Wednesday, August 30, 2023

UNUJA Pameran Produk, Galakkan Wirausaha Mahasiswa

Malang (29/8/23), Lembaga Pengembangan Profesionalitas dan Kewirausahaan (LPPK) Universitas Nurul Jadid mengikuti pesta UMKM halal Expo KPEU MUI Jawa Timur pada tanggal 28-30 Agustus 2003 di lapangan NK Café Kota Malang. Kesempatan ini sangat penting untuk perguruan tinggi dalam usaha mendekatkan mahasiswa dengan dunia industri.

Dalam pameran ini, bersama pembimbing dosen, Suherdiansyah, mahasiswa menggelar produk seperti banana chips, stik kulpis (kulit pisang), dan herbal. Pemanfaatan limbah pisang menunjukkan kesadaran warga pendidikan untuk menyuburkan ekonomi sirkuler, di mana produk yang dihasilkan bisa memanfaatkan barang-barang yang tidak terpakai menjadi produk yang bermanfaat. Selain itu, kegiatan ini turut peduli dengan kelestarian lingkungan.

Menurut Suherdiansyah, keikutsertaan LPPK bukan sekadar mendorong mahasiswa memamerkan produk tetapi juga berjejaring dengan banyak pelaku UMKM yang turut menyemarakkan kegiatan tersebut. Malah, dari 100 peserta, salah satunya berasal dari Malaysia, sehingga diharapkan mahasiswa bisa melebarkan sayap untuk membina hubungan bisnis.

Dalam acara talkshow bersama Miing Bagito, artis dan mantan anggota DPR, menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap mahasiswa yang telah berhasil menjadikan kulit pisang sebagai kudapan. Ternyata kulit buah ini memiliki kandungan yang baik bagi kesehatan, alih-alih dibuang begitu saja. Sebagaimana, herbal yang merupakan campuran kunyit, jahe, dan sirih bisa dijadikan minuman yang bermanfaat bagi vitalitas tubuh.

Selain itu, ada banyak kegiatan bincang bisnis  yang berguna untuk pengetahuan praktis, seperti peluang UKM ekspor dan bisnis linkage ke manca negara, klinik pembiayaan usaha serta digitalisasi sertifikat halal. Dengan keterlibatan mahasiswa dalam pengalaman langsung bersama praktisi, perguruan tinggi tidak lagi berada di zona sendiri, tetapi terjun langsung ke dalam dunia usaha.

Sunday, August 27, 2023

Kesantrian

Dulu, video viral tentang santri yang menutup telinga ketika mendengar musik Barat mengguncang khalayak. Ada banyak respons terhadap peristiwa ini, baik yang berterima, bertanya, dan menyoal. Yenny Wahid meminta warga tidak mengecap radikal atau kafir terhadap mereka. Tanpa memeriksa secara cermat, mungkin sebagian orang akan mengaitkan sikap ini dengan Taliban, yang melarang musik.

Potret santri di atas tentu tidak mencerminkan seluruh pandangan santri. Bagaimanapun, salah satu sumber dari prilaku dan pemikiran kaum sarungan ini adalah kitab kuning. Secara umum, kitab yang diajarkan di pesantren adalah tasawuf (mistisisme), fikih, hadits, tarikh (sejarah) dan Alqur’an. Sebagai mantan santri, saya belajar banyak jenis kitab kuning tersebut di sebuah pesantren. Pemahaman secara ideal memang mesti mendorong tindakan. Tetapi, pengertian terhadap teks itu rumit.

Fikih,  misalnya, mengulas ibadah dan muamalah (hubungan sosial dan ekonomi), seperti diurai dalam Fathul Mu’in dan Kifayatul Akhyar. Meskipun demikian, bab jinayah (kejahatan) tidak mendorong santri untuk memaksakan agar diterapkan, karena hukum potong tangan masih bisa diperiksa kembali sesuai dengan konteks yang lebih luas. Apalagi, hubungan patron-klien kiai santri yang didasarkan pada keadaban turut mewarnai prilaku santri. Kebanyakan kiai memiliki pandangan moderat (tawazun).

Malah, kaum santrilah yang berusaha untuk mengembangkan ekonomi Islam sebagai praktik nyata dari bab muamalah. Namun tidak semua pondok dan santri menggunakan bank tanpa bunga, tetapi juga  turut menjadi nasabah bank konvensional. Perbedaan terhadap hukum bunga bank ini sememangnya merupakan wujud dari ikhtilaf (Perselisihan) pendapat yang sering ditemui dalam kitab fikih. Jika keanekaragaman mendapat tempat, maka radikalisme adalah ideologi yang tidak tepat.

Kita tidak bisa serta merta menolak kaitan Arab dengan prilaku teror, tetapi tidak dalam hubungan kausalitas. Bagaimanapun, pelaku teror, yang sebelumnya bernama bukan Arab, sering menggunakan nama kearab-araban untuk menunjukkan eksistensinya. Bahkan struktur organisasi terorisme menggunakan istilah Arab untuk menyebut daerah teritorial dengan mantiqi dan sang pemimpin sebagai amir.

Kegagalan mereka membedakan bahasa sebagai alat dan tujuan menyebabkan mereka mengaitkan sebuah tindakan dengan perkataan secara tidak hati-hati. Seperti kata Lao Tse, filsuf China, bahasa itu seperti jala, dan makna itu laksana ikan. Secara hermeneutik, tafsir itu tidak berhenti pada bahasa semata-mata, tetapi pokok persoalan yang menjadi dasar dari pesan utama.

Di dalam tradisi Islam sendiri, keindahan surga bahkan tidak bisa digambarkan dengan suara dan huruf. Tentu, abstraksi pada kesenangan itu merupakan tanda simbolik, yang tidak mudah disampaikan pada khalayak luas. Kenikmatan bagi orang awam lebih mudah dipahami dan dialami secara fisik. Sehingga, pahala surga dan dosa neraka dilihat sebagai anugerah benda dan hukum fisik.

Dari uraian di atas, kedudukan santri tentu berada pada posisi sebagai pencerah di banyak lapisan masyarakat dalam memahami agama, yang tidak hanya didekati dengan ilmu-ilmu keagamaan per se, tetapi juga ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Dengan demikian, kepercayaan seseorang dan masyarakat bisa diteliti sebagai fenomena sosial dan fakta ekonomi-politik. Pendek kata, sikap keagamaan  itu sendiri bisa dilatari motif sekuler, bukan sakral.

Kehadiran Taliban jelas membuka tabir ideologi keagamaan secara pragmatis. Kelompok pelajar ini menjalin hubungan dengan Iran, negara bermayoritas Syiah. Padahal, sebelumnya Taliban dikenal sangat kejam pada minoritas Hazara, penganut Syiah Afghanistan. Belum lagi, hubungan mesra dengan Republik Rakyat China memperlihatkan bahwa kekuasaan itu bisa membenarkan apapun, yang pada dasarnya corak keagamaan Taliban berbeda secara diametral dengan RRC.

Bagaimanapun, kesadaran kritis perlu dipupuk oleh kaum santri. Mereka tak semata-mata melihat agama sebagai institusi kaku, tetapi dasar etis dalam bersikap dan bertindak atas banyak isu. Forum Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) adalah organisasi santri yang memberikan advokasi pada warga yang berhadapan dengan kuasa modal dalam merebut akses pada sumber alam dan tanah. Kehadirannya adalah kepanjangan dari gagasan praktis fikih.

Dari sini, radikalisme sejatinya merupakan sisi lain yang bisa diterima ketika dasar keagamaan dipahami dalam pengertiannya yang radix, asal kata radikalisme, yang bearti akar. Dengan pemahaman yang utuh terhadap tujuan syariah, yakni untuk menjaga agama (al-din), jiwa (al-nafs), harta (al-mal), keturunan (al-nasl), dan akal budi (al-‘aql), sejatinya ajaran ketuhanan itu untuk menyelamatkan hidup manusia. Betapa absurd apabila perjuangan santri mengartikan radikal sebagai menolak perbedaan, apalagi menggunakan kekerasan.   

Akhirnya, fikih yang dilihat sebagai ajaran resmi dalam sehari-hari harus dilihat dalam kaitannya dengan iman dan akhlak. Menariknya, kata iman yang abstrak seringkali dicontohkan dengan tindakan konkrit, semisal peduli pada orang lapar dan baik dengan tetangga. Tentu, akhlak sebagai titik kiri bawah dari piramida pokok-pokok keislaman merupakan seruan yang menjagai keseimbangan dari syariat. Betapa puasa yang wajib (hukum) bisa diganti dengan memberi makan pada fakir miskin (etika). Jadi kitab kuning dan bahasa Arab itu bukan tujuan, tetapi alat untuk mewujudkan risalah Nabi, yakni menyempurnakan budi pekerti. Inilah tugas santri.

 

Monday, August 21, 2023

Keterbukaan

Sepajang tahun kemarin, pesantren dihadapkan dengan banyak kasus yang mengaibkan, seperti kekerasan yang berujung pada kematian dan pelecehan seksual hingga perkosaan. Tidak hanya di Jawa, tempat banyak lembaga pendidikan tertua ini bertapak, di luar tanah Dwipa juga didera dengan dua kejahatan yang seharusnya tidak terjadi di institusi yang menjunjung moralitas dan etika.

Namun, tidak bermaksud apologetik, pendidikan yang diwarisi dari tradisi kuno ini masih mendapatkan kepercayaan publik, sehingga kasus itu tidak membuat warga meninggalkan pesantren. Justru, di masa pandemik, lembaga ini semakin mendapat kepercayaan mengingat penempatan asrama memungkinkan karantina dan pembelajaran-pengajaran luring tetap bisa berlangsung. Bagaimanapun, kelas daring belum dapat sepenuhnya dilakukan dengan pebagai alasan.

Kasus pembakaran sentri senior pada yunior di sebuah pesantren di Pasuruan menghentak publik. Setelah sebelumnya ada pengeroyokan terhadap santri yang dituduh mencuri dan berujung kematian, kini amarah itu berupa pengguyuran pertalite pada tertuduh dan pemantikan korek api yang membakar sebagian tubuh korban.  Tragedi ini menghiasi banyak media cetak dan elektronik, baik daerah maupun nasional.

Kekerasan di atas melengkapi prilaku tidak terpuji santri, selain perisakan. Sorotan publik tentu tidak bisa dielakkan karena citra pondok pesantren sebagai institusi yang mengedapankan budi pekerti dan kesalehan. Tentu, kekerasan seksual yang melibatkan keluarga kiai di Jombang menyedot perhatian masyarakat luas. Kasusnya sempat terkatung-katung di kepolisian selain penolakan keluarga dan pendukugnnya. Pondok Asshiddiqiyyah ini pun sempat ditarik izinnya, sebelum dikembalikan semula.

Belum lagi, kasus pelaporan seorang ibu nyai terhadap sang suami yang dianggap telah melecehkan santrinya di Jember. Sepertinya, ada kotak pandora yang terbuka di tahun belakangan ini, di mana kejahatan yang dilakukan oleh orang “kuat” pesantren tidak lagi bisa disembunyikan. Tekanan publik dan viral media sosial memaksa banyak orang untuk terus menggugat dan pihak aparat untuk segera menyelesaikan kasus tersebut.

Menurut Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, akar kekerasan itu tidak bersifat eksistesial. Ia merupakan keadaan temporer. Kekerasaan adalah kondisi negatif tatkala seseorang tidak bisa tumbuh dan berkembang maju. Pendek kata, kekerasan adalah sebuah kondisi negatif di mana seseorang dihalangi untuk tumbuh dan membuat kemajuan. Pandangan ini tentu menjadi cermin bagi setiap pemangku kepentingan untuk melihat kekerasan di pondok secara utuh.

Pada waktu yang sama, penulis Insane Society tersebut menegaskan perlunya pembedaan antara sikap agresif yang defensif dan desktruktif. Yang pertama terkait untuk menyelamatkan kehidupan dan yang terakhir menghancurkan kehidupan itu sendiri dan melawan kondisi manusia. Ia menegaskan bahwa kemajuan teknologi dan sains bsia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan manusia modern, yang disebut dengan manusia sibernetik, bertindak secara destruktif dalam kehidupan mereka.

Sebagai salah satu institusi pendidikan, kini pondok telah mendapatkan afirmasi, rekognisi, dan pada gilirannya fasilitasi. Namun sejalan dengan kehendak UU No 18 2019 tentang Pesantren, otoritas pengasuh tidak bisa diatur oleh Majelis Masyasyih yang diberi amanah untuk merealisasikan isi dari undang-undang tersebut. Betapa pun ke depan Sistem Penjaminan Mutu akan diberlakukannya, namun tanpa sepenuhnya dukungan pembiayaan, pengaturan lebih jauh terhadap pondok akan dihadapkan dengan kendala.

Namun, upaya pondok untuk senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan ideal tentang ruang dan waktu jelas menjadi perhatian pengurus. Peraturan Induk Pengembangan 2021-2040 dan Rencana Strategis 2023 Pondok Pesantren Nurul Jadid jelas merencanakan rasionalisasi ketersediaan ruang perubahan secara sistematis. Demikian pula, penyederhanaan kurikulum menjadi lima bagian, keagamaan (Furudhul ‘Ainiyyah), bahasa, sosial humaniora, sains matematik, dan kemandirian menunjukkan usaha untuk mengefektifkan durasi belajar santri.

Artinya, betapa pun pesantren secara otonom menetapkan tata kelola mandiri, ia tidak lagi sepenuhnya berjalan secara alamiah. Di era teknologi informasi, apa yang dulu menjadi ruang pribadi dan ruang tertutup kini terpapar pada publik melalui media sosial. Bahkan, dengan e-commerse, barang-barang bisa dikirim ke santri tanpa harus melalui pengecekan isi secara teliti. Lebih jauh, dulu orang tua santri akan menyerahkan anak kepada kiai sepenuhnya. Kini, pondok kami menggelar Rapat Wali Santri untuk mendengar harapan dan saran dari para wali.

Kebijakan pondok untuk membatasi penggunaan telepon genggam sejatinya hendak memberikan ruang pada santri dan mahasiswa untuk bisa memfokuskan pada pembelajaran. Penggunaan laptop diperbolehkan sejauh dimanfaatkan untuk penyelesaian tugas kuliah dan belajar. Bagaimanapun, teknologi yang dilihat sebagai alat untuk memudahkan pekerjaan manusia, ia justru bisa menjadi perangkat untuk membuat penggunanya terlena. Dunia maya hanya menyediakan informasi, belum pengetahuan sistematis, apatah lagi kebijaksanaan.

Dengan demikian, sejauh ini, kaidah pengajaran di pondok masih relevan sejauh pengajian kitab dilakukan untuk mengajar santri fokus dan teliti dalam memahami arti. Selain itu, kebiasaan ibadah sehari-hari yang dipogramkan secara ketat adalah ikhtiar agar mereka berdisiplin dalam kegiatan lain. Semua dilakukan secara terukur agar evaluasi bisa dilakukan dan peningkatan bisa direncanakan untuk periode selanjutnya.

Dengan menggeser pengajian kitab pada pengetian luas, bahwa tradisi ini tidak terbatas pada tafsir, hadits, dan fikih, kitab-kitab sosiologis (Almuqaddimah Ibn Khaldun) dan politik (Al-Ahkam al-Sulthaniyyah Mawardi), juga perlu dibacakan sehingga respons kaum sarungan bersifat multidimensi. Agama tidak diringkas pada persoalan ibadah, tetapi juga praktik kenegaraan dan kemasyarakatan lebih luas. Keterbukaan lembaga ini pada banyak sumber dan kaidah menunjukkan kemampuan memahami esensi dari ajaran.

 

 

 

Doa dan Syukuran Kemerdekaan

Setelah melalui banyak kegiatan lomba, warga menggelar doa dan syukuran Hari Kemerdekaan. Zumi, Akmal, Kiki dan anak-anak sebayanya sangat bersemangat untuk menghadiri malam perayaan HUT RI ke-78 di musala. Mereka tak sabar ingin mendapatkan hadiah. 

Sebelumnya, Zumi turut bersembahyang isya dan lalu membawa empat kotak makanan yang ditukar dengan empat kupon. Tiga kupon dapat "cabuatan bertubah", sebutan jiran untuk hadiah pintu (doorprize). Ia bisa bertahan hingga acara usai. 

Di sini, relasi negara dan agama tidak dilihat dari wacana anak sekolahan yang diperdebatkan dengan seningat. Masing-masing hadir untuk merekatkan hubungan antartetangga dan kehendak bersama agar generasi baru memiliki kecakapan hidup, seperti kemampuan bekerjasama, berkomunikasi dan menyelesaikan masalah. . 

 
 

Monday, August 14, 2023

Keagamaan

Apa yang ada di benak kita bila ditanya apa itu keagamaan? Untuk menjawab pertanyaan ini saya membaca buku Derridean terbitan Mori. Karya ini ditulis Muhammad Al-Fayyadl, seorang kiai yang pernah belajar di Perancis, tempat sang tokoh Derrida lahir. Keduanya berjarak, tetapi kehendak untuk mengungkai kenyataan saling bersirobok. Sebagai pemerhati tokoh dekostruksi, penulis harus meletakkan obyek dalam perspektif diri, meskipun secara obyektif, teks pengarang harus dihadirkan secara nyata. Tanpa ini keduanya berjalan serentak, pesan hanya akan menjadi andaian pikiran pengarang, bukan keterlibatan pembaca yang intens.

Dari asumsi ini, sebagai pembaca saya juga turut melibatkan alam pikiran dan latar belajar filsafat yang masih dibayangi pengalaman dan pengetahuan asal sebagai individu yang telah memiliki keyakinan tertentu. Seiring dengan waktu, sejalan dengan watak kata, ia bisa mungkret dan melar. Ada keasyikan menebak apa yang dipikirkan tokoh dan pengagumnya dalam memahami isu-isu yang di satu sisi, bagi saya, telah selesai, namun kehadiran pembacaan lain, telah memunculkan makna baru dan berseberangan.

Dengan menilik perkataan yang juga akrab, seperti Tuhan dan agama, saya juga menemukan daya ungkap baru, yang sesungguhnya secara eksplisit dan implisit juga dinyatakan dalam kitab suci dan ajaran yang telah dilalui. Kebaruan itu lebih pada istilah, tetapi arti tersirat dan tersurat juga telah pernah terbayangkan dan terungkapkan. Tak dapat dielakkan, ada kedekatan dan kejauhan sekaligus. Keserentakan inilah yang mendatangkan ketegangan. Saya pun membiarkannya agar dinamika pengamalan terus bekerja.

Dalam ulasan ini, isu agama dan Tuhan berkelindan. Seperti diungkapkan dalam subbab “Melanggar Batas-Batas Agama: Derrida tentang Agama dan Tuhan”, hampir mustahil mengingat wajah ganda agama yang sering kali muncul secara paradoksal. Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Dalam Alqur’an, Allah itu sedekat kulit air, namun ia sekaligus bertempat di arsy. Itulah mengapa Tuhan yang dipilih adalah coincident oppositorum (dua hal yang bertentangan menyatu) dalam pandangan sufistik, bukan persona dan impersona.

Lalu, mengapa agama yang begitu terang benderang dipahami secara diamentral, di mana Imam Samudera dan Amrozi mengobarkan perang dan kebencian, sementara Rumi dan Gandhi mengajarkan kedamaian dan cinta kasih di muka bumi (hlm. 79). Dengan contoh ini, karya ini tidak lagi sebagai corong Derrida, tetapi tafsir penulis untuk meletakkan pemikiran filsuf tersebut dalam upaya memahami agama dalam ekspresi yang dipikirkan dengan cara berlainan.

Mengaitkan agama dengan Derrida mempunyai landasan yang kokoh. Penulis Of Grammatology ini pernah menegaskan bahwa pertanyaan tentang agama adalah yang pertama dari  seluruh pertanyaan tentang pertanyaan. Kegelisahan ini tertuang dalam tulisannya “Faith and Knowledge: The Sources of Religion at the Limits of Reason Alone”. Baginya, agama adalah amat jelas, tetapi pada waktu yang sama justru paling taksa (ambigu), paling abstrak, dan asing bagi dirinya. Justru, inilah tantangannya. Alih-alih meninggalkannya seperti filsuf lain, Sastre dan Marx, Derrida menggelutinya dengan seluruh. 

Ia tidak bisa menampik sebagai orang Yahudi, tinggal bersama komunitas pengikut nabi Musa dan mengangumi Santo Agustinus, orang saleh, yang mempengaruhi hidupnya. Oleh karena itu, ia selalu membaca Confessions berulang-ulang. Tak hanya itu, ia menaruh simpati pada Islam lewat darah Arab yang menitis pada dirinya. Dengan demikian, ia merupakan diaspora dari banyak jejak, agama dan ras.

Atas dasar inilah, ia menyodorkan pemahaman agama dengan cara lain, yaitu mengawali pemikirannya tentang agama dari persoalan iman. Kepercayana ini adalah pengalaman singular, yang tidak tergantikan dengan sesuatu yang juga singular. Singularitas di sini terkait dengan rasa takjub dan ketercekaman yang terus-menerus untuk mengenali dan dikenali oleh sesuatu yang diimani.

Dari pengalaman inilah, Derrida belum mau menyebut apa yang dimaksud dengan “Yang diimani itu”. Ia telah menundanya seraya membiarkannya dalam keadaan “differance”. Dengan tidak diidentifikasi G itu bukanlah siapa-siapa kecuali yang Yang Lain sepenuhnya (tout autre). Kata ini pun tidak memadai untuk menghadirkannya. Jelas, penggambaran ini menujukkan bahwa Yang Lain itu dalam khazanah Islam sebagai bukan huruf (la harfan) dan bukan suara (la shautan).   

Dengan menjadikannya Yang Lain tetapi misteri, pengiman akan terus menerus melibatkan dengan yang diimani tanpa terperangkap pada ikhtiar untuk memahami yang bisa berujung pada kehadiran ego. Subyek terakhir ini akan meletakkan G sebagai obyek, yang dihindari oleh Derrida. Dari penjelasan ini, kita bisa meletakkan pemikirannya pada ranah tasawuf sebagai sosok yang berada di peringkat khawash al-khawash, yang tidak telah melewati memahami (tafhim) dan berada di kedudukan membenarkan (tashdiq).

 

 

Sunday, August 13, 2023

Masjid Maesan

Kami bertolak dari Paiton pada pukul 2 ke Banyuwangi. Pengurus pondok akan menjenguk salah satu rekan yang sakit. Di Maesan, kami berhenti untuk menunaikan salat asar. 

Alfi berkomentar tentang kebersihan kamar mandi dari tempat ibadah. Saya melihat bangunan di sebelah masjid yang menjadi tempat anak-anak belajar Alqur'an. Sebagian mereka tampak bermain dan berlarian. Betapa senang saya melihat mereka riang. Dunia anak adalah bermain. 

Untuk itu, saya mengambil gambar dari struktur masjid ini yang menunjukkan bahwa setiap orang memiliki peran untuk memakmurkannya. Sejauh ini kegiatan sosial dan kebudayaan bisa dilakukan di sini. Lalu, bagaimana dengan ekonomi? 
 

Wednesday, August 09, 2023

Menemukan Indonesia di Wakatobi

Judul di atas diambil dari pernyataan Agil Fahim Ali, salah seorang mahasiswa yang menulis buku ini dan Haliana SE, Bupati Wakatobi. Karya ini lahir dari catatan 19 mahasiswa Universitas Nurul Jadid yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata yang tempatnya jauh dari mereka berkuliah. Beruntung saya bisa mengikuti peluncuran di wisma dosen kampus yang dihadiri oleh dua orang di atas pada 4 Maret 2023.

 

Haliana sebagai warga setempat dan pejabat publik membingkai karya ini sebagai bagian dari wajah yang mungkin belum banyak melirik dibandingkan Labuan Bajo, yang didesain untuk menjadi destinasi wisata premium. Padahal, kawasan Wakatobi merupakan lokasi favorit menyelam (diving) terbaik dunia, kata penyelam Prancis Jacques Cousteau. Batu karang itu terbentuk indah karena gelombang laut  yang menghidupinya. Tak ada ombak, tidak ada keindahan. Hanya kita harus tahu kapan menyelam dan bila melihat dari tepian.

Dengan pelbagai latar belakang yang berbeda, tentu setiap mahasiswa akan memotret pengalaman di daerah baru dengan cara yang berbeda. Mereka berada dari banyak program studi, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, Ilmu Alqur’an dan Tafsir, Teknik Elektro, Teknik Informatika, Manajemen Pendidikan Islam, dan Perbankan Syariah. Selain itu, latar belakang daerah, dari Sulawesi Utara dan daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, menebalkan semangat kebedaan dalam kesatuan.

Melalui gaya bercerita, kumpulan tulisan ini membayangkan pendekatan etnografis, tempat penulis mencurahkan pikirannya begitu emosional dan apa adanya. Keadaan ini berkelindan dengan pengalaman mereka menafsirkan perjalanan dengan kepolosan, semisal salah seorang hendak pulang karena perahu yang ditumpangi dari Baubau ke lokasi dilambung ombak hingga mengeluarkan isi perut. Tetapi, ia telah memutus tali kapal dari pelabuhan, KKN Nusantara harus ditunaikan untuk cita-cita bersama, mengikat silaturahmi sejati.

Setiap mahasiswa membubuh judul masing-masing untuk renungannya selama mengikuti kegiatan ini, sehingga tajuk itu seakan-akan membingkai apa yang hendak dikisahkan. Lalu, subjudul mempersempit ruang gerak penceritaan sebagai peristiwa yang begitu menggugah, tulisan pertama bermual dari “Titik Nol Pengabdian”. Pemilihan diksi ini bukan kata-kata kosong, tetapi jiwa yang dibawa dari pondok tempat mahasiswa belajar bahwa pengabdian lahir dari sebuah hasrat yang tidak dibelenggu oleh imbalan dan dihiasi oleh ketulusan.

Penegasan Abdul Hamid Wahid selaku rektor UNUJA dalam acara MoU dengan pemerintah daerah Wakatobi meneguhkan semangat di atas. Kepercayaan mahasiswa akan ditempa oleh keyakinan yang telah diserap selama belajar dan dari sini kemanfaatan untuk khalayak adalah wujud dari akidah yang dipahami secara praktis. Tentu, penegasan Haliana sebagai orang nomor satu tentang pembangunan daerah ditopang oleh kegiatan KKN merupakan kerja sama strategis antara dua pihak dalam menimbang kemajuan secara utuh. Apalagi, Indeks Pembangunan Manusia dilengkapi dengan IKS (Indeks Kesejahteraan Sosial) sebagai inisiatif lokal bahwa pengembangan masyarakat menimbang kegunaan pembangunan bagi pemerataan.

Selanjutnya, pembaca seperti tersihir untuk menekuri setiap kalimat karena ia lahir dari penghayatan yang seluruh dan jujur. Misalnya, Agil menggambarkan suasana dengan hidup di kapal dan melukiskan cinta pada pandangan pertama pada Asila, teman satu kelompok. Namun, ini bukan sekadar ungkapan klise, tetapi si lelaki mengungkapkan bahwa perempuanlah yang harus menyatakan perasaannya pertama kali. Pembalikan ini sekan-akan melawan stigma bahwa perempuan harus menunggu dan lelaki bertindak lebih dahulu.

Tetapi, kisah di atas bukan romantisasi terhadap pertemuan antara orang yang berbeda jenis kelamin, tetapi  ada pesan lain, bahwa perjalanan ini hendak menunaikan tugas yang jauh lebih mulia, yakni menyatukan warga negeri ini dalam satu napas, kenusantaraan. Untuk itu, beberapa foto yang disertakan dalam halaman-halaman semakin meneguhkan kehendak murni tersebut. Mereka tidak hanya hadir dalam acara Maulid, tetapi juga perayaan hari Kemerdekaan bersama warga. Di sini, batas-batas negara dan agama tidak dilihat secara diamentral dan dangkal, tetapi saling melengkapi dan sejati.

Ketika banyak mahasiswa liburan Iduladha, mereka sedang menunggu kapal ferry untuk membawa rombongan dari Baubau ke Tomia. Di malam hari rayat tatkala banyak keluarga merayakan kebersamaan, mereka memilih untuk menjalankan amanah sebagai mahasiswa yang hendak mempraktikkan ilmu yang diperoleh di menara gading di kehidupan nyata. Tak hanya itu, musim hujan membuat langit gelap dan gemuruh ombak menghantam badan kapal. Selaksa doa dipanjatkan agar keselamatar diberikan. Dalam suasana ini, kesadaran spiritual seseroang diuji. Hidup dan mati itu dua pilihan yang tidak bisa dingkari.

Betapapun Wakatobi menyuguhkan pemandangan laut yang indah, dimana pengunjung bisa berswafoto untuk mengabadikannya, namun ada pengalaman lain yang jauh lebih hangat, yakni keramahan penduduknya. Mereka diterima tuan rumah, yang merupakan pendudukan setempat. Lebih jauh, mereka juga akan belajar berempati dengan banyak hal, termasuk makanan lokal, dari Kasuami dan Kuho-kuho. Dari sini, betapa kebhinekaan itu nyata dan kekayaan yang acapkali tidak dikenal oleh rakyat Indonesia lain, karena burger, pizza, dan susi telah memesona warga sebagai selera yang layak dirayakan.

Rujukan: Menemukan Indonesia di Wakatobi

Sunday, August 06, 2023

Es Krim

Kami mampir sejenak di warung es krim Paiton untuk membelikan dua gelas es krim untuk Biyya dan Zumi. Sebelumnya, si bungsu memberitahu bahwa di dekat sekolahnya ada warung Mixue. Kami pun dulu memesannya melalui Gojek. 

Saya sendiri menikmati es krim pertama kali di kampung dulu. Kami menyembutnya es dundung. Apakah es lokal tidak mencoba untuk melakukan hal sama? 

Setidaknya, waralaba kini tidak hanya didominasi oleh Amerika dan Eropa. Sebagaimana J Co asal Indonesia juga mencoba untuk melebarkan sayapnya ke negara lain. Kini, batas-batas mulai retak karena selera hendak diseragamkan. Sekali-kali kita menyesap minuman atau menikmati kudapan luar, namun bukan soal itu yang perlu dikedepankan, tetapi kemampuan berhitung jejak karbon. 
 

Saturday, August 05, 2023

Warung Padang

Seusai salat Jum'at, kami pergi ke warung Padang Paiton. Biasanya kami hanya membeli lauk-pauk dan kuah-sayur. Sambal hijaunya memantik selera. Mengingat Biyya dan Zumi masih di sekolah, kami makan siang di sini. 

Segelas es mengusir haus di tengah terik matahari membakar bumi. Warung ini terletak di dekat pasar Paiton, yang berjejer dengan Geprek Sa'i dan JNT. Sementara, warung Bakso Solo berdiri di seberang jalan. 

Tak jauh dari kursi kami, beberapa pekerja PLTU bercakap-cakap dalam bahasa Jawa. Paiton adalah titik temu dari banyak bahasa dan budaya. Dalam acara perkawinan, busana, musik, dan makanan merupakan kepanjangan dari banyak rujukan. Harmoni itu adalah pertemuan perbedaan. 

 

Tuesday, August 01, 2023

Kearaban

Saya meminta mahasiswa yang mengambil mata kuliah Living Qur’an untuk membaca buku Identitas Arab Itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia yang dianggit oleh Musa Kazhim Alhabsyi. Mungkin, inilah karya yang ditunggu-tunggu untuk bisa memahami bahasa Arab dan pada gilirannya kitab suci dengan bahasa sastrawi dan analitis. Tidak hanya itu, saya menulis dalam status Facebook, inilah buku yang menyampaikan apa yang saya pikirkan dan memberikan efek Aha! karena cetusannya membuka daya ungkap baru untuk menguliti pandangan stereotip, sempit, dan asal ceplos tentang apa itu kearaban.  

Pengantar Haidar Bagir, pemilik penerbitan, menambah tajam terhadap ulasan sang pengarang. Ia telah menanggalkan nama warga Alhabsyi dengan penuh kesadaran. Dengan demikian, ia berhasil mengelak dari identifikasi sebagai orang Arab. Meskipun terlahir dari migran Hadramaut Yaman, sang ayah memilih sarung, kemeja, dan songkok hitam, sehingga tidak membuatnya berbeda dengan orang lokal.

Tentu, pengalamannya yang paling mengesankan tatkala sang ayah menjadi salah satu yang mendorong perubahan nama sekolah Rabithah al-Alawiyah, perkumpulan kaum Alawi, keturunan Alwi bin Ubaidillah, cucu Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir, migran pertama keturunan Nabi dari Irak ke Hadramaut, menjadi Sekolah Diponegoro. Keputusan keluar dari kampung Arab di Solo tentu mengokohkan tekad sang ayah untuk menjadi Indonesia.

Masalahnya, apa yang menjadi penanda dan mengapa jati diri Arab itu ilusi? Kumpulan tulisan ini tentu membantu pembaca untuk keluar dari politik identitas yang semakin mengeras akhir-akhir ini. Penggunaan kata-kata kadrun, kadal gurun, sering disematkan pada kelompok pendukung Anies dan sebaliknya pada penyokong Jokowi kampret. Penolakan terhadap Arabisme juga mengemuka dengan penggeloraan pakaian tradisional, kebaya dan penolakan pada jubah.

Tetapi, apa sebenarnya Arab itu? Bagi pengarang, fenomena kearab-araban yang berselang-seling dengan kehabib-habiban akhir-akhir ini tidak lebih daripada gerakan bermotif politik, yang sangat dangkal dan banal. Tidak ada dasar-dasar otentik, apalagi keagamaan, di balik fenomena itu kecuali usaha mengeraskan identitas yang sejatinya sekadar ilusi. Jelas, dari pernyataan tersebut, kita bisa menghentikan membaca karya ini di prolog.

Tetapi, penegasan ini bisa dianggap sebagai klaim asal-asalan atau angan-angan (wishful thinking), bukan penalaran yang kokoh. Untuk itu, menelusuri buku ini menjadi pembacaan yang mengasyikkan. Meskipun demikian, pengarang tidak menyebut tulisannya sebagai karya akademis, apalagi riset bertahun-tahun. Anehnya, ia menganggit pemikirannya dengan pendekatan multidisipliner, dari linguistik, hermeneutik, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Jelas, ini bukan anggitan kaleng-kaleng, karena tanpa penguasaan terhadap disiplin ini uraiannya akan terasa hambar. Pengalaman sebagai wartawan jelas terasa dari ungkapannya yang mengalir dan enak didaras.

Secara semantik, ada dua kata yang membedakan antara arabi dan a’rabi terkait penggunaan bahasa, yang pertama adalah bahasa fasih dan kedua kasar. Artinya, Arab itu terkait dengan penggunaan bahasa dengan standar tertentu. Secara generik, ia mencakup berbagai macam kelompok etnik, wilayah geografis, pemeluk agama, karakter, budaya dan suku. Bayangkan, organisasi Liga Arab yang memiliki 22 negara anggota mencerminkan keanekaragaman yang dimaksud.

Selain itu, ‘arabi sering dipertimbangan dengan ‘ajami, yang terakhir dikaitkan dengan Baduwi, suku pedalaman. Padahal, peng-‘ajam-an menunjukkan penyimpangan dari satu bahasa yang asli, jelas, lugas dan jernih. Kenyataannya, pengguna bahasa Arab di kawasan Timur Tengah dan Afrika tidak lagi menggunakan bahasa baku (fushha), tetapi pasaran dalam keseharian.

Itu artinya bahwa orang Arab itu tidak hanya ada di tanah asalnya, tetapi mungkin juga di Nusantara, di mana para tokoh agama menggunakan tata bahasa rumpun semitik ini dengan baik. Jadi, bila seumpamanya Anies Baswedan fasih berbahasa Inggris dan dan tidak bahasa Arab, maka ia adalah bukan orang “Arab”.



 

Buah-Buahan Lokal

Berbeda dengan gorengan, buah-buahan belum menjadi kudapan sehari-hari. Padahal, kita mempunyai banyak pilihan untuk menikmatinya. Tanah kita pun juga ramah dengan jenis pohoan luar, seperti pepaya California. 

Dulu, kami pernah melempar biji dan tumbuh dengan subur. Kelelawar sering memakannya dan meluahkan biji pepaya yang kemudian pohon ini muncul di banyak titik halaman belakang rumah. Padahal, tanah pasir batu itu tidak sesubur tanah sawah atau tegalan. 

Kini, kami menanam mangga harum manis di halaman depan. Pohon ini sempat kering. Namun, kini ia tumbuh, meskipun sepertinya malas untuk berkembang dengan baik. 
 

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.