Thursday, May 06, 2010

Pasar Malam


Aneh, kami pergi ke pasar malam di waktu sore, ketika matahari di atas bukit itu masih menyembul. Kerinduan untuk merasakan sate di pasar dadakan Jalan Tun Sardon membuncah. Meski harus dibayar mahal, kami menunggu lama karena pelanggan bejibun. Sepuluh tusuk ayam dan daging mengobati rasa itu. Sebelumnya, kami berbelanja keperluan harian, seperti sayur dan lauk. Aha, penjualnya masih mengenali kami dan berujar, wow, anak sudah besar ye? Dulu datang ke sini, masih mengandung. Kami pun teruja. Saya sendiri berkata pada ibu Nabiyya, pengalaman itu menyenangkan karena hubungan kami bukan sekadar penjual dan pembeli, tetapi kemanusiaan.

Tak banyak berubah. Pasar malam itu masih seperti dulu. Kami membeli es kelapa di tempat dan penjual yang sama. Demikian penjual yang lain, buku dan majalah, buah-buahan, daging, dan aneka jualan yang lain. Mereka adalah pedagang sejati. Di tengah serbuan pasaraya, tentu mereka harus bersaing dengan kekuatan modal besar. Belum lagi, selisih harga yang kadang membuat orang lebih memilih pasaraya, ditambah lagi kenyamanan karena pembeli bisa sambil lalu melihat-lihat pelbagai jualan. Namun, benarkah lebih nyaman? Setiap orang tentu memiliki jawabannya.

Kenyamanan bukan sekadar tempat, tetapi suasana hati. Di sini, kita betul-betul diuji. Haruskah kita membiarkan pedagang kecil itu semakin merugi, sementara perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Giant, Tesco, dan Carrefour menangguk keuntungan besar? Namun, apakah sesederhana ini? Tidak. Melihat masalah ini hitam putih hanya menyeret pada labirin. Tetapi, jika kita semua masih meluangkan waktu ke pasar rakyat, secara tidak langsung kita telah memelihara keseimbangan, agar modal itu tak hanya terserap pada kekuasaan yang buta.

No comments:

Mengenal Pikiran

Kaum idealis dan materialis melahirkan turunan cara berpikir. Saya memanfaatkan keduanya tatkala mengajar Filsafat Takwil di Universitas Nur...