Sebagai dosen Filsafat Keuangan, saya dan mahasiswa membahas banyak isu berkait uang. Benarkah ia bikin manusia bahagia?
Lukman adalah mahasiswa semester akhir PS. Nanti, ia akan melanjutkan S2 di bidang yang sama.
Sebagai dosen Filsafat Keuangan, saya dan mahasiswa membahas banyak isu berkait uang. Benarkah ia bikin manusia bahagia?
Lukman adalah mahasiswa semester akhir PS. Nanti, ia akan melanjutkan S2 di bidang yang sama.
Apa yang dianggap mimpi Amrik, dikritik. Apa yang dilakukan Paman Sam, kebablasan. Dengan dasar inilah, kita belajar. Jangan-jangan patung Liberty itu memang gerowong!
Apa AS akan runtuh? Sejarah menunjukkan bahwa peradaban dunia yang megah pada zamannya, kini rebah. Kalau Indonesia? Masa 2030? Tidak.
Dulu, ada kursi di sebelah kiri yang dibeli ibu dari kota. Pagi-pagi sekali, ia membangunkan kami bahwa kursinya sudah datang. Dengan warna merah menyala, kehadirannya terasa. Sesederhana itu kegembiraan kala itu.
Pada 1986, bapak membeli televisi yang memakai accu. Demam Piala Dunia melanda. Sepupu saya menyebut dirinya Mario Kempes, pamain asal Argentina. Di halaman ini, kami juga sering bermain di malam hari ketika bulan purnama menyinari kampung. Kini, rumah ini telah dipugar. Kakak perempuan saya membangun sebuah kediaman baru.
Setelah bersenama, kami pun berjalan menyusuri sawah, perumahan, dan pertokoan. Alangkah seronok, saya bisa berbincang dengan Pak Pur. Dari sini, saya tahu bahwa dunia itu sempit dan luas.
Di jalan ini, saya melihat petani yang sedang menjemur tembakau di sisi kiri dan kanan jalan. Tentu, kami berharap hujan tidak turun, karena ia akan merusak daun emas ini.
Setiap peserta membawakan dirinya masing-masing, namun bertemu kembali di lapangan untuk mendapatkan cabutan bertuah (doorprize).
Sepagi ini, Habbaytak Fairuz melantun. Kopi panas bikin mata menyala. Mengapa nyanyian ini bermakna? Intro musik dijadikan pembuka azan di sebuah radio.
Dari sini, kita pun bisa merasakan kedekatan dengan Kekristenan. Bila jauh, kita sering terjebak pada prasangka. Hakikatnya bukan beda, tetapi kita sering bermasalah dengan orang lain, bahkan sesama golongan sendiri.
Tak pelak, banyak orang tak bahagia, sebab kuesioner isian hubungan kita dengan "the others" dalam The Oxford Happiness Questionaire tak kukuh.
Hidup ini hakikatnya soal relasi "I, others, dan things". Saya sendiri meyakini Tuhan berada di luar kategori. Anda?
Saya menikmati siaran Brama FM, yang menyiarkan macopat Madura. Istri menggajar dan dua anak belajar di sekolah.
Sendiri memang bukan sunyi, sebab kita dapat mendatangank bunyi dari radio, tv, dan gawai. Tetapi, apa yang kita cari? Pengetahuan, penghiburan, atau pengosongan agar "satori" datang?
Kata dalam bunyi memang perlu dihapus. Dalam suwung, selubung terbuka. Kekosongan adalah jalan untuk menjernihkan dari kekeruhan. Kita terlalul banyak mengisinya dengan data tanpa bisa dikontrol.
Kami suka ayam geprek Brewok ini. Bungkusnya terbuat dari kertas, bukan styrofoam. Warungnya terletak di perempatan jalan masuk ke pondok pesantren Nurul Jadid. Pernah sekali waktu, saya menikmati es jeruk yang kental dan segar.
Maaf, Peter Singer! Saya belum bisa menghentikan konsumsi daging. Sebenarnya, betapa lemah sebagai manusia, hidup saya masih bergantung pada hewan, bahkan telurnya.
Sebenarnya saya berusaha untuk menghentikan konsumsi daging atas dasar etika hewan. Malah, telur pun juga ditimbang untuk ditinggalkan, karena ia adalah calon kehidupan. Apa mungkin kita menggeprek lauk dari tumbuhan?
Di dalam keluarga, saya berbeda dengan Biyya dan Zumi dalam melihat politik Amerika, misalnya. Dulu si sulung mendukung Joe Biden, sementara Zumi, memilih Donald Trump. Alasan yang terakhir adalah kesukaannya pada McDonald. Apakan tidak, dulu di Kedah, ia suka Happy Meal.
Saya abstain. Ibunya melihat politik dalam kacamata lebih luas. Ia adalah arena perebutan kekuasan. Tak lebih. Ideologi itu umpan, yang digunakan untuk menjerat ikan, setelah itu dimakan.
Apa mungkin pondok jadi semacam Harvard di masa depan? Terbuka pada "kebedaan". Kajian agama menjadi "divinity school" saja, misalnya. Atau, kita menyendiri, mengada sesuai jati diri.
Mengingat pondok kini membuka lembaga pendidikan umum, ia akan bertransformasi menjadi institusi yang terbuka. Tentu, nilai-nilai otentik yang dipertahankan akan turut mewarnai pengaruh dari luar.
Beruntunglah, mahasiswa UNUJA telah memulai belajar sejak pukul 6 pagi dengan mengikuti pengajian Syarh al-Hikam. Kita pun senang karena Pak Haji Nurul selalu memastikan mereka berjamaah subuh. Kini, POMAS di bawah Pak Jasri juga menggiatkan kajian kitab berkala, yang diasuh Kiai Zuhri, Kiai Najib, dan Kiai Fayyadl.
Kitab ini menantang nalar kita untuk berpikir. Pejalan atau al-sair adalah kiasan bagi mereka yang hendak menyucikan hatinya. Ini mengingatkan kita pada The Philosophy of Walking oleh Frederic Gros bahwa jalan kaki itu juga cara untuk menemukan ruang batin yang ditutup oleh gelegak lahir.
Setidaknya, dengan menghadiri pengajian kitab ini, santri berjalan kaki dari asrama.
Dulu saya KKN di Batur, yang berada di ketinggian. Dengan motor Honda beat, saya bisa menyentuh dusun tempat kami berbakti. Mungkin, dengan trail, saya bisa sampai ke Tanah Merah lebih mudah. Kata kadusnya, mengapa stunting? Akses. Di musim hujan, warga akan menemui kesulitan untuk melalui jalan setapak.
Menariknya, toko di sekitar dusun menjual es krim Walls, dll. Wah, berapa uang jajannya? Kini, kapitalisme merangsek hingga ke pelosok. Anak-anak kini tentu akan meminta uang jajan yang jauh lebih besar.
Setelah sekian lama tak ke lokasi, saya ingin kembali menengok warga. Dulu, kami membuat pakan ternak dari limbah tanaman lokal. Kala itu, saya berjanji ingin mengunjungi untuk membuat program perpustakaan mini di balai desa agar anak-anak di sela-sela main bola melalui gawai bisa membaca.
Kami mempunyai kegiatan diskusi rutin. Kemarin, salah seorang teman menyampaikan tema "Art Therapy: Entering into Your Own Garden". Setelah mengulas disiplin ini secara teoretis, ia memberikan kertas gambar dan pensil warna.
Lalu, dosen psikologi tersebut meminta kami memejamkan mata, membayangkan taman dan segala isinya. Mengapa pondok itu berwarna hitam? Apa makna bunga matahari dan dua kursi itu? Dua ekor burung perkutut?
Akhirnya, setiap individu secara subjektif bisa mengenal dirinya melalui visualisasi dan 5 kata yang ditulis untuk membingkai lukisannya.
Dalam
keseharian, kita nyaris tak pernah lepas dari layar. Dari bangun tidur hingga
kembali terlelap, dunia dalam gawai terasa lebih nyata daripada yang ada di
sekitar. Media sosial menjadi panggung tempat berbagai narasi, opini, dan emosi
berseliweran setiap detik. Namun, di balik pesona itu, kita justru kehilangan
sesuatu yang paling mendasar, yakni kejernihan. Lihat, pertengkaran di media sosial
terkait ijazah Jokowi justru memperkeruh keadaan. Banyak orang terbelah pada
keberpihakan, bukan kebenaran.
Masalah
utamanya bukan lagi pada banyaknya informasi, melainkan kesulitan membedakan antara
pengetahuan dan kebisingan. Banyak dari kita tampak khusyuk menatap telepon atau
komputer, padahal batin kita justru sedang terombang-ambing. Kita berpindah
dari satu konten ke konten lain, seolah terus bergerak, tetapi tak benar-benar
menuju ke mana-mana. Kita terjebak dalam kemacetan digital, tampak bergairah,
tapi kehilangan arah. Kita berada di threadmil, bergerak, tetapi tetap
berada di tempat yang sama.
Fenomena
di atas pernah dirisaukan oleh Alvin Toffler dalam Future Shock (1970).
Ia memperingatkan bahwa keberlimpahan informasi akan membuat manusia modern babak
belur. Ketika volume informasi melebihi kapasitas kita untuk memprosesnya,
hasilnya bukanlah pemahaman, melainkan kebingungan. Kini, hal itu makin parah
karena algoritma media sosial justru menyodorkan konten yang paling menggoda
emosi, bukan yang paling hakiki. Click bait adalah jebakan yang
mematikan.
Marshall
McLuhan juga menekankan bahwa medium turut membentuk isi pesan. Ujaran “The
medium is the message” adalah pengingat. Ketika banyak hal kita alami lewat layar,
maka cara kita berpikir pun berubah. Interaksi dipersingkat, empati dikompresi
menjadi emoji, dan ruang renung dihapus oleh notifikasi secara terus menerus. Pengguna
secara tidak sadar telah menjadikan
dirinya sekrup kecil dari mesin, karena ia hakikatnya adalah sebagai sebagian kecil
dari teknologi informasi yang buta.
Lebih
jauh, teori keterasingan digital yang dikemukakan oleh Sherry Turkle menegaskan
bahwa meskipun kita terhubung dengan dunia melalui gawai, banyak individu yang
justru mengalami alienasi, baik emosional dan sosial. Dalam bukunya Alone Together
(2011), Turkle menyatakan bahwa meskipun kita sering berhubungan dengan orang
lain melalui media sosial atau aplikasi komunikasi, interaksi tersebut
cenderung artifisial dan basa basi.
Akibatnya,
banyak orang merasa kesepian meski dikelilingi oleh ribuan teman virtual.
Penggunaan gawai tanpa kontrol justru memperburuk perasaan terisolasi. Kontak
fisik yang autentik dan pertemuan tatap muka digantikan oleh tanggapan yang tidak
utuh dan nirempatik. Alienasi ini berkembang karena individu merasa terasing
dari diri mereka sendiri, terperangkap dalam dunia maya yang menggantikan
realitas sosial yang lebih jauh bermakna.
Lalu,
bagaimana kita bisa menemukan kembali diri yang hilang di tengah belantara
digital? Pertama, kita harus menumbuhkan kesadaran digital. Kita perlu hadir
sepenuhnya dalam setiap interaksi dalam jaringan (daring). Kala membuka media
sosial, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk apa saya berada di sini? Apa yang
ingin saya temukan?” Kesadaran semacam ini membuat kita lebih hati-hati dan tidak
larut dalam konten-konten yang hanya menghabiskan waktu dan menguras energi.
Kedua,
literasi media menjadi keniscayaan. Kita perlu membekali diri dan generasi muda
dengan kemampuan berpikir kritis dalam menyikapi informasi. Krititisisme ini
bukan hanya soal mengidentifikasi hoaks, tetapi juga kemampuan membedakan
antara opini dan fakta. Lembaga pendidikan, institusi keagamaan, dan komunitas
lokal mesti menjadi garda terdepan dalam membangun kepekaan intelektual ini.
Namun, mengingat
tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari ruang digital, kita bisa memanfaatkannya
dengan penuh perhitungan. Menatap layar bukanlah kesalahan, selama kita tahu ke
mana penglihatan itu membawa kita. Dunia digital tak perlu dihindari, tapi
harus diawasi agar tetap menjadi alat, bukan tujuan hidup. Di tengah kebisingan
yang berlangsung selama 24 jam, kejernihan tak datang sendiri. Ia perlu
diciptakan dengan kemampuan menahan diri, meneguhkan kesadaran, dan keberanian
berpikir mandiri.
Ronald Reagen pernah mengutip Ibn Khaldun tentang pajak. Betapa ide penulis Muqaddimah mengalir hingga jauh. Menariknya, mantan presiden Amerika itu mengutip soal pajak.
Kini, apa makna kehadirannya bagi kami yang tinggal di Paiton? Apa fanatisme kesukuan masih ada? Apa LS PWI itu ashabiyyah? Kepemimpinan berdasar apa? Apa betul individu perlu masyarakat untuk hidup?
Mungkin, pertanyaan di atas akan mendorong warga untuk memeriksa kembali banyak mitos selama ini.
Dulu saya KKN di Batur, yang berada di ketinggian. Dengan motor beat, saya bisa menyentuh dusun tempat kami berbakti. Mungkin, dengan trail, saya bisa sampai ke Tanah Merah lebih mudah. Kata kadusnya, mengapa stunting? Akses.
Menariknya, toko di sekitar dusun menjual es krim Walls, Wings, Aice, dll. Wah, berapa uang jajannya? Kini, kapitalisme merangsek hingga ke pelosok. Tentu, orang tua akan merogoh kantong lebih dalam untuk memenuhi jajan anaknya.
Kami mengelola pakan ternak dari limbah. Warga lokal dapat mengambil manfaat karena bisa memanfaatkannya tanpa harus merumput setiap hari.
Novel ini cetakan kedua (2017). Saya meminta tolong almarhum Pak Suraji untuk membelikannya. Kini, Laut Bercerita telah memasuki angka 100, sebuah pencapaian yang luar biasa untuk sebuah karya fiksi.
Dari sini, saya menelusuri kembali masa kuliah, yang menyegarkan pembacaan kritisisme pada kekuasaan. Saya selalu menyarankan pelajar untuk membaca karya Bu Leila S. Chudori.
Saya selalu menemukan potongan yang mendatangkan makna baru dalam pembacaan.
Jika ikut Jabiri, kita tak akan melirik tafsir sufi, tetapi menekankan kaidah burhani. Apa 'irfani itu bikin umat merosot?
Kritik terhadap nalar Arab jelas memiliki konteks. Kini, apa hal serupa terjadi di Nusantara? Lagi pula, apa pesan terdalam dari filsuf Maroko itu?
Dalam keseharian, kita meneguhkan ibadah (burhani), melanjutkan dgn tepekur (irfani) dan peduli pada sains sebagai sunnatullah.
Mungkin, kedalaman dan kesungguhan untuk memajukan itu semua perlu digalakkan. Kadang pengalaman batin lahir dari rutinitas ritual dan pengamatan pada alam.
Dalam akun Twitternya, Hamid Basyaib, pegiat Islam Liberal, berkicau bahwa SPERMA itu singkatan dari Serikat Pendukung Rhoma Irama. Lalu, Poltak Hotradeo mengicaukan ulang. Tak ayal, saya membacanya dengan bergetar. Senaif itukah kaum intelektual kita sehingga mencerca orang tidak disenangi dengan kata-kata tak pantas? Boleh jadi, Hamid bukan penggemar Bang Haji. Atau, ia gerah dengan gerakan politik pelantun Hak Asasi itu yang dianggap tidak ramah pada kemajemukan, seperti sikap bang Haji terhadap Jokowi dan Ahok. Memang, banyak orang sejenis yang sinis pada bekas suami Angel Lelga ini. Malah, olok-olok berhamburan di media sosial (sila simak hlm. 223).
Karya ini tentu bukan alat untuk membela Bang Haji dari semua itu. Ia hadir karena penulisnya menggemari ketua PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) sejak kecil. Meskipun demikian, seperti ditulis oleh Zawawi Imrom, penyair Clurit Emas, bahwa kedekatan emosional penulis tidak melarutkan pandangan kritisnya sehingga karyanya menarik untuk dinikmati. Malah, Andrew N Weintraub, profesor musik Amerika, lebih jauh melihat buku ini sebagi penegasan betapa penting peran Rhoma Irama dalam mengembangkan musik Melayu yang mempengaruhi musik populer dan lebih jauh liriknya mengandung kritik sosial dan politik. Malah, Bens Leo, pengamat musik, menyatakan pelantun Begadang itu disebut sebagai pembuat revolusi dan modernitas dangdut.
Dalam kata sambutannya, Rhoma menegaskan bahwa buku ini penting karena ia merekam sumber-sumber dari luar. Rujukannya luas, dari karya ilmiah, majalah, koran dan media daring. Sebenarnya pengantar penulis itu sendiri atas karyanya telah mencerminkan secara utuh sehingga pembaca bisa berhenti untuk membaca bab-bab selanjutnya. Namun, untuk lebih jauh meneroka kisah grup musik terawet di dunia ini, tentu siapa pun perlu menyimaknya secara tuntas. Belum lagi, Fachri Ali, intelektual kawakan, memberi bingkai karya ini dengan menyebut dangdut sebagai budaya-perlawanan (counter-culture), di mana ketua Fahmi Tamami (Forum Silaturahmi Takmir Masjid dan Mushalla) tersebut berada di garda terdepan.
Ketika orang kota lebih menikmati lagu-lagu pop Barat, yang mengandaikan selera tinggi, mereka menemukan identitasnya sebagai kelas menengah dengan menempelkan sebanyak mungkin gaya pujaannya. Sementara kaum migran kampung yang mengalami mobilitas sosial lebih memilih lagu-lagu dangdut dan Melayu karena nada dan liriknya sejalan dengan imajinasi mereka tentang kehidupan, termasuk napas keagamaan yang kental. Dalam titik-tertentu, menurut Fachri Ali, Rhoma Irama kadang bertindak sebagai ideolog, terbukti dalam lagu “Musik”, ia meminta musuhnya-musuhnya tak menggangunya. Jelas, dua lirik terakhir menggambarkan kepercayaan dirinya: Biarlah kami mendendangkan lagu │Lagu kami Lagu Melayu.
Betapa luas karya ini terbukti dari bab-bab yang ingin menuntaskan A-Z Rhoma Irama dan Soneta. Dengan memulai pembacaan terhadap riwayat hidup, lalu perubahan paradigma musik orkes Melayu ke Dangdut, revolusi Dangdut, genre musik sebagai media dakwah, kritik dan pesan sosial, pesona Rhoma di panggung dunia tentu akan mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat dengan ayah Ridho Rhoma. Tentu bab 6 dan 7 mesti ditelaah karena bagian ini mengurai sepak terjang Raja Dangdut dalam kehidupan pribadi, keluarga dan tentu saja keterlibatannya dalam politik.
Sebagai karya yang serius, kita juga cukup terhibur dengan banyak foto yang membantu pembaca untuk memahami sosok suami Ricca Rachim ini secara visual. Lihat halaman 18, kulit sampul album Begadang menampilkan Rhoma yang bertelanjang dada dengan gitar bertuliskan Soneta. Meskipun ia tidak lagi berambut panjang dan berkalungkan tasbih, namun jelas Oma belum berhijrah sepenuhnya. Lebih awal lagi, ketika masih membawakan orkes Melayu, calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa ini berpakaian model cutbrai. Selanjutnya, sebagai wujud musik dakwah, anak seorang tentara tersebut tak lagi menggunakan pakaian yang asal-asalan. Kulit sampul buku adalah wajah baru lelaki asal Tasikmalaya ini, berjubah dan melilitkan serban dalam setiap pementasan.
Justeru, tantangan terbesar bagi pembaca adalah memerikan makna pada syair lagu. Meskipun setiap nyanyian mengandaikan konteks tertentu, namun sebagai teks yang bisa berdiri sendiri, nyanyian ini mengandaikan nilai-nilai universal. Seperti diungkap oleh Andrew bahwa lagu-lagu yang digubah oleh pemeran utama film Menggapai Matahari ini memiliki makna yang mendalam terhadap perilaku manusia, yang sulit ditemukan di artis lain di dunia (hlm. 87). Tak ayal, banyak sarjana luar yang mengupas dan meneliti buah pena peraih SCTV Award 2011 ini, seperti Simon Broughton dan Mark Ellingham (2000), Charles Capwell (2004), Peter Manuel (1988), Anderson R Sutton (2002), Philip Sweeney (1991) dan Timothy Taylor (1997).
Keasyikan membaca buku ini bukan sekadar pemenuhan gelegak penggemarnya tentang pesona pujaannya, tetapi lirik-lirik itu tidak hadir dalam ruang yang kosong. Tentu sebagai musisi Rhoma Irama mendendangkan banyak agu cinta seperti umumnya penghibur, tetapi isu-isu sosial, seperti jurang budaya dan ekonomi diwujudkan dalam lagu Begadang, Yatim Piatu, Gelandangan dan Indonesia, demikian juga isu politik dituangkan dalam Hak Asasi, Judi, 135 Juta dan tentu isu keagamaan disuarakan menyatakan Soneta sebagai “The Voice of Muslim”. Siapa yang tidak merasa tergetar dengan nomor Kiamat dan Sebujur Bangkai?
Hanya saja, peletakan gambar terakhir dari buku
ini, yaitu foto Rhoma Irama dan Muhaimin Iskandar, secara tersirat menunjukkan bahwa
karya tersebut hendak memberi jalan pada ayah Adam Ghifary untuk berpolitik,
sebuah aktivitas yang bukan baru. Hanya saja, adakah perjuangan politiknya
semulus musik dan dakwahnya? Ya atau tidak, pastinya buku ini telah membumikan
ide-ide besar pengetahuan dan keagamaan dalam bahasa orang kebanyakan.
Namun, kalau filsafat itu disebut spekulasi, mengapa filsuf tak disebut spekulan? Karena kata terakhir ini sering dikaitkan dengan dunia jual beli.
Sarapan tertunda karena pagi ini darah diambil untuk cek kesehatan di klinik kampus pada 2017. Kini, sama, saya juga melakukan hal serupa setelah 8 tahun berlalu.
Justru, ia mengasyikkan. Jemu itu hadir karena kita tidak tahu apa yang mau dilakukan. Tetapi, menghabiskan waktu dengan berselancar di media sosial bukan jawaban terhadap persoalan mengisi waktu "luang".
Sekali-kali kita menggunakan telepon pintar untuk mengambil foto, lalu bercengkerama satu sama lain agar hidup tertanggungkan. Tak iye?
bank mini adalah wujud praktik dari program studi Perbankan Syariah Universitas Nurul Jadid. Sebagai dosen Filsafat Keuangan, saya dan maha...