Kala bulan puasa kami mengaji kitab dalam bahasa ibu, Madura. Namun, pengaruh Jawa yang kuat jelas meletakkan warga Pulau Garam pada atmosfir alam pikiran Jawa. Kata tersebut mengandaikan bahwa tahu itu mengandaikan prilaku. Suatu waktu santri bising menjelang jemaah subuh. Kiai membatalkan salat dan kembali lagi ke kediaman. Tak lama kemudian beliau kembali ketika kami diam.
Artinya, sembahyang itu hening, bukan TOA. Ngawruh bukan ketahuan, tetapi kesadaran, yang menuntun pembelajar untuk mengamalkan sesuatu yang dipahami dan dihayati. Untuk itu, pertemuan santri Latee pada 24 Oktober yang akan datang akan menjadi titik balik untuk meneguhkan kembali keheningan itu. Ramai dalam sunyi. Semangat dalam bakti. Hadir dalam sejati.
cc: Kabar Madura
No comments:
Post a Comment