Tuesday, November 16, 2021

Misteri Agama

Buah karangan ini merupakan kumpulan esai Louis Dupré yang berusaha untuk menjelaskan persoalan perenial agama dalam kajian filsafat, teologi atau secara bebas bergerak di antara keduanya. Karya ini dibagi ke dalam tiga bagian, yang pertama tentang pemahaman terhadap hakikat kebenaran dengan berbagai pendekatan, yang biasanya tidak terlepas dari pendekatan koherensi dan korespondensinya, namun demikian buku ini juga menampilkan cara lain untuk merespons persoalan kebenaran, yaitu penyingkapan. Di sinilah, peran Martin Heidegger dan Gabriel Marcel nampak dalam menegaskan teori ini, di mana ilmu pengetahuan positif tidak diterapkan untuk mencapai kebenaran ini. Para teolog merasa terpanggil untuk mengembalikan konsep kebenaran pada tempatnya.
Bagian kedua membahas simbolisasi agama, dengan mengacu pada pemikiran Balthasar tentang nilai estetik agama. Di sisi lain tindakan religius tidak akan ada tanpa ekspresi-ekspresi simbolik itu. Ide agama sebagai sebuah perasaan batin murni, terlepas dari ekspresi simboliknya, pertama kali diajukan oleh Schleiermacher muda, yang kemudian menganggapnya sebagai sebuah ilusi romantik. Tetapi ide yang sama yang dihidupkan kembali oleh sejumlah rekan sezamannya yang tidak lagi menemukan sebuah makna transenden di dalam simbol dan lembaga keagamaan. Hal ini bisa dipahami karena simbol-simbol dan lembaga keagamaan telah menjadi otoritas sekelompok elit agamawan, bukan menjadi milik pemeluknya. Kenyataan ini tak terelakkan akan melahirkan “wewenang mutlak” yang akan mengukuhkan satu kelompok dalam praktik keagamaan dan yang lain sebagai pengikut fanatik atau bahkan pragmatis.
Kajian fenomenologi agama menentang sebuah abstraksi semacam ini: ia menganggap maksud batin tidak bisa dikaitkan dengan ungkapan lahirnya. Para fenomenolog menganggap ekspresi eksternal seperti doa dan pengorbanan sebagai aktivitas komunal yang sangat penting bagi tindakan religius. Karena tindakan menuju pada yang transenden (dan oleh karena itu tidak bisa diekspresikan secara langsung) maka, ia mensyaratkan sebuah representasi simbolik untuk ada secara konkret. Agama menahbiskan objek-objek di dalam ruang dan waktu, untuk melampaui tatanan spasial dan temporal itu sendiri. Fenomenologi menggambarkan simbol-simbolnya dari seluruh bentangan yang terbatas: objek-objek mati, tanaman, binatang, dan manusia. Keragaman representasi ini menunjukkan bagaimana semua bentuk yang terbatas tidak cukup memadai untuk merepresentasikan sebuah realitas transenden. Jadi objek-objek itu merupakan instrumen bukan tujuan, sehingga perlu dibedakan secara tegas untuk tidak terjebak pada pemutlakan dan kultus yang menghilangkan sifat Tuhan yang mengatasi semua-benda dan penamaan.
Untuk mengimbangi ketidaktepatan ini, simbolisasi religius memerlukan bantuan kata, simbol yang paling luwes dan sesuatu yang paling tidak dibatasi pada sebuah arah maksud tunggal. Hanya kata yang mampu menghubungkan maksud religius dengan ekspresi. Semakin agama dimurnikan secara lebih spiritual, maka semakin lebih sentral fungsi yang akan diwujudkan kata di dalam sistem simboliknya. Untuk menjelaskan hakikat khusus dari sebuah iman religius, fenomenologi harus menyelidiki kreativitas simbol dari subjek manusia di dalam kekhususannya tanpa kehilangan pandangan tentang pasivitas esensial yang dialami subjek pada jantung tindakan ekspresif yang sebenarnya. Kecuali dia menegaskan bahwa orang beriman yang religius menganggap simbol-simbolnya sebagaimana di dalam beberapa hal “diwahyukan,” para fenomenolog akan kehilangan apa yang dianggap orang beriman religius sebagai yang esensial di dalam iman.
Dan bagian terakhir mengupas persoalan pengalaman agama, dengan mengacu pada refleksi filosofis terhadap teologinya Edward Schillebeeckx dan kehidupan spiritual di era sekuler, makin mengukuhkan bahwa agama tidak hanya berkaitan dengan pemikiran tetapi pengalaman (tindakan). Di sini, Schillebeeckx mengajukan pertanyaan bagaimana seorang tokoh historis, yang hidup dalam sebuah kebudayaan pedalaman, memulai sebuah pengalaman universal dan bahkan pada suatu waktu menghilangkan pengalaman yang sepenuhnya dijauhkan dari kebudayaan religus di mana pesan itu disampaikan? Meskipun pertanyaan ini diarahkan pada peran Yesus, namun masih aplikatif bagi tokoh-tokoh lain yang menyatakan pembawa pesan kenabian dan kebenaran.
Menurut saya, penulis esai ini mencoba untuk menghadirkan respons berbagai tradisi, tidak hanya agama Kristen, tetapi juga Islam dan agama lain [meskipun tidak dominan] mengenai tiga persoalan penting dalam agama, yaitu metode, simbolisasi dan pengalaman, demikian juga para filsuf dari abad klasik, tengah, moderen bahkan kontemporer. Usaha semacam ini akan mengembangkan dan mengkayakan perspektif dalam melihat persoalan tunggal. Kajian interdisipliner menjadi mungkin jika dilakukan dengan asumsi bahwa cara pandang merupakan bagian aktualisasi seseorang dalam menghadapi persoalan kehidupannya yang berkaitan, paling tidak, dengan kekuasaan [Michel Foucault], kepentingan [Jürgen Habermas] dan eksistensi [Karl Mannheim].

No comments:

Syawalan Keduapuluhempat

Saya mendengar ludruk ini dengan riang melalui radio Bayu Gita FM. Para pemain bisa berkelakar tanpa beban. Ini mustahil dilakukan dalam keh...