Tuesday, April 03, 2018

Kisah Buku [2]

Mengapa saya akan membedah buku pemikiran Izutsu di Annuqayah pada etape pertama? Karena di sini saya belajar tafsir untuk pertama kalinya. Ustaz Rais menggunakan Alqur'an terjemahan Departemen Agama sebagai buku teks. Sejak diterbitkan di Malaysia, saya pernah berbincang dengan Kiai Mushthafa terkait bedah karya tersebut beberapa tahun silam.

Selanjutnya, saya belajar tafsir Jalalain sebagai buku ajar di sekolah menengah dari Pak Johan. Pelajaran diselenggarakan di masjid Latee, karena Yayasan sedang membangun kelas baru untuk siswa. Dengan tekun, saya memaknai kata perkata dari surat Al-Kahfi dan mengikuti penjelasan dari sang guru.

Tentu, pengalaman membacakan Alqur'an setelah subuh di rumah Kiai Ahmad Basyir adalah pengalaman spiritual lain yang mendebarkan. Tidak hanya harus berjamaah subuh di belakang ke kanan kiai, saya dan teman-teman lain harus memastikan agar sajadah tidak dipindah sebab tidak digunakan sepanjang menunggu sembahyang. Sekali waktu, pintu gerbang jebol karena santri berebut, tak pelak dibuat aturan giliran berdasarkan urutan baris (shaf) berjamaah. Lalu, apa kaitannya dengan gambar karnaval? Inilah wajah Islam Madura. Alquran memang menjadi kitab utama, tetapi dalam keseharian mereka telah meramu kehidupan dengan kearifan. Tentu, ini memerlukan penulisan buku lain yang saya bayangkan, "Analisis Semiotik terhadap Penghayatan Alqur'an orang Madura: Kajian terhadap Karnaval Madrasah di Ganding".

No comments:

Syawal Ketujuhbelas

Biyya mendapatkan hadiah ulang tahun berupa novel dari Tante Ana. Dua anak imigran China di Melbourne, Australia hendak menautkan rasa di se...