Tadi, kurir JNE minta dipandu agar paket bisa dikirim ke rumah. Maklum, ia adalah pekerja pengganti. Saya bilang gang Mekar itu menunjukkan pada toko material yang ada di sebelah kanan.
Identitas itu ilusif adalah jelas pandangan pascamodern. Ide klasik tentang jati diri adalah pasti, sementara modern rekonstruksi sosial. Jika kedirian itu terlempar, sebenarnya cap itu bukan pilihan.
Kenyataannya, saya yang disebut sebagai orang Madura, meskipun sehari-hari di rumah dan kampus, menggunakan bahasa Indonesia. Setidaknya, setiap malam Ahad saya menelepon ibu dalam bahasa Pulau Garam halus. Sekali-kali saya mengucapkan kata Madura di dalam kelas, seperti amal, yang jelas maknanya bisa retak.
Untuk itu, saya Madura, saya pasca Indonesia. Kata inipun tak lebih daripada jargon. Sebab, di rumah, tanda-tanda sebagai orang Madura dan Indonesia tidak ada, selain bahasa. Tetapi, apa perlu simbol itu bila nilai-nilai keduanya telah dilaksanakan keseharian?
Keterangan: Saya membuka bungkus karya ini seraya menikmati gending Jawa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pagi Sore
Dari Bidakara, saya dan Mas Duri ke warung Padang Pagi Sore. Anehmya, kami menikmati makan malam. Saya merasakan kenyal kikil dan menyedap c...
-
Buku terjemahan saya berjudul Truth and Method yang diterbitkan Pustaka Pelajar dibuat resensinya di http://www.mediaindo.co.id/resensi/deta...
-
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...
-
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...

No comments:
Post a Comment