengan sebuah fikiran yang berkecuali. Konsepsi tentang pemahaman bergeser dari reproduksi tentang objek yang sudah ada pada keikutsertaan pada komunikasi yang sedang berlangsung antara masa lalu dan sekarang. Hermeneutik falsafah tidak bertujuan untuk memperoleh pengetahuan objektif melalui prosedur kaedah tetapi penghuraian dan dekripsi fenomenologi terhadap Dasein manusia di dalam kesementaraan dan kesejarahannya.[20] Dasein adalah istilah teknik yang digunakan oleh Heidegger sebagai seorang failasuf yang banyak mempengaruhi Gadamer dalam mengembangkan teori penafsirannya.
Dan yang terakhir adalah Hermeneutik kritik yang menentang kedua pendekatan di atas kerana kedua-duanya mengabaikan pertimbangan faktor ekstra-linguistik yang juga membantu untuk membentuk konteks pemikiran dan tindakan, yaitu kerjaya dan dominasi.[21] Namun menurut Ricouer, di dalam hermeneutik falsafah juga mengandung unsur-unsur kritikal, di antaranya pertama, autonomi teks vis-á-vis maksud pengarang, konteks sosio-budaya dan alamat originalnya membolehkan prakondisi penjarakan (distantiation) penafsir dan teks. Kedua, pembacaan terhadap teks melahirkan sebuah unsur rekonstruktif yang digambarkan di dalam bentuk analisis semiologi yang mendahului appropriasi terhadap kandungannya dan menuju pada pengertian yang ada di dalam teks, yaitu organisasi dalaman, bukan referensinya pada sebuah dunia yang ada di luar dirinya. Akhirnya, dengan adanya keunggulan teks terhadap pembaca, yang terakhir harus terbuka pada mesej teks dan memasuki sebuah proses saling mempengaruhi.[22]
Dari ketiga pendekatan yang berbeza, Menurut Bleicher, Paul Ricoeur menggabungkan ketiga kecenderungan di atas ke dalam sebuah kerangka kerjaya yang lebih luas yang dikenal dengan hermeneutik fenomenologikal. Dia telah membahas sumbangan Freud dalam kaitannya dengan pengkritik masyarakat modern, Marx dan Nietzsche, tetapi juga menjadi pengantara di dalam perdebatan hemeneutik – dengan juga memberikan sebuah apresiasi yang sangat tinggi terhadap peranan analisis struktural terhadap sebuah sistem tanda dalam kaitannya dengan penafsiran hermeneutik terhadap teks. Teori Ricoeur tentang teks sebagai sebuah pembentukan tanda-tanda yang secara semantik tidak berkaitan dengan realiti tetapi pada ‘quasi-dunia’ yang ia sendiri berpijak pada sebuah hubungan semantik dengan realiti selain memberikan dasar bagi transendensi dikotomi verstehen- penjelasan di tingkat kritisisme tekstual.[23]
2. 2. Dunia Teks dan Makna
Teks adalah sesuatu yang ditetapkan dengan tulisan.[24] Ricoeur menjelaskan bahawa apa yang ditetapkan itu merupakan satu wacana yang boleh diucapkan, tepatnya yang ditulis kerana ia tidak diungkapkan. Sebuah teks boleh difahami sebagai sebuah dialog, di mana pembaca menempati tempat mitra percakapan (interlocutor) dan tulisan menempati kedudukan kata atau percakapan yang diungkapkan. Teks inilah yang menjadi objek dari hermeneutika.[25]
Jika tanda (baik fonologik atau leksikal) adalah unit dasar dari bahasa, maka ayat adalah unit dasar dari wacana. Wacana itu sendiri mempunyai beberapa ciri, di antaranya selalu terwujud sekali, sementara bahasa adalah maya (virtual) dan berada di luar waktu. Kedua, bahasa tidak mempunyai sebuah subjek dan wacana merujuk kepada pembicaranya
Meskipun teks itu dirumuskan sebagai sesuatu yang ditetapkan tulisan (writing), tetapi ia tidak boleh secara murni dan hanya dikenalpasti dengan tulisan. Menurut Ricoeur, ada beberapa alasan tentang hal ini. Pertama, bukan tulisan yang melahirkan masalah hermeneutik, tetapi dialektika antara percakapan dan tulisan. Kedua, dialektika ini dibangun atas dasar dialektika penjarakan (distantiation) yang lebih primitif dibandingkan dengan perbezaan antara tulisan dan percakapan yang merupakan bahagian dari wacana lisan qua wacana.
Berkaitan dengan teks, Georgia Warnke mengajukan beberapa soalan penting, di antaranya mengapa pemahaman kita terhadap sebuah teks seharusnya berubah kerana pengalaman historikal kita? Mengapa ia harus tergantung pada tempat kita di dalam sejarah atau perhatian praktikal kita? Apakah tidak mungkin berkenaan dengan pemahaman tekstual paling tidak untuk mengidentifikasi sebuah pemahaman terhadap makna dengan sebuah pemahaman terhadap maksud pengarang? Apakah teks itu bukan produk kreatif di dalam pengertian Schleiemacher dan apakah pemahaman teradap teks oleh kerana itu tidak bererti menciptakan kembali proses kreatif yang menghasilkan teks? Jika sebuah teks tidak difahami berdasarkan maksud-maksud pengarangnya lalu bagaimana ia difahami?[26]
Jawaban terhadap pertanyaan di atas tentu saja beragam, sesuai dengan sudut pandangan yang digunakan di dalam melihat teks. Namun demikian, di sini saya akan merujuk pada pernyataan Gadamer tentang bagaimana sebuah zaman memahami teks:
Setiap zaman harus memahami teks yang ditransmisikan dengan caranya sendiri, kerana teks adalah bahagian dari keseluruhan tradisi di mana suatu masa mengambil sebuah kepentingan objektif dan di mana ia berusaha untuk memahami dirinya sendiri. Makna teks sebenar, sebagaimana ditunjukkan pada penafsir, tidak tergantung pada kontingensi-kontingensi pengarangnya dan untuk siapa dia menulis. Pastinya ia tidak identik dengan maksud pengarang, kerana sebahagian selalu ditentukan oleh situasi sejarah penafsirnya dan oleh kerana itu oleh totaliti perjalanan sejarah objektif. [27]
Ini tidak hanya kebetulan tetapi makna sebuah teks selalu melampaui pengarangnya. Oleh kerana itu, mengapa pemahaman tidak hanya sebuah sikap reproduktif, tetapi selalu juga produktif.[28] Pendek kata, jelas Gadamer, seseorang memahami dengan cara berbeza, jika dia betul-betul memahami.
Soalan di atas sangat penting untuk dijawab agar pembacaan terhadap teks menjadi jelas. Berbeza dengan Schleiermacher yang menyatakan bahawa pemahaman tekstual itu harus merujuk pada pemahaman asal pengarang.[29] Pendapat ini mengandaikan bahawa pembaca boleh memahami teks secara objektif, apa yang dimaksudkan oleh pengarang tanpa campur-tangan dari siapa pun.
Teks individual, bagi sejarawan, merupakan kesatuan dari seluruh tradisi bersama dengan sumber-sumber dan kesaksian-kesaksian lain. Kesatuan dari seluruh tradisi ini adalah objek hermeneutik yang sejati. Demikian juga, para pengkritik kesusasteraan memahami teks di dalam kesatuan maknanya. Ertinya, ianya juga menjalankan tugas aplikasi.[30] Berbeza dengan pandangan di atas, teks tidak lagi sebagai korpus yang mandiri, pembaca turut serta memberikan penafsiran yang membabitkan horizonnya yang bersifat subjektif.
Bagi Hirsch, makna yang dimiliki pengarang adalah apa yang secara sedar dan tidak dimaksudkan oleh dia sebagai bahagian dari sebuah tipa yang dikehendaki.[31] Di sini, pembaca mengalami kembali apa yang dimaksudkan pengarang dengan berbagi makna. Di dalam kes ini, pembaca harus merekonstruksi situasi budaya, sejarah dan biografi yang relevan sebelum seseorang boleh mengetahui atau berbahagi apa yang dimaksudkan pengarang.
Hirsch berkeyakinan bahawa hal ini perlu jelas agar kita boleh memperoleh kepastian dan kestabilan makna dan oleh itu kemungkinan adanya pengetahuan hermeneutik. Perbezaan ini jauh dari dangkal, malahan bersifat alamiah dan universal di dalam pengalaman kita. Hirsch menyatakan
Pada kenyataannya, jika kita tidak boleh membezakan sebuah kandungan kesedaran dari konteksnya, kita sama sekali tidak boleh mengetahui objek apa pun di dunia ini. Konteks di mana sesuatu dikenal selalu merupakan sebuah konteks yang berbeza di dalam sebuah kesempatan yang berbeza. Tanpa mengaktualisasikan pembezaan ini, kita tidak boleh mengakui hari ini pengalaman kita yang kemarin: tempat tinta akan membentuk isi yang dikandungnya.[32]
Lebih jauh, bagi Gadamer, jika makna sebuah teks dimiliki bersama maka kepemilikan bersama semacam ini melibatkan lebih sekadar sebuah pengetahuan tentang apa maksud pengarang atau sebuah kemampuan untuk merekonstruksi maksud itu; bahkan ini bererti bahawa pembaca berbagi pemahaman teks terhadap inti persoalan. Jika pembaca dan pengarang sama-sama memiliki konteks linguistik yang sama, maka persetujuan tentang inti persoalan akan lebih cepat diraih. Namun demikian, pemahaman ini tidak akan mengulang kembali idiom sebelumnya, akan tetapi ianya akan melahirkan sesuatu yang baru.
2. 3. Hubungan Pembaca dan Teks
Hubungan pembaca dan teks melibatkan kesejajaran dan hubungan timbal balik aktif.[33] Hubungan yang disebut percakapan hermeneutik ini (hermeneutical conversation) mengandaikan bahawa mitra percakapan menaruh perhatian yang sama pada masalah yang sama (subject matter, atau dalam bahasa Gadamer die sache).[34] Berbeza dengan hermeneutik rekonstruktif Schleiermacher dan Dilthey yang memahami bahasa teks sebagai sebuah kod rahsia untuk segala sesuatu, yang berada di balik teks (misalnya keperibadian kreatif atau pandangan dunia pengarang), Gadamer memusatkan perhatiannya pada masalah teks itu sendiri, iaitu apa yang ia katakan pada generasi penafsir selanjutnya.[35] Dengan demikian, makna teks tidak boleh dibatasi pada maksud pengarang (mens autocris).[36]
Boleh dikatakan bahawa sebuah karya terbuka bagi kemungkinan penafsiran dan kemudian menciptakan pandangan subjektif yang berlawanan dengan teks. Hal ini terjadi kerana munculnya proses apropriasi (Aneignung), aplikasinya (Anwendung) pada situasi kekinian dari pembaca.[37] Atas dasar ini, maka tujuan semua hermeneutik adalah berjuang melawan jarak budaya dan alienasi sejarah.[38]
Hubungan antara pembaca dan teks berada di dalam gerakan melingkar (circular movement). Sebagaimana dinyatakan Gadamer, dengan merujuk pada Schleiermacher, ini adalah sebuah gerakan antara bahagian dan keseluruhan yang membentuk teks. Namun, Gadamer menolak status metodologikal dari lingkaran hermeneutik ini, melainkan sebagai prasyarat pemahaman. Selanjutnya, pemahaman adalah hasil dari saling mempengaruhi antara pembaca dan teks, dengan kata lain, antara konsepsi teoretikal, analitikal pembaca dan deskripsi empirikal, material, di mana horizon pembaca mendekati horizon teks, yang akhirnya berakibat pada sebuah penggabungan dua horizon.
Di dalam pendekatan Ricoeur, gerakan melingkar ini menjadi gerakan ganda dialektik yang melahirkan sebuah pembacaan metodologikal, struktural terhadap teks dan sebuah pembacaan pemahaman, penafsiran terhadap teks. Pada tipa pembacaan pertama, teks ditandai dengan status objektif sehingga pembacaan tidak melibatkan kedua-dua pengarang dan referensinya terhadap dunianya. Tipa yang kedua, teks ditafsirkan secara subjektif, iaitu, teks diberikan makna yang didasarkan pada falsafah kehidupan atau weltanschauung pembacanya.
Apropriasi secara dialektik berhubungan dengan ciri penjarakan dari tulisan (writing). Penjarakan tidak dihilangkan oleh penyesuaian (apropriation), tetapi ia adalah mitra kerja. Berkat distansiasi inilah, apropriasi tidak lagi mempunyai jejak keterkaitan efektif dengan maksud pengarang. Ia sangat berbeza dengan kemasakinian dan keserasian: malahan memahami di dalam dan melalui jarak. Dalam bahasa Gadamer:
Kita melihat bahawa untuk memahami sebuah teks selalu bererti menerapkan pada diri kita sendiri dan menyedari bahawa, bahkan jika selalu difahami dengan cara yang berbeza, ianya masih merupakan teks yang sama yang menjelaskan pada kita dengan cara yang berbeza.[39]
Selain itu, penyesuaian juga berkaitan dengan ciri objektivikasi terhadap sebuah karya. Ia diperantarai dengan semua objektivikasi terhadap teks. Ia tidak mengecamkan pengarang, ia mengecamkan pengertian.
2. 4. Kaitan Pembaca dan Pengarang
Pembaca tidak hadir ketika penulis menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. Demikian juga sebaliknya penulis tidak hadir ketika pembaca melakukan pembacaan terhadap karyanya.[40] Dengan demikian, perbezaan masa dan tempat telah membuat jarak antara keduanya.
Meskipun kedua-duanya tidak ada dalam ruang dan waktu yang sama, namun pembaca dan pengarang boleh berbagi makna verbal yang sama. Oleh kerana itu, setelah membahas gagasan tipe ini Hirsch membuat pendakuan berikut ini
Sesebuah makna pengarang boleh jadi meliputi lebih sekadar yang disedari secara tersurat oleh pengarang kerana makna yang dimaksudkan pengarang menetapkan tipe benda tertentu yang bertentangan dengan sebuah kandungan mental khusus. Jadi, misalnya, saya mengatakan “tidak ada yang menyenangkan bagi saya melebihi Simponi Ketiga Beethoven,” saya bermaksud bahawa tidak ada tipe atau estetika tertentu yang sangat menyenangkan. Saya meniadakan kesenangan seperti berenang tetapi juga memasukkan kesenangan estetik tertentu yang saya tidak ketahui secara sedar seperti melihat Hay Gathering Brueghel.[41]
Oleh kerana itu, makna verbal adalah sebuah “tipa yang dikehendaki” yang mencegah pembaca membaca teks atau pernyataan makna apapun yang mereka inginkan tetapi juga melampaui lebih sekadar yang difokuskan secara langsung oleh pengarang.
Hubungan antara pembaca dan pengarang, ungkap Ricoeur, berkaitan dengan kedudukan sejarah di dalam seluruh proses penafsiran.[42] Ertinya, untuk menjelaskan teks pada hakikatnya adalah mempertimbangkannya sebagai ekspresi dari keperluan sosio-budaya tertentu dan sebagai sebuah jawaban terhadap kemelut di dalam ruang dan waktu tertentu. Dia menunjukkan kecenderungan ini berbeda dengan historikalisme. Menurut aliran ini, makna adalah bukan sebuah idea yang difikirkan seseorang, ia bukan sebuah kandungan mental tetapi sebuah objek ideal yang boleh diidentifikasi dan diidentifikasi semula oleh individu dan masa yang berbeza, sebagai wujud yang tunggal dan sama.
2. 5. Lingkaran Hermeneutik dan Sejarah Efektif
Salah satu isu penting yang menarik di dalam hermeneutik adalah apa yang disebut dengan lingkaran hermeneutik. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahawa sebuah pemahaman harus merujuk pada hubungan dialektik antara bahagian (teks) dan keseluruhan (konteks).[43] Hal ini mesti dilakukan kerana kita tidak boleh mengetahui karya secara utuh tanpa mengetahui bahagian-bahagian yang membentuknya, namun kita juga tidak boleh mengetahui bahagian-bahagian ini tanpa mengenal keseluruhan yang menentukan fungsi-fungsinya.[44]
Kesedaran sejarah efektif adalah kesedaran tentang situasi hermeneutik.[45] Idea ini juga bererti bahawa kita tidak berada di luar situasi ini sehingga tidak upaya untuk mempunyai pengetahuan objektif apa pun tentang dirinya. Lebih tegas, Gadamer mengungkapkan, kita selalu berada di dalam situasi ini dan untuk menjelaskannya adalah sebuah tugasan yang tidak pernah selesai sepenuhnya.
Situasi hermenuetik lahir dari keinginan untuk memahami di dalam penafsiran utuh terhadap tiga pra-struktur (forestructure), iaitu, pra-memiliki (fore-having, vorhabe), pra-melihat (fore-sight, Vor-sicht), dan pra-pemahaman (foregrasping, Vor-griff). Yang pertama menegaskan bahawa untuk mengunjurkan sesuatu dengan tepat kita harus menempatkan sesuatu itu pada posisi kita sendiri.
Situasi hermeneutik mewakili sebuah sudut pandangan yang membatasi kemungkinan sebuah visi. Dengan demikian, ia berbicara tentang kesempitan horizon, kemungkinan perluasan (expansion) dari horizon, penyingkapan horizon baru dan lain-lain.[46] Hal ini terjadi kerana, sebuah teks berkaitan dengan konteks masa lalu dan masa kini ketika ia ditafsirkan oleh pembaca kontemporari. Misalnya, bagaimana pemahaman tentang sejarah Perang Dunia I dipengaruhi dengan Perang Dunia Kedua.
Unjuran horizon historikal ini adalah sebuah fasa di dalam proses pemahaman dan tidak membuat kita terasing dengan kesedaran masa lalu, tetapi justeru diambil alih oleh pemahaman kita sendiri tentang masa kini. Di sini, terjadi penggabungan horizon, yang kata Gadamer merupakan tugas kesedaran sejarah efektif. Mengenai penggabungan horizon, Georgia Warnke menyimpulkan bahawa
Ia mempunyai dua pengertian: di satu sisi, kita memahami objek dari sudut pandang asumsi dan situasi kita; di sisi lain, perspektif akhir kita mencerminkan pendidikan yang kita terima melalui pertemuan kita dengan objek. Kemudian penggabungan semacam ini tidak memerlukan persetujuan konkret apapun. Ia hanya bererti bahawa kita belajar untuk menggabungkan sebuah pandangan tertentu dan dengan demikian mengajukan sebuah pemahaman baru terhadap isu yang dipersoalkan.[47]
2. 6. Aplikasi Hermeneutik terhadap teks
Seperti Schleiermacher, Dilthey mengidentifikasi makna teks atau tindakan dengan maksud subjektif pengarangnya.[48] Hal ini diketahui melalui dokumen, artifak, tindakan dan sebagainya yang merupakan kandungan dunia sejarah. Oleh itu, tugas pemahaman adalah menemukan dunia kehidupan yang asli dan memahami orang lain sebagai pengarang atau pelaku sejarah sebagaimana dia memahami dirinya sendiri. Pemahaman pada hakikatnya adalah transposisi-diri dan unjuran imaginatif di mana orang yang tahu meniadakan jarak waktu yang memisahkan dirinya dengan objek dan menjadi semasa dengannya.[49]
Lalu bagaimana hermeneutik memulai penerapannya?[50] Apa yang terjadi selama memahami kondisi hermeneutik yang berkaitan dengan tradisi? Gadamer menghuraikan bahawa kita harus memahami keseluruhan berdasarkan yang terperinci dan yang terperinci berdasarkan keseluruhan. Keduanya bersifat melingkar. Bahagian (yang terperinci) itu adalah teks dan keseluruhan itu adalah fenomena kultural atau historikal. Pendek kata, ia adalah hubungan antara teks dan konteks.[51] Heelan menambahkan bahawa hal ini merupakan sebuah mod penyelidikan yang sering dijadikan ciri khas dari Geisteswissenschaften.
Pertama, kata Gadamer, kita harus mencari (menafsirkan) sesebuah ayat sebelum berusaha untuk memahami bahagian-bahagian individual dari ayat di dalam makna linguistiknya. Tetapi, proses penafsiran ini telah diatur oleh sesebuah harapan makna (expectation) yang berasal dari konteks apa yang terjadi sebelumnya. Demikian juga, harapan makna ini perlu dicocokkan jika teks menuntutnya. Ertinya, harapan itu akan berubah dan teks itu menemukan kesatuan makna dari harapan makna lain. Jadi, gerakan pemahaman secara tetap berasal dari keseluruhan ke bahagian-bahagiannya dan sebaliknya. Keharmonian dari yang terperinci dengan keseluruhan merupakan kriteria pemahaman yang benar. Kegagalan untuk mencapai keselarasan ini berarti kegagalan pemahaman itu.
Schleiemacher menyatakan bahawa bahagian itu bersifat objektif dan keseluruhan bersifat subjektif. Kerana kata tunggal termasuk di dalam konteks keseluruhan ayat, maka teks tunggal termasuk di dalam konteks keseluruhan dari karya penulisnya, dan yang terakhir merupakan keseluruhan genre khusus. Namun, pada saat yang sama, teks yang sama sebagai perwujudan dari peristiwa kreatif, merupakan bahagian dari seluruh kehidupan batin penulisnya. Namun, Gadamer melihat bahawa jika kita memahami teks dengan menangkap kembali sikap intellect pengarangnya, sebenarnya kita cuba menangkap kembali perspektif yang dia gunakan untuk membentuk ide-idenya.[52] Sebagaimana ditegaskan Gadamer, adalah tugas hermeneutik untuk menjelaskan keajaiban pemahaman ini, yang bukan sebuah kumpulan jiwa misteri, tetapi sebuah makna am yang dimiliki bersama. [53]
Selain itu, hermeneutika dimulai dari posisi bahawa seseorang yang berusaha untuk memahami sesuatu mempunyai hubungan dengan objek yang dibahasakan di dalam teks dan berhubungan dengan tradisi di luar yang dibicarakan teks.[54] Dengan demikian, adalah mungkin untuk mengkaji bidang-bidang lain selain yang terdapat di dalam karya yang dibahas.
Dalam pembacaan teks, mengikuti Gadamer, Ricouer mempertimbangkan penjarakan dengan fungsi positif dan produktifnya terhadap teks. Yang pertama sebagai jantung dari historisiti pengalaman manusia, yang terdiri dari pertama, perwujudan bahasa sebagai wacana, kedua perwujudan wacana sebagai sebuah karya yang terstruktur, ketiga kaitan percakapan dengan tulisan, keempat karya wacana sebagai projeksi sebuah dunia dan kelima wacana dan karya wacana sebagai mediasi pemahaman-diri. Kesemua ini membentuk kriteria tekstualiti.[55]
Wacana mempamerkan sebuah tipe distansiasi primitif yang merupakan syarat kemungkinan semua karakteristik. Ianya dianggap sebagai sebuah peristiwa, sesuatu yang terjadi ketika seseorang berbicara. Di sini, dengan memetik Ferdinand de Saussure dan Louis Hjemslev, perlu dibezakan antara, bahasa [langue] dan percakapan [parole], Ricouer menegaskan bahawa linguistik wacana dan bahasa dibangun atas dasar unit yang berbeza. Jika tanda (fonologikal dan leksikal) adalah unit dasar bahasa, kalimah adalah unit dasar dari wacana. Linguistik kalimat menggarisbawahi dialektik peristiwa dan makna, yang membentuk permulaan teori teks.
Karya itu sendiri mempunyai ciri khas, di antaranya, pertama sebuah karya adalah rangkaian yang lebih panjang dari kalimat, ia menimbulkan sebuah masalah pemahaman baru, yang berkaitan dengan keseluruhannya yang terbatas dan tertutup yang membentuk karya demikian. Kedua, karya dirubah ke dalam sebuah bentuk kodifikasi yang diterapkan pada komposisi itu sendiri dan yang merubah wacana ke dalam kisah, sajak, esei, dan lain-lain. Kodifikasi ini dikenal sebagai sebuah genre penulisan; dengan kata lain sebuah karya tunduk pada genre penulisan. Akhirnya, sebuah karya disusun dalam sebuah susunan yang unik yang disamakan dengan individu dan yang boleh disebut sebagai gayanya (style).
Lalu, apa yang terjadi dengan wacana ketika ia mengalami perubahan dari percakapan pada tulisan? Sekilas, tulisan tampaknya hanya memperkenalkan sebuah faktor luaran dan material murni: pemantapan, yang menyelamatkan peristiwa wacana dari kerosakan. Tulisan menyebabkan teks mandiri dari maksud sang pengarang. Apa yang ditunjukkan teks tidak lagi bersesuaian dengan apa yang dimaksudkan oleh pengarang; oleh itu makna tekstual dan makna psikologikal mempunyai nasib yang berbeza.
Autonomi teks ini telah mengandung kemungkinan, apa yang disebut Gadamer dengan matter of text, yang mungkin akan berbeza dengan horizon maksud pengarang yang terbatas, dengan kata lain dunia teks boleh meletupkan dunia pengarang.[56] Sebuah karakter penting dari karya penulisan adalah bahawa ia melampaui kondisi psiko-sosiologikal dari produksi dan dengan demikian membuka dirinya pada serangkain pembacaan yang tak terbatas, yang berada di dalam kondisi sosio-kultural yang berbeza. Pendek kata, kata Ricouer, teks harus boleh, dari sudut pandang sosiologikal dan psikologikal, melakukan dekontekstualisasi dirinya dan dengan cara ini boleh direkontekstualisasikan dalam sebuah situasi baru.
Dengan mengikuti Heidegger, teori pemahaman tidak lagi terikat dengan pemahaman orang lain, tetapi menjadi sebuah struktur ada-di-dalam-dunia. Lebih tepatnya, ia adalah struktur yang digali setelah pengujian terhadap minda. Momen pemahaman secara dialektik sejalan dengan wujud di dalam sebuah situasi: projeksi terhadap kemungkinan-kemungkinan kita yang terdalam di jantung situasi di mana kita menemukan diri. Jadi apa yang ditafsirkan di dalam teks adalah sebuah dunia yang dicadangkan (a proposed world) yang Aku bisa alami dan Aku boleh memprojeksikan kemungkinan-kemungkinan yang terdalam. Inilah yang disebut Ricoeur dengan dunia teks.[57]
Setelah penjarakan, proses pembacaan yang kedua adalah penyesuaian, yang bekaitan dengan ciri khas objektivikasi dari sesebuah karya. Ia diperantarai oleh objektivikasi struktural terhadap teks. Sejauh ini, penyesuaian tidak menanggapi pengarang, ia menanggapi pengertian dari teks, yaitu objek ideal yang dimaksudkan oleh proposisi yang secara murni ada di dalam wacana. Di sini, kita boleh memahami diri hanya dengan jalan melingkar panjang dari tanda-tanda kemanusiaan yang disumbangkan oleh karya-karya kultural. Sebagaimana diungkapkan oleh Calvin O. Schrag dengan jelas:
Boleh dikatakan bahawa pentafsiran tidak hanya berfungsi pada level semiotik (linguistik) tetapi juga pada dunia-dunia teks dan cerita. Penyusunan teks dan penceritaan kisah adalah profil daripada pemahaman interpretif. Pesanan teks dan cerita adalah hasil daripada lakuran horizon melalui mana pelbagai perspektif pentafsiran fuse dan diffuse, intermingle dan saling mengkoreksi satu sama lain. Bahasa, teks dan cerita bukan semata-mata objek, mendekatkan unit-unit dasar yang sederhana. Tidak juga mereka adalah media, penyampai maklumat, pembawa idea atau garmen luaran yang menutupi pemikiran kita. Penafsiran bahkan lebih tepat difahami sebagai peristiwa di dalam bidang komunikasi praksis, yang membawakan sebuah maksud praxial yang menyingkap sebuah kehidupan dunia berhubunga kait hal-ehwal praktikal.[58]
Dari huraian di atas, saya akan membaca karya Toshihiko Izutsu sebagai sebuah teks yang tertulis di dalam berbagai-bagai tulisannya berdasarkan kepada makna linguistiknya dan sekaligus fenomena budaya dan sejarah yang melingkupinya. Selanjutnya, saya juga akan menambah referensi lain yang berkaitan dengan kajian yang dibahas oleh pemikir Jepun ini untuk melengkapi perbahasan.
Perbincangan kondisi budaya dan sejarah daripada pengarang adalah penting kerana terdapat hubungan erat antara pemikiran seseorang dengan keadaan persekitarannya. Inilah yang disebut penjarakan (distantiation) dalam pemahaman teks. Yang dimaksud kondisi budaya dan sejarah di sini adalah berhubung kait dengan peradaban Jepun dan sejarah ketika Izutsu hidup dan melahirkan karyanya.
Sebagai pembaca secara sedar saya turut serta memberikan warna terhadap corak penafsiran. Ini terjadi kerana antara horizon pembaca (penulis) dan pengarang (Izutsu) saling mempengaruhi. Namun demikian, pembaca tidak boleh sewenang-wenang memberikan pengertian, tetapi harus tetap merujuk kepada teks, meskipun di sini sebagai pembaca meniadakan jarak waktu yang memisahkan dengan objek kajian.
Dengan demikian, pemikiran Izutsu boleh difahami secara aktual dan kontekstual dalam kaitannya dengan hubungan Tuhan, manusia dan alam di dalam al-Qur’ān melalui analisis semantik. Dengan kata lain, di sini ada dua hal penting, iaitu tema yang diangkat oleh pemikir Jepun ini dan pendekatan yang digunakan untuk menghuraikan pengertian menyeluruh terhadap tema.
Catatan Akhir
[1] Dipetik dari Zygmund Bauman, Hermeneutical and Social Science: Approaches to Understanding (Great Britain: Hutchinson & Co, 1978), hlm. 7.
[2] Lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 11.
[3] Zygmund Bauman, Hermeneutical and Social Science: Approaches to Understanding (Great Britain: Hutchinson & Co, 1978), hlm. 7. Lihat juga Paul Hamilton, Historicalism (London: Routledge, 2002), hlm. 3.
[4] Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 236. Lihat juga di dalam Joel Weisheimer, Philosophical Hermeneutics and Literary Theory (New Haven: Yale University Press, 1991), hlm. 1.
[5] Zygmund Bauman, Hermeneutical and Social Science: Approaches to Understanding (Great Britain: Hutchinson & Co, 1978), hlm. 7.
[6] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences (New York: Cambridge University Press and Editions de la Maison des Sciences de’l Homme, 1982), hlm. 43
[7] Hirsch, The Aims of Interpretation (Chicago dan London: The Univesity of Chicago Press, 1976), hlm. 17. Sama dengan Ricoeur, Hirsch membagi kecenderungan hermeneutik ke dalam dua bahagian, Hermeneutik lama (am) dan baru (lokal). Yang pertama diwakili oleh Schleiemacher, Boeckh dan Dilthey yang menyatakan kemungkinan pemahaman objektif dan yang kedua meyakini bahawa pemahaman itu bersifat subjektif atau relatif dan Hirsch memilih yang pertama. Ibid., hlm. 17.
[8] Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 14.
[9] Ibid., hlm. 165. Bandingkan dengan Gadamer bahawa masalah hermeneutik adalah bukan penguasaan yang benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui media bahasa. Lihat Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 467.
[10] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences (New York: Cambridge University Press and Editions de la Maison des Sciences de’l Homme, 1982), hlm. 150.
[11] Georg-Hans Gadamer, Philosophical Hermeneutics, terj. David B. Linge (Berkeley: University of California Press, 1976), hlm. 18 dan 95. Secara am, menurut Gadamer hermeneutika bukan sebuah metodologi ilmu pengetahuan manusia, tetapi sesebuah usaha untuk memahami apa sebenarnya ilmu pengetahuan manusia itu. Ianya melampaui kesedaran-diri metodologik ilmu pengetahuan tersebut, dan apa yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan totaliti pengalaman kita tentang dunia. Lihat dalam pengantar pertama untuk bukunya Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. viii, atau sebagai sebuah teori pengalaman sejati bahawa pemikiran memang demikian adanya. Lihat Frifthjof Rodi, “Hermeneutics and the Meaning of Life: A Critique of Gadamer’s Interpretation of Dilthey”, di dalam Hermeneutics and Deconstruction, ed. Hugh J. Silverman dan Don Ihde (New York: State University of New York Press, 1985), hlm. 83.
[12] David Linge, “Introduction” di dalam Georg-Hans Gadamer, Philosophical Hermeneutics (Berkeley: University of California Press, 1976), hlm. xi. Persoalan antara hermeneutik sebagai metodologi dan ontologi telah menjadi persoalan penting dalam perdebatan para pengkaji penafsiran. Sebagai metodologi, hermeneutik digunakan untuk memahami teks sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Sedangkam yang terakhir mengandaikan bahawa seseorang tidak boleh memahami secara objektif apa yang dimasukan pengarang, kerana horizon pembaca turut mempengaruhi pemberian makna terhadap teks.
[13] Ibid., hlm. ix.
[14] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences (New York: Cambridge University Press and Editions de la Maison des Sciences de’l Homme, 1982), hlm. 43.
[15] Ibid., hlm. 190.
[16] Josep Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London, Boston dan Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 10.
[17] P. D. Juhl, Interpretation: An Essay in the Philosophy of Literary Criticism (New Jersey: Princeton University Press, 1980), hlm. 6-8.
[18] Ibid., hlm. 9.
[19] Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 1.
[20] Ibid., hlm. 2. Tentang pemikiran ini lebih jauh juga boleh dibaca di dalam Cristina Lafont, The Linguistic Turn in Hermeneutic Philosophy, terj. José Medina (Cambridge: The MIT Press, 1999), Joel Weinsheimer, Philosophical Hermeneutics and Literary Theory (New Haven: Yale University Press, 1991) dan John D Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987), hlm. 108-119.
[21] Ibid., hlm. 3. Secara am, Habermas menghubungkan antara pengetahuan dan kepentingan manusia (human interest). Untuk bacaan selanjutnya lihat bahagian tiga “Critique as the Unity of Knowledge and Interest” di dalam Knowledge and Human Interest (Boston: Beacon Press, 1968).
[22] Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 234.
[23] Ibid., hlm. 4-5.
[24] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences (New York: Cambridge University Press and Editions de la Maison des Sciences de’l Homme, 1982)hlm. 146. Bandingkan dengan Patrick A Heelan, dia mengatakan bahawa teks itu adalah apa yang dibaca, sejumlah kata dalam sebuah bahasa, yang diungkapkan secara benar sesuai dengan aturan bahasa dan ditawarkan di dalam konteks komunikasi linguistik. Teks berperan sebagai informasi – fungsi teoretik; ia adalah perwujudan makna. Lihat “Perception as a Hermeneutical Act” di dalam Hermeneutics and Deconstruction, ed. Hugh J. Silverman dan Don Ihde (New York: State University of New York Press, 1985), hlm. 51.
[25] Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 479.
[26] Lihat Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (California: Stanford California Press, 1987), hlm. 43.
[27] Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 356.
[28] Ibid., hlm. 357.
[29] Dikutip dari Georgia Warnke, op.cit., hlm. 43.
[30] Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 408. sumber-sumber dan kesaksian-kesaksian lain boleh dikaitkan dengan tulisan berkenaan dengan tema yang ditulis Izutsu serta tulisan yang dikarang untuk memberikan penilaian terhadap pemikiran Jepun ini.
[31] Dipetik dari Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (California: Stanford California Press, 1987), hlm. 47. Makna itu terbagi dua, iaitu makna verbal dan signifikansi . Yang pertama adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh seseorang dengan satu rangkaian tanda linguistik khusus dan boleh difahami bersama melalui tanda linguistik. Lihat Hirsch, Validity in Interpretation (Yale University Press, New Haven, 1967), hlm. 31. Namun, sebuah teks tidak hanya difahami dari makna verbal tetapi juga signifikansi (significance), iaitu makna teks yang berkaitan dengan konteks dalam arti luas, seperti pemikiran lain, era lain, pokok persoalan yang lebih luas, sistem nilai asing dan sebagainya. Hirsch, The Aims of Interpretion (Chicago dan London: The Univesity of Chicago Press, 1976), hlm. 2-3.
[32] Hirsch, The Aims of Interpretation (Chicago dan London: The Univesity of Chicago Press, 1976), hlm. 3.
[33] David Linge, “Introduction” di dalam Georg-Hans Gadamer, Philosophical Hermeneutics (Berkeley: University of California Press, 1976), hlm. xx. Bandingkan dengan teori psikologi sosial dan penelitian psikoanalitik oleh Edward E. Jones dan Harold B. Gerard bahawa pembacaan adalah sebuah aktiviti yang diarahkan oleh teks; ini harus diproses oleh pembaca, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh apa yang diproses. Lihat lebih jauh hubungan antara teks dan pembaca di dalam Wolfgang Iser, The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1978), hlm. 163-179.
[34] Di dalam disertasi ini, saya sebagai pembaca dan Toshihiko Izutsu sebagai penulis buku yang sedang dikaji dihadapkan pada masalah (matter, thing, sache) yang sama, iaitu hubungan Tuhan, manusia dan alam di dalam al-Qur’an.
[35] David Linge, “Introduction” di dalam Georg-Hans Gadamer, Philosophical Hermeneutics (Berkeley: University of California Press, 1976, hlm.xxi
[36] Georg-Hans Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 479 dan 628. Berbeda dengan Schleiermacher yang mengartikan hermeneutik sebagai seni menghindari kesalahpahaman, sehingga perlu menghadirkan maksud asli pengarang.
[37] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences (New York: Cambridge University Press and Editions de la Maison des Sciences de’l Homme, 1982) hlm. 143.
[38] Ibid., hlm. 185.
[39] Georg-Hans Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 483.
[40] Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences (New York: Cambridge University Press and Editions de la Maison des Sciences de’l Homme, 1982), hlm. 146-147.
[41] Ibid., hlm. 48-49.
[42] Ibid., hlm. 183-184.
[43] Ibid., hlm. 350. Gadamer melanjutkan bahawa prinsip ini berasal dari retorika kuno dan hermeneutik moden menggunakannya untuk seni pemahaman. Dia menyebutnya hubungan ini bersifat sirkular.
[44] Lihat Hirsch, The Aims of Interpretation (Chicago dan London: The Univesity of Chicago Press, 1976), hlm. 82.
[45] Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 363. Situasi hermeneutik adalah situasi tempat kita menemukan diri kita dalam hubungannya dengan tradisi yang kita coba pahami.
[46] Kata horizon sebagai istilah teknikal telah digunakan oleh Nietzsche dan Husserl, untuk mencirikan bagaimana pemikiran terikat pada determinasi terbatasnya, dan hakikat dari hukum perluasan bentangan visi. Lihat Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)Ibid., hlm. 364.
[47] Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (California: Stanford California Press, 1987), hlm. 105.
[48] David Linge, “Introduction” di dalam Georg-Hans Gadamer, Philosophical Hermeneutics (Berkeley: University of California Press, 1976), hlm. xiii.
[49] Ibid.
[50] Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 350-351.
[51] Lihat Patrick A Heelan, “Perception as a Hermeneutical Act” di dalam Hermeneutics and Deconstruction, ed. Hugh J. Silverman dan Don Ihde (New York: State University of New York Press, 1985), hlm. 51.
[52] Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 351. Berdasarkan teori ini, adalah perlu untuk memahami analisis semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu di dalam memahami teks al-Qur’an.
[53] Ibid. hlm. 352.
[54] Ibid. 355. Tentu saja, selain menelaah analisis semantik Izutsu terhadap teks al-Qur’an selari dengan teori semantik yang dikembangkan oleh ahli Bahasa Jerman Profesor Leo Weisberger, yang ia sebut spracliche Weltanschauungelehre, saya juga mengkaji penafsiran al-Qur’an di dalam tradisi tafsir Islam itu sendiri.
[55] Lihat , Hermeneutics and The Human Sciences (New York: Cambridge University Press and Editions de la Maison des Sciences de’l Homme, 1982), hlm. 131-144.
[56] Ibid., hlm. 139.
[57] Ibid., hlm. 142.
[58] Lihat Calvin O. Schrag, “Traces of Meaning and Reference: Phenomenological and Hermeneutical Explorations” dalam Maxim Stamenov, Current Advances in Semantic Theory (Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 1992), hlm. 26.
Monday, March 05, 2007
Dokter yang baik
Tadi, saya diberi surat pengantar oleh dokter untuk cek darah, agar bisa diketahui pengaruh obat yang diminum pada hati, ginjal dan bahkan sekaligus untuk mengukur kadar gula dan lemak (kolesterol). Selain itu, beliau memastikan tentang kehidupan keseharian berkaitan dengan olahraga dan makanan. Mengenai yang terakhir, beliau menyarakan untuk makan sayuran yang mengandung zat besi, minum susu, kedelai (soya), yoghut dan ikan.
Setelah keluar dari ruang praktik, saya menuju ke apotik untuk mengambil obat. Kemudian, saya mendaftar untuk melakukan cek darah. Staf di bagian ini mencatat nama saya dan membuat temu janji (appointment) pada tanggal 12 Maret 2007 sebelum jam 10-an, dengan catatan harus berpuasa sejak jam 9 malam hingga pagi sebelum diambil darahnya. Lagi-lagi, saya menemukan keramahan seorang pegawai klinik.
Dengan obat di tangan, saya segera ke perpustakaan Pusat Islam untuk mengembalikan buku yang udah terlambat 1 hari. Denda yang harus dibayarkan untuk keterlambatan sehari adalah RM 10 sen. Saya tidak merasa kehilangan uang yang jumlahnya tidak seberapa ini, tapi kelalaian untuk melakukan sesuatu tepat waktu tidak bisa dinilai dengan duit. Bukankah, kita harus belajar untuk melakukan sesuatu dari hal kecil? Ya, kebiasaan mengabaikan hal kecil akan melahirkan sikap cuai pada hal besar. Tulisan MT Zen di Jawa Pos hari ini bertajuk Sikap Permisif Dasar Budaya Korup memperlihatkan bahwa kecintaan untuk memulai sesuatu yang sederhana akan melahirkan penghargaan yang lebih besar pada sesuatu yang juga lebih besar.
Mungkin, tak ada salahnya saya mengatur jadual yang lebih baik dan membuat skala prioritas agar tidak lagi merasa beban yang beban untuk pikiran jiwa.
Friday, March 02, 2007
Nostalgia dan Lagu
Justeru, tak jarang masa lalu berkelebat menggoda untuk hadir kembali. Masa muda yang hanya mengenal ‘lawan’ dan menepis kemungkinan resiko dihadapkan dengan kegagalan. Coba tengok musiknya, keras dan menggelegar memecah angkasa. Bacaannya selalu ingin mengubah keadaan, meskipun keadaan tak pernah lepas dari ketidakadilan.
Pagi ini saya mencoba mendengarkan lagu-lagu Skid Row. Meskipun tak segarang heavy metal, tapi gebukan drumnya mengingatkan saya hari Idul Adha di masa kecil karena kami juga bersemangat melaungkan kalimat suci dengan menabuh bedug di Masjid, terutama lagu Youth Gone Wild. Sayangnya, pengeras suara (speaker) yang membantu menaikkan suara tak bisa menggerakkan jendela, penanda bahwa ia tak mampu memekakkan telinga. Tapi, cukuplah untuk menaikkan adrenalin agar pagi tidak beku oleh sisa hujan semalam.
Ah, ingat malam! Saya mempunyai mimpi yang menjadi kenyataan. Saya memiliki benda yang tidak saya bisa gunakan karena ada syarat yang tak terpenuhi. Paginya, saya mendapatkan surat elektronik atawa email dari seorang redaktur Surat Kabar Jakarta Post bahwa tulisan saya harus disusun kembali:
Dear Pak Sahidah,
Thank you for your contribution. We apologize for keeping you waiting. After a thorough reading and re-reading, we decided not to print your article. While your arguments are valid, we feel the piece as a whole reads much more like an academic, philosophical paper which will be difficult to digest for our average readers. We offer you to rewrite it and come up with more concrete ideas as to how text relates to its social or historical context. You can give some examples perhaps. Look forward to hearing from you.
Best regards,
[ ] Maaf tidak diterakan!
Meskipun tak seluruh lagu Skid Row membuat hati riang, tapi kebanyakan liriknya memancarkan pemberontakan yang memantik semangat. Apalagi, cabikan gitar dan pekikan suara sang penyanyi cukup menghentak.
Thursday, March 01, 2007
Penyalahgunaan Kejahatan
Buku ini tidak berbicara secara khusus tentang prilaku orang nomor satu di negeri Paman Sam di atas. Ia ingin mencoba untuk menempatkan 'kejahatan' sebagai pembahasan falsafah. Menariknya, sekarang ia menyatakan bahwa sekarang kita sedang menghadapi sebuah benturan mentalitas (a clash of mentality), bukan sebuah benturan peradaban (sebagaimana tesis Samuel Hungtinton yang terkenal itu).
sebuah mentalitas yang berasal dari sebuah kemutlakan, dugaan kepastian moral dan dikotomi simplistik berlawanan dengan sebuah mentalitas yang mempertanyakan pembelaan terhadap sikap serba mutlak di dalam politik, yang berhujah bahwa ktia harus tidak merancukan kepastian (certitude) moral subjektif dengan kepastian (certainty) moral objektif.
Tasawuf
Kala malam datang, mahasiswa belajar tasawuf. Ia seakan-akan menjelaskan "litaskunu ilaiha" mendapat kepahaman lebih luas, tenang ...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...