Thursday, April 04, 2013

Makanan atau Bacaan

Kalau kita lapar, masihkah kita memilih bacaan? Muhyidin M Dahlan, kerani IBoekoe,  lebih memilih yang pertama dengan membelikan uang yang ada di kantong untuk sebuah buku, malah kadang kehabisan uang karena lebih senang memburu kitab pengetahuan. Tak semua orang bisa melakukan hal ini, termasuk saya.

Tentu, Muhyidin tidak sedang mengabaikan tubuh, tetapi dia sadar bahwa makanan rohani, bacaan, itu jauh lebih penting dirawat daripada menghabiskan waktu dengan wisata kuliner di sekujur tubuh negeri. Tapi, bukankah yang terakhir adalah semacam kesenangan banyak orang untuk menunjukkan kecintaan pada makanan tradisional, seperti yang sering ditulis oleh Anas Urbaningrum, mantan ketua umum Partai Demokrat, dalam akun Twitternya?

Bagaimanapun, kita tidak ingin terperangkap pada pilihan yang ekstrim. Dua dimensi hidup ini, jiwa dan raga, mempunyai keperluaan masing-masing yang harus dipenuhi. Setelah sarapan, kita akan mengisi pikiran, perasaan dan batin kita dengan asupan yang bukan material. Untuk itu, hari ini saya menyusuri buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram oleh Dr H J De Graaf dan Dr TH G TH Pigeud, edisi terjemahan. Di sini, saya ternyata bisa menelusuri asal-muasal nenek moyang saya, yang berpaut dengan banyak cerita, kisah, dongeng dan mitos. Hakikatnya, asupan jiwa itu luas, dan kadang buas. 

No comments:

Nietzsche

Kak, could you draw this picture using paint colors? Saya mengirim pesan pada anak sulung. Ia suka melukis, baik menggunakan pensit warna at...