Monday, August 29, 2005
snow dogs
Pagi muram karena dirundung hujan. Tetapi, tidak rasa, yang senang karena mengharap bumi akan basah dan pohon hijau bisa mandi sepuasnya. Perjalanan ke kampus akan berbeda, karena kami menemukan keriangan tumbuhan.
***
Menunggu hujan reda, saya melanjutkan kembali menonton film Snow Dogs. Teddy (Cuba Jr) telah memberi ilham pada saya bahwa hidup mesti dijalani dengan riang, apapun yang terjadi. Menurut saya, manusia sendiri yang memberikan tafsir dan makna terhadap peristiwa. Bukankah saraf sedih dan senang letaknya berdekatan? Maka, kitalah yang menentukan mana yang mau diaktifkan!
Saturday, August 27, 2005
kopi robusta
Pukul 3 55 pagi dengan instrumentalia Kitaro [Caravansarinya benar-benar membuat pagi buta makin mencekam dan sepi, apalagi semaleman hujan telah membuai alam dengan dingin yang menusuk tulang hingga ke sumsumnya]
Minum kopi dan merokok membuat mata tak bisa dipejamkan. Asap seperti mengisi paru-paru untuk terus berdenyut. Jantung dipacu agar kantuk tidak datang. Aku mencoba untuk tidur dengan ditemani musik lembut dari Light and Easy FM [hampir tuning radio saya tidak beranjak dari gelombang ini]. Tapi sia-sia. Ini semua diawali dari sebuah pertemuan di Zubaidah dengan teman-teman, Ali, Arifan, Anisa, Una, Umam dan teman dekat, Dian. Aneh juga, setelah dari acara penutupan 17-an di Konsul, kami berencana untuk menghabiskan malam di warung kopi, tapi sayang hujan menghalangi nazar untuk menghirup aroma biji robusta. Untuk menebus kekecewaan, aku minum cappucino. Di sana, peristiwa datang silih berganti, dari canda, serius dan tertawa
Kami pun bubar, setelah hampir dua jaman bertukar cerita, entahlah, tak semua menancap di benak. Ali dan Annisa mengantarkan kami ke bumi Restu [ma kasih ya atas budi-baiknya?].
Mungkin, ini pertama kali di USM mandi jam 2 pagi, hanya agar aku ingin merasakan kesegaran. Supaya tidak lelah memaksa lelap, aku melanjutkan nonton The Interpreter yang dibintangi oleh aktor-aktris kawakan Sean Pean dan Nicole Kidman. Sebagai Agen, Keller [Sean Pean], memahami orang dari prilakunya sementara Silvia [Nicole Kidman] meyakinini kekuatan dan kesucian kata-kata. Akhirnya, film usai. Hidup terus berjalan.
Minum kopi dan merokok membuat mata tak bisa dipejamkan. Asap seperti mengisi paru-paru untuk terus berdenyut. Jantung dipacu agar kantuk tidak datang. Aku mencoba untuk tidur dengan ditemani musik lembut dari Light and Easy FM [hampir tuning radio saya tidak beranjak dari gelombang ini]. Tapi sia-sia. Ini semua diawali dari sebuah pertemuan di Zubaidah dengan teman-teman, Ali, Arifan, Anisa, Una, Umam dan teman dekat, Dian. Aneh juga, setelah dari acara penutupan 17-an di Konsul, kami berencana untuk menghabiskan malam di warung kopi, tapi sayang hujan menghalangi nazar untuk menghirup aroma biji robusta. Untuk menebus kekecewaan, aku minum cappucino. Di sana, peristiwa datang silih berganti, dari canda, serius dan tertawa
Kami pun bubar, setelah hampir dua jaman bertukar cerita, entahlah, tak semua menancap di benak. Ali dan Annisa mengantarkan kami ke bumi Restu [ma kasih ya atas budi-baiknya?].
Mungkin, ini pertama kali di USM mandi jam 2 pagi, hanya agar aku ingin merasakan kesegaran. Supaya tidak lelah memaksa lelap, aku melanjutkan nonton The Interpreter yang dibintangi oleh aktor-aktris kawakan Sean Pean dan Nicole Kidman. Sebagai Agen, Keller [Sean Pean], memahami orang dari prilakunya sementara Silvia [Nicole Kidman] meyakinini kekuatan dan kesucian kata-kata. Akhirnya, film usai. Hidup terus berjalan.
Thursday, August 25, 2005
komentar untuk teman, Ann
Agar blog saya tidak kosong melompong, maka paste saja komentar di blog teman. Mudah, bukan?
***
Acapkali, aku menghibur diri untuk membaca peristiwa dengan cara yag berbeda agar kenyataan tidak terlalu pahit. Kadang berhasil, sech? Tapi, kadang juga bikin dongkol, untungnya, masih bisa menahan diri.
***
Acapkali, aku menghibur diri untuk membaca peristiwa dengan cara yag berbeda agar kenyataan tidak terlalu pahit. Kadang berhasil, sech? Tapi, kadang juga bikin dongkol, untungnya, masih bisa menahan diri.
Wednesday, August 24, 2005
pagi cerah
Bangun lebih awal membuat nyaman. Semua bisa dinikmati. Tidak tergesa-gesa. Mandi, sarapan dan naik bus dijalani dengan santai. Hujan semalam masih terasa. Tanah basah. Rumput hijau bergeliat, tampak segar. Sayang, matahari malas bersinar, sehingga bumi tampak lesu. Ya, kita tidak akan pernah mendapat semuanya.
***
Di tengah sarapan, saya membaca kalimat Abu Hamdiyyah dalam bukunya The Qur'an: An Introduction, "Of course one might have a big catch, a small one, a partial catch or an apparent or false catch; it all depends on the individual an his/her capacity." Dalam proses pencarian pemahaman beberapa aspek realitas melalui penelitian dan pengukuran, maka kita bisa mempunyai tangkapan besar atau kecil, asli atau palsu, tergantung kemampuan diri.
Mungkinkah, kegelisahan kita lahir karena kita hanya mendapat yang kecil dan bukan yang besar? menurut saya, ini berpulang pada kesungguhan, bukan kemampuan.
Tuesday, August 23, 2005
hujan sebentar
petang, mendung dan akhirnya hujan.
Setelah makan ama Dian, saya balik ke karel untuk menghabiskan waktu berlayar di dunia maya. Membuka jendela, saya melihat hujan mengguyur tanah kampus. Mahasiswa turun dari bus dengan berlarian. Tapi, ada yang berjalan pelan dengan payung di tangan. Mas Syahrul mencoba untuk mencairkan kebekuan dengan joke segar. Diapun pergi.
Bilik karel makin dingin, karena AC menerjang tubuh dengan kuat. Maklum baru diservis. Sementara hujan makin kecil, tak sederas sebelumnya. Dari PC, musik MP3 menemani pergulatan mencari kata dan makna pada buku, karya dan dunia maya, saya mencoba untuk menghela napas untuk kembali melakukan kritik-diri, karena selama ini abai.
Setelah makan ama Dian, saya balik ke karel untuk menghabiskan waktu berlayar di dunia maya. Membuka jendela, saya melihat hujan mengguyur tanah kampus. Mahasiswa turun dari bus dengan berlarian. Tapi, ada yang berjalan pelan dengan payung di tangan. Mas Syahrul mencoba untuk mencairkan kebekuan dengan joke segar. Diapun pergi.
Bilik karel makin dingin, karena AC menerjang tubuh dengan kuat. Maklum baru diservis. Sementara hujan makin kecil, tak sederas sebelumnya. Dari PC, musik MP3 menemani pergulatan mencari kata dan makna pada buku, karya dan dunia maya, saya mencoba untuk menghela napas untuk kembali melakukan kritik-diri, karena selama ini abai.
Monday, August 22, 2005
hawa panas di karel
Ada nada kesal Che Mat dan Ann. Saya juga turut menimpali, meskipun mencoba untuk melihat persoalan dari sudut pandang lain. Siapa tahu ada makna.
Kalau kita yakin bahwa hidup ini adalah proses panjang, maka perseteruan ini adalah tahap yang mesti dilalui.
Memang, kata Gurr, bahwa adanya relative deprivation akan memunculkan solidaritas dan mendorong untuk memobilisasi kelompok menolak hegemoni. Saya merasakan ini telah muncul dalam perbincangan dan blogger.
Saya masih yakin kata Emmanuel Levinas, Teolog Katolik dan Ahli Falsafah, yang mengatakan bahwa keselamatan diri adalah menyelamatkan orang lain. Saya mencoba untuk melakukannya meskipun berat. Orang lain adalah wajah kita juga. Kalau, kita gagal menyelamatkan mereka, maka kita tidak akan menemukan keselamatan [salvation].
Sekali lagi [seperti komentar saya pada Che Mat], awal yang manis, jangan berakhir tragis!
Kalau kita yakin bahwa hidup ini adalah proses panjang, maka perseteruan ini adalah tahap yang mesti dilalui.
Memang, kata Gurr, bahwa adanya relative deprivation akan memunculkan solidaritas dan mendorong untuk memobilisasi kelompok menolak hegemoni. Saya merasakan ini telah muncul dalam perbincangan dan blogger.
Saya masih yakin kata Emmanuel Levinas, Teolog Katolik dan Ahli Falsafah, yang mengatakan bahwa keselamatan diri adalah menyelamatkan orang lain. Saya mencoba untuk melakukannya meskipun berat. Orang lain adalah wajah kita juga. Kalau, kita gagal menyelamatkan mereka, maka kita tidak akan menemukan keselamatan [salvation].
Sekali lagi [seperti komentar saya pada Che Mat], awal yang manis, jangan berakhir tragis!
Wednesday, August 17, 2005
memutar jarum jam
Telat bangun, membuat aku terburu-buru. Semalem, berbicara musik dengan teman Syam di paras 10 sampai larut, bilik Mas Dolok. Heran juga, ia mempunyai minat pada lagu jazz, bahkan menulis dan menyanyikan lagu ciptaannya, di antaranya lagu untuk ibu dan kekasihnya di Kualalumpur. Namanya juga lelaki, selalu saja tentang perempuan.
Pagi yang cerah, saya berangkat ke kampus bersama Doni, tetangga bilik. Di bus, saya bertemu Pak Ilyas, Romi dan melihat Deo dari jauh berjalan. Terdengar Ini Rindu dari Farid Hardja. Seperti, di negeri sendiri saja. Bahkan, ketika sarapan di Kantin dekat perpustakaan, saya juga mendengar sayup lagu Betaria Sonata dan lagu-lagu Indonesia tahun 80-an dan 90-an. Menurut saya, di sini, semua menceritakan hal yang sama. Sebab, akarnya sama. Tak ada yang berbeda, hanya nuansa.
Bahkan, kami sempat membawakan lagu dengan cabikan gitarnya seperti Bumiputera Rocker, Rahim Maroof, Ami. Semua dalam bingkai kegembiraan, melepas penat! Siapa sih yang suka jazz? ia juga menyebut James Imgram dan Barry Manilow, pentolan musik kulit hitam. Selera yang unik. Tidak populer, memang. Tapi, itu menghilangkan dahaganya akan musik, yang disebutnya berkualitas tinggi [aku tidak pasti, ini hanya penilaian].
Pagi yang cerah, saya berangkat ke kampus bersama Doni, tetangga bilik. Di bus, saya bertemu Pak Ilyas, Romi dan melihat Deo dari jauh berjalan. Terdengar Ini Rindu dari Farid Hardja. Seperti, di negeri sendiri saja. Bahkan, ketika sarapan di Kantin dekat perpustakaan, saya juga mendengar sayup lagu Betaria Sonata dan lagu-lagu Indonesia tahun 80-an dan 90-an. Menurut saya, di sini, semua menceritakan hal yang sama. Sebab, akarnya sama. Tak ada yang berbeda, hanya nuansa.
hari kemerdekaan
17 agustus 2005
jelang detik-detik proklamasi di konsul, aku tepekur menikmati instrumentalia lagu kebangsaan. Ada gairah yang membuncah, ingatan pada masa kecil di sekolah dasar dengan kemeriahan agustusan. Satu persatu lagu itu mengajak kembali pada peristiwa tentang heroisme, patriotisme dan nasionalisme, seperti digambarkan di dalam film-film perjuangan, Janur Kuning, Serangan Umum 11 Maret, G 30 S PKI, dan lain-lain.
Apa yang tersisa dari ingatan ini sekarang? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya [katanya sech].
jelang detik-detik proklamasi di konsul, aku tepekur menikmati instrumentalia lagu kebangsaan. Ada gairah yang membuncah, ingatan pada masa kecil di sekolah dasar dengan kemeriahan agustusan. Satu persatu lagu itu mengajak kembali pada peristiwa tentang heroisme, patriotisme dan nasionalisme, seperti digambarkan di dalam film-film perjuangan, Janur Kuning, Serangan Umum 11 Maret, G 30 S PKI, dan lain-lain.
Apa yang tersisa dari ingatan ini sekarang? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya [katanya sech].
Friday, August 12, 2005
Malam yang Lelap
Aku bersyukur karena semalem tidur nyenyak. Mungkin, lelah yang melemahkan dan hujan yang turun membasahi atap dan halaman. Keluar dari hostel seakan menemukan keramahan karena udara segar dan tanah basah serta rumput dan pohon tampak berpendar karena sinar matahari. Ini semua karena air. Mungkin, ini juga yang memberi ilham Thales, Filsuf Yunani [Greece] untuk mengatakan bahwa awal dari kehidupan adalah air.
Seperti, yang sering dilakukan sebelumnya, aku membenamkan diri pada layar internet untuk membaca cerita tanah air. Tak ada yang baru. Semua tentang keperitan hidup. Namun, masih ada harap untuk keluar dari lubang ini.
Aku punya mimpi agar teman-teman di sini [PPI] meluangkan waktu sejenak untuk peduli dengan bencana kemanusiaan di negeri yang porak-poranda, karena hati telah mati.
Seperti, yang sering dilakukan sebelumnya, aku membenamkan diri pada layar internet untuk membaca cerita tanah air. Tak ada yang baru. Semua tentang keperitan hidup. Namun, masih ada harap untuk keluar dari lubang ini.
Aku punya mimpi agar teman-teman di sini [PPI] meluangkan waktu sejenak untuk peduli dengan bencana kemanusiaan di negeri yang porak-poranda, karena hati telah mati.
Knowing Your Friends
Knowing Your Friends! [dikutip dari Mas Sartono, seorang psikolog]
Untuk teman-teman blogger, Jika berkenan, tolong di jawab pertanyaan ini!
1. Film terakhir yang kamu tonton di bioskop [pawagam]?
2. Buku apa yang sedang kamu baca sekarang?
3. Permainan karton favorit (contohnya: catur, ular tangga, monopoly, dsb)?
4. Majalah favorit?
5. Wangi - wangian [perfume] favorit?
6. Makanan yang menyenangkan?
7. Bunyi-bunyian favorit?[alat musik?]
8. Perasaan paling engga enak di dunia? [Mungkin, menunggu teman?]
9. Apa yang kamu pikirkan ketika kamu bangun tidur di pagi hari?
10. Tempat Fast Food favorit?
12. Terakhir jalan-jalan ke mana?
13. Kalo dapet satu juta dollar Amerika?
15. Bobo [tidur] ama stuffed animal (boneka) engga?
16. Badai, serem apa keren [cool]?
18. Minuman favorit?
19. Selesaikan kalimat ini, "Andaikan aku punya waktu, ....
20. Apakah kamu suka makan tangkai brocolli?
21. Kalau kamu bisa mewarnai rambutmu dengan warna apa aja, apa yang akan kamu pilih?
22. Kamu sudah pernah tinggal di berapa kota/negara?
23. Tempat favorit untuk relax?
24. Tontonan olah raga [sukan] favorit?
25. Satu hal baik dari orang yang mengirimkan knowing your friends ini kepadamu?
26. Apa yang ada di bawah ranjangmu?
28. Perasaan paling membahagiakan?
29. Word of wisdom?saya: Senyumlah, maka dunia indah
30. Cita-cita?
Untuk teman-teman blogger, Jika berkenan, tolong di jawab pertanyaan ini!
1. Film terakhir yang kamu tonton di bioskop [pawagam]?
2. Buku apa yang sedang kamu baca sekarang?
3. Permainan karton favorit (contohnya: catur, ular tangga, monopoly, dsb)?
4. Majalah favorit?
5. Wangi - wangian [perfume] favorit?
6. Makanan yang menyenangkan?
7. Bunyi-bunyian favorit?[alat musik?]
8. Perasaan paling engga enak di dunia? [Mungkin, menunggu teman?]
9. Apa yang kamu pikirkan ketika kamu bangun tidur di pagi hari?
10. Tempat Fast Food favorit?
12. Terakhir jalan-jalan ke mana?
13. Kalo dapet satu juta dollar Amerika?
15. Bobo [tidur] ama stuffed animal (boneka) engga?
16. Badai, serem apa keren [cool]?
18. Minuman favorit?
19. Selesaikan kalimat ini, "Andaikan aku punya waktu, ....
20. Apakah kamu suka makan tangkai brocolli?
21. Kalau kamu bisa mewarnai rambutmu dengan warna apa aja, apa yang akan kamu pilih?
22. Kamu sudah pernah tinggal di berapa kota/negara?
23. Tempat favorit untuk relax?
24. Tontonan olah raga [sukan] favorit?
25. Satu hal baik dari orang yang mengirimkan knowing your friends ini kepadamu?
26. Apa yang ada di bawah ranjangmu?
28. Perasaan paling membahagiakan?
29. Word of wisdom?saya: Senyumlah, maka dunia indah
30. Cita-cita?
Meet the Fockers
Semalem, saya, dian, ali, annisa, husni makan di depan Makro. Jarum jam menunjuk angka 12, dan jarum panjang 6. Kami menghabiskan waktu hampir dua jam ngobrol apa saja yang terlintas di kepala. Mengalir. Semua membawa pikiran masing-masing ke dalam alur cerita. Di susul Manda, adiknya Doni, jiran bilik, menambah keramaian malam.
Saya tak ingat semua yang dilontarkan, tapi ada beberapa yang menempel di saraf. Maklum, malam beranjak pagi, sebenarnya, waktu istirahat. Justeru, sebaliknya kami ingin menghabiskan waktu agar tidak terbuang.
Pulang pukul dua setengah. Saya masih meneruskan cerita film yang terputus sebelumnya, Meet the Fockers, yang dibintangi oleh Robert de Nero, Dustin Hoffman, Ben Stifler dan lain-lain. Film konyol, malah berlebihan. Cukup untuk melupakan kesungguhan hidup yang dibekap formalitas. Basa-basi. Namun, rasa kantuk mengalahkan mata memelototi layar komputer. Tidur, saja. Sebab, hidup harus berjalan seperti biasa. Tak ada kuasa melawan waktu.
Saya tak ingat semua yang dilontarkan, tapi ada beberapa yang menempel di saraf. Maklum, malam beranjak pagi, sebenarnya, waktu istirahat. Justeru, sebaliknya kami ingin menghabiskan waktu agar tidak terbuang.
Pulang pukul dua setengah. Saya masih meneruskan cerita film yang terputus sebelumnya, Meet the Fockers, yang dibintangi oleh Robert de Nero, Dustin Hoffman, Ben Stifler dan lain-lain. Film konyol, malah berlebihan. Cukup untuk melupakan kesungguhan hidup yang dibekap formalitas. Basa-basi. Namun, rasa kantuk mengalahkan mata memelototi layar komputer. Tidur, saja. Sebab, hidup harus berjalan seperti biasa. Tak ada kuasa melawan waktu.
Wednesday, August 10, 2005
bukit bendera
rekaman peristiwa 6 Agustus 2005
Bersatulah para Buruh!
Saya adalah bagian dari mereka yang sedang diingatkan tentang jati-diri sebagai bangsa, Indonesia. Menyambut hari kemerdekaan, kami, para buruh mahasiswa, staf konsulat mendaki bukit Bendera, tempat tertinggi di pulau Pinang, Malaysia. Lebel yang melekat luruh dalam suasana kebersamaan.
Perjalanan selama hampir dua setengah jam cukup melelahkan, namun rasanya tertebus oleh kebaruan, perjalanan, canda dan semangat untuk sampai di puncak. Di sepanjang jalan, monyet berkeliaran bebas. Sekali-kali, kami becanda dengan mereka dan mencoba melibatkan binatang itu, asal muasal manusia kata Charles Darwin, dalam senda-gurau. Kami menyapa monyet dengan menyebut salah satu dari kami, dan kami pun tergelak. Tidak marah. Lucu, kan? Padahal kita tidak suka dalam percakapan serius jika disebut sebagai binatang. Apa yang membedakan keseriusan dan permainan dalam hidup?
Untuk menghampiri puncak, kami tentu saja sering berhenti sejenak, agar tidak kehilangan keseimbangan. Cairan dalam tubuh perlu diisi ulang karena raib bersama keringat. Melihat jauh ke bawah bukit, meskipun dihalangi pohon, tapi telah mengajak memasuki dunia antah berantah, misteri!.
Tak tahu, siapa yang memulai, kami telah mampu membuka percakapan dengan anak Jombang dengan dua kawannya. Seorang yang mamakai jilbab berada di tengah, diapit dan disangga karena kelelahan, tapi terus berjalan mendaki menaklukkan bukit. Di perjalanan ini pula saya juga bertemua dengan anak Madura Ipung dan Adi, yang dengan bahasa daerah mendekatkan jarak emosional.
di Puncak, kami disambut oleh staf konsulat dengan minum dan kupon makanan. Beginilah hidup. Semua harus diawali dengan pemenuhan jasmani. Setelah itu, baru dicekoki dengan khotbah, ideologi dan nilai. Dengan pengeras suara [loud speaker], kami diminta untuk segera menuju ke tempat perayaan. Di sana, para buruh telah membaur, menikmati lagu dangdut dengan bergoyang, sebagian mereka duduk dan di atas balkon cukup melihat teman-temannya melepaskan rutinitas kerja dengan menghentakkan kaki mengikuti irama musik.
Dalam perjalanan pulang, saya secara kebetulan berkenalan dengan Ambar, Jian, Ratina, buruh migran dari Jogja dan Klaten. Sepertinya, kami telah lama kenal. Saya takjub pada mereka, karena di usia muda telah jauh merantau untuk bekerja. Sementara teman-teman sebayanya berada di USM, belajar dan bermain. Di bus juga bertemua dengan E dari Padang, yang telah enam tahun di Pinang, bekerja. Saya tidak tahu kenapa ia bilang bahwa ini terpaksa dilakukan. Sebagai anak sulung dari satu adik perempuan yang telah ditinggalkan ibunya sejak sekolah menengah, ia menanggung hidup lebih berat. Tapi, saya menemukan ketabahan di zahirnya.
Sebenarnya, saya masih banyak menyisakan cerita dari perjalanan menyambut kemerdekaan!
Bersatulah para Buruh!
Saya adalah bagian dari mereka yang sedang diingatkan tentang jati-diri sebagai bangsa, Indonesia. Menyambut hari kemerdekaan, kami, para buruh mahasiswa, staf konsulat mendaki bukit Bendera, tempat tertinggi di pulau Pinang, Malaysia. Lebel yang melekat luruh dalam suasana kebersamaan.
Perjalanan selama hampir dua setengah jam cukup melelahkan, namun rasanya tertebus oleh kebaruan, perjalanan, canda dan semangat untuk sampai di puncak. Di sepanjang jalan, monyet berkeliaran bebas. Sekali-kali, kami becanda dengan mereka dan mencoba melibatkan binatang itu, asal muasal manusia kata Charles Darwin, dalam senda-gurau. Kami menyapa monyet dengan menyebut salah satu dari kami, dan kami pun tergelak. Tidak marah. Lucu, kan? Padahal kita tidak suka dalam percakapan serius jika disebut sebagai binatang. Apa yang membedakan keseriusan dan permainan dalam hidup?
Untuk menghampiri puncak, kami tentu saja sering berhenti sejenak, agar tidak kehilangan keseimbangan. Cairan dalam tubuh perlu diisi ulang karena raib bersama keringat. Melihat jauh ke bawah bukit, meskipun dihalangi pohon, tapi telah mengajak memasuki dunia antah berantah, misteri!.
Tak tahu, siapa yang memulai, kami telah mampu membuka percakapan dengan anak Jombang dengan dua kawannya. Seorang yang mamakai jilbab berada di tengah, diapit dan disangga karena kelelahan, tapi terus berjalan mendaki menaklukkan bukit. Di perjalanan ini pula saya juga bertemua dengan anak Madura Ipung dan Adi, yang dengan bahasa daerah mendekatkan jarak emosional.
di Puncak, kami disambut oleh staf konsulat dengan minum dan kupon makanan. Beginilah hidup. Semua harus diawali dengan pemenuhan jasmani. Setelah itu, baru dicekoki dengan khotbah, ideologi dan nilai. Dengan pengeras suara [loud speaker], kami diminta untuk segera menuju ke tempat perayaan. Di sana, para buruh telah membaur, menikmati lagu dangdut dengan bergoyang, sebagian mereka duduk dan di atas balkon cukup melihat teman-temannya melepaskan rutinitas kerja dengan menghentakkan kaki mengikuti irama musik.
Dalam perjalanan pulang, saya secara kebetulan berkenalan dengan Ambar, Jian, Ratina, buruh migran dari Jogja dan Klaten. Sepertinya, kami telah lama kenal. Saya takjub pada mereka, karena di usia muda telah jauh merantau untuk bekerja. Sementara teman-teman sebayanya berada di USM, belajar dan bermain. Di bus juga bertemua dengan E dari Padang, yang telah enam tahun di Pinang, bekerja. Saya tidak tahu kenapa ia bilang bahwa ini terpaksa dilakukan. Sebagai anak sulung dari satu adik perempuan yang telah ditinggalkan ibunya sejak sekolah menengah, ia menanggung hidup lebih berat. Tapi, saya menemukan ketabahan di zahirnya.
Sebenarnya, saya masih banyak menyisakan cerita dari perjalanan menyambut kemerdekaan!
Tuesday, August 09, 2005
Kesyukuran dalam perbedaan
Pusat Racun Negara, 8 Agustus 2005
Teman-teman telah menyelesaikan kuliahnya di USM dan merayakannya bersama kami di dewan kuliah X. Banyak yang hadir dengan ragam yang berbeda. Saya dengan baju koko warna coklat. Ada tiga orang yang menggunakan baju dengan stail yang sama, sepertinya udah merancang sebelumnya. Annisa dan Puteri menggunakan kebaya, baju khas pesta? Una menggunakan kebaya dengan motif bordir warna putih. Lalu, ada apa dengan baju? Kaum cultural studies biasanya akan memahami orang dari apa yang dipakainya. Betul juga. Identitas kita sebenarnya bisa dilihat dari bajunya. Tapi, cukupkah hanya dari baju? tidak juga.
***
Dian, teman dekat, menyempatkan hadir selepas kuliah malam meskipun telat. Di sebelah ada Pak Syukri, Pak Hasan, Romi dan Baim. Di depan, adik-adik saya, karin, Gabril dan tentu banyak yang lain. Saya belum mengenal semua yang ada di ruang pertemuan itu, tapi mengenal wajah mereka. Pasti, perlu waktu untuk itu.
***
kata-kata sambutan tidak mampu mengungkap kedekatan kami, maka seperti biasa ada persembahan lagu, baik yang dibawakan oleh mereka yang bagus membawakannya, maupun yang didaulat untuk melantunkan sebuah lagu, sehingga suara sumbang itupun mengalun. Tidak sedap, tapi menimbulkan kelucuan. Efeknya sama saja, menghibur. Ya, di tengah konflik yang mendera perkumpulan kami [PPI], tampaknya kita perlu sejenak melupakannya dengan melemaskan saraf yang menegang karena kegigihan untuk menundukkan yang lain.
***
Ternyata tidak, konflik itu makin mengeras, dan saya hanya bisa mengelus dada, bahwa diri yang daif ini juga terseret. Semoga, masih ada akar di tepian agar tak terlalu jauh terbawa arus dan meraihnya untuk menepi dan menyepi dari pertikaian.
Teman-teman telah menyelesaikan kuliahnya di USM dan merayakannya bersama kami di dewan kuliah X. Banyak yang hadir dengan ragam yang berbeda. Saya dengan baju koko warna coklat. Ada tiga orang yang menggunakan baju dengan stail yang sama, sepertinya udah merancang sebelumnya. Annisa dan Puteri menggunakan kebaya, baju khas pesta? Una menggunakan kebaya dengan motif bordir warna putih. Lalu, ada apa dengan baju? Kaum cultural studies biasanya akan memahami orang dari apa yang dipakainya. Betul juga. Identitas kita sebenarnya bisa dilihat dari bajunya. Tapi, cukupkah hanya dari baju? tidak juga.
***
Dian, teman dekat, menyempatkan hadir selepas kuliah malam meskipun telat. Di sebelah ada Pak Syukri, Pak Hasan, Romi dan Baim. Di depan, adik-adik saya, karin, Gabril dan tentu banyak yang lain. Saya belum mengenal semua yang ada di ruang pertemuan itu, tapi mengenal wajah mereka. Pasti, perlu waktu untuk itu.
***
kata-kata sambutan tidak mampu mengungkap kedekatan kami, maka seperti biasa ada persembahan lagu, baik yang dibawakan oleh mereka yang bagus membawakannya, maupun yang didaulat untuk melantunkan sebuah lagu, sehingga suara sumbang itupun mengalun. Tidak sedap, tapi menimbulkan kelucuan. Efeknya sama saja, menghibur. Ya, di tengah konflik yang mendera perkumpulan kami [PPI], tampaknya kita perlu sejenak melupakannya dengan melemaskan saraf yang menegang karena kegigihan untuk menundukkan yang lain.
***
Ternyata tidak, konflik itu makin mengeras, dan saya hanya bisa mengelus dada, bahwa diri yang daif ini juga terseret. Semoga, masih ada akar di tepian agar tak terlalu jauh terbawa arus dan meraihnya untuk menepi dan menyepi dari pertikaian.
lelah
Kenapa takut lelah? karenanya saya bisa lelap dan mengumpulkan tenaga untuk hidup kembali. Menuai hasil dari lelah, sepertinya telah melakukan tugas sebagai manusia. Betapa berartinya kondisi fit, yang sebenarnya inilah yang telah menjadikan suasana hati membuncah. Kenapa dicari di tempat lain? Sesuatu yang tidak bersemayam pada diri? Semua ada pada diri. Hanya saja saya tak mau menyelaminya. Jika sehat dan pikiran jernih membuat warna daun pohon itu hijau dan tidak pucat, maka di sinilah saya telah menemukan makna kedekatan jiwa dengan alam. Kicau burung tidak hanya menambah riang, tapi juga mengajak berbagi dan ikan pun berlompatan seakan mengerti bahwa di sinilah kesejatian. Biawak, buaya kecil yang manis, selalu tampak lamban, tapi menyimpang ketenangan. Sepertinya, ia meyakinkan kita untuk tepekur dan tidak tergesa-gesa menyelesaikan hidup. Semua meraikan kegembiraan.
untuk teman yang lelah! dan tulisan ini selesai ketika ia hadir dan mengatakan telah sehat.
untuk teman yang lelah! dan tulisan ini selesai ketika ia hadir dan mengatakan telah sehat.
Friday, August 05, 2005
creative minority
pertemuan yang sering di bilik karel dan dunia maya [blogger], bagi saya, adalah dunia kecil, tapi berguna besar. Bahkan, di dunia yang terakhir ini, kami telah menancapkan pena otentik, tertulis, tentang pikiran dan selain pikiran.
Terus terang, saya banyak menemukan kebaruan dari goresan mereka di sini. Ada yang tak terungkap di dunia nyata. Meskipun, kata Anna, ada penapisan dalam mengungkap.
Kenapa Cik Zubir, tak lagi memberikan komentar? Sibuk dengan proposal atau ...ehm? Ruang P Nasir juga tak terlalu banyak, mungkin banyakan kasih komentar? bakat jadi komentator neh? Ann tampak berpacu dengan waktu untuk memenuhi halaman bloggernya dengan keresahan selama ini? Saya harap ia akan jadi katup dan katalisator dari geram yang memuncak.
Terus terang, saya banyak menemukan kebaruan dari goresan mereka di sini. Ada yang tak terungkap di dunia nyata. Meskipun, kata Anna, ada penapisan dalam mengungkap.
Kenapa Cik Zubir, tak lagi memberikan komentar? Sibuk dengan proposal atau ...ehm? Ruang P Nasir juga tak terlalu banyak, mungkin banyakan kasih komentar? bakat jadi komentator neh? Ann tampak berpacu dengan waktu untuk memenuhi halaman bloggernya dengan keresahan selama ini? Saya harap ia akan jadi katup dan katalisator dari geram yang memuncak.
Wednesday, August 03, 2005
Perpustakaan Hamzah Sendut
Di lantai 3, saya acapkali duduk membaca dan melihat lanskap yang menyedapkan mata. Terlihat kantor pos, dewan budaya dan lalu-lalang mahasiswa. Ada yang diam, bergerak dan tampak harmoni.
Ingin saya menikmati berlama-lama dan tak beranjak agar tuntas mencerap anugerah yang terhakis oleh rutinitas. Di sini, saya menghabiskan hari-hari untuk mencari bahan bacaan. Disertasi yang saya tulis membutuhkan banyak rujukan agar memungkinkan untuk memahami tema yang ditulis.
Di sini pula, saya juga membaca koran, menonton film di ruangan media dan tentu saja kadang tertidur di ruangan musik. Bahkan, saya juga meminjam novel, cerpen dan esei sastra untuk mengisi hari-hari dengan dunia kata.
Ingin saya menikmati berlama-lama dan tak beranjak agar tuntas mencerap anugerah yang terhakis oleh rutinitas. Di sini, saya menghabiskan hari-hari untuk mencari bahan bacaan. Disertasi yang saya tulis membutuhkan banyak rujukan agar memungkinkan untuk memahami tema yang ditulis.
Di sini pula, saya juga membaca koran, menonton film di ruangan media dan tentu saja kadang tertidur di ruangan musik. Bahkan, saya juga meminjam novel, cerpen dan esei sastra untuk mengisi hari-hari dengan dunia kata.
cerita pendek
Pagi ini, saya membaca cerpen pedih, yang sengaja diselingi lagu sedih pula. Lengkap sudah. Hidup dan keperitan sebagai dua keping mata uang logam, tak terpisahkan. Lalu, aku menafsirkan pedih sebagai harus, agar bahagia menjadi asa, atau kenapa kesedihan itu tidak dilihat sebagai kebahagiaan dalam bentuk lain?
Kadang Andaian dan anggapan membantu kita mengatasi ketakmengertian mengapa kita diberikan dua pilihan perih dan kegembiraan? Mengerti itu adalah memahami dengan akalbudi. Kenapa kita tidak merasakan saja? Hidup adalah istana tempat kita mengurai kenangan.
Kadang Andaian dan anggapan membantu kita mengatasi ketakmengertian mengapa kita diberikan dua pilihan perih dan kegembiraan? Mengerti itu adalah memahami dengan akalbudi. Kenapa kita tidak merasakan saja? Hidup adalah istana tempat kita mengurai kenangan.
Potret Retak: Malam Kebudayaan Dua Negara
25 Juli 2005 pukul 9-11 malam
Sebagai bekas santri (pelajar di pondok pesantren), saya diajarkan menjadi orang yang baik dengan menjalankan semua perintah Tuhan, yang sepi dari budaya, hasil ciptaan manusia. Dulu, ludruk adalah seni pertunjukkan yang diharamkan karena alur cerita yang menampilkan sosok perempuan yang dibawakan laki-laki serta kandungan cerita yang tidak mengusung cerita-cerita Islami. Sepertinya, manusia mampu melucuti yang profan dan sakral dalam daya cipta.
Malam itu, saya hadir di pagelaran budaya yang menampilkan khazanah Malaysia dan Indonesia dalam satu panggung. Dengan dihadiri mahasiswa dari dua negara ini, Malam Kebudayaan seakan mampu melupakan dan menafikan perseteruan yang sedang mendera negara bertetangga mengenai kepemilikan Ambalat.
Dari Indonesia, SMA Adi Warna, sebuah sekolah menengah swasta di Medan, menyuguhkan beberapa tarian, seperti Serampang Dua Belas, Rantak, Zafir, Zapin, Tak Tong Tong, Tari Payung dan Tari kreasi yang membawakan lagu Siti Nur Haliza, Balqis. Dari Malaysia, ditampilkan Silat Cekak dan lagu-lagu Melayu yang diciptakan oleh pemusik papan atas seperti Ramli Sharif dan lagu tradisional melayu yang lain dan tentu saja Siti Nur Haliza dengan Ya Maulai yang ditayangkan melalui layar lebar di atas panggung.
Tentu saja, kehadiran orang Indonesia di universiti tampat saya belajar, mengobati kekangenan akan Indonesia. Terus terang, sebelumnya, saya tidak pernah menikmati langsung pagelaran tari, meskipun pernah melihatnya di TVRI sepintas lalu. Dunia ini seperti asing bagi nafas hidup selama ini.
Namun, kehadiran lima tujuh penari, 3 laki-laki dan empat perempuan telah menghipnotis saya selama dua jam betapa warisan itu begitu berharga. Berbeda dengan tari India dan Barat yang selama ini dilihat dalam film, tarian Indonesia memperlihatkan kelambanan dan gerak simbolik yang secara subjektif mengajarkan keluhuran hubungan kemanusiaan yang agung. Tak ada eksploitasi ragawi di situ, yang biasanya disuguhkan secara vulgar dalam tarian India dan Barat. Menurut saya, tarian Indonesia bertumpu pada kekuatan tangan, kaki dan keriangan wajah.
Hambatan Politik
Sehabis pementasan, saya menghampiri guru yang menjadi motor dari pagelaran ini. ia mengeluhkan tindakan aparat imigrasi yang menahan rombongan mereka hampir satu jam. Praktis, mereka mempunyai waktu yang relatif sebentar untuk mempersiapkan fisik dan mental, karena mereka sampai pukul 6 dan pertunjukan di mulai pukul sembilan.
Tentu saja, perlakuan semacam ini acapkali diterima oleh orang-orang Indonesia yang datang ke negeri Jiran ini. Dengan rombongan besar, apalagi diikuti oleh anak-anak puteri belia, maka pihak imigrasi menaruh syak wasangka bahwa mereka adalah calon potensial bagi penyalahgunaan. Hampir setiap hari, surat kabar memuat berita kasus kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia dan berita-berita mengenaskan yang menimpa bangsa Indonesia, seperti polio, flu burung dan beberapa kasus kontroversial. Hampir-hampir, susah untuk menemukan penghargaan terhadap sisi terang dari Indonesia di dalam percaturan kehidupan antarbangsa.
Suasana ini berbeda sama sekali, di dalam ruang DTSP (Dewan Tengku Syed Putra) tempat penyelenggaraan Malam Kebudayaan menyambut wisuda Universiti Sains Malaysia. Pembawa acara, Edwin (India) dan Aisyah (Melayu) dengan sangat baik menjadi pemandu yang mampu menjadikan acara ini lebih hidup. Dengan mantap, mereka melihat kedekatan emosional kebudayaan antara kedua negara sebagai pengikat hubungan nusantara. Lain di panggung, lain juga di kehidupan nyata. Di tengah jeda acara, karena kesalahan teknik, pembawa acara melakukan improvisasi dengan mengajukan pertanyaan pada penari, dari nama, kesan dalam perjalanan dan apakah mereka akan kembali ke Malaysia. Jawaban polos mereka tentu menggambarkan cara pandang yang tidak dibebani oleh persoalan politik dua negara yang silih berganti menerpa keduanya, sejak masa konfrontasi, kasus Sipadan-Ligitan, dan paling anyar Ambalat. Bagi mereka, perjalanan dan pagelaran menyenangkan. Apalagi, selama empat hari, rombongan ini juga mengadakan tour ke Kualalumpur.
Lebih jauh, Edwin juga bertanya pada penonton, yang merupakan mahasiswa Cina, mengenai acara yang baru ditonton. Menariknya, bukan pada jawaban, tapi pada komentar si pembawa acara, bahwa di sinilah wajah Malaysia yang multikultural dipertontonkan dengan anggun. Sayangnya, tak satupun dipanggungkan persembahan dari tradisi Cina dan India, yang merupakan penyangga terbesar wajah kebudayaan negeri Truly Asia ini.
Memang, hubungan dua negara ini bisa dilihat dari dua sisi, hubungan formal yang seringkali diperlihatkan di siaran televisi antara para petinggi yang mesra dengan peluk dan pernyataan manis. Tetapi, tidak di dalam praktik kehidupan keseharian di akar rumput. Kita disuguhkan potret persaudaran yang buram dan muram.
Mereka yang telah mengantarkan para pemegang kekuasaan di dua negara ini melalui pemilihan umum (di Malaysia pemilihan raya) terpaksa mesti gigit jari karena telah gagal melindungi mereka dalam mencari kehidupan untuk layak. Keduanya gagal untuk memberikan regulasi agar arus orang juga mendapat perhatian yang baik, tidak hanya arus barang yang menjadi monopoli segelintir orang saja.
Kalau Edwin menyatakan dengan bangga dan tentu penonton merasa puas dengan penampilan kebudayaan dan keindahan ini pun hanya berlaku di atas panggung? Kenapa kemesraan ini juga tidak dibawa ke dalam kehidupan nyata? Tentu saja, tugas mereka yang diberi wewenang untuk melaksanakan janji-janji di pemilihan secara konkret, bukan retorik, agar potret buram itu secara perlahan terang dan menunjukkan gambar yang benderang agar enak dilihat, bukan?
Sebagai bekas santri (pelajar di pondok pesantren), saya diajarkan menjadi orang yang baik dengan menjalankan semua perintah Tuhan, yang sepi dari budaya, hasil ciptaan manusia. Dulu, ludruk adalah seni pertunjukkan yang diharamkan karena alur cerita yang menampilkan sosok perempuan yang dibawakan laki-laki serta kandungan cerita yang tidak mengusung cerita-cerita Islami. Sepertinya, manusia mampu melucuti yang profan dan sakral dalam daya cipta.
Malam itu, saya hadir di pagelaran budaya yang menampilkan khazanah Malaysia dan Indonesia dalam satu panggung. Dengan dihadiri mahasiswa dari dua negara ini, Malam Kebudayaan seakan mampu melupakan dan menafikan perseteruan yang sedang mendera negara bertetangga mengenai kepemilikan Ambalat.
Dari Indonesia, SMA Adi Warna, sebuah sekolah menengah swasta di Medan, menyuguhkan beberapa tarian, seperti Serampang Dua Belas, Rantak, Zafir, Zapin, Tak Tong Tong, Tari Payung dan Tari kreasi yang membawakan lagu Siti Nur Haliza, Balqis. Dari Malaysia, ditampilkan Silat Cekak dan lagu-lagu Melayu yang diciptakan oleh pemusik papan atas seperti Ramli Sharif dan lagu tradisional melayu yang lain dan tentu saja Siti Nur Haliza dengan Ya Maulai yang ditayangkan melalui layar lebar di atas panggung.
Tentu saja, kehadiran orang Indonesia di universiti tampat saya belajar, mengobati kekangenan akan Indonesia. Terus terang, sebelumnya, saya tidak pernah menikmati langsung pagelaran tari, meskipun pernah melihatnya di TVRI sepintas lalu. Dunia ini seperti asing bagi nafas hidup selama ini.
Namun, kehadiran lima tujuh penari, 3 laki-laki dan empat perempuan telah menghipnotis saya selama dua jam betapa warisan itu begitu berharga. Berbeda dengan tari India dan Barat yang selama ini dilihat dalam film, tarian Indonesia memperlihatkan kelambanan dan gerak simbolik yang secara subjektif mengajarkan keluhuran hubungan kemanusiaan yang agung. Tak ada eksploitasi ragawi di situ, yang biasanya disuguhkan secara vulgar dalam tarian India dan Barat. Menurut saya, tarian Indonesia bertumpu pada kekuatan tangan, kaki dan keriangan wajah.
Hambatan Politik
Sehabis pementasan, saya menghampiri guru yang menjadi motor dari pagelaran ini. ia mengeluhkan tindakan aparat imigrasi yang menahan rombongan mereka hampir satu jam. Praktis, mereka mempunyai waktu yang relatif sebentar untuk mempersiapkan fisik dan mental, karena mereka sampai pukul 6 dan pertunjukan di mulai pukul sembilan.
Tentu saja, perlakuan semacam ini acapkali diterima oleh orang-orang Indonesia yang datang ke negeri Jiran ini. Dengan rombongan besar, apalagi diikuti oleh anak-anak puteri belia, maka pihak imigrasi menaruh syak wasangka bahwa mereka adalah calon potensial bagi penyalahgunaan. Hampir setiap hari, surat kabar memuat berita kasus kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia dan berita-berita mengenaskan yang menimpa bangsa Indonesia, seperti polio, flu burung dan beberapa kasus kontroversial. Hampir-hampir, susah untuk menemukan penghargaan terhadap sisi terang dari Indonesia di dalam percaturan kehidupan antarbangsa.
Suasana ini berbeda sama sekali, di dalam ruang DTSP (Dewan Tengku Syed Putra) tempat penyelenggaraan Malam Kebudayaan menyambut wisuda Universiti Sains Malaysia. Pembawa acara, Edwin (India) dan Aisyah (Melayu) dengan sangat baik menjadi pemandu yang mampu menjadikan acara ini lebih hidup. Dengan mantap, mereka melihat kedekatan emosional kebudayaan antara kedua negara sebagai pengikat hubungan nusantara. Lain di panggung, lain juga di kehidupan nyata. Di tengah jeda acara, karena kesalahan teknik, pembawa acara melakukan improvisasi dengan mengajukan pertanyaan pada penari, dari nama, kesan dalam perjalanan dan apakah mereka akan kembali ke Malaysia. Jawaban polos mereka tentu menggambarkan cara pandang yang tidak dibebani oleh persoalan politik dua negara yang silih berganti menerpa keduanya, sejak masa konfrontasi, kasus Sipadan-Ligitan, dan paling anyar Ambalat. Bagi mereka, perjalanan dan pagelaran menyenangkan. Apalagi, selama empat hari, rombongan ini juga mengadakan tour ke Kualalumpur.
Lebih jauh, Edwin juga bertanya pada penonton, yang merupakan mahasiswa Cina, mengenai acara yang baru ditonton. Menariknya, bukan pada jawaban, tapi pada komentar si pembawa acara, bahwa di sinilah wajah Malaysia yang multikultural dipertontonkan dengan anggun. Sayangnya, tak satupun dipanggungkan persembahan dari tradisi Cina dan India, yang merupakan penyangga terbesar wajah kebudayaan negeri Truly Asia ini.
Memang, hubungan dua negara ini bisa dilihat dari dua sisi, hubungan formal yang seringkali diperlihatkan di siaran televisi antara para petinggi yang mesra dengan peluk dan pernyataan manis. Tetapi, tidak di dalam praktik kehidupan keseharian di akar rumput. Kita disuguhkan potret persaudaran yang buram dan muram.
Mereka yang telah mengantarkan para pemegang kekuasaan di dua negara ini melalui pemilihan umum (di Malaysia pemilihan raya) terpaksa mesti gigit jari karena telah gagal melindungi mereka dalam mencari kehidupan untuk layak. Keduanya gagal untuk memberikan regulasi agar arus orang juga mendapat perhatian yang baik, tidak hanya arus barang yang menjadi monopoli segelintir orang saja.
Kalau Edwin menyatakan dengan bangga dan tentu penonton merasa puas dengan penampilan kebudayaan dan keindahan ini pun hanya berlaku di atas panggung? Kenapa kemesraan ini juga tidak dibawa ke dalam kehidupan nyata? Tentu saja, tugas mereka yang diberi wewenang untuk melaksanakan janji-janji di pemilihan secara konkret, bukan retorik, agar potret buram itu secara perlahan terang dan menunjukkan gambar yang benderang agar enak dilihat, bukan?
Tuesday, August 02, 2005
selalu bening, tidak keruh
Intan bertanya, kenapa saya selalu ingin bening dan sepertinya emoh untuk keruh. Tidak! Biarlah bening itu menjadi mimpi saya dalam percakapan, tulisan dan angan.
Padahal, dalam keseharian saya selalu digelayuti oleh ketidakjernihan. Mungkin, karena realiti berada jauh di dasar, sehingga susah untuk mengailnya. Bahkan, mengejanya saja terpatah-patah.
Lalu, apa yang membuat aku hidup? Harap, meskipun cemas.
Padahal, dalam keseharian saya selalu digelayuti oleh ketidakjernihan. Mungkin, karena realiti berada jauh di dasar, sehingga susah untuk mengailnya. Bahkan, mengejanya saja terpatah-patah.
Lalu, apa yang membuat aku hidup? Harap, meskipun cemas.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...