Saturday, September 10, 2022

Pondok dan Kita

Dulu, kami memasak nasi di dapur umum, mandi di tempat pemandian umum, dan berjemaah di masjid setiap waktu salat. Di tengah malam, kami bangun atas pilihan sendiri dan pengurus membangunkan. Dengan lampu pelita, kami menghapal Alfiyah, sebab listrik dimatikan pada pukul 11. Apa yang paling terkesan dari sekian keindahan? Saya bisa tidur sangat lelap selama 15 menit sehabis sekolah, lalu di waktu sore mengaji kitab Iqna' ke Kiai Mahfudz Husaini dan Riyadh al-Shalihin ke Kiai Ishomuddin AS. Jika kami bersembahyang berjamaah subuh di manapun kami berada, itu karena jalan "tasawuf" yang dicontohkan oleh Kiai Ahmad Basyir AS. Ini bukan pamer, tetapi sekadar apa yang kami dapat ketika belajar. Kepala Keamanan Latee, Pak Supandi, tidak pernah menggunakan kekerasan dalam menegakkan aturan. Beliau sangat mengayomi kami.
Bila saya menulis Ayo Jangan Mondok di Jawa Pos, yang telah telah menjadi bagian dari buku "Kehendak Berkuasa dan Kritik Filsafat" (Ircisod, 2021), itu karena menyoal citra pondok yang menjadi institusi tempat mengajarkan ideologi tertutup. Pada waktu yang sama, kami menolak praktik kekerasan apa pun di lembaga tersebut sebagai respons terhadap pelbagai isu yang sedang marak belakangan ini.
Kini warga akan menilai sendiri secara jernih apa yang terjadi dengan lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Di zaman internet, tidak ada yang bisa lagi disimpan di bawah karpet. Arah baru pesantren segera ditetapkan agar kesan dari wajah pendidikan yang tidak terbuka dari "penglihatan" orang luar hilang. Di pondok tempat kami berkhidmat sekarang, kami memiliki Rapat Wali Santri, yang menjadi ruang bagi para pengasuh dan orang tua wali berbagi pandangan untuk kemajuan bersama.
Gambar di bawah ini adalah Muhammad Endi dari Bali. Ia adalah siswa SMA Nurul Jadid yang berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dalam bidang Kesusastraan Inggris. Seusai salat zhuhur bersama, siswa asal Pulau Dewata ini menulis kosa kata harian yang harus dihapal dan dipahami. Saya dukung bila ia mau melanjutkan sekolahnya ke Universitas Sains Malaysia, di mana English Literature berada di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan (School of Humanities), tempat saya menyelesaikan sekolah.
Sebagai wujud dari ikatan batin dengan pondok Annuqayah, kami menggelar pertemuan bulanan dengan mengkhatamkan Alqur'an. Sama dengan Rifqi, mahasiswa UNUJA yang bergiat di IKMASS dengan pembacaan Ratibul Haddad. Nah, soal pilihan menolak kenaikan harga BBM, itu berpulang pada pilihan ideologis masing-masing sebaga warga negara. Saya memilih, tolak dan lawan!

 

No comments:

Syawalan Keduapuluhenam

saya pernah mengulas buku berjudul Santri Kendilen bersama Pemuda Desa Alastengah. Karya KH Zainul Mu'ien tersebut membahas pengalamann...