Sunday, March 23, 2025

Nalar

Semalam saya berbagi kiat kepenulisan dengan santri mahasiswa semester awal. Seronok, malam-malam mereka masih bersedia berdiskusi. 

Saya ingin mereka nyaman dgn suasana kelas. Seraya berdiri dan sekali waktu mendekati untuk bertanya jenis tulisan yg mereka minat, saya berharap mereka telah menabung untuk berkarya. 

Setidaknya, menulis itu mengabadikan apa yang dialami, dipikirkan, dan dirasakan. Dgn kebiasaan ini mereka telah menjaga jarak dari kenyataan. Tantangan terbesar adalah menjaga ritme untuk menekuri buku catatan yang kosong agar penuh dgn coretan. 

Keduanya bisa disuburkan dengan membaca. Ghufron ternyata telah mendaras buku berat. Ini modal besar untuk membuka jalan baginya untuk menjadi penulis. Setelah acara, ia  membacakan puisinya. 

Untuk itu, saya meminta mereka untuk menghasilkan karya dan membahas bersama saya dan dosen lain di kampus.

 

Seni Hidup


 Saya menyelesaikan "Seni Hidup Minimalis," manakala Biyya menekuri "Catatan Matlutfi". Seraya menunggu angkutan, kami mendaras. 

Lao Tzu, filsuf China dan penulis Tao Te Ching, menulis bahwa orang yang merasa cukup dengan yang ia miliki adalah orang kaya. 

Apa yang diuraikan oleh Francine Jay selanjutnya sejatinya pandangan yang ditemukan oleh banyak orang. Keinginan atau hasrat bikin orang selalu haus ini dan itu. 

Dengan membaca "Al-Syama'il al-Muhammadiyyah", kita menemukan praktik hidup dgn sedikit barang telah dilakukan oleh nabi. 

Lalu, bagaimana dgn nasib produksi massal jika khalayak memilih cara hidup serba minimal?

Thursday, March 20, 2025

Anakku!


 Dulu, kami pernah beternak ayam. Dari sisa gilingan padi, dedak, kami memberinya makan. Ah, seronoknya masa kecil. Ayah mengajak saya menyelip (bahasa Madura untuk menggiling)  padi di Lorong Anyar dengan naik becak. 

Jika kamu ingin mengerti kehidupan, maka bacalah kenyataan yang ada di hadapan! Petani, nelayan, dan buruh pasar adalah jiran kita. 

Buku itu sebagian dari jendela.  Bukalah tingkap lain agar realitas tidak dibatasi dgn hanya cerita JK Rowling. Kita hidup di sini, tempat peternak mengeluh karena harga pakan mahal. Petani tak tahu ke mana mengadu harga tembakau yg anjlok.

Loteng


Wind of Change mengalun dari radio. Saya selalu ingat pondok Latee. Perinciannya jelas. Dulu, selera ini untuk gagah-gagahan ala remaja tanggung. Di sini pula, saya menikmati G N R dan Skid Row dari kaset teman. 


Setelah makin dewasa, lagu adalah teks. Angin perubahan datang menderu ketika saluran mampat. Seniman berhasil mengabadikan sejarah dgn apik. 


Kita beruntung. Dalam keterbatasan, kita meneroka banyak keindahan dunia. Andai Rob Baedeker, sukarelawan VIA, tak melawat ke Guluk-Guluk, ia tak akan "mengenal" negeri ini.

Wednesday, March 19, 2025

Keterulangan Abadi

Di bawah terik, saya menaikkan layangan. Kedua anak ini turut menikmatinya dengan berpayung. Padahal, sebelumnya Zumi turut berlarian tanpa pelindung dari matahari. 

Di musim layangan dulu ayah membuatkan mainan ini untuk adik Syarif. Sebagai tukang, ayah kami bisa melakukan banyak hal. Seharusnya saya mewarisinya. 

Seeloknya, pendidikan keterampilan (kemahiran) di sekolah menjadi proses pembelajaran yang diutamakan. Dengan berbekal ini, komunitas seperti Amish atau An-Nazir bisa diciptakan karena individu yang ada di dalamnya bisa menyumbangakan tenaga untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Utopia? Tidak. Badui Suku dalam bisa menyelaraskan hidup dengan alam. 

Kehidupan modern menjadikan manusia sbg sekrup dari mesin raksasa. Mereka terasing karena televisi menjejali acara yang jauh dari kenyataan sehari-hari. Pabrik besar menggantikan tangan manusia dgn mesin dan anehnya mereka menjual barang kepada insan, bukan mesin. Lebih paradoks lagi, uang menumpuk pada segelintir, tetapi orang ramai dibujuk untuk membeli.

 

Makna Lagu

Dhandanggula


Di tengah malam, saya menikmatinya begitu saja dari radio. Apa makna "ngalap berkah" dalam lintasan bait yang didendangkan oleh penembang itu?

Setelah itu, radio mengiklankan obat segala penyakit Bio-7. Lagi-lagi keberkatan itu terkait dengan kajian terbaru dari kesejahteraan subyektif, yang unsur-unsurnya di antaranya adalah kesehatan. Pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, aset-liabilitas harus secara sungguh-sungguh menempatkan gaya hidup untuk menyangga tubuh. 

Kita mungkin berpikir normal, tetapi bila flu berat menyerang, kita pun tumbang. Bahkan untuk menyelesaikan kolom "Bahasa Agama" yang hanya terdiri dari 666 kata, saya harus memeras tenaga sedemikian rupa. Ini tentu juga dialami oleh siapa pun yang hendak menghasilkan sebuah tulisan. 

Tentu, khalayak harus menanggung rasa kesal bila badan penat karena sakit. Nah, selain sehat, waktu luang juga merupakan tantangan. Dengan bantuan banyak alat, kita tidak lagi menimba air, mencuci secara manual, dan lain-lain. Kita akan menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia virtual. Batas nyata dan maya runtuh. 

Mungkin, kita hanya perlu membuat batas untuk diri sendiri untuk menemukan diri. Di sini, kita berhenti dalam sunyi.

 

Fase Akhir

Sejauh dan semacet apapun perjalanan, pejalan akan berhenti di swafoto dan hadir di media sosial. Saya mengalami dan melewatinya. 

Fase eksistensi tertinggi itu kontemplasi. Imajinasi kita menolong menjangkau banyak tempat. Televisi dan radio juga membantu mengabarkan peristiwa. Isinya sama, yakni hasrat manusia. Bila yg terakhir dikontrol, kita kaya, kata Buddha. 

Sejatinya waktu itu bukan jam, hari, bulan, dan tahun. Ia adalah masa yang tak dibekap oleh batas. Jika ada orang mengajak doa dan selawatan  di malam tahun baru, kami melakukannya tiap subuh di surau tak jauh dari rumah. Kurangi kerumunan! 

Waktu itu adalah sekarang. Kemarin usai. Esok angan-angan. Kebaruan itu kekinian.

 

Salihah

 

Mengapa kata salih diserap saleh, tetapi untuk feminin salihah, bukan salehah? 

Ini adalah sebagian dari tantangan bahasa kita dalam menyerap bahasa Arab. Tambahan, mengingat bahasa rumpun Semitik tersebut berbasis gender, kita perlu merapikan kosa kata yang kita pinjam agar istikamah, sehingga kita juga mengenal kata mufasirah, bukan hanya mufasir, penafsir lelaki. 

Batas bahasa adalah batas dunia kita, kata orang bijak.

Nalar

Semalam saya berbagi kiat kepenulisan dengan santri mahasiswa semester awal. Seronok, malam-malam mereka masih bersedia berdiskusi.  Saya in...