Sisa gairah terus berlanjut hingga pagi. Semangat itu pun terus membuncah ketika saya sampai di kampus untuk mengikuti kuliah umum Profesor Emeritus Dr Abdullah Hassan berjudul Bahasa Melayu di Persimpangan: Antara Tuntutan Jati Diri dan Rempuhan Globalisasi di Dewan Budaya. Berbeda dengan kuliah umum sebelumnya, pesertanya membludak dan bahkan dihadiri juga oleh banyak tokoh penting universitas.
Kuliah ini juga diikuti dengan anugerah bahasa Melayu Universiti Sains Malaysia 2007. Untuk tahun ini, hadiah digondol oleh dosen arsitektur Prof Madya Zulkifli Hanafi. Sebelum acara ini dihelat, Abdullah Hassan memberikan kuliah selama hampir dua jam tentang pentingnya bahasa nasional dalam menunjukkan identitas atau jati diri. Di dalam buku kecil, saya mencatat beberapa hal penting, di mana saya menemukan ketakutan kita pada Barat tetapi pada sisi lain, kita tidak bisa mengelakkan diri dari cara mereka memahami realitas. Ya, di satu sisi kita khawatir bahwa globalisasi melalui penggunaan bahasa Inggeris dengan sendirinya akan membawa pandangan hidup yang khas dan akhirnya mengubah prilaku pemakainya. Namun, di sisi lain, warga Malaysia tidak bisa melepaskan dari kenyataan bahwa bahasa internasional ini telah digunakan dalam musik, film dan mungkin juga makanan. Pendek kata, bahasa mengusung budaya di mana ia bersemai.
Menengok catatan saya, pakar bahasa ini banyak merujuk pada banyak ahli filsafat dan sosiologi Barat, seperti Lock, Leibniz, yang dengan sendirinya alih-alih memperoleh jati diri, bahkan untuk memberi definisi tentang jati diri dia harus mengambil dari takrif pemikira Barat. Ini seakan-akan memerangkap kita untuk tidak bisa keluar dari tawanan Barat. Jika jadi diri berkait dengan asal usul nenek moyang, bahasa, geografi maka tidak sepenuhnya ketiga unsur ini bisa menegaskan siapa kita.
Hanya saja dalam sesi tanya jawab, saya mengajukan masalah kedekatan emosional Indonesia dan Malaysia yang dimulai pada tahun 1920-an, ketiak penggiat kiri Indonesia, Tan Malaka, Sutan Djenain, Djamaluddin Saleh bereksil ke Tanjung Malim, tepatnya Sultan Idris Training College untuk sama-sama berjuang melawan kolonialisme. Tentu perasaan senasib sepenanggungan ini lahir dari perasaan kesamaan 'bahasa', sehingga mereka bisa menemukan titik pijak yang sama menghadapi penjajah. Lalu, apakah penggunaan bahasa Inggeris dalam pelajaran sains matematik di sekolah karena pembuat kebijakan banyak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggeris dan pada masa yang sama kaum kiri tidak mendapatkan posisi untuk juga turut mengubah cara pandang bahwa bahasa Melayu itulah yang menyuburkan jati diri sebagai bangsa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment