Monday, May 24, 2010

Membatasi Asap Rokok

Oleh Ahmad Sahidah PhD


Suara Karya, Jumat, 14 Mei 2010

Setelah klausul tentang tembakau pernah menghilang dari Undang-Undang Kesehatan, sekarang kegaduhan beralih pada penolakan sejumlah kalangan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan (RPP Tembakau). Ditengarai industri merokok berada di balik penolakan ini. Dengan menggunakan petani sebagai tameng, para juru bicara mereka menentang aturan tersebut. Tak hanya itu, perusahaan rokok juga memasang iklan yang bernada membela petani. Tapi, benarkah?


Tentu, semua orang telah mafhum tentang bahaya merokok. Merujuk ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan bahwa “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya,” siapa pun yang berpikir sehat bisa memahami kalimat tersebut. Asap rokok telah meracuni penikmatnya dan keluarga. Lalu, adalah wajar jika setiap individu bersama-sama melawan ketergantungan yang tidak sehat ini.


Keputusan Majlis Fatwa dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang keharaman rokok sebenarnya bukan hal baru. Namun tak ayal ia memantik penolakan dari organisasi keagamaan yang lain. Pertimbangannya bukan saja terkait dengan alasan kesehatan, tetapi juga terkait nasib petani. Sementara Din Syamsuddin, Ketua Muhammadiyah, menegaskan bahwa langkah ini merupakan penyelamatan peradaban. Organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ingin turut serta mendorong tercapainya target MDGs (Millennium Development Goals). Muhammadiyah mencoba turut menanggulangi beberapa macam pandemi yang melanda dunia, seperti flu burung, flu babi, serta TBC dan penyakit saluran pernafasan, yang masih mengancam manusia.


Adalah aneh jika kita masih menganggap kebiasaan rokok itu bisa diterima. Ketidakberdayaan perokok untuk berhenti sejatinya adalah ketidakmampuannya untuk melawan zat adiktif, sesuatu yang diasup dari luar. Ketenangan hakikatnya bermuara pada dalam diri, hati. Kegagalan mendatangkan kenyamanan dari diri sendiri adalah awal keterpenjaraan pada benda lain. Apatah lagi, selama ini penghasil tembakau tidak memperoleh keuntungan dari hasil pertanian nicotiana tobaccum. Jadi, diam-diam sebenarnya perokok turut mengekalkan praktik penindasan ini dan dengan sendirinya memanjakan para cukong. Adakah ketentraman bisa lahir dari kenyataan yang terakhir seperti ini?


Hidup Sehat


Malaysia menyebut kampanye dengan ‘kempen’ yang sebenarnya juga digunakan untuk memasyarakatkan program layanan kemasyarakatan yang lain, seperti kesadaran berlalu lintas, bahkan hingga berpakaian yang sopan. Program anti-merokok dengan slogan Tak Nak! (Tidak Mau) sebenarnya dicadangkan sejak Dr Mahathir memegang kursi perdana menteri karena miris melihat remaja ketagihan dengan asap rokok. Penggantinya, Abdullah Badawi, melanjutkan program ini dengan dukungan penuh kementerian kesehatan. Dengan anggaran RM 20 juta (Rp 60 miliar) setahun, pemerintah secara besar-besaran mempromosikan hidup sehat dengan tidak merokok.


Salah satu cara untuk tidak mendedahkan remaja pada kebiasaan buruk ini adalah melalui perundangan-undangan dan pendidikan kesehatan. Pemerintah menggelontorkan dana besar untuk menyampaikan pesan tentang bahaya merokok melalui pelbagai media, seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah. Tidak saja melarang menghisap rokok di kantor-kantor pemerintah, iklan rokoh di media juga tidak diperbolehkan. Malah, meski rokok bisa menjadi sponsor untuk kegiatan olahraga, pemerintah mendorong penyelenggara pertandingan untuk mencari dana dari sumber-sumber lain. Ternyata, usaha ini berhasil. Putaran pertandingan sepak bola liga utama di sana secara rutin diadakan tanpa keterlibatan industri rokok.


Untuk memberikan efek yang lebih kuat, pada bungkus rokok tidak hanya diterakan amaran (peringatan) kerajaan Malaysia, rokok membahayakan kesihatan, tetapi juga peringatan bergambar, seperti kaki melepuh, kerongkongan hancur dan mulut menghitam dan bayi prematur. Jika aturan tersebut yang terakhir tidak dipenuhi, maka perusahaan bersangkutan bisa didenda RM 10 ribu atau dua tahun penjara, atau kedua-duanya jika ditetapkan bersalah. Pemberlakukan aturan baru ini efektif sejak tahun 1 Juni 2009 dan hingga sekarang, kita akan menemukan wajah sebungkus rokok yang membuat kita tak mempunyai nafsu makan.


Jadi, ketika Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Ismanu Soemiran menyatakan, RPP itu meresahkan pengusaha rokok dan 2,5 juta petani tembakau adalah berlebihan. Tambahnya, RPP, yang antara lain, mengatur larangan penayangan iklan rokok, sponsor acara, kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility), larangan penjualan rokok secara eceran dan pada orang di bawah 18 tahun serta wanita hamil, membuat perusahaan rokok tak berkembang. Justru aturan ini dibuat agar industri ini tidak meracuni masyarakat lebih luas. Oleh karena itu, tak perlu dikembangkan. Ternyata, aturan yang sama tidak membuat bangkrut negara tetangga.


Akhirnya sudah saatnya, semua pihak mempertimbangkan untuk mendukung langkah Departemen Kesehatan untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat. Demikian juga, pemerintah tidak perlu terlalu risau atas berkurangnya pemasukan cukai rokok, mengingat biaya yang ditanggung pemerintah untuk pemulihan penyakit yang ditimbulkan oleh racun tembakau dan biaya sosial justeru lebih besar. Langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang sehat sangat mendesak. Di sini, yang diperlukan hanyalah keberanian untuk mengatakan tidak pada perusahaan rokok yang telah menyebabkan petani merugi dan orang ramai tidak sehat. Namun demikian, pemerintah harus mencari tanaman alternatif yang bisa mendongkrak taraf kehidupan petani. ***


Penulis adalah Postdoctoral Research Fellow
pada Universitas Sains Malaysia

No comments:

Mengenal Pikiran

Kaum idealis dan materialis melahirkan turunan cara berpikir. Saya memanfaatkan keduanya tatkala mengajar Filsafat Takwil di Universitas Nur...