Sunday, May 09, 2010

Malam Ahad


Semalam, kami datang beramai-ramai ke konsulat untuk menghadiri acara temu-ramah dengan Pak Moenir, konsul, yang sebentar lagi akan mengakhiri masa tugasnya. Tak hanya mahasiswa, perwakilan kampus Universiti Sains Malaysia, Encik Marimuthu dan Prof Mohd Yusoff, juga hadir. Ketiga orang ini pun memberikan sambutan. Saya pun sibuk mencatat apa yang mereka uraikan. Ada banyak kata kunci, seperti prestasi, kinerja, terobosan, gambar besar, dan mahasiswa.

Di sela rangkaian acara, Persatuan Pelajar Indonesia memberikan cendera mata pada Pak Moenir. Mas Herpandi berujar bahwa hadiah itu adalah bentuk ungkapan keikhlasan mahasiswa terhadap alumnus Universitas Diponegoro ini. Nilainya mungkin tak seberapa, tambahnya sebagai pembawa acara. Hadirin pun tak bisa menahan tawa. Selain kado itu, seorang mahasiswa juga menyerahkan program tahunan PPI USM, sebagai bentuk ikatan. Bagaimanapun, peran konsulat sangat besar dalam keberlangsungan kegiatan organisasi yang berdiri tahun 1993 tersebut.

Acara ini pun usai. Seluruh tamu diminta untuk makan malam. Tepatnya, sangat malam. Di meja, mereka memilih aneka lauk dan kuah. Agak aneh, saya pun menggrauk pelbagai lauk dan sayur. Padahal, satu sama lain tidak nyambung karena aneka ragam lauk menyatu. Sepatutnya, daging ini tak bisa digabungkan dengan kuah yang itu. Piring itu berubah menjadi onggokan. Sambil menikmati makam malam, kami pun bertukar cerita, dari isu politik hingga humor. Menurut Pak Moenir, para diplomat kita tidak lagi mematut diri dalam pelbagai function. Hal-hal substantif perlu diketengahkan agar pertemuan tak hanya mengurus asupan, dandanan dan hal-remeh yang lain. Sepanjang pengamatan saya, bapak dari empat orang anak itu telah membuktikan dalam berbagai kesempatan.

Tak perlu waktu lama, asupan itu habis. Selanjutnya, acara karaoke bersama. Lagu dan nyanyian berhamburan. Lagu Koes Lus Kapan-Kapan menjadi pamungkas. Sebelum pulang, kami bergambar bersama agar ingatan itu sempat tertera. Kata Pak Moenir, gambar itu akan muncul di facebook, dan saya pun menanti cemas. Ternyata, gambar itu benar-benar nangkring di status dan saya meletakkan pose bersama itu sebagai penanda bahwa betapapun kita mengusung perbedaan, akhirnya semua harus ikhlas hati untuk duduk dan berdiri bersama untuk mengekalkan ingatan.

1 comment:

Anonymous said...

intinya, kebersamaan itu memang indah, bukan begitu kan pak?

Mengenal Pikiran

Kaum idealis dan materialis melahirkan turunan cara berpikir. Saya memanfaatkan keduanya tatkala mengajar Filsafat Takwil di Universitas Nur...