Kepulangan ke rumah kedua mengingatkan kembali bau tanah yang telah lama tak direguk setelah hujan. Rasa kangen terobati ketika untuk pertama kalinya pesawat tiket murah Air Asia mendarat di lapangan terbang Adi Sucipto. Sebelumnya, saya duduk satu deretan kursi dengan seorang bule Amerika yang sedang melakukan travelling. Namun, saya harus menahan rasa tak nyaman karena semua penumpang harus berdesakan di depan pintu kedatangan (arrival gate), karena kami hanya disambut tiga konter imigrasi dan ruang yang tak luas. Mungkin kalau pada waktu itu hujan turun, penumpang yang antri beberapa sentimeter di belakang akan lari bertempiaran karena sebagian berada di luar pintu masuk yang tak dinaungi atap. Untungnya, hujan tak tumpah.
Herannya lagi, tempat sempit itu tak menjulangkan langit-langit, sehingga lengkap sudah kesesakan raga dan mungkin batin penumpang. Namun, saya melihat wajah-wajah TKI tidak menunjukkan warna muram. Meskipun demikian, saya ragu apakah para turis, hanya segelintir bule dan puluhan dari negeri jiran, Malaysia, akan merasa nyaman dengan keadaan seperti itu. Salah seorang dari empat turis Malaysia berkebangsaan Tionghoa sempat menanyakan pada saya transportasi ke kota, Malioboro. Dengan serta merta, saya menyanggupi untuk membantu mereka dan tambahan lagi, si bule dari California itu ingin bergabung untuk berkongsi ongkos. Tentu, keadaan seperti ini perlu mendapatkan perhatian pihak berwenang karena pintu kedatangan adalah wajah pertama yang akan dinikmati para pelancong. Jika dibiarkan, mereka tentu telah merasa tak nyaman pertama kali menginjakkan kakinya di bumi nusantara.
Saya sendiri keluar dari areal bandara untuk membeli kartu perdana telepon agar bisa menghubungi keluarga. Tak lama kemudian, saya menyewa angkutan ke rumah dengan membayar Rp 30 ribuan. Sang supir bercerita bahwa dari pagi hingga menjelang malam, ia baru mendapatkan satu penumpang dan mengeluhkan keadaan yang tak membantunya untuk mengongkosi hidup. Malah, iseng-iseng, saya menanyakan hiruk pikuk kampanye, yang dianggapnya tak lebih dari hiburan. Hanya perlu 10 menit, saya telah sampai di halaman rumah.
Setelah hampir dua tahun, saya menginjak tanah dan membaui dedaunan yang beragam. Angin terasa lebih segar, karena di sebelah rumah terbentang sawah dan di bawahnya sungai mengalir, meski airnya tak deras. Mungkin, di hulu, hutan telah gundul. Dengan merebahkan tubuh di ranjang, saya merasakan malam itu menyenangkan karena katak bernyanyi riang. Malah, dengan penuh harap, keesokan harinya saya akan bangun dengan bahagia sebab ayam akan menyapa dengan kokoknya, selalu begitu. Saya juga heran mengapa pagi, bagi saya, adalah celotehan ayam, tidak yang lain. Tentu, azan subuh yang saling bersahutan memecah kesunyian dan mengajak orang yang terlelap untuk segera beranjak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment