Pagi, matahari bersinar terang, dan suara burung timbul tenggelam. Musik instrumental sengaja diputar untuk menambah khidmat. Campur aduk. Selingan kicauan burung di antara bunyi biola dan piano memadukan alam dan buatan manusia. Si kecil berceloteh tak jelas, sambil meremas roti yang seharusnya dimakan. Seraya duduk di troli, ia memegang apa saja yang disodorkan. Tak jarang, ia memasukkannya ke dalam mulut, seperti semalam merenggut kertas dengan giginya. Sang Ibu dengan sabar menemani, setelah menyiapkan susu tambahan. Tepuk tangan dan senyum acapkali datang tiba-tiba. Kami pun selalu menikmati keadaan seperti ini.
Saya hanya menerka musik. Tetapi, terus terang sedikit menikmati dengan penuh für Elise. Lalu, mengasup kumpulan cerita pendek, Arwan Tuti Artha, “Harum Melati Perempuan Sunyi”, sesuatu yang mendekatkan dengan hidup, karena tempat cerita adalah dunia yang pernah dialami dengan seluruh. Penerbitnya Logung mengingatkan pada teman. Jauh dari itu, kalimat-kalimat dalam cerpen itu menyelinap, menyeret benak pada peristiwa, yang sebagian saya kenal. Herannya, mengapa pengalaman yang sama tak membuat tangan ini menghasilkan cerita? Seperti dulu saya juga pernah menjalani orientasi mahasiswa baru. Aha, cerita itu berkelebat memenuhi kenyataan dan khayalan serentak. Ia juga kadang menjadi dunia kompromi atau liminal dari dua kutub yang berseberangan.
Sementara “Harum Melati Perempuan Sunyi” yang sekaligus dijadikan judul buku mengandaikan surealisme, di mana seorang perempuan keluar dari kanvas lukisan, mengajak penikmat karya, menghabiskan malam. Herannya di tengah perjalanan ada seorang pemabuk yang menyebut dua nama orang yang ‘bercinta’ ini secara salah. Setelah mereguk angin malam, akhirnya lelaki itu, Palgunadi namanya, tertidur dan terbangun dengan hanya membaui sisa bunga Melati. Sukesi, perempuan dalam lukisan itu, hilang sehingga keindahan itu menguap, hanya angan-angan yang berkeliaran. Saya melihat dalam kisah ini terdapat pergerakan kenyataan dan khayalan berkelindan. Bukankah hidup juga disesaki hal semacam ini?
Atau, pesan yang bisa diraih bahwa perempuan tak ingin dibekap kerangkeng, meski ia dikagumi banyak orang sebagai objek lukisan, ia tak memuaskan. Oleh karena itu Ia ingin keluar dari voyeurisme. Padahal di luar sana, banyak orang yang ingin menjadi objek lukisan sehingga harus mematut diri habis-habisan. Tampaknya, setiap perempuan selalu bermimpi untuk bertukar tempat. Tema yang selalu muncul dengan bahasa yang berbeda. Lalu, di mana dunia nyata kaum hawa jika mereka tak pernah merasa nyaman dengan keadaannya? Lelaki tak jauh berbeda, sebab manusia memang tak pernah memiliki sesuatu yang ada di genggaman. Hasrat itu selalu ada di sana.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment