Monday, November 05, 2012

Kedai Makan

Di sebuah warung tak jauh dari rumah, kami menikmati sore. Si kecil tak bisa dicegah untuk beraksi. Untungnya, belum ada pelanggan yang lain. Saya memesan tape (tapai) ketan. Sementara, setelah lelah, anak kecil berkaos hijau ini mengasup bubur ayam. Di Kedah tak banyak warung yang menyediakan tempat lesehan. Kebanyakan warung makan meletakkan kursi meja di pelbagai sudut.

Seperti anak kecil sebayanya, ia tidak bisa duduk diam dengan tenang. Hanya sepersekian detik sampai, ia telah menyusuri setiap sudut warung. Atraksi di atas meja tentu di luar dugaan. Namun, kami pun memintanya tak berlama-lama, sebab meja itu tidak sesuai dengan berat tubuhnya. Apalagi dengan hentakan keras, lama-lama meja bisa ambrol.

Dunia setiap orang tak sama, namun kehendaknya tak jauh berbeda, menemukan riang. Setiap manusia sedang berburu kegembiraan. Bagi kami, kedai makan yang menyediakan minuman dan makanan ringan ini telah menyediakannya. Sambil berselonjor, kami merasa tubuh lebih santai. Di sebelah warung ini, warung makanan Thailand berdiri kokoh, tempat kami kadang-kadang memenuhi makan malam. Lalu, mengapa kita harus menguras kantong hanya untuk makan di tempat yang mahal, sementara rasa nyaman itu hakikatnya adalah tanggapan perasaan dan gagasan kita tentang sesuatu? Bayangkan, di Korea Selatan, ada anekdot bahwa di sana tak jarang orang berhemat  dengan makan mie instan seharga 2000 Won ( Rp 18 ribuan) agar bisa menikmati secawan kopi Starbucks 6000 Won (Rp 51 ribuan) sebagai cara  untuk  memenuhi gaya hidupnya. 

No comments:

Nietzsche

Kak, could you draw this picture using paint colors? Saya mengirim pesan pada anak sulung. Ia suka melukis, baik menggunakan pensit warna at...