Wednesday, July 29, 2009
Pekerja Tangguh
Mas itu sedang mengecat langit-langit emperan perpustakaan kampus. Ketika saya mengambil gambarnya, pekerja tangguh dari Jawa itu sengaja berpose. Lalu, saya bergegas sambil mengucapkan terima kasih dan dia menukas, terima kasih Pak. Saya tidak ingin mengganggu pekerjaannya, tetapi besok saya ingin menemuinya di sela rehat, mengapa dia bekerja tanpa alat pengaman. Betul-betul, pekerja tangguh, bukan pejantan tangguh, seperti lagu cengeng Ahmad Dani, punggawa Dewa itu.
Tuesday, July 28, 2009
Puisi tentang Membaca
Mereka berdua membaca puisi. Samar-samar saya menikmati di ujung meja. Sastrawan termasyhur, Prof Mohammad Haji Salleh tak banyak mendendangkan puisi, namun Encik Marzuki melafazkannya cukup panjang. Kebekuan cair dengan suaranya yang naik turun. Saya sendiri berada di meja khas untuk awak media. Bersama Kelvin Chua, wartawan Kong Wah Yit Poh, saya mengurai pernak-pernik dunia literasi, termasuk jurnalisme.
Saya juga memerhatikan teman baru ini karena dengan nada merendah beliau malah tak bersekolah di universitas. Memang bukan keharusan, namun tambahnya, dia tak cukup uang untuk kuliah. Aneh, bukan? Tapi, saya tak bertanya lebih jauh karena itu adalah pilihan. Bukankah belajar itu hanya memerlukan ketekunan membaca, bukan uang?
Monday, July 27, 2009
Teman Baik yang Lain
Foto di atas adalah teman baik saya. Dia sedang memastikan peristiwa yang diurusnya berjalan baik. Ya, memang berhasil. Tentu, saya banyak belajar bagaimana kawan yang bekerja di sebuah bagian penting universitas itu mengelola perhelatan. Selamat kawan, Anda telah menyuburkan tradisi literasi di negeri ini.
Sunday, July 26, 2009
Mengasup Sast[e]ra Melayu Nusantara
Hari Minggu sepatutnya berlibur, namun saya malah terdampar di ruangan berudara dingin untuk mendengar para pakar sastera Melayu Nusantara menemukan jawaban tentang apakah kekuasaan itu? Kemarin saya telah mengikuti sesi pertama, yang salah satu disampaikan oleh Prof Mohammad Haji Salleh bahwa konsep kuasa itu perlu didekonstruksi dengan merujuk pada pemikiran hubungan kuasa (power) dan pengetahuan (knowledge) Michel Foucault, filsuf Perancis kesohor itu.
Paparan sastrawan negara itu menggugat konsep absolute monarchy jika hanya dipahami bahwa kekuasaan itu hanya ada pada raja. Ternyata, dalam praktiknya, kekuasaan itu juga menyebar pada pembantunya, seperti bendahara, laksamana, pengarang, guru dan lain-lain. Jadi, raja bukan satu-satunya memerankan pemilik kekuasaan. Malah, ada raja yang hanya ada di atas kertas, seperti Sultan Mahmud, yang tak sempat mengurus negeri karena terlalu asyik dengan hobbinya berburu 'perempuan'. Namun, pada masa yang sama, A Rogayah Hamid menceritakan bahwa raja tak selalu digambarkan buruk, malah dalam Hikayat Upu Daeng Menambun, penguasa itu dilukiskan secara elok. Pendek kata, ada raja adil yang disembah, dan pada waktu lain, ada lalim (zalim), raja disanggah.
Jika demikian, di manakah sebenarnya kuasa raja jika dikontekstualisasikan pada masa kini? Inilah perbincangan yang memantik minat banyak peserta karena tak jarang menimbulkan masalah legitimasi, otoritas dan perubahan sistem. Namun, apa pun uraian mereka tentang konsep kuasa, ada yang mungkin perlu diketengahkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi, vox dei.
Heboh Buku
Peresmian acara tahunan Penerbit Universiti Sains Malaysia, Heboh Buku, kali ini melibatkan pelbagai pihak, perusahaan dan tentu permainan. Cara ini memantik lebih banyak orang ramai berbondong-bondong menengok buku. Tentu, kesediaan Amel, anak teman karib saya, Stenly, ikut lomba mewarnai dalam rangkaian pameran buku ini adalah ikhtiar lain yang patut dihargai karena panitia juga mendorong anak-anak untuk menyukai buku dengan cara melibatkan mereka dalam sebuah kegiatan. Selamat datang generasi baru, generasi buku.
Saturday, July 25, 2009
Kawan-Kawan Baik Saya
Mereka adalah penggerak kebudayaan literasi. Kehadirannya pada diskusi novel dan film Laskar Pelangi tentu bukti paling terang benderang. Jauh-jauh dari Kuala Lumpur ke Pulau Pinang, mereka ingin bersua dengan pemakmur dunia baca. Andrea Hirata memang betul-betul mukjizat bagi bangsa. Novelnya dibajak jutaan, namun sang pengkarya tak risau karena dia sendiri telah mengantongi milyaran rupiah. Namun, sekali lagi, saya tetap merogoh kocek sendiri untuk membeli karyanya dan meminta tanda tangannya. Mereka juga melakukan hal yang sama dengan caranya yang khas.
Mas Dodie, menggendong si kecil, adalah calon doktor bidang manajemen yang sempat bertanya pada Andrea kemungkinan menulis tesis PhDnya dalam bahasa prosa. Si Ikal menyambut antusias gagasan ini. Di sebelahnya adalah Mas Adi, wartawan Antara yang ngepos di Kuala Lumpur, jauh-jauh hari melalui facebook telah menerakan di ruang komentar akan datang. Dari coretan beliaulah, kabar acara ini dibaca seantero negeri. Demikian pula, Pak Nasrullah Ali Fauzi, berbaju batik, adalah pegawai Kedutaan yang sejak awal membantu perhelatan di atas. Kami sempat berjumpa beliau di kantornya dan berbincang kemungkinan kerjasama.
Sayangnya, kedua teman saya dari Kuala Lumpur tak sempat melanjutkan partisipasinya di acara penayangan film di Dewan Tunku Syed Putera. Mereka harus kembali ke ibu kota untuk tugas yang lain. Namun demikian, Mas Adi akan menceritakannya di media Caraka, milik KBRI di Kuala Lumpur, agar semangat Andrea Hirata terus terasa. Saya pun masih menyimpan roh dari perhelatan itu hingga coretan ini diterakan. Anda bagaimana?
Friday, July 24, 2009
Mengaji di Masjid Kampus
Thursday, July 23, 2009
Menghitung Laba?
Wednesday, July 22, 2009
Pakar Desain Laskar Pelangi
Mereka Itu 'Laskar Pelangi'
Monday, July 20, 2009
Tuesday, July 14, 2009
Monday, July 13, 2009
Dua Orang Penting Laskar Pelangi
Menjual Laskar Pelangi
Ticket is Available Here
Namanya Ijong. Kehadirannya unik. Saya rasa dia telah mampu memanfaatkan tubuhnya untuk menarik perhatian. Tiket harus terjual, kira-kira begitu tujuannya. Ia juga bisa lahir dari spontanitas. Kreativitas yang lahir dari sebuah ketegangan dan keinginan agar Andrea Hirata menemukan pengalaman baru di kampus bergelar Kampus dalam Taman.
Sunday, July 12, 2009
Rapat Laskar Pelangi
Friday, July 10, 2009
Monday, July 06, 2009
Mendekati Hari H
Mewujudkan sebuah kegiatan memerlukan kebersamaan. Rapat merupakan kegiatan yang tak dapat dielakkan. Namun, suasana pertemuan tidak harus menegangkan. Canda adalah cara paling ampuh menghilangkan ketegangan. Inilah sebagian anggota yang hadir untuk menyelesaikan tugas akhir menjelang perhelatan. Tentu, mereka adalah sebagian dari 21 orang yang tidak bisa diambil dalam satu waktu karena keterbatasan jarak ambil.
Ternyata penyebaran poster yang diagendakan untuk dilakukan malam setelah rapat dibatalkan. Poster tersebut harus distempel oleh pejabat berwenang agar tidak dicopot karena dianggap illegal. Demikian pula, penjualan tiket juga ditunda karena belum diisi nomor untuk penanda dan sekaligus memudahkan penarikan undian. Diharapkan dengan adanya doorprize, diskusi Novel Tetralogi Andrea Hirata akan memantik minat orang ramai dan mengikuti acara hingga usai. Dengan tema "Menemukan Identiti Melayu Melalui Novel Tetralogi Andrea Hirata", program ini akan menjadi salah satu pintu masuk bagi upaya memahami isu yang paling krusial dalam hubungan kemanusiaan serumpun.
Besok, kami akan membuka konter penjualan di depan perpustakaan Hamzah Sendut 1 dan sekaligus menjadikannya tempat pusat kegiatan menjelang hari pelaksanaan kegiatan. Di sini, kami bisa menjadikan pos untuk memantau pergerakan kegiatan. Lebih dari itu, tempat ini adalah sangat strategis untuk menyebarkan informasi tentang program di atas. Antusiasme teman-teman dalam mengikuti kegiatan ini sejak awal telah menumbuhkan semangat yang kadang digerus oleh banyak rintangan.
Saturday, July 04, 2009
Memburu Andrea Hirata
Poster ini lahir dari sebuah perjalanan panjang. Ia hadir untuk menyambut Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi. Bukan sekedar memeras otak, tetapi juga kesabaran seluruh panitia mewujudkan mimpi ini. Malah, sentuhan akhir untuk poster ini diparipurnakan pada jam 2 pagi, setelah rapat bersama yang dihadiri 19 orang. Namun keakraban kami mampu mencairkan kejenuhan. Semua menebarkan tawa dan canda. Kehadiran Chris, mahasiswa bule, dan Ahmad Sahidah, mahasiswa Melayu, menambah greget rapat dan kemungkinan mudahnya penyebaran informasi.
Poster di atas dibuat oleh Pak Ardiansyah, yang seperti diceritakan hingga jam 2 pagi, karena poster tersebut akan digunakan sebagai latar tiket yang akan dicetak esok harinya. Tidak hanya itu, poster ini juga akan dibuat sebagai latar dari name tag, flyer, dan dekorasi. Tentu, kehadiran Gramedia untuk turut serta dalam acara ini dimungkinkan penyebaran poster lebih luas, karena toko buku yang baru buka di TESCO Seberang Prai ini mau mencetak dalam jumlah yang banyak. Sekaligus, ini penanda bahwa informasi tentang kegiatan diskusi novel akan lebih merata penyebarannya.
Perbincangan penyebaran poster tidak sesederhana kita menempel pengumuman, tetapi juga melibatkan banyak orang. Apatah lagi, ia juga berkait dengan pengelakan tumpang tindih dan upaya penempelan yang tepat sasaran. Insyaallah, Senin depan, panitia akan berkumpul lagi untuk membagi poster dan sekaligus meminta mereka menempel maklumat ini sesuai dengan kesepakatan pada rapat hari ini di Bilik Karel, Ilmu Kemanusiaan.
Pandangan Luas itu Menyenangkan
Menyesap kopi di sebuah warung adalah peristiwa biasa. Tapi kali ini, saya berada di ketinggian dan melepaskan pandangan ke segala penjuru, salah satu gambar di atas. Bukit itu dipisahkan oleh laut dan seakan menjadi penanda akhir dari jarak saya dengan dunia. Di sela itu, saya membaca koran The Sun, membual ke sana kemari, menekuri pelbagai kelebatan tingkah pengunjung. Sebagian memelototi laptop, yang lain bercengkerama. Tak hanya itu, meskipu warung kopi ini diboikot oleh sekelompok masyarakat, pegawainya ada yang mengenakan jilbab. Sebuah wajah yang sulawan.
Tapi, biarlah kesulawanan itu hadir. Pilihan kita banyak, namun kita tak bebas memilihnya karena keseharian telah ditentukan oleh iklan media. Selera dan gaya mencerminkan kehendak pabrik. Kita telah menerima jadi dan tak perlu berpikir dan hanya merayakannya hingga akhir. Semua tumpang tindih. Jika sebagian teman saya masih berteriak ancaman Barat, yang lain menganggapnya igauan di siang hari. Identitas yang diperjuangkan hanya berujung kepentingan, tidak lebih. Adalah susah menemukan ketulusan.
Sekarang, ketika refleksi ini diterakan, saya harus menjaga jarak dari objek yang disoal. Kekhawatiran yang selalu mengikuti adalah pembenaran terhadap kesenangan. Kita membungkus prilaku dan gaya dengan segudang alasan. Saya, misalnya, membenarkan duduk di warung itu dengan memasukkan beberapa cerita. Inilah helah untuk menangkis hujatan bahwa saya tidak mempraktikkan apa yang dipikirkan. Banyak omong, tapi pada masa yang sama melanggar apa yang diungkapkan.
Wednesday, July 01, 2009
Mengunjungi Pasar Malam
Foto ini diambil menjelang maghrib. Pengunjung belum berdesakan di pasar malam Sungai Dua. Seperti terlihat dalam gambar, para pedagang kecil itu menggelar lapak di badan jalan. Ada yang berjualan minuman, makanan, sayur, ikan dan banyak lagi. Saya memilih sore karena menghindari kesesakan. Mungkin agak aneh jika saya memberi judul mengunjungi Pasar Malam. Namun, begitulah adanya, meski mereka berkunjung sore hari, pasti menyebutnya pasar malam.
Saya membeli ayam, sayur kacang dan cabe, dan tak lupa pesanan ibunya Nabbiyya, jagung rebus tanpa olesan mentega, lalu pulang. Sesampai di rumah, kami pun bertukar cerita tentang harga kebutuhan yang mahal dibandingkan barang yang sama di Pasaraya Tesco. Apa benar? Ya, masak segenggam cabe dan seuntai kacang panjang RM 4? Di Tesco barang ini tidak akan semahal itu. Saya berhenti sejenak karena memang tak begitu memerhatikan perbandingan semacam ini. Bagi saya, keberpihakan pada pedagang kecil adalah wujud dari kesetiaan pada manusia, itu saja. Namun, gugatan ini tiba-tiba mengganggu, mengapa pedang kecil 'memeras' pelanggannya?
Tidak saja pasal keberpihakan, tetapi juga keharmonian. Di sana, saya bertemu dengan pedagang Melayu, India dan Tionghoa. Semua berbahasa Melayu dan kadang menjawab bahasa Inggeris jika pembelinya keluarga Arab yang belajar di Universiti Sains Malaysia. Aha, saya menemukan jawabannya, biarlah lebih mahal sedikit, tetapi di sana saya menemukan kebersamaan dan kebersahajaan. Mungkin ini juga perlu didiskusikan dengan ibunya si kecil.
Toko Buku, Warung Kopi dan Pantai
Bagaimana jika tiga hal di atas dinikmati bersama? Jelas, menyenangkan. Saya mereguknya kemarin bersama keluarga dan teman baik saya, namanya Encik Muzammil. Tentu, saya memulai dengan memesan segelas kopi dan menyesapnya perlahan. Setelah kerongkongan basah dan ngobrol ke sana kemari, saya beranjak menengok rak buku filsafat dan ilmu sosial. Sayangnya, buku keagamaan (Islam) tak begitu banyak, sehingga saya tak perlu singgah di rak bagian ini. Hanya melihat, saya kembali ke tempat duduk.
Dari ketinggian warung itu, saya menikmati pemandangan bukit Jerejak dan pantainya yang landai. Sore itu benar-benar mendatangkan riang tak alang-kepalang. Saya hanya perlu menarik napas dan menghadirkan keindahan alam yang tersaji di depan warung kopi. Oh ya, nama toko buku itu tampak jelas di belakang gambar, Borders. Di sini, pihak manejemen menyediakan ruang untuk membaca, sejumlah kursi dan meja diletakkan di tengah-tengah rak. Para pengunjung tampak khusyuk menekuri huruf. Melihat raut mereka, saya menemukan kegalauan, kesabaran dan keingintahuan. Suasana tenang, sunyi, sepi dari hiruk pikuk.
Sudah kesekian kalinya saya mampir ke toko ini dan baru sekarang mampir ke warung kopi sebelahnya. Saya tak pasti apakah ini yang terakhir sebab warung itu terlalu mahal menjual hanya untuk secangkir kopi. Mungkin, citra yang sedang diperjualbelikan di sini, sebab rasa tak jauh berbeda dengan kopi yang saya seduh di pagi hari. Atau, di sinilah, orang-orang ingin melihat dan dilihat agar diterakan sebagia bagian dari komunitas 'tertentu'.
Perjalanan ke Ipoh
Saya selalu menikmati perjalanan di tanah Semenanjung karena jalan tolnya membentang dari ujung Utara-Selatan, Timur dan Barat. Perjalanan dari Pulau Pinang ke Ipoh berjalan mulus, tak diganggu oleh macet, atau terpaksa melewati jalan bukan tol yang diganggu oleh kemacetan karena sebagian arus jalan digunakan untuk kegiatan masyarakat, seperti pasar, pesta kawinan atau peminta sumbangan masjid. Apa boleh buat, semua itu dibenarkan oleh pihak berwenang.
Hari Minggu kemarin, kami bersama Pak Cik, Mak Cik dan anak bungsunya pergi ke Perak untuk mengunjungi puteri sulungnya yang sedang mengandung. Setelah satu jam perjalanan, kami singgah ke tempat rehat yang dikelola oleh manejemen tol. Inilah kelebihan lain yang dimiliki perusahan tol di sana. Gambar di atas diletakkan di tembok warung makan yang berbunyi senyum selalu, bagian kampanye pariwisata.
Melihat gambar ini saya juga tersenyum. Hanya dengan ini, dipaksa atau tidak, tetap akan membuat keadaan menyenangkan. Ia mencairkan kebekuan dalam sebuah hubungan apa saja. Namun, saya tak perlu memaksan orang untuk melakukannya, karena sebagian memang tak suka. Namun, sepanjang pengalaman, ketika saya tersenyum, secara otomatis, orang yang bersirobok dengan keadaan seperti ini, juga turut tersenyum, selalu begitu.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...