Pernahkah Anda jengkel dengan negeri Jiran ini? Itu saya tidak tahu pasti, karena saya bukan malaikat yang mencatat tindak-tanduk Anda. Tetapi, memang dalam percakapan tidak resmi, saya acapkali mendengar keluhan teman-teman Indonesia terhadap prilaku Malaysia, baik orang maupun pemerintahannya.
Lalu, ada teman saya yang membeberkan koran-koran lokal negeri Melayu ini yang selalu memberitahukan nasib buruk bangsa Indonesia, mulai banjir, flu burung, korupsi dan wajah kemiskinan yang merobek wajah penghuninya. Kata teman PPI, 'Kami tidak bermaksud agar bencana yang menimpa bangsa tidak diberitakan, tetapi mengapa koran-koran di sini tak sedikitpun menceritakan keberhasilan negeri kami?' Secara tersirat, surat kabar mereka ingin mencatat bahwa saudara tuanya itu tak mempunyai prestasi. Belum lagi komentar penduduknya di dalam rubrik SMS di beberapa surat kabar, seperti METRO dan KOSMO!. Mereka merasa tak nyaman dengan kehadiran orang Indonesia, baik karena perilakunya yang berangasan, suka merampok, melanggar aturan dan bahkan mengambil jatah rezeki mereka.
Marahkah kita pada mereka? Kalau kita berpikir pendek, dengan gampang kita mengatakan dasar Melayu! Namun, kalau kita memeriksa kembali hakikat realitas bahwa sesungguhnya mereka juga menggampangkan masalah. Setelah tidak bisa mengkritik pemerintahnya menyediakan lapangan kerja, lalu orang Indon (pasti Anda marah jika mendengar kata ini) dipersalahkan. Uniknya lagi, dalam sebuah komentar sms di KOSMO! mereka protes bahwa Kuala Lumpur layaknya Jakarta saja, bukan lagi milik mereka. Bahkan, membanjirnya lagu Indonesia di radio-radio dianggap sebagai palu godam yang akan mematikan artis tempatan. Coba Anda dengar lagu-lagu Radio FM Era, hampir bisa dipastikan disesaki oleh kumpulan musik (grup band) Indonesia, mulai dari Nidji, Dewa, Radja, Ungu, Once, Melly G, Irwansyah+Aca dan tentu saja Inul. Bahkan, Datuk Siti, yang mereka banggakan, banyak menyanyikan lagu ciptaan Melly G. Tentu sahaja yang selalu dibanggakan, penampilan Siti di Albert Hall, London, yang dianggap sebagi keberhasilan isteri Datuk K ini memasuki gelanggang internasional justeru melibatkan Erwin Gutawa untuk menangani aransemen musik. Pendek kata, kita lebih jago dalam bermusik.
Lalu, jika dalam musik kita lebih handal, mengapa dalam bidang lain kita jeblok, taruhlah pariwisata kita yang tidak menarik minat turis asing sebagus Malaysia. Anda mungkin boleh membuat senarai bidang lain bahwa kita telah ketinggalan jauh, antaranya olahraga, industri manufaktor, dan lain-lain. Untuk itu, kita harus menjawab persoalan ketertinggalan ini sekarang. Mungkin, kita boleh ngobrol-ngobrol tidak formal di warung ketika makan malam untuk membincangkan persoalan di atas, tak perlu seminar atawa loka karya.
Tentu saja yang tak boleh dilupakan adalah bahwa pilihan kita bersekolah di sini adalah sebuah pertanda kita mengakui negeri Hang Tuah ini memiliki kualitas pendidikan lebih baik daripada Indonesia. Meskipun, teman saya tidak mengakui hal ini, tetapi sayangnya beliau mengambil program doktor falsafah di sebuah universitas yang terletak di negeri Mutiara. Aneh, bukan?
Jadi, hubungan kita sebagai negara serumpun yang selalu dikemas sebagai saudara yang harus saling menjaga dan tak boleh saling jegal dan bahkan dipermanis dengan kedekatan pemimpin kedua negara ternyata menyimpan bara. Percikan perangtelah menyembul di Ambalat. Televisi memperlihatkan wajah perampokyang kebetulan berasal dari Indonesia sehingga timbul kesan bahwa orang asing yang selalu bikin ulah. Padahal kejahatan yang dilakukan oleh orang lokal jauh lebih banyak dan mengerikan.
Lalu, jika Anda menanyakan apakah saya akah marah pada mereka yang selalu memojokkan orang Indonesia? saya akan katakan bahwa saya tidak akan pernah marah pada siapapun. Kita harus meletakkan peristiwa apa pun dalam konteks yang rumit. Misalnya, jika ada orang Melayu yang menyatakan bahawa mereka lebih berhak untuk mengais rezeki di negeri mereka, ini jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka bukan dari kalangan orang yang terpelajar. Sebab, betapa banyak perusahaan Malaysia yang menangguk untung dari usahanya di Indonesia, misalnya Telekom (bidang komunikasi), BCB ( Perbankan), Tabung Haji (Hasil Hutan), AirAsia (transportasi), untuk menyebut sebagian. Jengkel pada orang yang kecerdasannya terbatas hanya akan menguras energi.
Biasanya, orang yang suka mengeluh, menghantam sana sisi adalah orang yang terdesak karena kepentingannya diserobot oleh orang lain. Lalu, untuk membungkus keterdesakannya penyangak ini mereka-reka cerita tentang warga Indonesia yang sering mengambil lahan mereka. Tujuannya, agar pihak penguat kuasa merazia orang-orang kita di sini. Ya, nasib orang kecil di mana-mana memang harus berdepan dengan perlakuan yang arogan dari kekuasaan. Sementara pemilik modal bisa melenggang kankung mengeruk keuntungan tanpa mengenal tempat.
Hal yang sama juga terjadi pada kepolisian di sini. Ketika kewalahan menangani tindak kejahatan, media memanipulasi berita bahwa kehadiran orang asing telah menyebabkan kerawanan sosial. Jadi, yang salah orang kita, bukan polisi yang tak mampu menjalankan tugasnya.
***
Sebagai bahan obrolan di warung, mungkin daftar di bawah ini adalah cara paling mungkin yang bisa kita lakukan agar kita telah merasa berbuat untuk bangsa:
Sering request lagu Indonesia ke radio lokal, baik melalui layanan pesanan ringkas (sms) mahupun surat elektronik (email).
Meyakinkan teman-teman Asing di sini (Eropah, Arab, Jepang dan lain-lain) untuk mengunjungi Indonesia
Mempromosikan barang-barang kita di sini
Jangan berbelanja barang yang masih mungkin bisa dibeli di Indonesia
Apakah saya telah melakukan apa yang telah digagas di atas? Inilah jawabannya.
Ketika mengerjakan disertasi di depan komputer saya sering mendengarkan lagu Indonesia di Era FM, tetapi menyempatkan untuk minta lagu lewat email.
Saya selalu berkenalan dengan orang-orang yang kebetulan ketemu di pengangkat (Lift) asrama Restu, lalu saya menanyakan apakah ia pernah ke Indonesia? Jika orang yang saya temui adalah orang Arab, saya katakan bahwa al-Indonesia silsilatun min al-jannah (Indonesia itu rangkaian dari surga). Sayangnya, saya belum pernah berpapasan dengan Bule di Lift, mungkin teman-teman yang tinggal di Rumah Antarabangsa bisa membujuk para Mat Saleh itu datang ke Indonesia. Justeru ketika bertemu orang Jepang di kantor pos, ia bilang telah pernah ke Bali. Hebat!
Saya sering mengatakan pada teman karib Melayu saya bahwa kopi kapal api yang diiklankan di tv lokal sedap. Eh, dia akhirnya mau beli.
Saya menunda membeli mobil BMW di sini karena hanya membuang uang di negeri orang (he...he..yang ini becanda cing!)
[Catatan: Surat Terbuka untuk Milis PPI Malaysia]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dengan Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga. Meskipun cuma seb...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment