Monday, August 21, 2023

Keterbukaan

Sepajang tahun kemarin, pesantren dihadapkan dengan banyak kasus yang mengaibkan, seperti kekerasan yang berujung pada kematian dan pelecehan seksual hingga perkosaan. Tidak hanya di Jawa, tempat banyak lembaga pendidikan tertua ini bertapak, di luar tanah Dwipa juga didera dengan dua kejahatan yang seharusnya tidak terjadi di institusi yang menjunjung moralitas dan etika.

Namun, tidak bermaksud apologetik, pendidikan yang diwarisi dari tradisi kuno ini masih mendapatkan kepercayaan publik, sehingga kasus itu tidak membuat warga meninggalkan pesantren. Justru, di masa pandemik, lembaga ini semakin mendapat kepercayaan mengingat penempatan asrama memungkinkan karantina dan pembelajaran-pengajaran luring tetap bisa berlangsung. Bagaimanapun, kelas daring belum dapat sepenuhnya dilakukan dengan pebagai alasan.

Kasus pembakaran sentri senior pada yunior di sebuah pesantren di Pasuruan menghentak publik. Setelah sebelumnya ada pengeroyokan terhadap santri yang dituduh mencuri dan berujung kematian, kini amarah itu berupa pengguyuran pertalite pada tertuduh dan pemantikan korek api yang membakar sebagian tubuh korban.  Tragedi ini menghiasi banyak media cetak dan elektronik, baik daerah maupun nasional.

Kekerasan di atas melengkapi prilaku tidak terpuji santri, selain perisakan. Sorotan publik tentu tidak bisa dielakkan karena citra pondok pesantren sebagai institusi yang mengedapankan budi pekerti dan kesalehan. Tentu, kekerasan seksual yang melibatkan keluarga kiai di Jombang menyedot perhatian masyarakat luas. Kasusnya sempat terkatung-katung di kepolisian selain penolakan keluarga dan pendukugnnya. Pondok Asshiddiqiyyah ini pun sempat ditarik izinnya, sebelum dikembalikan semula.

Belum lagi, kasus pelaporan seorang ibu nyai terhadap sang suami yang dianggap telah melecehkan santrinya di Jember. Sepertinya, ada kotak pandora yang terbuka di tahun belakangan ini, di mana kejahatan yang dilakukan oleh orang “kuat” pesantren tidak lagi bisa disembunyikan. Tekanan publik dan viral media sosial memaksa banyak orang untuk terus menggugat dan pihak aparat untuk segera menyelesaikan kasus tersebut.

Menurut Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, akar kekerasan itu tidak bersifat eksistesial. Ia merupakan keadaan temporer. Kekerasaan adalah kondisi negatif tatkala seseorang tidak bisa tumbuh dan berkembang maju. Pendek kata, kekerasan adalah sebuah kondisi negatif di mana seseorang dihalangi untuk tumbuh dan membuat kemajuan. Pandangan ini tentu menjadi cermin bagi setiap pemangku kepentingan untuk melihat kekerasan di pondok secara utuh.

Pada waktu yang sama, penulis Insane Society tersebut menegaskan perlunya pembedaan antara sikap agresif yang defensif dan desktruktif. Yang pertama terkait untuk menyelamatkan kehidupan dan yang terakhir menghancurkan kehidupan itu sendiri dan melawan kondisi manusia. Ia menegaskan bahwa kemajuan teknologi dan sains bsia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan manusia modern, yang disebut dengan manusia sibernetik, bertindak secara destruktif dalam kehidupan mereka.

Sebagai salah satu institusi pendidikan, kini pondok telah mendapatkan afirmasi, rekognisi, dan pada gilirannya fasilitasi. Namun sejalan dengan kehendak UU No 18 2019 tentang Pesantren, otoritas pengasuh tidak bisa diatur oleh Majelis Masyasyih yang diberi amanah untuk merealisasikan isi dari undang-undang tersebut. Betapa pun ke depan Sistem Penjaminan Mutu akan diberlakukannya, namun tanpa sepenuhnya dukungan pembiayaan, pengaturan lebih jauh terhadap pondok akan dihadapkan dengan kendala.

Namun, upaya pondok untuk senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan ideal tentang ruang dan waktu jelas menjadi perhatian pengurus. Peraturan Induk Pengembangan 2021-2040 dan Rencana Strategis 2023 Pondok Pesantren Nurul Jadid jelas merencanakan rasionalisasi ketersediaan ruang perubahan secara sistematis. Demikian pula, penyederhanaan kurikulum menjadi lima bagian, keagamaan (Furudhul ‘Ainiyyah), bahasa, sosial humaniora, sains matematik, dan kemandirian menunjukkan usaha untuk mengefektifkan durasi belajar santri.

Artinya, betapa pun pesantren secara otonom menetapkan tata kelola mandiri, ia tidak lagi sepenuhnya berjalan secara alamiah. Di era teknologi informasi, apa yang dulu menjadi ruang pribadi dan ruang tertutup kini terpapar pada publik melalui media sosial. Bahkan, dengan e-commerse, barang-barang bisa dikirim ke santri tanpa harus melalui pengecekan isi secara teliti. Lebih jauh, dulu orang tua santri akan menyerahkan anak kepada kiai sepenuhnya. Kini, pondok kami menggelar Rapat Wali Santri untuk mendengar harapan dan saran dari para wali.

Kebijakan pondok untuk membatasi penggunaan telepon genggam sejatinya hendak memberikan ruang pada santri dan mahasiswa untuk bisa memfokuskan pada pembelajaran. Penggunaan laptop diperbolehkan sejauh dimanfaatkan untuk penyelesaian tugas kuliah dan belajar. Bagaimanapun, teknologi yang dilihat sebagai alat untuk memudahkan pekerjaan manusia, ia justru bisa menjadi perangkat untuk membuat penggunanya terlena. Dunia maya hanya menyediakan informasi, belum pengetahuan sistematis, apatah lagi kebijaksanaan.

Dengan demikian, sejauh ini, kaidah pengajaran di pondok masih relevan sejauh pengajian kitab dilakukan untuk mengajar santri fokus dan teliti dalam memahami arti. Selain itu, kebiasaan ibadah sehari-hari yang dipogramkan secara ketat adalah ikhtiar agar mereka berdisiplin dalam kegiatan lain. Semua dilakukan secara terukur agar evaluasi bisa dilakukan dan peningkatan bisa direncanakan untuk periode selanjutnya.

Dengan menggeser pengajian kitab pada pengetian luas, bahwa tradisi ini tidak terbatas pada tafsir, hadits, dan fikih, kitab-kitab sosiologis (Almuqaddimah Ibn Khaldun) dan politik (Al-Ahkam al-Sulthaniyyah Mawardi), juga perlu dibacakan sehingga respons kaum sarungan bersifat multidimensi. Agama tidak diringkas pada persoalan ibadah, tetapi juga praktik kenegaraan dan kemasyarakatan lebih luas. Keterbukaan lembaga ini pada banyak sumber dan kaidah menunjukkan kemampuan memahami esensi dari ajaran.

 

 

 

No comments:

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.