Saturday, November 19, 2022

Mencari Tanda

Semalam lampu padam. Saya beranjak tidur lebih awal dan bangun pada dini hari. Hujan turun pada pukul 2.35. Angin malam menusuk. Sambil menikmati radio "streaming" The New yang memainkan alternatif, soul dan blues, saya masih mendengar suara kendaraan yang lalu lalang di jalan arteri.

Dulu, kami hidup di kampung. Kalau terjaga, kami tepekur sebab tidak ada siaran televisi, internet, dan radio. Kini, manusia hidup selama 24 jam bila mau melakukannya karena mereka bisa menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya dan bercakap di media sosial.

Puluhan ribu kilometer Paiton dan Amrik dilipat dengan lagu The Moss Imsomnia. Imajinasi ini berjalan ke sana ke mari untuk mencari tanda. Ternyata, seperti ditulis oleh McCarthy dalam How Philosophy Can Save Our Life, kode filsafat itu bisa dituangkan dalam narasi, drama, film, dan nyanyian.

Tetapi, mungkinkah huruf dan suara itu mengantarkan pada keabadian bila Tuhan tidak hadir dalam keduanya? Satori dalam tradisi Zen itu adalah pengalaman intuitif dari pencerahan yang tidak bisa dijelaskan, digambarkan dan diterangkan dengan akal budi dan logika. Toshihko Izutsu remaja dulu selalu diminta oleh bapaknya untuk menghapus kata setelah menuliskannya di atas kertas.

Lalu, apa yang kita harus lakukan bila pengalaman puncak itu tak bisa berpijak pada kata-kata? Mungkin kiasan bisa menjelaskannnya dengan menghadirkan lautan sebagai pengalaman dan perahu yang kita tumpangi adalah jalan untuk mengarungi samudera ma'rifat. Itulah mengapa kapal kecil kita harus kokoh dan kuat menghadapi gelombang. Kalaupun kita tenggelam, kita berada dalam lautan keabadian. 

 

No comments:

Syawal Keduapuluhtujuh

Seusai kelas Tafsir, saya pergi ke musala. Di sini, kami bersua.