Saturday, July 21, 2007

Mengenang Pemikir Pejuang

[Sumber Republika, 20 Juli 2007]





Ahmad Sahidah

Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam
dan Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia

Pada 30 Juli 2007 Universitas Sains Malaysia akan menggelar seminar bertema 'Mitos Pribumi Malas' sebagai penghormatan terhadap sepak terjang dan pemikiran Profesor Syed Hussein Alatas di Asia Tenggara. Tema tersebut adalah judul karya cemerlang sarjana keturunan Arab ini yang menjadi ilham bagi lahirnya disiplin orientalisme.

Beliau adalah segelintir intelektual Asia Tenggara yang dikenal di dunia internasional. Kepergiannya (23/1/07) telah meninggalkan banyak kenangan bagi rakyat Malaysia, terutama kalangan intelektual. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, bekas perdana menteri, turut hadir dalam upacara pemakaman, meskipun keduanya pernah berbeda pendapat mengenai hubungan genetik dan kemunduran kaum Melayu pada tahun 1970-an. Namun demikian, saya tidak melihat pemerintah memberikan penghormatan yang layak bagi seorang intelektual sekaliber beliau.

Tentu saja, kalangan pegiat dan akademisi di Indonesia seyogianya turut merasakan kehilangan. Tidak saja karena beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tetapi juga sebuah karyanya Sosiologi Korupsi (terjemahan LP3ES, 1982) telah banyak diapresiasi dan mempengaruhi para aktivis pada tahun 1980-an tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Lebih-lebih, beliau menyatakan mempunyai ikatan spiritual dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Selain itu, jurnal Progressive Islam yang dirintis oleh Alatas di Belanda mendapat bantuan keuangan dari Natsir, yang pada masa itu menjadi perdana menteri.

Karya-karya penting

Dengan komitmennya yang tinggi, tulisan beliau memberikan perhatian pada persoalan agama, pembangunan, peran intelektual, pluralisme, korupsi, ideologi, kapitalisme kolonial, dan teori sosial. Sebagian besar karya ini ditulis dalam bahasa Inggris. Tak pelak lagi, kiprah intelektualnya bisa dikenal di kancah internasional. Prestasi ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan doktornya dalam bidang ilmu sosial dan politik di Belanda serta kegiatan organisasi keislaman di negeri ini.

Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama, beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.

Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi 'mitos pribumi malas' dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium, dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.

Karya lain, Religion and Modernization in Southeast Asia, adalah sebuah karangan yang berusaha mementahkan 'mitos pribumi malas' dan sekaligus mengritik warisan feodalisme yang menghinggapi masyarakat Melayu. Hang Tuah, pahlawan yang acapkali dijadikan rujukan, bagi Alatas, tidak lebih dari pahlawan Melayu feodal dan berani berbuat apa saja demi kesetiaan, ketaatan, dan penghormatan terhadap penguasa. Ironisnya, ia membunuh kawannya sendiri secara tidak jantan karena ingin memenangkan sebuah pertarungan.

Selain buku, beliau juga menulis artikel di pelbagai jurnal internasional yang diterbitkan di Jerman, Prancis, Tokyo, dan Amerika. Sebuah bukti lain tentang kepeduliannya untuk menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak lagi hanya dijadikan sebagai objek kajian, tetapi sekaligus menempatkan metodologi Barat sebagai cara mengritik bangsanya dan sekaligus mitos yang diciptakan 'penjajah'.

Sebagai intelektual, Alatas memberikan pandangannya yang sejalan dengan kondisi Malaysia yang terdiri dari masyarakat multikultur. Keteguhan pendapatnya diperlihatkan ketika beliau harus berseberangan dengan saudaranya sendiri, Syed Naquib Al Attas, cendekiawan Muslim ternama, tentang islamisasi pengetahuan, termasuk islamisasi sosiologi. Justru sikap ini diambil ketika yang terakhir didukung oleh pemerintah melalui Anwar Ibrahim. Sikap ini bisa dipahami karena meskipun Syed Hussein pernah tertarik dengan gagasan fundamentalisme Hassan al-Banna, beliau adalah seorang pemikir sekuler yang memisahkan peran agama dan negara dalam kehidupan masyarakat.

Langkah kontroversi lain yang dilakukan semasa beliau menjadi 'rektor' Universitas Malaya adalah kebijakan bahwa prestasi seharusnya dijadikan ukuran dalam penentuan jabatan struktural di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan pengangkatan dekan berkebangsaan India dan Cina, yang menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu. Bahkan, beliau rela berhenti sebagai 'orang nomor satu' di Universitas Malaya karena tidak mau tunduk terhadap tekanan.

Tidak hanya bergulat dengan wacana ilmiah, beliau juga sekaligus pegiat praksis dunia politik. Gagasannya diwujudkan dalam sebuah partai politik Pekemas (Partai Keadilan Malaysia). Bahkan, beliau juga pernah menjadi anggota parlemen mewakili partai ini. Pendek kata, beliau adalah pemikir sekaligus aktivis.

Hebatnya lagi, di usia senja beliau masih menunjukkan kepeduliannya untuk melahirkan sebuah karya tentang kaitan perpustakaan dan tradisi kesarjanaan dalam sejarah dan peradaban manusia. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh koleganya, Shaharom TM Sulaiman (Utusan, 29/1/07), beliau merasa kecewa karena tidak mendapatkan kemudahan akses dan hambatan dari perpustakaan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negara yang mencanangkan negara maju pada tahun 2020.

Wednesday, July 18, 2007

Pesona Belajar Islam di Malaysia

Dalam satu waktu, saya pernah berbincang dengan Pak Pujiharto tentang kelebihan belajar di Negeri Jiran ini. Untuk jurusan beliau, pengurusan (manejemen), dirasakan keseriusan fakultas tempat beliau belajar untuk menjadi arena penyemaian intelektual yang baik. Selain itu, ia juga didukung oleh sarana dan pencitraan serta pemasaran yang

Sementara, sebagai mahasiswa PhD bidang Peradaban Islam, tentu saja saya juga menemukan atmosfir yang baik di sini utnuk menerokai kajian keislaman. Nah, tulisan saya di Jawa Pos hari ini (Rabu, 18 Juli 2007) adalah salah satu buah pikiran untuk melihat kembali mengapa Pendidikan Islam di tingkat perguruan tinggi di sini lebih dikenal di luar negeri dibandingkan di Indonesia, yang mempunyai tradisi kesarjanaan lebih tua dan terbuka.

Semoga, ini bisa menjadi renungan bersama.

Ahmad Sahidah
Anggota PPI USM

Rabu, 18 Juli 2007,
Pesona Belajar Islam dari Malaysia

Oleh Ahmad Sahidah

Tajuk ini mengandaikan kemungkinan belajar tentang Islam sekaligus bagaimana gerakan keagamaan di negeri jiran ini mengayomi pemeluknya. Mungkin, pilihan belajar Islam tingkat lanjut di tanah Melayu itu tidak akan menjadi pilihan utama mahasiswa di Indonesia. Atau, bahkan kita tak perlu mengaca bagaimana pegiat keagamaan di sana berkiprah untuk memajukan idealisme keislamannya?

Sebenarnya, intelektualisme Islam telah lama berkembang di Nusantara yang berawal dari Aceh. Gerakan kesarjanaan itu juga ditopang tumbuhnya pelbagai organisasi kemasyarakatan. Pendek kata, bangsa Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam dunia intelektualisme Islam dan beragam perkumpulan. Tidak boleh dinafikan, keberhasilan tersebut juga turut memengaruhi dan mewarnai perkembangan "pemikiran" dan organisasi Islam di Malaysia.

Lalu, mengapa sekarang kita harus menengok kesuksesan negeri jiran itu mengelola pendidikan Islam dan kelompok keagamaannya?Organisasi KeagamaanPemerintah negeri jiran yang menegaskan Islam sebagai agama resmi negara membuat peruntukan anggaran untuk kegiatan keagamaan. Tak jauh berbeda dengan kita, pemerintah menggelontorkan uang untuk Departemen Agama. Tambahan lagi, kedua negara ini juga mempunyai organisasi keagamaan partikelir yang digerakkan pelbagai aliran.

Sayang, secara umum, organisasi keagamaan di Indonesia tidak berhasil mengelola kegiatan ekonomi yang bisa mendukung aktivitas keagamaan secara mandiri. Bahkan, sebuah ormas keagamaan modern, Muhammadiyah, di sini juga gagal melejitkan kehidupan ekonomi warganya, meskipun beranggota para profesional dan sarjana.

Ketika saya mengikuti salah satu acara Rufaqa, Metamorfosis Darul Arqam, Dr Abdurrahman Effendi asal Indonesia menceritakan bahwa modal dari kegiatan ekonomi mereka adalah Allah, sementara puluhan peserta dari NU, salah satu ormas Islam terbesar Indonesia, tak "memerlukan" Tuhan, hanya perlu uang Rp 200 juta untuk membuka outlet ketika mengikuti sebuah pelatihan yang diselenggarakan al-Arqam.

Padahal, kata Effendi, seandainya seluruh anggota dari cabang salah satu organisasi tersebut meminta anggotanya untuk berhenti merokok dan menyisihkan uangnya, niscaya terkumpul dana yang cukup besar untuk memulai usaha dan menggerakkan roda ekonomi anggotanya. Tetapi, siapakah yang sanggup melakukannya?

Sayang, kita lebih banyak berdebat tentang keotentikan ajaran keagamaan. Agama telah dikebiri menjadi urusan ibadah oleh kaum tradisional, sementara kelompok liberalnya lebih suka memperbincangkan substansi Islam dan menafikan kaitan Islam dengan kehidupan yang lebih luas, seperti ekonomi. Sebagian pemuka agama lebih asyik dengan bermain "politik".
Kajian Islam di Perguruan Tinggi

Pemikiran Islam boleh dikatakan berpusat di ISTAC UIAM, UKM, UM, dan USM. Tentu saja, lembaga yang layak mendapatkan perhatian adalah ISTAC. Di bawah pengayoman Prof Naquib al-Attas, para mahasiswanya dikenal sebagai kelompok terdepan membela "keotentikan" Islam dari rongrongan hegemoni intelektual Barat. Hampir secara keseluruhan, para sarjana di tanah Melayu itu berada di bawah bayang-bayang kebesaran Naquib.

Sebuah motto ISTAC, A unique opportunity to study with Muslim Scholars form around the World, adalah pertanda ikhtiar untuk memosisikan dirinya sebagai pusat pembelajaran di tingkat internasional. Jargon itu bukan untuk gagah-gagahan, tapi didukung para dosen yang didatangkan dari seluruh dunia Islam dan tentu saja ditopang perpustakaan yang bisa dikatakan salah satu terbaik di dunia.Selain itu, promosi yang gencar di sejumlah negara Asia, Afrika, dan Arab serta kemampuan stafnya dalam bahasa Inggris memungkinkan masuknya (enrollment) mahasiswa asing makin besar. Apalagi banyak calon mahasiswa dari Arab yang kesulitan belajar di Amerika dan Eropa setelah peristiwa 9/11. Dengan demikian, mereka memilih Malaysia karena dianggap sebagai salah satu negara yang mempunyai citra baik dalam dunia pendidikan.

Selain itu, birokrasi yang efisien, fasilitas yang memadai, dan perpustakaan yang nyaman adalah upaya nyata agar citra yang ingin dibangun makin menjulang. Tidak aneh, teman saya dari Iran, Mohsin J. Bagjiran, menulis disertasi tentang pemikiran Rumi di Universitas Sains Malaysia. Padahal, kultur Rumi adalah negara Persia, tempat Mohsin lahir dan tumbuh besar.

Padahal, seyogianya dia bisa menyelesaikan PhD-nya di negaranya. Jika dia memilih negeri jiran, itu disebabkan pemasaran yang progresif dari departemen pendidikan di sana ke sejumlah negara-negara Islam.

Pesona pemikiran keislaman di Malaysia juga disemburatkan oleh kegigihan para sarjananya dalam berkiprah di dunia intelektual. Sekadar menyebut contoh adalah Naguib-al-Attas dan Candra Muzaffar yang dikenal di dunia Internasional. Selain didukung kemampuan orasinya dalam bahasa Inggris, mereka menulis karya tentang Islam dalam bahasa itu. Bahkan, ketika Ziauddin Sardar menulis karya cemerlangnya bertajuk Islamic Futures, The Shape of Ideas to Come, dia merujuk kepada gagasan dua sarjana itu. Secara tersirat, sarjana futurology tersebut meletakkan "masa depan" pemikiran Islam di pundak sarjana negeri jiran itu.

Kita bukan tidak memiliki sarjana jebolan luar negeri yang pintar dan menulis dalam bahasa Inggris. Tetapi, prestasi itu belum mengatasi kemasyhuran karya-karya Naquib yang telah diterjemahkan ke lebih 20 bahasa di dunia. Lagi-lagi, dia membawa nama Malaysia, meskipun penggagas islamisasi pengetahuan itu lahir di Bogor.

Bahkan, kalau saya perhatikan, diskursus keilmuan Islam di Indonesia lebih marak dan beragam dibandingkan dengan tanah Melayu yang masih banyak diwarnai pemahaman ortodoksi. Tetapi, itu tidak cukup untuk membuat negeri kita diperhitungkan jika tidak dibarengi perbaikan administrasi dan strategi pemasaran, sebagaimana dilakukan Malaysia.

Ahmas Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam di Universitas Sains Malaysia

Tuesday, July 10, 2007

Judul: Ajaran Sesat Mengenali Jalan yang Terpesong
Pengarang: Engku Ahmad Zaki Engku Alwi
Penerbit: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd
Cetakan: I, 2007
Tebal: vii+239

Ajaran ‘Sesat’ menurut Negeri Jiran

Acapkali ketika Indonesia dan Malaysia beradu mulut, pemerintah dan warga kedua negara berusaha untuk meredamnya dengan memunculkan ‘hujah’ bahwa kita adalah satu rumpun, bahasa dan yang ‘unik’ adalah kesamaan agama (baca: Islam). Pernyataan yang terakhir ini menjadi problematik karena relasi Islam dan Negara di kedua negara sangat berbeda. Paling mudah, kita bisa melihat kedudukan agama di dalam masing-masing dasar negara dan konstitusi. Negeri Jiran menempatkan kedudukan Islam sebagai agama resmi dengan segala implikasinya, sementara Indonesia tidak. Pendek kata, konstitusi Malaysia secara tidak langsung memberikan kedudukan istimewa kepada agama Islam dibandingkan agama lain.

OLEH: AHMAD SAHIDAH

Kehadiran buku ini adalah sangat penting untuk menerokai secara mendalam pandangan intelektual Muslim negeri Jiran dalam menggagas kedudukan Islam di dalam negara yang beragam etnik dan agama. Sebagai guru besar dalam bidang kajian Islam kontemporer, Ahmad Zaki Engku Alwi boleh, dikatakan mempunyai otoritas dan sekaligus bisa dijadikan ‘wakil’ untuk mengenal bagaimana para sarjana Muslim tanah Melayu memandang agama dan hubunganya dengan negara dan komunitas agama yang berbeda.

Karya ini dimulai dengan sebuah uraian tentang Islam di Malaysia. Sesuai dengan konstitusi Malaysia, Islam menempati kedudukan utama dan namun demikian sejalan dengan Ayat 3 Pasal 2, agama-agama lain boleh dipraktikkan. Bahkan, penegasan ayat 11 bahwa Islam dilindungi dari segala pengaruh agama atau doktrin lain benar-benar menjadi legitimasi terhadap keistimewaan tersebut. Belum lagi, kesetiaan kepada raja – sebagai pelindung agama Islam – menempati posisi kedua di dalam lima dasar negara Malaysia setelah kepercayaan pada Tuhan.

Meskipun tidak dinyatakan secara resmi, masyarakat Islam di Malaysia – sebagaimana di Indonesia – menganut teologi ahlussunah waljamaah, dan hukum (fikih) Imam Syafi’i. Homogenitas kedua mazhab ini telah mengantarkan kedudukan Sunni di Malaysia tak tertandingi dan sekaligus keberadaan ulama yang didukung ‘pemerintah’ telah memberikan kekuasaan yang sangat besar untuk menegakkan ‘kebenaran.’ Melalui institusi seperti JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) para pengawal agama ini mengeluarkan fatwa, termasuk menyatakan ‘sesat’ pada pemahaman keagamaan yang berbeda dengan arus utama.

Melalui beberapa bab, yang meliputi definisi, sejarah, perspektif al-Qur’an dan Hadits, kategori, dan implikasi dari ajaran sesat, pembaca akan sepenuhnya memahami cara berpikir dan sudut pandang dari penulis dalam meneguhkan batas-batas ‘ajaran sesat’. Setelah melihat semua ini, penulis buku ini memandang penting disiplin kajian Ajaran Sesat yang dijadikan mata kuliah di perguruan tinggi. Indoktrinisasi mazhab resmi negara secara efektif telah membentuk pemahaman keagamaan mahasiswa dan menutup pintu bagi ‘mazhab’ alternatif.

Selain itu, tindakan hukum menjadi penting karena dianggap sebagai cara untuk mencegah meluasnya penyebaran ajaran sesat. Di sinilah biasanya penafsiran lebih kental karena hukum yang ada tidak secara ketat menegaskan kriteria dari ajaran sesat. Bahkan, kedudukan negara Malaysia yang ‘tidak jelas’, yaitu bukan negara Islam, seperti ditegaskan oleh Perdana Menteri pertama Tunku Abdul Rahman, serta tidak diwujudkan penerapan undang-undang syari’ah secara keseluruhan menyebabkannya pada posisi dilematik.

Istilah sesat itu sendiri digunakan untuk perilaku penyelewengan akidah (iman) yang menyimpang dari ketetapan al-Qur’an dan Sunnah. Istilah ini lazim digunakan pihak pemerintah dan media mainstream. Istilah lain yang juga acapkali disematkan pada golongan menyimpang ini adalah ajarah salah dan pencemaran akidah. Untuk mengokohkan keberadaan realitas ini, penulis mengungkapkan bahwa fenomena ajaran sesat itu juga bisa ditemukan di negara bukan Islam, seperti Amerika, Inggeris, Jepang dan China. Uniknya, ajaran sesat yang dipahami oleh penulis ini disepadankan dengan new religious movement yang marak di negara Barat sebagai bentuk ‘protes’ terhadap agama mapan.

JAKIM sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk menentukan sesat dan tidaknya sebuah praktik keagamaan telah menetapkan tiga kategori utama, yaitu berupa bentuk ajaran baru, bentuk ajaran tarikat (tasawuf) dan ajaran melalui kepercayaan dan praktik tradisi yang berhubungan dengan dunia mistik dan kebudayaan. Tentu saja, beberapa adat yang diadopsi oleh dunia Melayu secara tidak langsung menyerap budaya Hindu yang lebih dulu mengakar di dalam masyarakat. Bahkan, praktik kerajaan Melayu Islam juga mengambil tata cara dan sistem kerajaan Hindu untuk mengukuhkan kedudukan raja di dalam hierarki masyarakat.

Bagian paling penting dari buku ini adalah bab kelima yang bertajuk ‘Ajaran Sesat daripada Perspektif al-Qur’an’. Sayangnya, uraian tentang kajian al-Qur’an lebih menekankan pada seleksi terhadap tafsir para ulama berkaitan dengan pemahaman terhadap pengertian sesat di dalam kitab suci. Strategi pembacaan atomistik, bukan komprehensif, dari pesan al-Qur’an terhadap kata kunci seperti dalla, ghawa, atala dan zagha, yang semuanya bermakna sesat, telah melahirkan pemahaman kitab suci yang dangkal dan parsial. Model atomistik semacam ini tidak bisa memunculkan apa yang disebut oleh Paul Ricouer dengan la chose du texte – pesan utama kitab suci.

Tambahan lagi, buku ini juga sekaligus bisa dijadikan rujukan untuk memahami pandangan sarjana arus utama negeri Jiran terhadap Barat (hlm. 109). Bagi penulis pendidikan menjadi sangat penting bagi upaya menghalangi gerak laju ajaran sesat dan sekaligus mengelak dari sistem pendidikan liberal Barat yang lebih menekankan kepada kognisi dan mengabaikan nilai-nilai moral dan agama.

Pengaruh lain yang dirasakan mengancam kebudayaan lokal adalah penetrasi budaya Barat dan sekulerisasi dalam praktik kehidupan masyarakat. Bagi penulis, keyakinan sekuler adalah sesat karena agama dipandang terlalu suci sehingga tidak bisa disandingkan dengan urusan duniawi, seperti sosial, politik dan ekonomi (hlm. 120). Tidak itu saja, secara terang benderang, penulis mencatat bahwa akidah umat Islam harus diselamatkan dari ancaman (garis miring dari peresensi) filsafat Yunani, pengaruh Hindu-Buddha dan animisme. Menurut saya, ini adalah sebuah pernyataan yang gegabah dan tidak berdasar. Karena pada kenyataannya, kebanyakan para ulama dan sarjana Muslim di sana ‘mempertahankan’ sistem kesultanan dalam praktik kenegaraan yang justeru dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan tradisi Persia, bukan Islam.

Sebagai tambahan informasi, buku ini melampirkan daftar ajaran sesat yang telah dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Di sini kita akan menemukan sejarah, aktivitas dan alasan ‘mengapa’ perkumpulkan ini dinyatakan ‘haram’ oleh pemerintah. Anehnya, ajaran Syiah dikategorikan sebagai sesat. Meskipun ini bisa diterima karena sudut pandangnya adalah pemahaman Sunni, tetapi argumentasi yang diungkapkan sejatinya termasuk wilayah ‘khilafiah’ atau perbedaan pendapat di kalangan sarjana Muslim.

Sebuah kritik

JAKIM sebagai kantor urusan agama yang berada di bawah koordinasi Perdana Menteri telah berperan sebagai pengawal agama yang menetapkan ajaran resmi dan mempunyai kekuasaan untuk menilai kebenaran. Keberadaan lembaga ini adalah sebuah ironi karena Abdullah Badawi dikenal sebagai sosok yang mengusung ‘pemikiran keislaman progresif’. Tidak itu saja, atas dasar ‘saran’ dari JAKIM kementerian Dalam Negeri juga mempunyai kekuasaan untuk melarang buku-buku, yang justeru berlawanan dengan model Islam Hadari yang diusung oleh Pak Lah – panggilan akrab PM Malaysia, yang menganut pandangan moderat. Sementara Kementerian Luar Negeri mengundang Karen Amstrong untuk memberikan ceramah dalam satu konperensi internasional di KL baru-baru ini, celakanya buku yang ditulis oleh sarjana Amerika yang bertajuk the History of God ini dilarang oleh Departemen Dalam Negeri bersama 37 buku lain yang dianggap ‘sesat’.

Konsep Islam Hadari Pak Lah yang merupakan pandangan resmi ‘pemerintah’ telah memilih pandangan Islam yang sederhana (bahasa Malaysia untuk moderat), namun banyak ‘tindakan’ dan ‘pernyataan’ resmi pemerintah yang dikeluarkan oleh ‘aparatusnya’ mengekalkan pandangan konservatif yang menghalangi ‘pentafsiran’ ulang terhadap pemahaman keagamaan karena mendasarkan diri pada pemikiran keagamaan literal atau harfiah. Boleh dikatakan pemikiran progresif Islam lebih ditonjolkan untuk kepentingan menjaga sikap ‘moderat’ Malaysia di kancah internasional dan sikap ‘tertutup’ untuk menjinakkan‘puak’ Melayu Muslim sebagai aset politik elit.

Akhirnya, dengan membaca buku ini, kita akan memperoleh sebuah representasi pemikiran keislaman yang secara resmi dan jamak dipegangi oleh masyarakat Islam Malaysia. Namun demikian, ada juga ‘kelompok’ kritis – yang disuarakan oleh Chandra Muzaffar, Farish Noor, Zainah Anwar, Kassim Ahmad - yang mencoba untuk menandingi pandangan mereka melalui buku, diskusi dan seminar. Meskipun komunitas yang terakhir ini terbatas ruang geraknya.

Biasanya pemikir progresif inilah yang acapkali dilibatkan dalam fora internasional mengenai ‘pandangan’ Malaysia mengenai kedudukan agama dan negara, bukan penulis buku ini dan sarjana lain yang mempunyai pemahaman yang sama, yang justeru dengan keras menolak sekulerisme, liberalisme dan pluralisme di dalam negeri. Ya, inilah potret dua wajah Negeri Jiran dalam memosisikan dirinya sebagai negara yang mencanangkan sebagai negara maju pada tahun 2020.

Ahmad Sahidah,
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.