Friday, August 22, 2008

Rumah Kami di Sore Itu

Sore mendung setelah hujan adalah suasana biru karena kami berdua ngobrol sambil meminum teh dan kopi panas. Keadaan seperti ini jarang hadir. Ya, hujan hanya sering mampir sebentar di pulau kecil tempat kami tinggal. Rumah yang terletak di lantai delapan yang terdiri dari dua kamar, satu dapur dan kamar mandi lebih dari cukup untuk kami berdua menikmati hari.

Kami merasa sangat dekat dengan rumah ini karena telah merawatnya, dengan memperbaiki pipa ledeng yang macet dengan membayar RM 60 pada tukang ledeng, RM 30 pada tukang kunci untuk membuka anak pintu yang terkunci karena anak kuncinya tertinggal di dalam. Selain itu, saya telah menyapunya tiap hari dan tentu menghabiskan banyak waktu di dalamnya. Tambahan lagi, sekarang ada televisi butut bermerek Sanyo yang menemani kami menonton acara televisi. Oh ya, dua hari yang lalu, saya sempat menikmati film Exorcism of Emily Rose yang kesannya tertanam kuat di benak. Meskipun bergenre horor, film ini sebenarnya mengajak penonton untuk memerhatikan konflik antara agama dan sains yang dibawakan oleh watak 'pendeta' dan ahli medik. Dialognya menggugah akal budi dan alur cerita menyentuh rasa.

Dari kaca nako jendela, saya melihat pepohonan menghijau, aspal menghitam dan tanah padat membasah. Keadaan seperti ini selalu membuat tentram. Akal budi merasa nyaman berpikir. Tak ada suara anak kecil seperti biasa ketika sore menjelang malam. Hanya suara kami memecah kebekuan sore itu. Kami pun berbincang ke sana kemari tanpa ujung. Tak sengaja, kesempatan ini membuka lembaran hidup yang lalu, sesuatu yang mungkin tak terungkap dalam keadaan biasa.

Sebelumnya, kawan baik saya, Stenly Djatah, mengantar uang jaminan untuk pembuat kaos acara piknik ke Batu Ferringhi sebesar RM 400 yang diminta dari Dr Sohaimi. Syukur, sebab beberapa jam sebelumnya pengurus Mega Seni Enterprise menelepon untuk mengantarkan barang pesanan kami ke kampus besok pagi. Kaos sebanyak 100 ini akan dijual pada peserta Annual General Meeting Klub Mahasiswa Pascasarjana pada 24 Agustus 2008. Kalau saya perhatikan, ikhtiar semacam ini sesuatu yang sederhana, tetapi mewujudkan keinginan ini memerlukan waktu, ide, dan tentu saja kompromi karena melibatkan banyak orang. Satu hal lagi, program ini adalah nirlaba, sehingga tak begitu menyulitkan, meskipun tidak mudah.

No comments:

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.