Thursday, March 22, 2018

Kisah Buku [1]

Buku ini lahir dari dukungan banyak orang. Bukan saja dari ide, tetapi juga sokongan moral dan material. Penulisan ini mengenalkan saya dengan banyak rujukan dan perjalanan. Ketika saya meminta dorongan (endorsement) pada Pak Musa, dengan serta ia menulis dalam hitungan detik. Guru filsafat Islam tersebut selalu memercikkan semangat.

Demikian pula, kesediaan Pak Ichwan memberikan pengantar merupakan sebuah keajaiban. Dosen UIN Sunan Kalijaga ini dulu menolong saya untuk mendapatkan rekomendasi dari Prof Salleh Yaapar untuk mengambil program doktoral di Universitas Sains Malaysia di bawah bimbingan Prof Zailan Moris. Murid Sayyid Hussein Nasr ini mengajarkan saya banyak hal dalam dunia akademik, yang tak melulu soal membaca buku, tetapi juga hubungan kemanusiaan lebih luas. Tak hanya itu, Ibu Zailan juga mengenal Sachiko Murata, murid Izutsu.

Mas Islah, dosen IAIN Surakarta, menyanggupi penulisan dorongan dengan riang. Kampusnya hanya berjarak sepelemparan bus. Saya berusaha untuk silaturahmi ke sana agar saya bisa belajar bagaimana seorang dosen seperti beliau merawat manuskrip lama untuk memberikan makna baru. Ketelatenan lelaki asal Rembang ini memang layak diteladani. 

Sunday, March 18, 2018

Saya, Kato, dan Jepang

Saya menunjukkan buku Hisanori Kato berjudul Islam di Mata orang Jepang kepada yang bersangkutan melalui pesan ringkas WhatsApp. Jauh sebelumnya, unggahan foto Ulil dan Kato di Facebook mendorong saya menulis bahwa saya adalah penggemar Kato.

Hakikatnya, saya suka tradisi intelektual Jepang. Untuk itu, saya senang punya kawan di UUM, Rie Nakamura yang mengajar di Fakultas Hukum. Tentu, pengalaman saya menulis disertasi tentang pemikiran Toshihiko Izutsu menyeret saya pada sejarah negara Matahari Terbit lebih mendalam.

Bacaan saya terhadap novel Takashi Matsuoka berjudul Cloud of Sparrows: An Epic Novel of Japan telah membuat saya terseret pada pusaran negeri Tenno Heika ini jauh lebih mengasyikkan. Selain itu, saya juga merasa nyaman dengan teman-teman lulusan sekolah Jepang, seperti Zainal Abidin Sanusi, Wahyu B Setianto, dan Ahmad Maulana yang masih sedang menyelesaikan program doktor di sana. Hidup Jepun!

Wednesday, March 14, 2018

Rhoma Irama dan Politik

Rhoma berada di tengah. Ia menjadi magnet. FORSA membulatkan tekad untuk mendukung pasangan Khofifah dan Emil. Sebagaimana saya pernah menulis opini di Suara Merdeka (20 Nov 2012) berjudul "Kealpaan Rhoma", pelantun pemilu ini akan terpapar pada kritik kalau tidak hati-hati dalam berkomentar.

Sejatinya, banyak lagu yang berkait nilai-nilai politik yang bisa dibawakan pada kampanye nanti, seperti Pemilu, Hak Asasi, Nafsu Serakah, dan Pembaharuan. Ayah Ridho hanya perlu mengurai ide-ide besarnya dengan merujuk pada karyanya yang luar biasa itu.

Sebagai saran, Rhoma Irama berduet di atas panggung dengan penyanyi muda lain yang masih bisa menaikkan suara agar lagu-lagu yang bernada tinggi itu bisa dinikmati. Tentu, aransemen musik tetap mengekalkan bunyi awal agar saya tak terkial-kial mendengarnya. Maklum, telinga saya seperti terpatri pada corak dan permainan intrumen asal. 

Sunday, March 04, 2018

Kenduri Kahwin

Biyya tampak riang. Ia membayangkan hadiah yang akan didapat ketika beranjak dari memenuhi undangan pesta perkawinan. Beruntung, saya membaca pesan di grup WhatsApp kampus, yang mengingatkan hari kenduri kahwin anak teman di fakultas.

Sesampai di sana, kami duduk tak jauh dari pelaminan. Kemudian, ada sepasang suami isteri yang mengambil tempat. Tak perlu waktu lama, kamipun berbual panjang lebar. Setelah keluar dari tenda, isteri saya bertukar nomor telepon dengan Cikgu Suri, istri Encik Zaini yang tinggal di Kampung Gajah Putih.

Keramaian seperti ini selalu mendatangkan pengalaman untuk melihat gambar kehidupan. Silaturahim adalah cara kita menjalaniny agar lahir sifat rahim, kasih sayang di antara sesama. Sayang, kami tak sempat berfoto bersama dengan pengantin sebab Zumi tak sabar ingin segera pergi ke pasaraya untuk membeli mainan. 

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.