Wednesday, May 02, 2007

AGAMA SIVIK SEBAGAI AGAMA NEGARA

: SATU TELAAH PEMIKIRAN ROBERT N. BELLAH

Ahmad Sahidah

ABSTRAK

Kenyataan bahawa ada banyak agama sebenarnya tak perlu dipersoalkan.


Kata Kunci: agama sivik, kristian, negara

A. Pendahuluan

Persoalan agama adalah realiti yang tak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia telah memasuki segala tingkat sosial daripada masyarakat dengan pelbagai bentuk. Perbezaan bentuk ini tidak lepas dari cara memandang dan mentafsirkan agama sebagai institusi dan nilai-nilai, fenomena sejarah dan ajaran normatif. Tak jarang, perbezaan ini memperdalam disparitas pemahaman yang juga mempunyai implikasi terhadap sikap sosial, politik dan kebudayaan mereka. Perpecahan internal maupun eksternal agama selalu mewarnai perjalanan agama itu sendiri.

Dalam sejarah panjangnya, agama telah menjadi inspirasi bagi kemajuan Tamadun manusia dan sekaligus menjadi pemicu bagi munculnya kehancuran tatanan masyarakat, dengan pelbagai alasan. Tentu saja, tidak boleh dilupakan begitu saja sejarah perang agama, meskipun ramai sarjana yang mengengkarinya. Namun sejarah telah mencatat bahawa dalam sejarah manusia perang salib (perang Muslim dan Kristian) telah meninggalkan trauma kemanusiaan hingga sekarang, untuk menyebut sebagian contoh. Bahkan trauma ini turut mendorong kembali terjadinya perang agama. Tidak hanya Muslim dan Kristian yang menyimpan potensi konflik, tetapi juga agama-agama lain, kerana dalam sejarahnya dari setiap agama selalu muncul apa yang disebut dengan kelompok fundamentalis[1] yang mengedepankan cara pemaksaan dalam membangun masyarakat yang diidealkan.

Selain itu media cetak dan elektronik telah memberitakan secara teratur konflik-konflik ini, seperti benturan-benturan yang mematikan atau pertikaian yang melibatkan orang Hindu dan Muslim di India atau orang Buddha di Srilanka. Tema-temanya berkenaan dengan pendeta akademik Jesuit dan para militari di El Salvador, gerilawan Islam dan komunis di Afghanistan, cabang-cabang Islam yang berbeza-beda di Iraq ataus Syria, dan orang Kristian dan Muslim di Nigeria dan di tempat lain di Afrika.[2] Selain itu, konflik Kristian dan Katolik di Irlandia yang sampai sekarang belum selesai.

Pemahaman terhadap agama mempunyai pengaruh luar biasa terhadap tindakan manusia. Dalam sejarahnya, sejak abad kesembilanbelas ada sebuah kecenderungan yang sama di dalam studi agama untuk meletakkan agama dan akal budi secara bercanggahan satu sama lain. Rasionaliti[3], yang dirumuskan dalam pengertian luasnya sebagai pemahaman objektif dan kontrol terhadap realiti, berbeza dengan agama, yang dicirikan sebagai sebuah fenomena pra-rasional, tidak-rasional atau bahkan anti-rasional. Hal ini, boleh dilihat dari keyakinan positivis awal yang memandang agama sebagai sebuah usaha mendasar untuk mengontrol alam, tetapi ia telah ditandirkan untuk digantikan oleh metode rasional ilmu pengetahuan. Feurbach, Marx dan Freud lebih keras: bagi mereka agama adalah sebuah tipu-daya, satu pengherotan yang sangat tidak rasional dan berbahaya terhadap realiti, dan penghapusan agama menempati senarai teratas bagi semua agenda mereka untuk kemajuan manusia rasional.[4]

Selain itu cara lain untuk menegaskan hakikat spiritual adalah dengan mengatakan bahawa kita adalah haiwan yang mempunyai kecenderungan keagamaan dengan satu kecondongan yang tetap untuk mengalami yang semula jadi dalam pengertian ‘supra-natural’. Adalah Antropolog R. R. Marett yang pertama kali menegaskan bahawa homo sapiens lebih baik disebut dengan homo religiosus.[5] Bagi antropolog lain seperti Clyde Kluckhohn, bahawa tidak ada kelompok manusia tanpa agama;[6] dan memang, dalam sebuah analisis ‘keserupaan keluarga’ terhadap konsep agama, masyarakat komunis juga mempunyai aspek-aspek keagamaannya sendiri. Sejarawan agama besar Mircea Eliade mengemukakan sebuah pandangan yang diterima umum ketika beliau mengatakan bahawa “yang suci” adalah satu unsur di dalam struktur kesedaran dan bukan sebuah tahap dalam sejarah kesedaran.[7] Rudolf Otto bahkan mengatakan bahawa idea tentang yang suci adalah bersifat a priori, batiniah dalam akal manusia.[8] Menurut beberapa antropolog ada banyak tanda-tanda keprihatinan keagamaan di dalam bukti-bukti awal daripada perilaku manusia. Sejauh kita boleh mengesan ke belakang bukti-bukti itu kita menemukan bahawa manusia telah mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan oleh spesies lain. Mereka menguburkan atau sebaliknya dengan sengaja membuang mayat dari jenis mereka sendiri. Suku Neandearthal, seratus ribu tahun yang lalu, menempatkan makanan dan batu api yang bernilai tinggi di kuburan mereka; dan suku Cro-Magnon dua puluh lima ribu tahun yang lalu menguburkan senjata, ornamen dan makanan dengan orang yang meninggal di antara mereka dan terkadang hartal merah yang berdebu – di atas mayat atau kuburan-kuburan mereka. Amaln ini jelas mengungkapkan beberapa gagasan tentang kehidupan setelah mati, dan kepercayaan semacam ini kemudian menggumpal menjadi kepercayaan yang terbentuk secara sedar, adalah ekspresi yang masih hidup paling awal daripada manusia sebagai haiwan beragama.

Dengan demikian, pemahaman terhadap agama perlu disusun semula untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam usaha menghindari penyalahgunaan kuasa agama untuk kepentingan manusia itu sendiri. Tentu saja, pendekatan yang digunakan secara ideal mengacu pada berbagai-bagai disiplin, namun demikian sumbangan Robert N. Bellah boleh digunakan untuk mengkayakan pemahaman keagamaan sebagai satu cara menghindari pengertian agama yang sempit, tertutup dan fanatik.

Dakwaan agama terhadap kebenaran dirinya yang bersifat universal telah menutup pintu bagi terciptanya dialog, pertemuan dan saling pengertian di antara berbagai-bagai agama. Padahal, dakwaan ini telah mengengkari hakikat agama itu sendiri, di mana agama tidak boleh dilepaskan dari sejarah, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Paling signifikan dari latar ini adalah kesalingterhubungan antara agama satu dengan yang lain. Oleh itu memahami agama tidak boleh dipandang dari satu perspektif, yang justeru akan mengecilkan kehadirannya sebagai pembebas kemanusiaan dari tirani, penindasan dan despotisme.[9]

Sebagai fenomena universal, agama telah banyak memberikan dorongan bagi sesebuah bangsa dalam menciptakan nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan hidup, meskipun tidak diwujudkan secara rasmi. Bahkan di negara-negara yang tidak berdasarkan agama sekalipun, agama tetap menjadi ruh dan inspirasi bagi keberlangsungan sesebuah bangsa.

Robert N. Bellah telah berjasa mendorong bagi upaya rekonstruksi agama dengan mencadangkan agama sivik.[10] Tentu saja, kajiannya memfokuskan pada fenomena kehidupan keberagamaan di Amerika.[11] Gagasan ini memang telah lama disampaikan oleh Bellah (yang berasal dari sebuah esei[12] yang diterbitkan pada tahun 1976) yang dia sendiri mengatakan tidak akan pernah melupakannya. Memang, gagasan ini menimbulkan penentangan yang sengit selain juga didapati juga kelompok yang menerimanya. Tapi dia menyedari bahawa perdebatan tentang persoalan ini banyak yang difokuskan pada bentuk daripada isi, definisi daripada substansi.[13] Tentang hal ini Bellah mengatakan:[14]

Salah satu bidang yang sering tumpang tindih dan potensial terjadinya konflik adalah apa yang disebut para ahli sosiologi dengan masalah kesahihan, yang meliputi antara lain pertanyaan apakah otoritas politik yang ada bersifat moral dan benar atau apakah ia melanggar kewajipan-kewajipan agama tertinggi. Kebanyakan masyarakat mewujudkan cara-cara berhubungan dengan ketegangan potensial ini. Apakah kita akan menyebutnya semua bentuk institusionalisasi ini sebagai agama sivik atau membatasi istilah itu hanya untuk beberapa bentuk semacam ini, di sinilah kita kita harus menempatkan masalah agama sivik.

Pada dasarnya, respons semacam ini sering terjadi pada persoalan-persoalan lain, kerana istilah teknikal sesungguhnya bersifat individual yang memerlukan pertanggungjawapan intelektual. Tidak jarang, seseorang harus membuat istilah teknikal secara kreatif, yang tidak ada di dalam kamus bahkan ensiklopedia, untuk menghindari respons segera yang tidak dimaksudkan sebelumnya. Antara penulis yang sering melakukan ini adalah Michel Faucoult dan Martin Heidegger.

Penggunaan istilah agama sivik masih diperdebatkan, sementara apa yang disebut masalah religio-politik hampir tidak diperdebatkan. Yang terakhir adalah jelas kerana agama dan politik tidak boleh dipisahkan di dalam masyarakat. Iman dan kekuasaan selalu, namun tidak mudah, mengambil jarak satu sama lain. Bellah mengatakan bahawa politik, lebih dari sekadar kebanyakan tindakan manusia, jelas berkaitan dengan sesuatu yang tertinggi. Berkenaan dengan penyimpang dalaman dan musuh luaran, kuasa politik mendakwa berhak untuk membuat keputusan hidup atau mati. Di sisi lain, agama menyatakan mengasalkan kesahihannya dari satu kuasa yang melampaui semua kekuatan dunia. Dengan demikian, kemungkinan konflik antara klaim yang punya potensi konflik ini selalu ada, namun benturan-benturannya tidak dengan sendirinya terjadi secara terus-menerus. Di dalam berbagai-bagai zaman dan tempat, politik tidak lebih daripada seni pragmatik memperoleh sesuatu dan agama membatasi dirnya pada persoalan-persoalan “spiritual”. Atau agama dan politik hanya dua pragmatisme berbeza berkenaan dengan ruang eskistensi yang khas.[15] Tampaknya Bellah memberi kemungkinan-kemungkinan hubungan agama dan politik yang rumit dan di sisi lain sederhana, yang dengan sendirinya memberi implikasi bagi amalan sosial khas di dalam masyarakat.

Bellah mencatat bahawa masyarakat Barat pra-moden berpusat pada badan-badan keagamaan dan institusi-institusi politik yang terdapat ketegangan namun juga beberapa keseimbangan dan saling melengkapi. Kedua-duanya berbahagi satu konsep etik organik tentang kehidupan umum daripada masyarakat secara umum, tetapi sekarang di Barat berasal dari agama Bibel dan falsafah klasik.[16] Masyarakat dan jiwa di sini disusun secara hieraki, seperti susunan energi yang lebih tinggi dan rendah. Kekuasaan yang mengabdi kepada energi yang lebih tinggi adalah sahih, sebagai pihak berkuasa. Kekuasaan yang mengabdi pada energi yang lebih rendah adalah tidak sah, menindas, bersifat demonik secara keagamaan. Berbagai-bagai peranan politik dan agama serta tipe-tipe wataknya mencerminkan konsepsi-konsepsi tatanan etik organik. Di sini terdapat berbagai gagasan tentang raja yang adil, negarawan, warga negara yang baik, orang suci, padri dan orang awan yang taat, selain juga konsepsi tentang penguasa yang rasuah dan tidak adil, warga negara pemberontak, guru agama penganut bidah dan orang awam yang tidak beriman. Menurut Bellah, semua konsepsi ini pada zaman moden merupakan subjek dari kritik ideologi, yang dilihat semata-mata sebagai topeng bagi kekuasaan yang eksploitatif, dan penilaian-penilaian tradisional seringkali dibalik. Namun demikian, etika organik tradisional ini masih kita ambil sebagai bahagian dari milik kita yang berharga, berdasar, utama dan jahat, yang dikagumi dan sesuatu yang layak mendapat celaan.[17]

Kita boleh mencatat, meskipun Amerika Syarikat dikenal sebagai negara sekular, namun tidak sepenuhnya agama menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Paman Sam. Memang, terdapat pemisahan yang tegas antara negara dan agama dengan mendudukkan agama sebagai persoalan pribadi dan bukan publik, tetapi staf kerajaan selalu menggunakan dakwaan-dakwaan keagamaan di dalam membenarkan dasar-dasarnya. Seperti ditulis oleh Robert N. Bellah sendiri bahawa terdapat hubungan agama dan kekuasaan di Amerika Syarikat,[18] meskipun ada diktum berikanlah urusan gereja pada pop dan kekuasaan pada negara, yang menjadi dasar bagi tegaknya negara Amerika Syarikat. Pengalaman panjang Amerika Syarikat dalam memberikan asas bagi kehidupan antaraagama yang baik telah memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk mempelajari secara kritis dan komparatif dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Hubungan agama dan politik memang telah menghantarkan pada paradoks-paradoks yang sampai sekarang masih menjadi kajian daripada pelbagai disiplin untuk memberikan batas-batas yang jelas di antara kedua-duanya, meskipun di sisi lain dianggap tak boleh dipisahkan satu sama lain. Tentu saja ini akan mempunyai impak pada pertarungan yang tak kunjung usai antara keduanya sebagai satu kesatuan dan dipihak lain yang menekankan peranan dan fungsi masing-masing yang berbeza.

Amerika adalah contoh agama nasionalisme yang hidup dan tingkat kemungkinan kedalaman di dalam kredo dan ritual agama sivik. Kepercayaan terhadap misi Tuhan terhadap orang-orang Amerika dimulakan oleh orang-orang Puritan[19] di Inggris Baru. Ketika John Winthrop, mengambil ayat dari kitab Matius, yang menyamakan kelompok Puritan kecilnya di Massachussets dengan “sebuah kota di atas bukit,” dengan pandangan dunia terhadapnya, adalah sumbangan terhadap dunia baru sebagai jasa yang dibawa oleh orang-orang Puritan dari Inggris. Ada banyak yang percaya bahawa Inggris Baru adalan menjadi tempat tinggal Kristus ketika dia kembali untuk memberi berkah pada manusia dan kemudian membuka milenium ini.[20]

Walau bagaimanapun, Bellah telah banyak memberikan sumbangan pada perkembangan wacana keagamaan manusia moden dengan menumpukan perhatian tidak hanya persoalan agama di Amerika Syarikat tetapi juga di benua lain, bahkan dia menulis khusus sebuah buku berkaitan dengan Tokugawa Religion, sebagai agama yang hidup di Jepun. Kekhasan agama ini tentu saja tidak boleh dilepaskan dari kebudayaan Jepun itu sendiri, yang bersifat eklektik dengan agama-agama di luar Jepun, khususnya Cina.

Untuk itu, penulis perlu menegaskan fokus dari penulisan kerta kerja ini untuk memberikan tekanan pada persoalan khusus. Dua persoalan di bawah inilah yang akan dijelaskan:Apa perbezaan epistemologi agama sivik dan agama rasmi (baca: Kristian) dalam pandangan Robert N. Bellah dan implikasinya pada kehidupan suatu masyarakat? Bagaimana dan mengapa agama sivik muncul di Amerika Syarikat?

D. Strategi Pembacaan

Metodologi menjadi sangat penting dalam upaya memahami pemikiran Robert N. Bellah. Metodologi sejarah-kritik adalah salah satu yang boleh digunakan untuk memahami pemikiran Robert N. Bellah.[21] Ada beberapa alat untuk memahami sebuah dokumen atau bagian lain dari materi sejarah, antaranya:[22]

1. Menempatkan dokumen dan bukti lain di dalam konteksnya. Salah satu alat yang paling kuat yang dipunyai sejarawan adalah satu kesedaran terhadap konteksnya di mana peristiwa itu terjadi. Konteks ini meliputi perkembangan sejarah yang mengarah pada satu masa khusus. Ia juga meliputi sebuah kesedaran akan idea-idea, pertanyaan-pertanyaan, masalah-masalah yang diwariskan dari masa sebelumnya sebagaimana juga yang baru muncul. Konteks juga melibatkan stuktur-struktur sosial yang ada dan perubahan-perubahan di dalam terjadinya struktur; misalnya, sebuah yang mungkin terjadi di dalam bidang ekonomi yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan agama, politik, keluarga. Sejarawan boleh juga menyadari gerakan-gerakan keagamaan, falsafah, politik dan sosial yang mempengaruhi masa yang sedang dibahas. Akhirnya sejarawan mengetahui tentang teknologi yang ada dan perubahan-perubahan di dalam teknologi yang pada gilirannya mempengaruhi bukti yang sedang dikaji.

2. Mengetahui kepustakaan yang ada dan sejumlah pentafsiran yang mungkin mempengaruhi bagaimana bukti itu difahami. Pendekatan terhadap literatur yang sangat dikenal ini membantu peneliti untuk memahami bagaimana masyarakat di masa lalu memandang bukti yang sedang diselidiki atau, paling tidak, bagaimana mereka memandang data yang sama. Hal ini tidak hanya membuat mereka sedar bahawa pilihan-pilihan untuk memahami bukti, tetapi juga ia membantu mereka mengetahui pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang mungkin menyebabkan kesalahpahaman materi ini. Dengan dilengkapi latar belakang ini, mereka boleh membuat keputusan-keputusan yang mumpuni tentang bukti itu.

3. Mencari sumber-sumber yang ada sebelumnya. Secara ideal, materi ini boleh diselidiki dengan menggunakan sumber-sumber asli, yang bererti bahawa sumber-sumber itu tidak dihaluskan, tidak diturunkan, atau tidak diterjemahkan. Sumber-sumber ini tidak mungkin dikotori oleh lapisan-lapisan penafsiran selanjutnya. Misalnya, menterjemahkan sumber-sumber bererti bahawa penerjemah harus memilih “kesepadanan kasar” dari kata-kata, ayat-ayat atau konsep-konsep. Mereka juga harus memutuskan bagaimana menterjemahkan ide-ide budaya yang kompleks ini ke dalam penyesuaian budaya yang paling dekat di dalam bahasa baru ini. Semua cara ini yang harus dirumuskan kembali oleh para penterjemah dalam satu cara atau yang lain apa yang mereka terjemahkan. Jadi dokumen terjemahan melonggarkan atau merubah makna aslinya.

Hermeneutika adalah teori tentang cara kerja pemahaman dalam hubungannya dengan menafsirkan teks.[23] Dan yang perlu ditekankah bahawa hermeneutika mempunyai kaitan dengan sejarah.[24] Sebagaimana dikatakan oleh Dilthey, hermeneutika mempunyai fungsi propaedetik dari semua penelitian historis sebagai seni pentafsiran yang benar terhadap sumber-sumber literer. Ini diungkap oleh Gadamer secara lengkap sebagai berikut:

Dan sebagaimana tidak ada lagi perbezaan apa pun antara penafsiran terhadap tulisan-tulisan suci atau sekular, dan dari sinilah hanya ada satu hermeneutik, akhirnya ia tidak hanya mempunyai fungsi pelajaran dari semua penelitan historis – tetapi melibatkan seluruh urusan penelitian sejarah itu sendiri. Kerana sesuatu yang benar bagi sumber-sumber tertulis, bahawa setiap ayat di dalamnya boleh difahami dari konteksnya, adalah juga isinya. Maknanya tidak pasti. Konteks sejarah di mana objek-objek individual, besar atau kecil, dari penelitian historis muncul dalam makna relatif sejatinya adalah sebuah keseluruhan itu sendiri, artinya setiap hal individual difahami di dalam maknanya yang utuh, dan yang pada gilirannya difahami secara utuh dalam pengertian hal-hal individual ini. Sejarah, sebagaimana adanya, buku gelap besar, kumpulan karya dari semangat manusia, yang ditulis di dalam bahasa-bahasa masa lalu, teks yang kita coba untuk fahami. Penelitian sejarah melihat dirinya sesuai dengan model penafsiran kepustakaan yang ia gunakan. Kita akan melihat bahawa ini, pada kenyataannya, model yang dijadikan dasar oleh pandangan historis dunianya Dilthey.[25]

Selain itu juga, penulis cuba untuk meminjam sosiologi pengetahuannya Karl Mannheim di mana pengetahuan manusia itu tidak murni. Ia berkaitan dengan ekistensi manusia di mana dia hidup.[26]

Secara umum, teori ontologi pengetahuannya Manheim menyatakan tiga ujian bagi kesahihan sesuatu yang diajukan sebagai pengetahuan. Pertama, ia harus menunjukkan fungsi penguasaan dan orientasi pengetahuan. Kedua, ia harus didasarkan secara tulen pada wujud yang didakwa sebagai pengetahuan. Dan ketiga, ia harus memiliki properti yang selaras dengan struktur sistimatisasi dengan mana ia berhubungan, dengan kata lain konsep-konsep di mana ia dirumuskan dan hubungan-hubungan di antara mereka harus sesuai dengan masing-masing tipe realiti.[27] Atas dasar inilah, pemikiran-pemikiran keagamaan Robert N. Bellah akan difahami secara utuh dan diharapkan lebih jauh mengungkap sisi-sisi humanistiknya Robert N. Bellah dalam mengungkapkan problem-problem keagamaan.

D. Tanggapan Sarjana Lain

Sebagai seorang ahli yang diakui dalam isu-isu agama, Bellah telah menghasilkan banyak karya yang tersebar di dalam banyak jurnal, buku dan rencana. Perhatian Bellah yang serius terhadap agama telah menghantarkan dia menjadi pemikir yang disegani kerana kejernihannya di dalam memberikan analisis terhadap persoalan-persoalan agama, khususnya persoalan apa yang disebut dengan agama sivik (Civil Religion) di Amerika Syarikat.

Walaupun dikenal sebagai ahli sosiologi agama, tetapi Bellah tidak mengenyampingkan disiplin-disiplin lain dalam memotret agama sebagai problem kemanusiaan. Tidak jarang, dia juga menggunakan bidang-bidang kajian lain untuk mengkayakan pengungkapan persoalan religius dengan psikologi, antropologi, falsafah sosial.

Tulisan-tulisan Robert N. Bellah yang menelaah agama sivik di antaranya adalah Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World, Religion and Power in America Today, Varieties of Civil Religion, the Good Society serta tulisan-tulisan lain yang akan membantu memahami secara menyeluruh terhadap pemikirannya, meskipun tidak berkaitan langsung dengan fenomena agama sivik.

Buku Varities of Civil Religion adalah satu karya yang berusaha pertama kali untuk mengajukan konsep tentang agama sivik dalam kajian sosiologi dan ringkasan karya ilmiah yang dilakukan kemudian lebih lanjut di dalam sosiologi tentang persoalan ini.[28] Di dalamnya, kedua penulis menguraikan bentuk-bentuk dasar agama sivik, pluralisme dan hukum, perbandingan agama sivik di beberapa negara, di antaranya Jepun, Meksiko, Itali. Tentu saja, sebagai usaha awal karya ini perlu dilihat sebagai perintis untuk menjadikan agama sivik sebagai salah satu realiti religio-sosial di masyarakat.

Selain itu juga, banyak penulis lain yang memberikan perhatian pada persoalan agama sivik, di antaranya J.J. Rousseau dengan bukunya Social Contract (1762), yang salah satu tema bahasannya adalah agama sivik. Keberadaan buku ini adalah sebagai imbangan bagi pandangan Bellah untuk mendapatkan telaah perbandingan dalam upaya menganalisis dengan cermat gagasan-gagasan Bellah, apakah pandangan Bellah selaras dengan pandangan Rosseau atau tidak. Buku lain yang persoalan agama sivik adalah The Elementary Forms of the Religious Life, yang mengajukan sumber-sumber sosial semua agama, termasuk agama sivik atau nasional. Tentu saja, yang terakhir ini menjadi sangat signifikan bagi pengkayaan telaah agama sivik, kerana Emile Durkheim dikenal sebagai Bapak Sosiologi yang banyak melakukan penelitian tentang kehidupan agama. Selain itu, penulis juga ingin mengkomparasikan dengan penulis Amerika Sendiri sendiri yang cuba menemukan agama sivik, yaitu John A. Coleman, seorang guru besar di Universti California, Barkeley, dengan tulisannya “Civil Religion”. Coleman melihat bahawa agama sivik adalah sebuah kasus khusus tentang sistem simbol agama, yang didesain untuk melakukan fungsi yang berbeza yang merupakan wilayah unik dari bukan gereja dan negara. Bagaimanapun juga, Coleman berangkat dari beberapa asumsi Bellah tentang persoalan ini.

Dari sekian perbandingan ini, penulis melihat bahawa pemahaman terhadap agama sivik tersebut tidak boleh dipisahkan dari konteks dan latar belakang penggagas ide tersebut. Namun demikian, satu sama lain saling mengukuhkan pendapat masing-masing kerana mempunyai pandangan yang sama tentang satu persoalan.

E. Riwayat hidup Robert N. Bellah

Adalah tidak sukar untuk mengungkapkan kisah hidup Robert N. Bellah, kerana dia juga menulis biografinya sendiri di dalam buku atau artikel yang dia tulis. Bahkan di dalam bukunya berjudul Beyond Belief secara khusus diungkapkan riwayat hidupnya dengan detil.

Dia lahir pada tahun 23 Februari 1927 di Oklahoma Barat Daya.[29] dia adalah keturunan Skotlandia, Presbyterian,[30] dan berasal dari Irlandia Utara. Nenek moyangnya adalah petani, pedangang –yang berpindah, dari satu negeri ke negeri lain, negara ke negara lain. Ayahnya lahir di Texas dan tumbuh besar di Oklahoma. Sedangkan keluarga ibunya adalah keturunan Inggris dan Skotlandia, juga seorang Presbyterian. Dia lahir di Arkansas tempatnya ayahnya menjadi seorang penguasaha perkebunan dan bertemu ayahnya di Universitas Oklahoma. Ayahnya menjadi editor dan penerbit sebuah surat kabar kota kecil di Oklahoma Barat Daya, tetapi meninggal ketika Bellah berumur tiga tahun dan dibesarkan oleh ibunya di Los Angeles.[31] Seperti yang dikatakan sendiri pada waktu terjadi zaman kesulitan barang-barang yang mempunyai akibat serius pada keluarganya.[32] Pada usia tiga tahun, Hitler, Mussolini dan Stalin berkuasa, dan Jepun berperang dengan Cina.

Dia besar di dalam suasana kebudayaan Protestan Selatan yang dulunya koheren. Ibunya sering menceritakan tentang Hari Minggu yang tenang dan yang dihabiskan pergi ke gereja, membaca Bibel dan Pilgrim’s Progress, serta mengunjungi kuburan dan bahkan dia sering menghadiri Sekolah Minggu Presbyterian. Meskipun konservatif atmosfir yang berkembang di sana bukan fundamentalis. Di sana dia sempat terkejut dan marah besar ketika pertama kali mendengar guru sekolahnya membahas teori evolusi di kelas tiga, kerana hingga waktu ia hanya mengenalnya dari kisah penciptaan dari Bibel.[33] Suasana religius inilah yang membuat Bellah tampak lebih tenang menjalani hidupnya.

Namun demikian, tegas Bellah, dia tumbuh bukan di dalam atmosfera Injil melainkan di Los Angeles di dalam sebuah lingkungan yang majmuk.[34] Kerana ayahnya meninggal sejak dia kecil, dia tidak mempunyai teladan yang kuat dengan siapa dia mengenal pasti dirinya, yang pandangan-pandangannya boleh membentuk pemikirannya. Sedangkan ibunya lebih banyak minta pendapat-pendapatnya. Faktor inilah yang mendorong dia untuk menegaskan identiti dan pandangan dunianya sendiri tentang fragmen-fragmen masa lalu dan keragaman masa kini. Di dalam lingkungan heterogen dari sekolah publik Los Angeles yang menarik perhatiannya adalah orang-orang Yahudi. Di antara mereka dia menemukan budaya yang diajarkan di rumah untuk benar-benar menghargainya adalah sebuah realiti yang hidup, khususnya di bidang musik dan sastra.[35]

Namun yang perlu juga diingat bahawa dia besar di dalam keadaan dunia porak poranda kerana perang. Di dalam esainya, dia menulis, bahawa pada tahun 1930an, Hitler, Mussolini dan Stalin berkuasa dan Jepun berperang dengan Cina. Dia masih ingat ketika seseorang yang membawa surat kabar tiap pagi yang selalu menyampaikan berita tentang bencana paling terakhir. Pada bulan Maret 1038 terjadi Anschluss, aneksasi Hitler terhadap Austria. Pada bulan september tahun itu juga terdapat sebuah Pakta Munich di mana Inggris dan Perancis mengambil alih perbatasan Czechoslovakia dari Hitler, disusul pada awal tahun 1939 dengan pendudukan Hitler terhadap seluruh negeri. Pada tanggal 1 September 1939, Hitler bertindak atas dasar perjanjian rahasia dengan Uni Soviet menyerang Polandia. Masa ketenangan telah usai, dan perang Dunia Kedua mulai. Bellah menyangkal Bahawa peristiwa ini hanya terjadi di Eropa, tidak punya pengaruh terhadap Amerika Syarikat, tetapi banyak di antara orang di sana, ketika itu dia berumur tigabelas tahun, menyadari peristiwa mengerikan ini juga terasa di Amerika Syarikat kerana juga terjadi di seluruh dunia.[36]

Pada bulan April 1940 Hitler menyerang Denmark dan Norwegia dengan mendapatkan perlawanan. Pada bulan Juni menyerbu Belanda, Belgia, dan Perancis secepat kilat, meksipun kebanyakan tentara Inggris berhasil dievakuasi dari Dunkirk. Serangan udara terhadap Britain tidak menyakinkan, dan Hitler mengalihkan perhatiannya dari kemungkinan serangan terhadap Inggris ke apa yang dia harapkan sebagai sebuah kampanye kilat melawan Uni Soviet. Pada awal 1941 kegagalan total serangan terhadap Yunani terhadap oleh Itali, sekutu Hitler, mengalihkan perhatiannya ke daerah Balkan, sementara juga menyelesaikan dengan cepat terhadap Yugoslavia dan Yunani. Dia sekarang menjadi penguasa hampir seluruh Eropa hingga perbatasan Soviet, tetapi dia ingin lebih. Pada tanggal 22 Juni Rusia mulai kampanye, pada awalnya dengan keberhasilan luar biasa, dengan menyerang pintu gerbang Moskow dan Leningrad di akhir tahun itu.[37] Dan pengalamannya yang paling mengerikan tentu saja serangan terhadap Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, ketika dia berusia empat belas tahun.[38]

Di dalam suasana perang Dunia kedua inilah dia menyadari secara progresif lebih liberal, baik secara religius maupun politik. Dengan sebuah kedalaman yang semakin akrab dia mulai menguji ideal-ideal yang diajarkan kepadanya dengan realiti kehidupan Amerika Syarikat dan mulai meragukan seluruh struktur kepercayaan religius dan politik yang sebelumnya diterima begitu saja (taken for granted). Dan di tahun terakhinya di sekolah menengah dia mulai membaca literatur Marxisme yang dipinjamkan oleh satu atau dua orang temannya.[39]

Pengalaman-pengalaman yang mengerikan di dalam hidupnya telah membuat Bellah muak dengan perang dan kenyataan bahawa dia hidup di dalam sebuah komunitas yang plural telah mengajarkan pada dirinya tentang keragaman dan perang bukan cara untuk menyatukan pendapat. Tentu saja selain pengalaman ini mempengaruhi cara pandangnya terhadap realiti, maka pendidikannya di sekolah formal tidak boleh diabaikan sebagai penyumbang utama bagi perkembangan pemikirannya.

Beliau belajar di Universiti Harvard untuk memperoleh gelar B.A. pada tahun 1950 dan Ph.D pada 1955,[40] kemudian mulai mengajar di almamaternya pada tahun 1957 dan menjadi profesor Sosiologi pada tahun 1967, mengabdi dari 1967 hingga 1997 di Universiti California Berkeley sebagai Profesor Sosiologi, sementara dari 1968 hingga 1974, dia mengetuai the Center for Japanese and Korean Studies.[41]

Robert N. Bellah adalah ilmuwan yang telah banyak melahirkan karya-karya berkaitan dengan persoalan agama dan masyarakat. Saya akan mencantumkan di sini beberapa karyanya yang dikirim melalui email, yang meliputi buku, artikel, dan ulasan serta wawancara sesuai dengan urutan tahun.

Di antara buku yang ditulis Robert N. Bellah adalah Apache Kinship Systems (1952), Tokugawa Religion (1957), Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World (1970) The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (1975), Varieties of Civil Religion, dengan Philip E. Hammond (1980), The Good Society, dengan Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann Swidler, and Steven M. Tipton (1991).

H. Agama Sivik di Amerika dan Masa Depan Agama

Agama pada masa awal berdirinya Amerika mempunyai posisi yang sangat penting: di dalam superstruktur dan infrastruktur rejim politik baru. Yang pertama terdapat di dalam Deklarasi Kemerdekaan. Bellah mengertikan superstruktur di sini adalah sebuah titik pusat kedaulatan yang berada di atas kedaulatan negara. Barangkali pengakuan yang paling mencolok terhadap kedaulatan tertinggi ini berasal dari Madison pada tahun 1785 di dalam perdebatan tentang kebebasan agama di Virginia:

It is duty of every man to render to the Creator such homage, and such only, as he believe to be acceptable to him. This duty is precedent both in order of time and degree of obligation, to the claims of Civil Society. Before any man can be considered as a member of Civil Society, he must considered as subject of the Governor of the Universe: and if a member of Civil Society, who enters into any subordinate Association, must always do it with a reservation of his duty to general authority; much more must every man who becomes a member of any particular Civil Society, do it with a saving of his allegiance to the Universal Sovereign.” [42]

Sebagai salah satu pendiri Amerika, Madison telah meletakkan asas bagi negara ini dengan keutamaan nilai-nilai keagamaan di atas nilai-nilai masyarakat sivik. Namun demikian tidak mengabaikan peranannya di dalam mengatur hubungan sosial dan politik. Sebagaimana deklarasi kemerdekaan itu sendiri menunjuk pada kedaulatan Tuhan di tas masyarakat politik kolektif itu sendiri dengan merujuk pada pembukaannya yang berbunyi “hukum alam dan Tuhan” yang berada di atas dan menilai hukum manusia.

Berkenaan dengan pentingnya referensi pada kedaulatan suprapolitik, pada Tuhan yang berada di atas bangsa dan yang tujuan-tujuannya menjadi ukuran untuk mempertimbangkan eksistensi bangsa dan bahkan hanya di dalam pengertian inilah dijustifikasikan, menjadi sebuah sifat permanen dari kehidupan politik Amerika untuk selamanya. Menurut Bellah, keberadaan dari simbolisme religius tingkat tertinggi di dalam kehidupan politik republik ini mengukuhkan penegaskan bahawa terdapat agama sivik di Amerika,[43] yang bersifat formal dan namun marginal. Formal ertinya di dalam penyebaran dan abstraksi dari prinsip-prinsipnya, meskipun di dalam hal ini sangat dekat dengan agama siviknya Rousseau. Marginal artinya tidak mendapat dukungan resmi di dalam ranah hukum dan konstitusional. Sekali lagi, Bellah menegaskan bahawa tidak rujukan pada tuhan dan agama sivik di dalam konstitusi Amerika Syarikat.[44] Tentang terpinggirkannya agama sivik Amerika, Bellah mengatakan:

The marginality of the American civil religion is closely connected with the liberal side of our heritage and its most important expression, the constitution. This side has lead many to deny there is a civil religion or there ought to be in America. And indeed, from the point of view of the liberal political idea there need not and perhaps ought not to be. The state is a purely neutral legal mechanism without purposes or values. Its role function is to protect the rights of individuals, that is, to protect freedom. And yet freedom, which would seem to be an irreducible implication of liberalism etymological grounds alone, no matter how negatively and individualistically defines, does imply a purpose and value. Since I believe a pure liberalism is a reductio ad absurdum and a sociological impossibility. I would locate here at least one of the reasons a pure liberal state has never existed and why in America the rhetoric and to some extent the substance of republicanism has always existed in uneasy tandem with liberalism.

Jelas di sini Bellah menolak anggapan kaum liberal bahawa negara itu didasarkan pada mekanisme hukum legal murni tanpa tujuan dan nilai. Fungsi satu-satunya hanyalah melindungi hak-hak individual, iaitu melindungi kebebasan. Padahal kebebasan itu tampaknya hanya sebagai sebuah implikasi paling kecil dari liberalisme atas dasar etimologi semata-mata, bukan masalah bagaimana dirumuskannnya secara negatif atau individualistik, ia mempunyai implikasi sebuah tujuan dan nilai. Bagi Bellah tidak pernah ada sebuah negara liberal murni.[45]

Tepatnya dari sudut pandang republikanisme agama sivik sangat dibutuhkan, sebuah republik sebagai sebuah komuniti politik aktif yang menyertakan warga negara mesti mempunyai sebuah tujuan dan seperangkat nilai-nilai. Kebebasan di dalam tradisi republikan adalah sebuah nilai positif yang menegaskan adaya perhargaan dan harkat dari persamaan politik dan pemerintahan yang merakyat. Ia harus menunjukkan etika di dalam pengertian positif dan memunculkan komitmen etik dari warga negaranya. Kerana alasan inilah, tegas Bellah, tak terelakkan harus menekankan simbolisasi tatanan eksistensi tertinggi yang ditunjukkan oleh nilai-nilai dan keutamaman republikan. Simbolisasi semacam ini mungkin tidak lebih dari sekedar pemujaan terhadap republik itu sendiri sebagai kebaikan tertinggi, atau jika memang demikian, sebagaimana di dalam kasus Amerika, pemujaan terhadap realiti yang mengukuhkan ukuran-ukuran yang ingin dipenuhi oleh republik ini.[46]

Terciptanya komunitas nasional pertama kali di Amerika, yang sekarang diakui secara luas, didahului oleh revolusi oleh satu atau dua generasi. Ia adalah hasil dari Kebangkitan Besar tahun 1740-an, sebuah gelombang revivalisme keagamaan yang meluas di seluruh koloni dan memberikan mereka untuk pertama kalinya sebuah perasaan solidariti bersama.[47]

Rejim liberal tidak pernah menolak agama sivik yang telah tersirat di dalam Deklarasi Kemerdekaan dan bahkan tetap hidup di dalam arena politik meskipun perlembagaan tidak mengungkapkannya. Namun, dari sudut pandangan rejim rasmi, huraian lebih jauh terhadap simbolisme agama yang melampaui agama sivik formal dan marginal murni bersifat pribadi. Sedangkan dari sudut pandangan komuniti nasional, sebahagian besar agama di dalam kritiknya pada dirinya, huraian semacam ini adalah bersifat publik meskipun kurang di dalam status legalnya. Di sinilah, kata Bellah dengan memetik pendapat Martin Marty, boleh membicarakan teologi publik, yang berbeza dengan agama sivik. Namun demikian, Bellah tidak mau mengidealisasikannya.[48]

Bellah juga tidak menampik peran agama bagi terciptanya kewarganegaraan. Agama telah berperan di dalam membentuk, memasyarakatkan dan mendidik warganegaranya dengan kepercayaan etik dan spiritual, yang akhirnya terinternalisasikan sebagai nilai utama Republik. Tentu saja, Bellah juga mendapat tantangan dari intelektual lain, misalnya Fenn dengan idenya tentang bangsa Amerika sebagai Israel yang baru. Menurutnya, Bellah bermaksud untuk menggunakan simbol ini tidak lain untuk memperteguh kedudukan penguasa (pemerintah federal) dan mansakralkan badan-badan pemerintah dan hukum di negara itu [49]

I. Agama Sivik

Agama sivik adalah sebuah istilah yang pertama kali digunakan oleh Jean Jacques Rosseau, selari dengan maksud Durkheim bahawa pengalaman sosial dan agama adalah mempunyai batas-batas yang sama.[50] Perdebatan ini sebenarnya berlangsung lama di dalam berbagai disiplin. Di dalam ilmu politik, ia berkaitan dengan implikasi-implikasi politik dari hubungan gereja dan negara.

Seperti diakui Bellah bahawa istilah agama sivik diungkapkan pertama kali oleh Rousseau,[51] yang mengemukakan bahawa agama sivik mempunyai dogma sederhana, di antaranya adanya Tuhan, kehidupan yang akan datang, pahala untuk kebaikan dan hukuman bagi keburukan, serta pengucilan terhadap nirtoleransi agama.

Berkaitan dengan persoalan ini, Bellah menanyakan dua persoalan penting, bagaimana agama sivik berkaitan, di satu sisi, dengan masyarakat sivik dan di sisi lain dengan organisasi gereja?
Disedari oleh Bellah bahawa pertentangan antara agama dan politik telah melahirkan perdebatan yang tak kunjung usai. Pada abad kesembilanbelas, kelompok-kelompok agama dan politik konservatif menyatakan bahawa agama Kristian sebenarnya adalah agama nasional. Beberapa di antara mereka dari masa ke masa dan pada tahun 1950-an mengusulkan perubahan konstitusional yang secara eksplisit mengakui kedaulatanJesus. [52] Di dalam mempertahankan doktrin pemisahan gereja dan negara, penggagas kelompok ini menyangkal bahawa dasar nasional secara tersirat berhubungan dengan agama. Sedangkan kaum Moderat menegaskan bahawa negara Amerika mengambil sikap permisif bahkan mendukung terhadap kelompol-kelompok keagamaan, jadi mengutamakan agama tetapi masih tidak melalaikan institusionalisasi positif yang menjadi perhatian Bellah.[53]

Memang kata-kata agama sivik sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai agama di dalam kehidupan bernegara tidak diucapkan secara eksplisit oleh para pendiri negara Amerika, namun, jelas untuk tidak mengatakan bukan pengaruh Rousseau, mengemukakan ide-ide yang sama, sebagai bahagian dari iklim budaya akhir abad kedelapanbelas, yang ditemukan di antara orang-orang Amerika. Di sini, Bellah mengutip tulisan biografinya Benjamin Franklin:

I never was without some religious principles. I never doubted, for instance, the existence of the Deity; that he made the world and govern’d it by his providence; that the most acceptable service of God was the doing of good to men; that our souls are immortal; and that all crime will be punished, and virtue rewarded either here or hereafter. These I esteemed the essentials of every religion; and, being to be found in all the religions we had in our country, I respected them all, thou’ with different degrees of respect, as I found them more or less mix’d with other articles, which, without any tendency to inspire, promote or confirm morality, serv’d principally to divide us, and make unfriendly to one another.

Ada beberapa pokok fikiran yang disebutkan oleh Benjamin Franklin yang selari dengan rumusan agama siviknya Rousseau. Dengan ini makin mengukuhkan eksistensi agama sivik sebagai bahagian dari cara pandang bapak pendiri Amerika. Bellah melihatnya bahawa posisi seperti ini pada hakikatnya bersifat utilitarian dalam kaitannya dengan agama.[54] Di dalam pidato perpisahan Washington aspek ulitariannya sangat nampak:

Of all the dispositions and habits which lead to political prosperity, Religion dan Morality are indispensable support. In vain would that man claim the tribute of Patriotism, who should labour to subert these great Pillars of human happiness, these firmest props of the duties of men and citizen. The mere politician, equally with the pious man ought to respect and cherish them. A volume could not trace all their connections with private and public felicity. Let it simply be asked whre is the security for property, for reputation, for life, if the sense of religious obligation desert the oaths, which are the instruments of investigation in Courts of Justice? And let us with caution indulge the supposition, that morality can be maintained without religion. Whatever may be concedes to the influence of refined education on minds of peculiar structure, reason and experience forbid us to expect that National morality can prevail in exclusion of religious principle.

Tetapi setiap alasan untuk percaya ahwa agama, khususnya idea tentang Allah, memainkan sebuah peranan yang menentukan di dalam pemikiran para negarawan Amerika awal. Hubungan yang erat dari gagasan agama dan konsepsi-diri tentang sebuah republik baru seringkali ditunjukkan dari pemunculannya di dalam dokumen-dokumen resmi awal.[55] Di sini, Bellah mencontohkan pidato pelantikan pertama presiden Washington pada tanggal 30 April 1789:

I would be peculiarly improper to omit in this first official act my fervent supplications to that Almighty Being who rules over the universe, who presides in the councils of nations, and whose providential aids can supply every defect, that His benediction may consecrate to the liberties and happiness of the people of the United States a Government instituted by themselves for these essential purposes, and may enable every instrument employed in its administration to execute with success the function alloted to his charge.

No people can be found to acknowledge and adore the Invisible Hand which conducts the affairs of man more than those of the United States. Every step by which we have advanced to the character of an independent nations seems to have bee distinguished by some token of providential agensy…
The propitious smiles of Heaven can never be expected on a nation that disregard the eternal rules of order and right which Heaven itself has ordained…The preservation of the sacred fine of liberty and the destiny of the republican model of government are justly considered, perhaps, as deeply, as finally, staked on the experiment instrusted to the hands of the American people.

Jadi Bellah melihat bahawa dalam menganalisis unsur-unsur agama sivik melalui pidato-pidato pengambilan sumpah kepresidenan Amerika (Presidential Inaugural Addresses). Di samping itu juga mentafsirkan sejarah kebangsaan Amerika. Bellah mengemukakan:

“There are certain common elements of religious orientation that a great majority of American share. These have played a crucial role in the development of American institutions and still provide a religious dimension for the whole fabric of American life, including the political sphere. This public religious dimension is expressed in a set of beliefs, symbols, and ritual that I am calling the American Civil Religion”[56]

Namun demikian agama sivik ini bukan pemujaan terhadap bangsa. Beliau mengatakan bahawa tradisi utama di dalam agama sivik Amerika bukan sebagai sebuah bentuk dari penyembahan-diri, tetapi sebagai kedudukan bangsa berada di bawah prinsip-prinsip etik yang melampauinya dan di dalam pengertian inilah ia seharusnya dinilai. Dimensi keagamaan kehidupan politik Amerika yang menjadi ciri dari republik kita kerana dasarnya dan prinsip yang paling utama adalah bahawa bangsa ini bukan tujuan tertinggi di dalam dirinya, tetapi berpijak pada pertimbangan transenden dan bernilai sejauh ia mewujudkan sebuah hukum tertinggi.[57]

Sedangkan John A. Coleman melihat bahawa agama sivik adalah seperangkat bentuk-bentuk dan tindakan-tindakan simbolik yang menghubungkan warga negara dan masyarakatnya di dalam sejarah dengan kondisi tertinggi daripada eksistensinya. Namun demikian, agama sivik tidak selalu jelas atau biasanya secara jelas dibezakan dengan gereja atau negara.[58]

Jelas, kedua pemikir ini membedakan antara agama sivik dan gereja serta negara. Namun demikian, ketiganya tidak boleh dipisahkan di dalam tingkat abstraksi. berbeza dengan masyarakat primitif di dalam analisisnya Durkheim bahawa organisasi agama (di dalam Kristian gereja) dan agama sivik tidak boleh dibedakan.[59] Tampaknya, meskipun Bellah dipengaruhi oleh Durkheim tidak sepenuhnya keduanya menunjukkan kesamaan, selain kerana objek kajian berbeza dan rentang waktu yang sangat terpaut jauh memungkinkan hal itu.

Bellah melihat agama sivik bukan penyembahan terhadap bangsa sendiri, namun inspirasinya adalah dari peristiwa yang terjadi di Amerika Syarikat di antaranya, perjuangan kemerdekaan bangsa Amerika, penghapusan perbudakan dan penegakan demokrasi, serta untuk mencapai dunia manusia yang tertib.[60] Pandangan kosmopolitan Bellah ini sebenarnya tidak hanya ingin ditegaskan sebagai bagian dari pengalaman Amerika, tetapi juga bangsa-bangsa lain di dunia sebagai upaya untuk menghilangkan benturan antara kepentingan-kepentingan yang sering menjadi pemicu konflik.

J. Penutup
penulis cuba untuk melihat pemikiran Bellah yang pengaruhnya sangat besar terhadap pemikiran sosiologi agama. Secara epistemologi, agama sivik harus dibezakan dengan agama rasmil, gereja. Namun demikian nilai-nilai agama terserap di dalam simbol-simbol seperti, pidato pengukuhan presiden, hari-hari besar kebangsaan, tulisan pada makam pahlawan nasional, tugu-tugu peringatan. Jadi agama sivik tersebut agama dimensi religius atau dimensi transendental. Artinya bangsa Amerika melihat makna dan tujuan sebagai bangsa, dari visi transenden.

Kemunculan agama sivik di Amerika Syrikat tidak boleh dilepaskan dari sejarah panjang Amerika, sejak perang sivik, deklarasi kemerdekaan dan pengaruh pencerahan serta nilai-nilai Kristiani (terutama Protestantisme) yang tertanam kuat di dalam diri bangsa Amerika. Ia lahir sebagai pengakuan terhadap nilai tertinggi bukan salah satu denominasi dari agama Kristian sendiri. Sekali gus, sebagai kritik terhadap penggunaan simbol keagamaan dalam praktik resmi kenegaraan.

Bagi Bellah, agama sivik adalah tak terelakkan, kerana setiap kelompok mempunyai dimensi religius. Mengatakan agama siviki tidak ada, sama saja dengan mengatakan bahawa civitas, tatanan sivik itu sendiri tidak ada, seharusnya tidak ada. Setiap kelompok menghasilkan simbol-simbol dan ritual komunal yang memberik petunjuk dan mengikatnya bersama. Dengan demikian, agama sivik tidak hanya menjadi milik Amerika, ia boleh menjadi milik bangsa lain di dunia.

Dengan menyatakan bahawa agama sivik merupakan agama bangsa yang bersifat transendental dan universal, berarti menempatkan institusi buatan manusia di bawah kekuasaan Tuhan. Namun demikian, agama sivik sendiri mendapat tantangan, tidak hanya dari para pengkeritik yang lain, tetapi juga kenyataan politik di sana, seperti skandal Watergate dan Nixongate, namun Bellah menyebutnya sebagai krisis daripada agama sivik.



K. Bibliografi

Bellah, Robert N. “Religion and Power in American Today”, di dalam The Catholic Theological Society of America, 1982.

Bellah, Robert N, The Broken Covenant: American Religion in Time of Trial, Chicago: Chicago University Press, 1995.

Bellah, Robert N, ed. Religion and Progress in Moden Asia (New York: The Free Press, 1995).

Bellah, Robert N, The Good Society, ed. Madsen, Richard / Sullivan, Wiiliam M., Swidler, Ann, New York: Vintage Books, 1992.

Bellah, Robert N, Afterword, dalam Beyond Individualism, ed. Donald L. Gelpi, Indiana, 1989.

Bellah, Robert N, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World, New York: Harper and Row, 1970.

Bellah, Robert N, “Christian Faithfulness in a Pluralist World”, dalam Postmoden Theology, ed. Fr.B. Burnham (San Francisco, 1989).

Bellah, Robert N, “Cultural Barries to the Understanding of the Church and its Public Role,” Missiology, 1991.

Bellah, Robert N, “Flaws in the Protestant code: some Religious Sources of America’s Troubles,” Ethical Perspectives, 2000.

Bellah, Robert N, “Leadership Viewed from the Vantage Point of American Culture”, di dalam Origins, 1990.

Bellah, Robert N, Agama Tokugawa, terj. Wardah Hafiz, Jakarta: Gramedia, 1992.

Bellah, Robert N dan Philip E. Hammond, Varieties of Civil Religion, Cambridge: Harper & Row, 1980.

­­­­­­Bellah, Robert N, “75 Years”, South Atlantic Quarterly, February, 2002.

Bellah, Robert N. “American Civil Religions in the 1970’s, di dalam Russell E. Richey and Donald G. Jones (ed.)., American Civil Religion, New York: Harper & Row, 1974.

­­­Bellah, Robert N. “Religious Studies as New Religion” di dalam Jacob Needleman dan George Baker, Understanding the New Religions, New York: The Seabury Press, 1978.

Coleman, John A. “Civil Religion” di dalam Sociological Analysis, 31 (Summer), 1970.

Foucault, Michel. Madness Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, terj. Richard Howard, London: Tavistock Publications, 1977.

Freud, Sigmund. Totem and Taboo, terj. James Stranchey (New York: W. W. Nroton & Co., 1950.

Freud, Sigmund. Karl Marx and Friedrich Engels on Religion (New York: Schoken Book, 1964)

Freud, Sigmund. The Future of an Illusion, terj. W. D. Rovson-Scott, edisi revisi (Garden City, N. Y.: Doubleday & Co., 1964).

Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming, New York: The Seabury Press, 1975.

Gill, Sam D. Native American Religions: An Introduction, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1982.

Green, Ronald M. Religious Reason: The Rational and Moral Basis of Religious Belief, New York: Oxford University Press, 1978.

Hammond, Philip “Pluralism and Law in the Formation of American Civil Religion, di dalam Bellah (et.al), Varieties of Civil Religion, Cambridge: Harper and Row, 1980.

Hanh, Thich Nhat, Living Buddha, Living Christ, New York: Riverhead Books, 1995.

Hayness, Jeff Religion in Third World Politics, Buckingham: Open University Press, 1993.

Hick, John. The Fifth Dimension: An Exploration of the Spiritual Real, Oxford: One World Publications, 1999.

Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. John Cumming, New York: The Seabury Press, 1972.

R. R. Marett, Sacraments of Simple Folks,Oxford: Clarendon Press, 1932.

Clyde Kluckhohn, Preface to William Lessa and Evon Vogt, Reader in Comparative Religion, New York: Harper and Row, 1979.

Mircea Eliade, A History of Religious Ideas, Vol. I, terj. Willard Trask, Chicago dan London: Chicago University Press,1978.

Rudolf Otto, The Idea of the Holy, terj. John Harvey, New York: Oxford University Press, 1958.

Nota Hujung

[1] Seharusnya seseorang yang memegang teguh komitmen keagamaan harus mendasarkan pada sebuah ajaran agama yang mutlak dan murni yang kemudian disebut sebagai fundamentalis. Sebenarnya kata ini adalah istilah Anglo-Saxon, yang secara khusus diterapkan pada penganut agama sama ada Protestan dan Muslim yang menyatakan bahawa Injil dan al-Qur’an atau kitab-kitab suci lain harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Lihat Jeff Hayness, Religion in Third World Politics (Buckingham: Open University Press, 1993). Lihat juga Margaret R. Miles tentang pengertian fundamentalisme praktikal dalam Seeing and Believing: Religion and Values in The Movies (Boston: Beacon Press, 1993), hlm. 94.
[2] Huraian lebih lanjut tentang hal ini boleh dibaca di Jeff Hayness, Religion in Third World Politics (Buckingham: Open University Press, 1993), hlm. 1.
[3] Rasionaliti dan objektiviti disebut Walter Lippman sebagai aspek kebudayaan Barat yang abadi. Dikutip dari Peter Levine, Nietzsche: Krisis Manusia Moden, terj. Ahmad Sahidah (Jogjakarta: Ircisod, 2001), hlm. 1.
[4] Dikutip dari Ronald M. Green, Religious Reason: The Rational and Moral Basis of Religious Belief (New York: Oxford University Press, 1978), hlm. 3. Untuk representasi pernyataan-pernyataan positivis, lihat August Comte, Cour de philosophie positive, 6 vol. (Paris: Barchelier, 1830-1842), dan Edward Tylor, Primitive Culture, edisi ke-2, 2 vol. (London: John Murray, 1873). Pandangan Feuerbach dijelaskan secara panjang lebar di dalam bukunya The Essence of Religion, terj. George Eliot ( New York: Harper and Bros., 1957). Pemikiran Freud boleh dibaca di dalam tulisannya Totem and Taboo, terj. James Stranchey (New York: W. W. Nroton & Co., 1950) dan The Future of an Illusion, terj. W. D. Rovson-Scott, edisi revisi (Garden City, N. Y.: Doubleday & Co., 1964). Karl Marx and Friedrich Engels on Religion (New York: Schoken Book, 1964) mengumpulkan banyak pernyataan terpisah dari kedua pemikir ini mengenal persoalan di atas.
[5] R. R. Marett, Sacraments of Simple Folks (Oxford: Clarendon Press, 1932), hlm. 3.
[6] Clyde Kluckhohn, Preface to William Lessa and Evon Vogt, Reader in Comparative Religion (New York: Harper and Row, 1979) hlm. V.
[7] Mircea Eliade, A History of Religious Ideas, Vol. I, terj. Willard Trask (Chicago dan London: Chicago University Press,1978), hlm. xii.
[8] Rudolf Otto, The Idea of the Holy, terj. John Harvey (New York: Oxford University Press, 1958), bab 14-20.
[9] Smith, mengatakan “every religion mixes universal principles with local peculiarities. Diambil dari bukunya, Huston Smith, Religion of the World (New York: Harper and Row, 1997), hlm. 3. Oleh kerana itu agama apapun tidak boleh dipandang dari satu perspektif, agar tidak terjadi oversimplication dan reduksi. Pendekatan yang dilakukan harus bersifat multi perspektif. Ninian Smart menyebutnya Polimethodic Approach. Buku yang sangat baik membahas agama dalam berbagai disiplin adalah, Peter Connolly (edit), Approach to Study of Religion (London and New York: Cassell, 1999). Buku lain yang sama tetapi lebih menyeluruh di dalam membahas persoalan ini adalah Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline (Minneapolis: Fortress Press, 1995).
[10] Sebenarnya istilah ini digunakan pertama kali oleh Jean Jacques Rousseau di dalam Social Contractnya (1762), yang mengatakan bahawa agama dan pengalaman sosial mempunyai batasan yang sama (coterminous). Dikutip dari John A. Coleman, “Civil Religion” di dalam Sociological Analysis, 31 (Summer, 1970), hlm. 66. Tentu saja terdapat perbezaan dan persamaan antara keduanya,yang akan diulas pada Bab V.
[11] Untuk kajian ini Bellah menulis buku The Broken Covenant: American Religion in Time of Trial, Chicago: Chicago University Press, 1995.
[12] Pada awalnya esai ini terdapat di dalam jurnal Society, 15, no. 4, hlm. 16-23 dan diterbitkan kembali di dalam bukunya yang ditulis bersama Philip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (Cambridge: Harper & Row, Publishers, San Fransisco, 1980).
[13] Ibid., hlm. vii.
[14] Ibid., hlm. viii.
[15] Ibid., hlm. vii.
[16] Robert N. Bellah menulis rencana khusus tentang hubungan negara dan agama di Amerika Syarikat, yaitu “Religion and Power in American Today”, di dalam The Catholic Theological Society of America, 1982, hlm. 15. Lebih jauh Bellah mengajukan hubungan ini di dalam masyarakat primitif, kuno, pra-moden, moden di dalam Varieties of Civil Religion, hlm. viii-ix. Di dalam masyarakat primitif tidak ada pembedaan sama sekali antara agama dan politik, sehingga tidak banyak yang dapat dibicarakan tentang hubungan antara keduanya.
[17] Lihat Bellah, “Religion and Power in American Today, op.cit., hlm. 15.
[18] Lihat Robert N. Bellah, “Religion and Power in American Today”, hlm. 15-25.
[19] Orang-orang Puritan yang di maksud di sini adalah kelompok Puritan Separatis (tidak lagi merupakan bagian dari Gereja Inggris) yang menyatakan keterpilihannya dengan semakin memberikan perhatiannya pada doktrin perjanjian, bahawa sesuai dengan doktrin tentang kesepakatan antara Tuhan dan masyarakatknya yang dibentuk berdasarkan perjanjian biblikal antara Tuhan dan Israel. Mereka merasa sebagai bahagian daripada anggota salah satu komunitas yang terpilih ini, masyarakat Tuhan sendiri. Idea perjanjian menjadi aturan amaliah di dalam pemerintahan sivik. Lihat Catherine L. Albanese, America and Religion (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 112-114.
[20] Robert Nisbet, op.cit., hlm. 525.
[21] Metode ini menjamin, melalui objektivitas penelitiannya, bahawa pengalaman dasar boleh diulang oleh setiap orang. Sebagaimana eksperimen ilmu alam boleh dibuktikan, sehingga seluruh proses juga boleh diteliti di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Lihat Georg-Hans Gadamer, Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming (New York: The Seabury Press, 1975).
[22] Lihat pengantar R. Dean Peterson untuk bukunya A Concise History of Christianity, edisi kedua (Canada: Waddsworth Publishing Company, 1999), hlm. 4-5. Michel Foucault juga mengungkapkan pentingnya sejarah di dalam mengkayakan, mendalami, dan menyampaikan jalan baru bagi pemikiran dan penelitian. Lihat pengantar José Barchillon dalam Michel Foucault, Madness Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, terj. Richard Howard (London: Tavistock Publications, 1977), hlm. v.
[23] John B. Thompson (ed.), Paul Ricouers Hermeneutics and The Human Science (New York: Cambridge University Press, 1981, hlm. 43. Pada mulanya, hermeneutika digunakan untuk memahami kitab suci, namun di dalam perkembangan kemudian juga diterapkan pada ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti sastera, sejarah, seni dan falsafah.
[24] Bahkan kata Gadamer: “the foundation for the study of history is hermeneutic”. Gadamer, op.cit., hlm. 175.
[25] Lihat Hans-George Gadamer, op. cit., hlm. 156.
[26] Untuk bacaan lebih lanjut lihat Karl Manheim, Ideology and Utopia: an Introduction to Sosiology of Knowledge, terj. L. Wirth dan Edw. Shils (New York: Harvest, 1989), khususnya bab V tentang “Sociology of Knowledge”. Lihat juga penjelasan David Kettler (et.al) bahawa tititk tolak pencarian pengetahuan, menurut Mannheim, mesti merupakan usaha oleh pemikir untuk memahami situasi intelektual pada masanya. Dia harus memulai penelitiannya dengan pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan yang dibahas secara luas di dalam komunitinya. Selain itu, Mannheim juga mengemukakan praduga berdasarkan pendekatan dan metode penalaran yang memperoleh kekuatan di dalam generasi pemikirnya, dan ini juga terjadi pada intelektual sastera dan pemikir politik, dimana konflik dan ketidaksepaduan menandakan pemandangan bahewa pemikir harus mencari cara untuk menerjemahkan situasi yang lebih jelas dan lebih produktif. Dia tidak menyangkal hubungan integralnya antara pemikirannya sendiri dan pemikiran sezamannya. David Kettler (et.al), Karl Mannheim: Key Sociologists (London and New York: Ellis Horwood Limited Publisher and Tavistock Publications, 1984).
[27] Karl Mannheim, op. cit., hlm. 52. Menurut Nietzche bahawa sejarah itu bersifat kontingen, yang terbatas ruang dan waktunya. Lihat Peter Levine, op.cit., hlm. 277.
[28] Robert Nisbet, “Civil Religion” di dalam Mircea Eliade (ed.), Dictionary of Religion (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), hlm. 527.
[29] Robert N. Bellah, “75 Years” di dalam South Atlantic Quarterly issue, Pebruari, 2002, hlm. 1. Tulisan ini dikirim melalui email tanggal 9 Maret 2002, sebagai respons Bellah terhadap peristiwa 11 September.
[30] Tentang sejarah Presbyterian Skotlandia-Irlandia, lihat “The Scotch-Irisch Presbyterians” dalam Clifton E. Olmstead, History of Religion in the United States (New Jersey: Prentice Hall, 1960), hlm. 144-154.
[31] Di dalam pengantar Bellah untuk bukunya Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditonal World (New York: Harper & Row, 1970), hlm. xii. Di sini Bellah menceritakan perjalanan hidupnya dengan gaya aku.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Mungkin inilah yang menjadi salah faktor pendukung bagi sikapnya yang terbuka, toleran terhadap perbezaan. Seperti yang dia katakan bahawa dia telah diperlihatkan sejak awal masyarakat yang berbeza oleh keluarganya sendiri.
[35] Ibid., hlm. xiii.
[36] Bellah, “ 75 Years”, loc.cit. Untuk menggambarkan suasana pada waktu itu Bellah mengutip puisi terkenalnya Auden “September 1, 1939, yang berbunyi:
I sit in one of the dives
On Fifty-Second Street
Uncertain and afraid
As the clever hopes expire
Of a low dishonest decade:
Waves of anger and fear
Circulate over the bright
And darkened lands of the earth,
Obsessing our private lives;
The unmentionable odour of death
Offends the September night.

[37] Ibid., hlm. 2.
[38] Ibid.
[39] Ibid. xii.
[40] Dikutip dari situs www.hartsem.ed/robert n. bellah/autobiography/html.
[41] Dikutip dari situs www.hartsem.ed/robert n. bellah/autobiography/html.
[42] Dikutip dari Bellah, Varieties of Civil Religion, hlm. 10-11.
[43] Bellah, Varieties of Civil Religion, hlm. 12.
[44] Ibid.
[45] Ibid., hlm. 12. Hal yang sama dinyatakan dengan nada lain oleh Ludwig Wittgenstein bahawa nilai-nilai adalah persoalan besar, Anda akan gagap membicarakannya sebab nilai-nilai meliputi “kepentingan, kesenangan, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban moral, hasrat, keingingan, kebutuhan, sesuatu yang tidak disukai dan ketertarikan, yang sangat urgen di dalam sebuah masyarakat majemuk. Dikutip dari Martin E. Marty, “The Protestan Experience and Perspective”, di dalam Rodger Van Allen, American Religious Values and The Future of America (Philadelphia: Fortress, 1978), hlm. 30.
[46] Ibid., hlm. 12-13.
[47] Ibid., hlm. 13. Sebagaimana ditunjukkan oleh Profesor Nathan Hatch, solidaritas religius secara bertahap diberikan sebuah penafsiran lelih politik dari dalam komunitas religius pada tahun 1750-an dan 1760-an dengan munculnya apa yang sebut “milenialisme sivik,”. Bellah mengatakan bahawa komunitas nasional dengan inspirasi religiusnya yang melahirkan revolusi Amerika dan menciptakan sebuah bangsa baru. Komunitas inilah yang merupakan republik sejati, bukan rejim konstitusional liberal yang muncul pada tahun 1789.
[48] Ibid., hlm. 14.
[49] Lihat di dalam Bourgh, “A Symposium on Civil Religion”, Sociological Analysis, 1976, 37, hlm. 2
[50] Dikutip dari John A. Coleman, “Civil Religion,” di dalam Sociological Analysis, 31 (Summer, 1970), hlm. 67.
[51] Lihat Bellah, Beyond Belief, hlm. 172. lihat juga Rousseau tentang agama sivik, yag dirumuskan sebagai : “The Existence of Deity…, thel life to come, the happiness of the just, the punishment of the wicked, the sanctity of the social contract dan the laws: these are the positivie dogmas, as for the negative dogmas…(thus he said), I limit them to only one, that is intolerance. Lebih jauh lihat J. J. Rousseau, Social Contract, terj. R. Grimley (ed.), (Oxford: Oxford University Press, 1972), hlm. 49-52.
[52] Bellah, Ibid., hlm. 188. ketegangan antara gereja dan negara berakar mendalam di dalam sejarah Kristian. Ide tentang negara nonreligius adalah sangat moden dan sangat meragukan. Lihat Bellah, Varieties of Civil Religion, hlm. 5.
[53] Ibid.
[54] Bellah, Beyond Belief, hlm. 173.
[55] Ibid., hlm. 174.
[56] Bellah, “American Civil Religions in the 1970’s, di dalam Russell E. Richey and Donald G. Jones (ed.)., American Civil Religion, New York: Harper & Row, 1974), hlm. 255-272
[57] Bellah, Beyond Belief, hlm. 174. hukum tertinggi ini menurut Bellah didasarkan pada hukum alamiah klasik dan agama biblikal.
[58] John A. Coleman, op.cit., hlm. 69.
[59] Dikutip dari Coleman, Ibid.
[60] lihat Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (New York: Seabury Press, 1975), hlm. 170.

No comments:

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dengan Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga. Meskipun cuma seb...