Tuesday, October 18, 2022

Ketahudirian

 

Karena tahu diri, saya mengatur posisi. Sebagai santri, saya bukan kiai. Sebagai dosen, saya bukan menteri, apalagi presiden. Sebagai hamba, saya bukan Tuhan.
Tetapi, itu diri dalam pengertian kedudukan. Dalam satu alam pemikiran, ada nir-diri, bukan-diri, yang tidak dikerangkeng oleh jati diri.
Dalam kesendirian, saya mencoba menjadi bukan-diri. Tetapi, hanya sebentar, lalu saya akan menjadi seorang ayah yang memandikan anak di pagi hari, menjemput Biyya di sekolah, dan membelikan kelapa muda untuk isteri.
Oh ya, dukungan diri ini pada Anies Baswedan sebagai bakan calon presiden bersyarat. Ini tidak mutlak. Politik itu kalkulasi. Hanya Kuntadhi dan gerombolannya yang melihat kekuasaan itu hitam putih.
Tidak mudah untuk hadir sebagai diri yang asli. Mengapa? Kita sering lempar batu sembunyi diri. Kalau begitu, tahu diri sajalah!

No comments:

Syawal Keduapuluhdua

Ketika mendengar lagu "Hitam", Rhoma dan Rita, saya justru ingat kampung di waktu sore yang hangat. Sawah, madrasah, SD, bola, sur...