Thursday, March 30, 2006
Percakapan
Mendengar yang lain (Zuhören) dan berujar satu sama lain (Ansprechen) merupakan aspek yang penting dalam sebuah percakapan. Hal ini memberikan sebuah keterbukaan yang secara serentak menyebabkan sebuah percakapan baik yang tidak bisa diperkirakan maupun yang menghasilkan. (Robert J. Doztal, 2002, 107)
Kita setiap hari melakukan percakapan untuk menyampaikan maksud. Tak jarang, maksud kita tidak sampai karena pelbagai alasan. Meskipun, sebagian besar pesan sampai berkenaan dengan kebutuhan dasar kita. Lalu, maksud apakah yang belum sampai?
Aturan yang dibuat untuk menjaga kenyamaan satu-sama lain adalah longgar. Kadang, kehidupan berjalan tidak seperti yang tertulis di atas kertas. Jika sebegini, nikmati aja semua agar 'suara bising' itu pun menjadi alunan merdu lagu buluh perindu.
Percakapan itu tidak hanya mengulang-ulang, mesti ada kelanjutan dari sebuah gagasan. Ini akan berjalan dengan baik, jika masing-masing mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menguak 'kisi-kisi' persoalan yang diangkat. Semalam, di sepanjang jalan flat ke warung makan, kami bertiga bercakap tentang novel N. H. Dini.
Saya mengatakan bahwa novel Jepun Hiroko membantu kita untuk memahami lebih baik dunia 'perempuan'. Keinginannya kaum hawa sering tak bisa dipahami oleh kaum adam karena perspektif yang digunakan berbeda. Pengalaman sejak masa kecil telah membentuk narasi lain tentang bagaimana kehidupan itu dinikmati.
Kita setiap hari melakukan percakapan untuk menyampaikan maksud. Tak jarang, maksud kita tidak sampai karena pelbagai alasan. Meskipun, sebagian besar pesan sampai berkenaan dengan kebutuhan dasar kita. Lalu, maksud apakah yang belum sampai?
Aturan yang dibuat untuk menjaga kenyamaan satu-sama lain adalah longgar. Kadang, kehidupan berjalan tidak seperti yang tertulis di atas kertas. Jika sebegini, nikmati aja semua agar 'suara bising' itu pun menjadi alunan merdu lagu buluh perindu.
Percakapan itu tidak hanya mengulang-ulang, mesti ada kelanjutan dari sebuah gagasan. Ini akan berjalan dengan baik, jika masing-masing mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menguak 'kisi-kisi' persoalan yang diangkat. Semalam, di sepanjang jalan flat ke warung makan, kami bertiga bercakap tentang novel N. H. Dini.
Saya mengatakan bahwa novel Jepun Hiroko membantu kita untuk memahami lebih baik dunia 'perempuan'. Keinginannya kaum hawa sering tak bisa dipahami oleh kaum adam karena perspektif yang digunakan berbeda. Pengalaman sejak masa kecil telah membentuk narasi lain tentang bagaimana kehidupan itu dinikmati.
Tuesday, March 28, 2006
Dua dunia dalam Satu Jiwa
Kemarin langit mendung, sekali-kali turun rintik hujan. Dingin menusuk tulang. Tapi, hidup terus berjalan. Sekarang, langit cerah dan terik matahari menyapu bumi. Kontras dengan peristiwa kemarin. Kekinian menjadi terasa berbeda karena saya membandingkan dengan kemarin. Semua mempunyai keunikannya sendiri. Hanya jiwa yang menilai bahwa masing-masing menunjukkan 'kondisi' yang menciptakan gambar tak tunggal. Ragam ini membelajarkan diri untuk selalu mengatakan 'ya' pada keadaan apa pun. Tak perlu gundah dan resah, saya akan hidup dalam sejarah yang acapkali tidak dimaksudkan, sebab kenyataan itu objektif.
Monday, March 27, 2006
Pindah Ke Lantai 9
Pagi yang diselimuti mendung, bumi dihinggapi tetesan air dari langit yang muram, kabut di bukit masih betah menelungkup dan tak mau beranjak, suasana yang benar-benar beda dengan hari-hari sebelumnya.
Saya bergegas ke kantin bawah untuk sarapan agar mempunyai tenaga memulai kegiatan yang membosankan. Lalu, ilham muncul untuk segera mengemas barang ke atas, agar dunia baru lahir di ketinggian 200 kaki, dengan pemandangan bukit yang hijau segar. Sedikit demi sedikit, ruang baru yang masih tersisa bau cat dan debu. Ada warna lain yang menyeruak mengisi 'benak'. Mungkin, di atas, saya bisa melihat lebih luas dan juah dibandingkan dengan kamar di lantai satu yang hanya dibekap dalam pemandang parkir dan lalu lalang orang.
Hari pertama, tetangga kamar, mahasiswa Cina yang sedang belajar kaji hayat (biologi) membuka lembaran baru saya. Namanya Jerry. Tampak muda sebagai kandidat Doktor. Orangnya ramah. Mungkin, lain kali, kami bisa bercakap tentang kenyataan dalam ranah ilmu ini.
Selalu saja ihwal baru mendatangkan keasingan dan saya tahu waktu yang akan membuat segala sesuatu menjadi dekat. Nikmati saja yang lain, yang tidak dikenal, agar hidup ini tidak menjadi mesin, yang hanya berjalan sesuai dengan 'cetakannya'.
Komitmen kuat telah berkeliaran di sekitar ruang yang masih tampak kosong melompong. Rencana telah dirancang untuk menghabiskan waktu menekuri layar komputer, menata huruf menjadi kalimat dan akhirnya paragraf. Puncaknya, bab akan tersusun menjadi sebuah karya. Selesai.
Maka, hari ini kamar itu menjadi saksi akan perjalanan sebuah disertasi.
Saya bergegas ke kantin bawah untuk sarapan agar mempunyai tenaga memulai kegiatan yang membosankan. Lalu, ilham muncul untuk segera mengemas barang ke atas, agar dunia baru lahir di ketinggian 200 kaki, dengan pemandangan bukit yang hijau segar. Sedikit demi sedikit, ruang baru yang masih tersisa bau cat dan debu. Ada warna lain yang menyeruak mengisi 'benak'. Mungkin, di atas, saya bisa melihat lebih luas dan juah dibandingkan dengan kamar di lantai satu yang hanya dibekap dalam pemandang parkir dan lalu lalang orang.
Hari pertama, tetangga kamar, mahasiswa Cina yang sedang belajar kaji hayat (biologi) membuka lembaran baru saya. Namanya Jerry. Tampak muda sebagai kandidat Doktor. Orangnya ramah. Mungkin, lain kali, kami bisa bercakap tentang kenyataan dalam ranah ilmu ini.
Selalu saja ihwal baru mendatangkan keasingan dan saya tahu waktu yang akan membuat segala sesuatu menjadi dekat. Nikmati saja yang lain, yang tidak dikenal, agar hidup ini tidak menjadi mesin, yang hanya berjalan sesuai dengan 'cetakannya'.
Komitmen kuat telah berkeliaran di sekitar ruang yang masih tampak kosong melompong. Rencana telah dirancang untuk menghabiskan waktu menekuri layar komputer, menata huruf menjadi kalimat dan akhirnya paragraf. Puncaknya, bab akan tersusun menjadi sebuah karya. Selesai.
Maka, hari ini kamar itu menjadi saksi akan perjalanan sebuah disertasi.
Friday, March 24, 2006
Science, Religion dan Development
Pagi ini, saya berangkat dari kamar, menembus rintik hujan, menuju kantin Harapan: sarapan. Kadang, saya ingin melewati masa ini, karena rutinitas ini menyebalkan. Di sana, saya bersua dengan Pak Supian dan Pak Armyn. Pertemuan yang memunculkan cerita dan tentu saja membuka pagi dengan 'wacana'. Karena spontan, tema yang muncul berlompatan. Tak fokus.
Dengan terburu-buru, saya ingin segera sampai ke ruang seminar Agama, Sains dan Pembangunan, yang akan disampaikan oleh Profesor Dr Azizan Baharuddin dari Universitas Malaya, institusi pendidikan tinggi tertua di negeri Jiran. Setelah presentasi pengantar, Dr Lily mencoba untuk menegaskan wacana pertemuan dan perbedaan tiga entitas ini.
Dalam sesi tanya-jawab, saya memprovokasi dengan mengajukan tesis: bahwa agama dan sains gagal mengawal kemanusiaan. yang pertama telah dijadikan instrumen untuk kekuasasan, baik politik maupun ekonomi, dan yang kedua telah membuat kerusakan lingkungan. Lalu, adakah alternatif lain agar pembangunan lebih memanusiakan penghuninya?
Dengan terburu-buru, saya ingin segera sampai ke ruang seminar Agama, Sains dan Pembangunan, yang akan disampaikan oleh Profesor Dr Azizan Baharuddin dari Universitas Malaya, institusi pendidikan tinggi tertua di negeri Jiran. Setelah presentasi pengantar, Dr Lily mencoba untuk menegaskan wacana pertemuan dan perbedaan tiga entitas ini.
Dalam sesi tanya-jawab, saya memprovokasi dengan mengajukan tesis: bahwa agama dan sains gagal mengawal kemanusiaan. yang pertama telah dijadikan instrumen untuk kekuasasan, baik politik maupun ekonomi, dan yang kedua telah membuat kerusakan lingkungan. Lalu, adakah alternatif lain agar pembangunan lebih memanusiakan penghuninya?
Thursday, March 23, 2006
Masyarakat Berpengetahuan
Menuju Sebuah Masyarakat Berpengetahuan adalah gagasan yang dikatakan Evers berciri, anggotanya mempunyai standar pendidikan tinggi dibandingkan masyarakat lain dan pertumbuhan proporsi angkatan kerjanya yang digunakan sebagai pekerja pengetahuan, industrinya menghasilkan produk dengan inteligensi artifisial terintegrasi, organisasi-organisasinya - swasta, pemerintah dan masyarakat sipil - bertransformasi menjadi organisasi inteligensi, terjadinya peningkatan pengaturan pengetahuan di dalam bentuk keahlian yang digitalisasikan, disimpan di dalam bank data, sistem ahli, rencana pengaturan dan media lain, ada pusat beragam keahlian dan produksi pengetahuan berpusat pada ragam (poly) dan ada kultur produksi pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan epistemik (Evers, 2000).
Lalu, dengan membandingkan Indonesia dan Malaysia, Evers, menemukan angka-angka yang menunjukkan Malaysia berada di depan dibandingkan Indonesia, tentu saja dengan segala implikasinya. Tiba-tiba, apa yang bisa kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan dari saudara kita sendiri, yang dulu banyak belajar dari kita?
Akhirnya, saya mencoba untuk membuka dialog dengan pemilik gagasan Profesor Hans-Dieter Evers melalui surat elektronik:
Dear Professor Evers,
I extremely appreciate what you wrote on Transition towards a Knowledge Society: Malaysia and Indonesia Compared. It would be necesserily a starting point to pinpoint the real situation between two countries now. Perhaps, you will revise your paper above based on the newest data, or it still remains as such. Still, your analysis help me, as Indonesian student in Malaysia University, to understand the map of our underdeveloped-society.
I would like thank for your depth exploration.
Ahmad Sahidah
School of Humanities
University of Science Malaysia
Lalu, dengan membandingkan Indonesia dan Malaysia, Evers, menemukan angka-angka yang menunjukkan Malaysia berada di depan dibandingkan Indonesia, tentu saja dengan segala implikasinya. Tiba-tiba, apa yang bisa kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan dari saudara kita sendiri, yang dulu banyak belajar dari kita?
Akhirnya, saya mencoba untuk membuka dialog dengan pemilik gagasan Profesor Hans-Dieter Evers melalui surat elektronik:
Dear Professor Evers,
I extremely appreciate what you wrote on Transition towards a Knowledge Society: Malaysia and Indonesia Compared. It would be necesserily a starting point to pinpoint the real situation between two countries now. Perhaps, you will revise your paper above based on the newest data, or it still remains as such. Still, your analysis help me, as Indonesian student in Malaysia University, to understand the map of our underdeveloped-society.
I would like thank for your depth exploration.
Ahmad Sahidah
School of Humanities
University of Science Malaysia
Menyesuaikan Hidup dengan Cerita
Kemarin, saya kembali ke perpustakaan untuk meminjam kumpulan cerpen dan puisi tanpa novel, di antaranya Kastil Mati dan Kastil Menderunya Joni Ariadinata, Hijau Kelon dan Puisi 2002 Soetardji Calzoum Bahri, Wisanggeni, Sang Buronan Seno Gumira Ajidarma dan Senja yang Paling Tidak Menarik Areswendo Atmowiloto.
Dengan takjub, saya menelisik huruf-huruf yang tertera di buku Joni, karena isinya adalah masa lalu, yang dulu tak terpikirkan dan mampir di benak. Joni telah merekam dunia yang dekat dengan saya, waktu kos di pinggiran kampus IAIN. Sebagai mahasiswa, saya tidak banyak bergaul dengan para begundal, keluarga miskin dan anak-anak terlantar di sekitar kampus. Kegiatan kami bergerak dari satu wacana ke wacana lain. Sesuatu cerita besar.
Lalu, apakah sekarang saya masih sama? Ya, tak berubah. Bahkan, lebih naif, karena kami banyak menghabiskan waktu di meja makan, kasak kusuk tentang mereka yang harus dilawan karena tak ingin bersama kami lagi, permainan, gosip dan hampir tak ada keinginan untuk memulai 'kerja' kecil dengan menyapa buruh Indonesia yang nestapa.
Ah, sementara, saya berada di depan komputer di ruangan yang sejuk dengan radio menemani membaca, sebenarnya saya telah menjauhkan diri dari mereka yang teraniaya. Seharusnya, saya mendatangi mereka dan bertanya apakah gundah yang dialami telah raib?
Dengan takjub, saya menelisik huruf-huruf yang tertera di buku Joni, karena isinya adalah masa lalu, yang dulu tak terpikirkan dan mampir di benak. Joni telah merekam dunia yang dekat dengan saya, waktu kos di pinggiran kampus IAIN. Sebagai mahasiswa, saya tidak banyak bergaul dengan para begundal, keluarga miskin dan anak-anak terlantar di sekitar kampus. Kegiatan kami bergerak dari satu wacana ke wacana lain. Sesuatu cerita besar.
Lalu, apakah sekarang saya masih sama? Ya, tak berubah. Bahkan, lebih naif, karena kami banyak menghabiskan waktu di meja makan, kasak kusuk tentang mereka yang harus dilawan karena tak ingin bersama kami lagi, permainan, gosip dan hampir tak ada keinginan untuk memulai 'kerja' kecil dengan menyapa buruh Indonesia yang nestapa.
Ah, sementara, saya berada di depan komputer di ruangan yang sejuk dengan radio menemani membaca, sebenarnya saya telah menjauhkan diri dari mereka yang teraniaya. Seharusnya, saya mendatangi mereka dan bertanya apakah gundah yang dialami telah raib?
Wednesday, March 22, 2006
Michael Moore, Sang Pendobrak!
Kebiasaan membaca rubrik on line Media Indonesia terus membuka kemungkinan baru. Rubrik resensi membuka 'pilihan' yang beragam, seperti hari ini, Wartarwan Media menulis resensi buku Michael Moore bertajuk Will They Trust Us Again, tentang nasib 'tentara' Amerika di Iraq. Sebuah usaha yang luar biasa untuk memahami 'suasana' batin sebenarnya dari para serdadu yang gagah itu.
Betapa seriusnya, pembuat film dokumenter Fahrenheit 9/11 membuat tulisan yang mengusung tema 'anti-perang' dengan mengungkap 'penolakan' serdadu itu sendiri terhadap perang. Ribuan surat tentara Amerika mengalir ke negerinya untuk memberitahu bahwa perang itu tidak berguna. Tapi, kepongahan telah membungkam 'nurani' mereka dengan dalih pembebasan, penegakan nilai demokrasi dan segepok nilai-nilai lain.
Sementara, kita di sini melihat kesengsaraan korban perang di depan mata [melalui televisi], tapi, tak mampu berkata-kata sebab mereka ternyata ada di kejauhan sana. Globalisasi ternyata berada di dunia maya. Meskipun, kadang, ia mampu menyedot perhatian dan memantik emosi. Bahkan, saya hanya mampu berkata, "Hentikan Perang!"
Betapa seriusnya, pembuat film dokumenter Fahrenheit 9/11 membuat tulisan yang mengusung tema 'anti-perang' dengan mengungkap 'penolakan' serdadu itu sendiri terhadap perang. Ribuan surat tentara Amerika mengalir ke negerinya untuk memberitahu bahwa perang itu tidak berguna. Tapi, kepongahan telah membungkam 'nurani' mereka dengan dalih pembebasan, penegakan nilai demokrasi dan segepok nilai-nilai lain.
Sementara, kita di sini melihat kesengsaraan korban perang di depan mata [melalui televisi], tapi, tak mampu berkata-kata sebab mereka ternyata ada di kejauhan sana. Globalisasi ternyata berada di dunia maya. Meskipun, kadang, ia mampu menyedot perhatian dan memantik emosi. Bahkan, saya hanya mampu berkata, "Hentikan Perang!"
Cerpen dan Novel
Membaca cerpen Korrie Layun Rampan (Wahai, Rawa), Hamsad Rangkuti (Sampah Bulan Desember), Herry Gendut Janarto (Sang Presiden), Pamusuk Eneste (Isabel Blumenkol) dan novelnya Umar Kayam Jalan Menelikung: Para Priyayi 2, saya merasa menelusuri cerita pelbagai keunikan negeri sendiri. Para penulis cerdas ini telah mendedahkan pada saya tentang dunia Keindonesiaan dalam versi narasi kecil, bukan besar.
Memang, tak dapat dielakkan, kebutuhan manusia itu sama aja di seluruh pelosok. Tapi, cara dan gaya memperoleh dan menggunakannya dalam keseharian bersifat khas, tidak sama. Bahkan, mungkin mereka bertentangan satu sama lain.
Kecepatan menyelesaikan bacaan di atas adalah upaya segera mendapatkan makna. Menurut Gadamer (1970, 325) Kita menemukan bahwa makna tidak bisa dipahami dengan sebuah cara arbitrer. Sebagaimana kita juga tidak bisa secara terus-menerus secara salah memahami penggunaan kata tanpa terpengaruh pada makna keseluruhan, sehingga kita tidak bisa menegaskan secara buta makna-depan kita sendiri terhadap sesuatu jika kita memahami makna yang lain.
Seperti dijelaskan Georgia Warnke mengomentari pemikiran Gadamer, paling-tidak ada dua hal penting berkaitan dengan pemaknaan. Pertama, makna tindakan dan peristiwa selalu melampaui maksud. Tindakan tidak memaksudkan konsekuensi, dan bahkan ketika konsekuensi yang tidak dimaksudkan semacam ini tidak terjadi secara langsung, tindakan sejarah selalu menjadi bagian dari mata rantai peristiwa dan tindakan yang melampaui kemungkinan maksud dan motivasi pelakunya. Kedua, sejarawan itu sendiri adalah bagian dari sejarah. Ia mungkin lebih canggih daripada subjek yang mereka kaji, sejauh ia mewarisi pengalaman sejarah dari subjek ini, dan lebih parokial daripada keturunannya sendiri yang mungkin bisa meletakkan peristiwa di dalam sebuah perspektif lebih luas.
Samar-samar, saya masih 'menerka' makna apa yang telah saya jumput dari bacaan-bacaan di atas?
Memang, tak dapat dielakkan, kebutuhan manusia itu sama aja di seluruh pelosok. Tapi, cara dan gaya memperoleh dan menggunakannya dalam keseharian bersifat khas, tidak sama. Bahkan, mungkin mereka bertentangan satu sama lain.
Kecepatan menyelesaikan bacaan di atas adalah upaya segera mendapatkan makna. Menurut Gadamer (1970, 325) Kita menemukan bahwa makna tidak bisa dipahami dengan sebuah cara arbitrer. Sebagaimana kita juga tidak bisa secara terus-menerus secara salah memahami penggunaan kata tanpa terpengaruh pada makna keseluruhan, sehingga kita tidak bisa menegaskan secara buta makna-depan kita sendiri terhadap sesuatu jika kita memahami makna yang lain.
Seperti dijelaskan Georgia Warnke mengomentari pemikiran Gadamer, paling-tidak ada dua hal penting berkaitan dengan pemaknaan. Pertama, makna tindakan dan peristiwa selalu melampaui maksud. Tindakan tidak memaksudkan konsekuensi, dan bahkan ketika konsekuensi yang tidak dimaksudkan semacam ini tidak terjadi secara langsung, tindakan sejarah selalu menjadi bagian dari mata rantai peristiwa dan tindakan yang melampaui kemungkinan maksud dan motivasi pelakunya. Kedua, sejarawan itu sendiri adalah bagian dari sejarah. Ia mungkin lebih canggih daripada subjek yang mereka kaji, sejauh ia mewarisi pengalaman sejarah dari subjek ini, dan lebih parokial daripada keturunannya sendiri yang mungkin bisa meletakkan peristiwa di dalam sebuah perspektif lebih luas.
Samar-samar, saya masih 'menerka' makna apa yang telah saya jumput dari bacaan-bacaan di atas?
Tuesday, March 21, 2006
Sein and Bewusstein
Long before we understand ourselves in retrospective reflection, we understand ourselves in self-evident ways in the family, society and state in which we live. The focus of subjectivity is a distorting mirror. The self-reflection of the individual is only a flicker in the closed circuits of historical life (Gadamer, Truth and Method, hlm. 245)
kita telah 'mengenal' diri kita dari keluarga, masyarakat bahkan negara. Gagasan-gagasan kita yang merupakan pertimbangan objektif atau keputusan rasional itu sendiri adalah gagasan dari sebuah tradisi tertentu. Apa yang dianggap sebagai determinasi objektif, tak bersyarat tentang sebuah ranah-objek tertentu adalah dibentuk oleh tradisi kita atau, lebih tepatnya, oleh apa yang dianggap tradisi kita sendiri objektif atau tak bersyarat.
Di sini, kita akan menyadari bahwa objektivitas itu sendiri menjadi subjektivitas yang akan bertemu dengan pengalaman orang lain dengan cara yang sama. Sebab, pengalaman ini bersifat universal. Implikasi dari keyakinan ini tentu saja menunjukkan akan pertemuan-pertemuan latar keluarga, masyarakat dan negara yang beragam, sehingga dimungkinkan terjadi 'dialog' atau sebaliknya benturan.
Memilih yang pertama, tentu saja sebuah pilihan ideal karena mengandaikan bahwa sebuah masyarakat itu mempunyai 'keunikan' yang perlu dipahami oleh liyan, demikian juga sebaliknya. Sebagai serupa-teks, peristiwa sosial itu sendiri dipengaruhi oleh sejarah efektif, prasangka dan tradisi masyarakat itu sendiri.
Kalau saya ingin mengenal seseorang yang berasal dari Iran, maka pengetahuan saya mesti merujuk pada prinsip keluarga, masyarakat dan negara Iran. Perkenalan ini boleh jadi berangkat dari intensitas percakapan, bacaan, dan berita. Sang Iran, sebagai interlocutor, akan melakukan hal yang sama. Lalu, pengertian dengan sendirinya muncul, sehingga masing-masing menunjukkan sikap dalam relasi keseharian.
Pengetahuan akan liyan sebenarnya telah dipengaruhi 'kedirian' kita karena tafsir itu tidak hanya memahami 'liyan', tetapi konstruksi 'kita' sendiri turut serta memberikan makna sehingga akhirnya sebuah pemahaman itu merupakan kumpulan cakrawala.
kita telah 'mengenal' diri kita dari keluarga, masyarakat bahkan negara. Gagasan-gagasan kita yang merupakan pertimbangan objektif atau keputusan rasional itu sendiri adalah gagasan dari sebuah tradisi tertentu. Apa yang dianggap sebagai determinasi objektif, tak bersyarat tentang sebuah ranah-objek tertentu adalah dibentuk oleh tradisi kita atau, lebih tepatnya, oleh apa yang dianggap tradisi kita sendiri objektif atau tak bersyarat.
Di sini, kita akan menyadari bahwa objektivitas itu sendiri menjadi subjektivitas yang akan bertemu dengan pengalaman orang lain dengan cara yang sama. Sebab, pengalaman ini bersifat universal. Implikasi dari keyakinan ini tentu saja menunjukkan akan pertemuan-pertemuan latar keluarga, masyarakat dan negara yang beragam, sehingga dimungkinkan terjadi 'dialog' atau sebaliknya benturan.
Memilih yang pertama, tentu saja sebuah pilihan ideal karena mengandaikan bahwa sebuah masyarakat itu mempunyai 'keunikan' yang perlu dipahami oleh liyan, demikian juga sebaliknya. Sebagai serupa-teks, peristiwa sosial itu sendiri dipengaruhi oleh sejarah efektif, prasangka dan tradisi masyarakat itu sendiri.
Kalau saya ingin mengenal seseorang yang berasal dari Iran, maka pengetahuan saya mesti merujuk pada prinsip keluarga, masyarakat dan negara Iran. Perkenalan ini boleh jadi berangkat dari intensitas percakapan, bacaan, dan berita. Sang Iran, sebagai interlocutor, akan melakukan hal yang sama. Lalu, pengertian dengan sendirinya muncul, sehingga masing-masing menunjukkan sikap dalam relasi keseharian.
Pengetahuan akan liyan sebenarnya telah dipengaruhi 'kedirian' kita karena tafsir itu tidak hanya memahami 'liyan', tetapi konstruksi 'kita' sendiri turut serta memberikan makna sehingga akhirnya sebuah pemahaman itu merupakan kumpulan cakrawala.
Monday, March 20, 2006
Documentary in the Digital Age
Hari ini, saya mengembalikan buku pinjaman ke perpustakaan. Karena terlambat, saya harus membayar 60 cent. Seharusnya, saya tidak perlu membayar untuk sesuatu yang tidak perlu, karena keteledoran mengembalikannya tidak tepat waktu. Memang, nilainya tidak besar, tapi itu tidak bisa ditolerir karena acapkali dari pengabaian yang kecil akan merembet ke hal besar yang lebih fatal, bukan? Tapi, itu terobati dengan adanya buku baru di Perolehan Baru berjudul Documentary in the Digital Age oleh Maxine Baker. Pertimbangan pertama agak aneh, sebab saya mencomot buku ini dari tempat display karena ia diterbitkan tahun 2006. Kedua, niat untuk membuat resensi buku ini sangat kuat.
Dengan latar yang miskin tentang film, saya mencoba untuk memahami film, yang dilihat Baker, bahwa film dokumenter yang tidak fiksi adalah minat terbesarnya, yang berbeda dengan film populer, film yang saya sangat suka. Merubah selera tentu saja bukan pekerjaan mudah, karena menabrak kebiasaan yang telah mendarah-daging. buku ini hendak melihat kehidupan yang sedang berjalan (berlari? on the run), gaya abad duapuluh-pertama, dokumenter di dalam era digital. Penemuan Lumière, sinematografi adalah sebuah mesin yang memfilmkan, memproses, memproyeksikan dan juga, sebagai benda portable, ia bisa dibawa dengan fuss yang minimum dan digunakan untuk merekam dan memperlihatkan pada audiens dunia tempat mereka hidup. Pilihan Lumière memilih untuk memfilmkan orang-orang di dalam situasi nyata, tidak pernah menunjukkan minat pada kisah-kisah dramatik. Oleh karena itu saya pikir bahwa mereka adalah bapak sejati dari bentuk dokumenter.
Kenapa film dokumenter tak disuka banyak orang? Apakah kita tidak lagi menyukai kenyataan, tapi impian terus-menerus? Bukankah Nietzsche dan pengikutnya menyatakan katakan ya pada kehidupan agar kita tidak merasa terasing karena selalu memanjakan 'keinginan' yang ada di seberang? Atau memang kenyataan itu perih sehingga tak perlu dikenang? Sementara hidup terus berjalan (orang Barat menyebutnya berlari?).
Saturday, March 18, 2006
Musik, Agama dan Politik
Jumat, 17 Mar 2006,
Musik, Agama, dan Politik
Oleh Ahmad Sahidah
Pelarangan musik Barat di Iran oleh Presiden Ahmadinejad yang berpandangan ultrakonservatif menambah panjang daftar kontroversi sepak terjangnya. Sebelumnya, dia menyatakan Israel perlu dihapus dari peta dunia dan sejarah Holacoust, pembunuhan 6 juta orang Yahudi oleh Nazi Eropa pada Perang Dunia Kedua, adalah gombal. Sementara Eropa sekarang tidak memedulikan penindasan Israel terhadap Palestina. Tentu saja, pembangunan reaktor nuklir paling banyak menyedot perhatian kalangan internasional untuk mengikuti perkembangannya.
Meski pernyataan orang nomor satu di Republik Islam Iran itu diserang banyak politisi dan pejabat pemerintahan di Eropa, Amerika, dan Australia, dia bergeming. Dia menganggap pendapatnya sebagai kebebasan berekspresi yang sejatinya harus dijunjung oleh orang Barat yang gandrung akan toleransi terhadap perbedaan.
Namun, instruksi sang presiden agar musik Barat tidak dikumandangkan di sejumlah radio dan televisi mengundang protes di dalam negeri, terutama oleh para musisi. Mereka menganggap presiden tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Instruksi itu juga dinilai telah memukul balik raisons d’ĂŞtre, kebebasan yang dijadikan pijakan mantan wali kota Teheran ini ketika melontarkan pendapat mengenai Israel dan Holacoust.
Islam dan Musik
Sebenarnya dalam sejarah pemikiran Islam, banyak pemikir muslim yang telah melahirkan teori musik. Di antaranya Al-Farabi dengan bukunya Kitab al-Musiqi al-Kabir (Buku tentang Musik Agung). Mereka telah memberi inspirasi perkembangan musik dalam Islam, meskipun dalam sejarahnya penerimaan terhadap musik terbelah ke dalam dua kubu: pro dan kontra.
Memang, di dalam salah satu varian pemikiran Islam terdapat kelompok yang mengharamkan musik karena akan memalingkan manusia beriman dari Tuhan. Tetapi, mayoritas ulama menerima dengan syarat, seperti ditulis Al-Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin, untuk meningkatkan ibadah, memacu semangat berperang, menimbulkan keberanian pada masa perang, menimbulkan kesenangan, mendatangkan cinta dan kerinduan, serta melahirkan cinta pada Tuhan.Sedangkan musik itu dilarang ketika disuarakan oleh perempuan dalam kondisi tertentu, alatnya jelas-jelas dilarang, materi lagu bertentangan dengan semangat dan ajaran agama, penikmatnya dikuasai nafsu dan mendengar musik untuk musik itu sendiri. Sayang, rumusan ini tidak bisa dijadikan acuan yang ketat karena apresiasi dan budaya masyarakat tentang kesenangan dan selera itu berbeda. Sehingga, bentuk-bentuk musik yang dinilai melanggar ajaran agama bisa multitafsir. Musik, menurut kalangan sufi, adalah sarana mendekatkan diri pada Tuhan. Misalnya, dalam ordo darwish Jalaluddin Rumi. Sedangkan bagi kalangan ortodoks, musik itu haram, seperti dianut oleh banyak kaum puritan di Arab Saudi.
Lebih jauh, menurut Ammon Shiloah dalam Music in the World of Islam: A Socio-Cultural Study (1995), relasi Islam dan musik itu berkaitan dengan sistem pemikiran, yang meminjam pemikiran Max Weber, makna teologis dari konsepsi manusia tentang dirinya dan tempatnya di jagad ini, konsepsi yang melegitimasi orientasi manusia di dan untuk dunia serta memberikan makna pada pelbagai tujuannya. Betapa kompleksitasnya musik dalam ranah sosial kehidupan masyarakat.
Motif Pelarangan
Secara sederhana, penolakan terhadap musik Barat oleh penguasa Iran bisa dikatakan bernuansa politik akibat tekanan Barat terhadap isu nuklir Iran dan pesanan kekuasaan klerus yang merupakan basis dukungan presiden. Sebagaimana kata teman saya di program doktor ilmu humaniora USM, Nematollah Azadmanesh, bahwa radio dan televisi di dalam konstitusi Iran berada di bawah legislasi pemimpin spiritual, Ayatullah Khameini. Karena itu, wajar jika keputusan ini diinstruksikan dan akan dievaluasi pelaksanaannya dalam enam bulan ke depan.
Namun, seperti ditulis Ella Zonis dalam Classical Persian Music: An Introduction (1973), musik Iran sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Islam. Tapi, ia juga sangat dipengaruhi serangan banyak penakluk lain, seperti bangsa Turki dan Mongol pada abad ketujuh hingga kelima belas. Ketika itu banyak musisi terlibat dalam ordo sufi sebagai respons terhadap penaklukan, termasuk pengaruh Barat sekarang ini telah melahirkan teori dan praktik musik tersendiri. Ini berarti Iran tidak bisa mengingkari hubungan dengan negara luar.Kebijakan yang tidak populer ini sebenarnya memperoleh dukungan dari konstituen dalam negeri sendiri, sebagaimana tecermin dalam sebuah obrolan dengan salah seorang mahasiswa Iran di Malaysia, bahwa musik tradisional Iran itu lebih sesuai dengan karakter kepribadian mereka dan musik Barat telah meracuni pikiran generasi muda. Dengan lugas dia berkata bahwa western music is corrupted and be able to destroy young generation mind. Berbeda dengan sejawatnya, Reza Pasha yang sangat apresiatif dengan musik dalam negeri bercorak modern dan lebih mendukung bekas raja Iran untuk kembali berkuasa. Meskipun berlainan pendapat, secara keseluruhan mereka sangat kritis terhadap kolonisasi budaya Amerika.
Terlepas dari peristiwa menghebohkan ini, postmodernisme telah memberikan ruang pada yang marjinal, terpinggirkan untuk mengada (exist). Barat adalah sebagian wajah kemanusiaan yang tidak bisa dipaksakan untuk dijadikan gaya hidup di mana pun. Namun, kekuatan media massa mereka telah menghipnotis banyak orang di dunia untuk meniru dan menjadikan gaya hidupnya. Perlawanan apa pun sebenarnya absah, tetapi perlu dipikirkan implikasi pada pengekangan terhadap kreativitas dan kebebasan.
Ahmad Sahidah, kandidat doktor pada Jurusan Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia.
<<:: Kembali
Musik, Agama, dan Politik
Oleh Ahmad Sahidah
Pelarangan musik Barat di Iran oleh Presiden Ahmadinejad yang berpandangan ultrakonservatif menambah panjang daftar kontroversi sepak terjangnya. Sebelumnya, dia menyatakan Israel perlu dihapus dari peta dunia dan sejarah Holacoust, pembunuhan 6 juta orang Yahudi oleh Nazi Eropa pada Perang Dunia Kedua, adalah gombal. Sementara Eropa sekarang tidak memedulikan penindasan Israel terhadap Palestina. Tentu saja, pembangunan reaktor nuklir paling banyak menyedot perhatian kalangan internasional untuk mengikuti perkembangannya.
Meski pernyataan orang nomor satu di Republik Islam Iran itu diserang banyak politisi dan pejabat pemerintahan di Eropa, Amerika, dan Australia, dia bergeming. Dia menganggap pendapatnya sebagai kebebasan berekspresi yang sejatinya harus dijunjung oleh orang Barat yang gandrung akan toleransi terhadap perbedaan.
Namun, instruksi sang presiden agar musik Barat tidak dikumandangkan di sejumlah radio dan televisi mengundang protes di dalam negeri, terutama oleh para musisi. Mereka menganggap presiden tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Instruksi itu juga dinilai telah memukul balik raisons d’ĂŞtre, kebebasan yang dijadikan pijakan mantan wali kota Teheran ini ketika melontarkan pendapat mengenai Israel dan Holacoust.
Islam dan Musik
Sebenarnya dalam sejarah pemikiran Islam, banyak pemikir muslim yang telah melahirkan teori musik. Di antaranya Al-Farabi dengan bukunya Kitab al-Musiqi al-Kabir (Buku tentang Musik Agung). Mereka telah memberi inspirasi perkembangan musik dalam Islam, meskipun dalam sejarahnya penerimaan terhadap musik terbelah ke dalam dua kubu: pro dan kontra.
Memang, di dalam salah satu varian pemikiran Islam terdapat kelompok yang mengharamkan musik karena akan memalingkan manusia beriman dari Tuhan. Tetapi, mayoritas ulama menerima dengan syarat, seperti ditulis Al-Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin, untuk meningkatkan ibadah, memacu semangat berperang, menimbulkan keberanian pada masa perang, menimbulkan kesenangan, mendatangkan cinta dan kerinduan, serta melahirkan cinta pada Tuhan.Sedangkan musik itu dilarang ketika disuarakan oleh perempuan dalam kondisi tertentu, alatnya jelas-jelas dilarang, materi lagu bertentangan dengan semangat dan ajaran agama, penikmatnya dikuasai nafsu dan mendengar musik untuk musik itu sendiri. Sayang, rumusan ini tidak bisa dijadikan acuan yang ketat karena apresiasi dan budaya masyarakat tentang kesenangan dan selera itu berbeda. Sehingga, bentuk-bentuk musik yang dinilai melanggar ajaran agama bisa multitafsir. Musik, menurut kalangan sufi, adalah sarana mendekatkan diri pada Tuhan. Misalnya, dalam ordo darwish Jalaluddin Rumi. Sedangkan bagi kalangan ortodoks, musik itu haram, seperti dianut oleh banyak kaum puritan di Arab Saudi.
Lebih jauh, menurut Ammon Shiloah dalam Music in the World of Islam: A Socio-Cultural Study (1995), relasi Islam dan musik itu berkaitan dengan sistem pemikiran, yang meminjam pemikiran Max Weber, makna teologis dari konsepsi manusia tentang dirinya dan tempatnya di jagad ini, konsepsi yang melegitimasi orientasi manusia di dan untuk dunia serta memberikan makna pada pelbagai tujuannya. Betapa kompleksitasnya musik dalam ranah sosial kehidupan masyarakat.
Motif Pelarangan
Secara sederhana, penolakan terhadap musik Barat oleh penguasa Iran bisa dikatakan bernuansa politik akibat tekanan Barat terhadap isu nuklir Iran dan pesanan kekuasaan klerus yang merupakan basis dukungan presiden. Sebagaimana kata teman saya di program doktor ilmu humaniora USM, Nematollah Azadmanesh, bahwa radio dan televisi di dalam konstitusi Iran berada di bawah legislasi pemimpin spiritual, Ayatullah Khameini. Karena itu, wajar jika keputusan ini diinstruksikan dan akan dievaluasi pelaksanaannya dalam enam bulan ke depan.
Namun, seperti ditulis Ella Zonis dalam Classical Persian Music: An Introduction (1973), musik Iran sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Islam. Tapi, ia juga sangat dipengaruhi serangan banyak penakluk lain, seperti bangsa Turki dan Mongol pada abad ketujuh hingga kelima belas. Ketika itu banyak musisi terlibat dalam ordo sufi sebagai respons terhadap penaklukan, termasuk pengaruh Barat sekarang ini telah melahirkan teori dan praktik musik tersendiri. Ini berarti Iran tidak bisa mengingkari hubungan dengan negara luar.Kebijakan yang tidak populer ini sebenarnya memperoleh dukungan dari konstituen dalam negeri sendiri, sebagaimana tecermin dalam sebuah obrolan dengan salah seorang mahasiswa Iran di Malaysia, bahwa musik tradisional Iran itu lebih sesuai dengan karakter kepribadian mereka dan musik Barat telah meracuni pikiran generasi muda. Dengan lugas dia berkata bahwa western music is corrupted and be able to destroy young generation mind. Berbeda dengan sejawatnya, Reza Pasha yang sangat apresiatif dengan musik dalam negeri bercorak modern dan lebih mendukung bekas raja Iran untuk kembali berkuasa. Meskipun berlainan pendapat, secara keseluruhan mereka sangat kritis terhadap kolonisasi budaya Amerika.
Terlepas dari peristiwa menghebohkan ini, postmodernisme telah memberikan ruang pada yang marjinal, terpinggirkan untuk mengada (exist). Barat adalah sebagian wajah kemanusiaan yang tidak bisa dipaksakan untuk dijadikan gaya hidup di mana pun. Namun, kekuatan media massa mereka telah menghipnotis banyak orang di dunia untuk meniru dan menjadikan gaya hidupnya. Perlawanan apa pun sebenarnya absah, tetapi perlu dipikirkan implikasi pada pengekangan terhadap kreativitas dan kebebasan.
Ahmad Sahidah, kandidat doktor pada Jurusan Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia.
<<:: Kembali
----------------------------------------------
Best View : 1024 x 768 with IE 5.5 or above
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
Best View : 1024 x 768 with IE 5.5 or above
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
Monday, March 13, 2006
Wirkunggesschichte atawa Sejarah Efektif
istilah ini diajukan oleh Gadamer untuk merumuskan sebuah pemahaman yang bergerak bolak-balik antara masa lalu dan masa kini. Tentu saja, ini menabrak asumsi bahwa kita bisa memaham teks masa lalu secara objektif, apa adanya. Masa kini adalah subjektivitas kita yang tak dapat dielakkan. Meskipun, berupaya keras menghadirkan masa lalu, tetapi kejadian lampau itu telah banyak kehilangan, hanya dekonstruksi yang memungkinkan ia hadir kembali.
Musik Keroncong
Pernahkah kita mencoba untuk mengingat kembali kepingan peristiwa kanak-kanak? Tak perlu dilakukan, sebab, ia tiba-tiba sering hadir bersama dengan stimulasi yang ditimbulkan di sekeliling kita.
Seperti pagi ini, saya mendengarkan lagu keroncong. Terbayang samar, saya membayangkan tentang siaran TVRI zaman baheula dan saudara mbah saya yang demen ama musik ngak-ngek-ngok ini. Lagunya lambat, hampir tidak pernah berlari. Penyanyinya memakai kebaya, sanggul dan tampak anggun dengan geraknya yang lamban. Sambil mengetik, lagu ini membantu 'sikap' terburu-buru untuk melakukan semua. Ia telah menjadi interlokutor, agar saya lebih menikmati kerja.
Di siang hari, biasanya lelah menghinggapi tubuh, meskipun otak ingin terus bekerja. Instrumen musik sederhananya mampu menemani raga yang mulai 'berkurang' tenaganya. Pikiran mulai menunaikan tugasnya untuk memilih antara 'makan' dan meneruskan menekuri layar komputer. Tak perlu gundah, makan dulu, nanti semuanya akan terang-benderang!
Seperti pagi ini, saya mendengarkan lagu keroncong. Terbayang samar, saya membayangkan tentang siaran TVRI zaman baheula dan saudara mbah saya yang demen ama musik ngak-ngek-ngok ini. Lagunya lambat, hampir tidak pernah berlari. Penyanyinya memakai kebaya, sanggul dan tampak anggun dengan geraknya yang lamban. Sambil mengetik, lagu ini membantu 'sikap' terburu-buru untuk melakukan semua. Ia telah menjadi interlokutor, agar saya lebih menikmati kerja.
Di siang hari, biasanya lelah menghinggapi tubuh, meskipun otak ingin terus bekerja. Instrumen musik sederhananya mampu menemani raga yang mulai 'berkurang' tenaganya. Pikiran mulai menunaikan tugasnya untuk memilih antara 'makan' dan meneruskan menekuri layar komputer. Tak perlu gundah, makan dulu, nanti semuanya akan terang-benderang!
Saturday, March 11, 2006
Karnival Restu
Semalam, ada pesta di flat Restu. Bertempat di kantin, acara digelar. Selain sambutan, dua acara hiburan yang cukup membuat malam marak. Tarian kreatif Borneo menampilkan penari-penari energik dengan musik berdetak cepat. Memang tidak semagis tarian Bali, tapi cukup mengundang penonton bertepuk tangan. Disusul kemudian dengan penampilan teman kami Woelan dan Caca, yang membawakan lagu Kris Dayanti dan Misha Oemar. Meskipun sempat terganggu oleh kesalahan teknis, karena musik karaoke tidak bisa dioperasikan, tapi kedua penyanyi teman kami ini tidak down. Keduanya tetap dalam performa yang baik, bahkan tak jarang senyam-senyum di atas panggung sederhana itu.
***
Pagi ini, bumi menyisakan basah, karena hujan semalam. Suasana begini membuat saya betah menikmati 'alam'. Adakah yang lebih nyaman dari ini? Matahari bersinar terang, pohon dan rerumputan tampak segar dan air di kali yang membelah kampus tidak kotor. Ditambah dengan lagu-lagu lembut, saya benar-benar mengalami 'keriangan'.
***
Pagi ini, bumi menyisakan basah, karena hujan semalam. Suasana begini membuat saya betah menikmati 'alam'. Adakah yang lebih nyaman dari ini? Matahari bersinar terang, pohon dan rerumputan tampak segar dan air di kali yang membelah kampus tidak kotor. Ditambah dengan lagu-lagu lembut, saya benar-benar mengalami 'keriangan'.
Friday, March 10, 2006
Memelihara Diskursus
Saya sangat senang Pak Tahir akhirnya mau 'menghangatkan' diskursus tentang perubahan sosial yang sedang melanda kehidupan organisasi pelajar Indonesia di USM.
Respon Pak Dolok tentu saja menguatkan asumsi bahwa secara batiniah, antarpribadi tidak dihambat oleh sikap a priopri, yang selama ini menghantui relasi pelajar Indonesia.
Bahkan, hal Ini makin membuka lebar 'ruang' silaturrahmi, di satu sisi, dan perdebatan 'akademik' di sisi lain (bukankah yang terakhir memang diandaikan oleh teman-teman yang tergabung di IPSAA?).
Kehadiran organisasi baru serta merta akan menimbulkan 'gejolak' karena mempunyai sejarah dengan organisasi sebelumnya. Mereka yang terlibat di dalam organisasi ini adalah 'sempalan' orang-orang penting di PPI masa doeloe.
Kadang, kita perlu dengan sangat sungguh-sungguh membicarakan masalah ini. Tidak selamanya diam itu emas. Pengetahuan itu lahir dari percakapan dan tulisan.
Komunikasi politik yang berkembang selama ini masih tidak bergerak dari 'klaim', yang dengan sendirinya mengebiri wacana menjadi sejumlah pernyataan dogmatik, kaku, rigid dan anti-ilmiah.
Terobosan yang dilakukan IPSSA dengan kegiatan yang 'lebih' memanjakan selera 'akademik' tentu saja adalah keharusan [das sollen], tapi ketika 'ide cemerlang' itu dihadapkan dengan kenyataan centang perenang [das sein], maka dengan sendirinya perlu upaya untuk duduk kembali membicarakan kemungkinan 'aliansi' yang lebih kukuh agar drama ini segera berakhir.
Pak Tahir tentu mafhum bahwa adagium think globally and act locally adalah pijakan yang mesti dipertimbangkan. Peristiwa dunia yang dipaparkan itu adalah pondasi yang dibangun untuk menanggapi perubahan sosial yang lebih besar, namun akan sia-sia jika ia mengabaikan kejadian sekitar kita sendiri.
Sebagai orang yang lebih dewasa, dalam ‘matriks umur', tak salah pelajar tingkat master dan Ph.D mengusung beban berat untuk segera menuntaskan 'kesenjangan' antar pelbagai lapisan. Prestise itu sebenarnya modal sosial yang bisa digunakan untuk menghakis 'jarak' yang memisahkan perbedaan di segala lini, tanpa mengorbankan bahwa keragaman itu adalah keniscayaan. Hentikan otoritarianisme atas nama apa saja! Tak elok bagi kemanusiaan.
Paling tidak, seluruh rangkaian perbincangan ini bisa dijadikan 'titik mula' mengangkat 'tema' perubahan sosial sebagai wacana bersama. Sudut pandangnya akan makin kaya karena multi-disiplin teman-teman anggota PPI dan IPSAA.
Dalam ilmu humaniora, perubahan sosial itu bisa dilihat sebagai kepanjangan dari prinsip 'pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia' [the greatest utility] atau prinsip pemuasaan kesenangan [pleasure principle]. Namun demikian, dua teori ini tidak berjalan jika berkaitan dengan fenomena yang berkaitan dengan ide keadilan dan 'penjatuhan sangsi' [punishment], tentang persahabatan dan cinta, sebab yang terakhir ini mengandung makna di dalam dirinya dan tidak bisa dipahami berdasarkan utilitas dan kesenangan.
Memetakan kasus PPI dan IPSAA dengan teori di atas akan membuat terang-benderang persoalan yang sedang mendera anak bangsa di Negeri Jiran ini. Kalau berpijak pada teori utilitas [merujuk pada ide Marxian] dan teori kesenangan [pada Utilitarianisme Bentham], saya rasa kita mesti menerima IPSAA sebagai elemen yang harus diterima, tetapi jika kehadirannya mengusik banyak orang [PPI], dan tidak melulu berkaitan dengan daya guna, tetapi kasih sayang antar anak bangsa, maka perlu dipikirkan kembali. Taruhannya adalah mengoyak 'batin' dan mewariskan 'disintegrasi' di sini. Oleh karena itu, mari kepalkan tangan dan 'lawan'!
Respon Pak Dolok tentu saja menguatkan asumsi bahwa secara batiniah, antarpribadi tidak dihambat oleh sikap a priopri, yang selama ini menghantui relasi pelajar Indonesia.
Bahkan, hal Ini makin membuka lebar 'ruang' silaturrahmi, di satu sisi, dan perdebatan 'akademik' di sisi lain (bukankah yang terakhir memang diandaikan oleh teman-teman yang tergabung di IPSAA?).
Kehadiran organisasi baru serta merta akan menimbulkan 'gejolak' karena mempunyai sejarah dengan organisasi sebelumnya. Mereka yang terlibat di dalam organisasi ini adalah 'sempalan' orang-orang penting di PPI masa doeloe.
Kadang, kita perlu dengan sangat sungguh-sungguh membicarakan masalah ini. Tidak selamanya diam itu emas. Pengetahuan itu lahir dari percakapan dan tulisan.
Komunikasi politik yang berkembang selama ini masih tidak bergerak dari 'klaim', yang dengan sendirinya mengebiri wacana menjadi sejumlah pernyataan dogmatik, kaku, rigid dan anti-ilmiah.
Terobosan yang dilakukan IPSSA dengan kegiatan yang 'lebih' memanjakan selera 'akademik' tentu saja adalah keharusan [das sollen], tapi ketika 'ide cemerlang' itu dihadapkan dengan kenyataan centang perenang [das sein], maka dengan sendirinya perlu upaya untuk duduk kembali membicarakan kemungkinan 'aliansi' yang lebih kukuh agar drama ini segera berakhir.
Pak Tahir tentu mafhum bahwa adagium think globally and act locally adalah pijakan yang mesti dipertimbangkan. Peristiwa dunia yang dipaparkan itu adalah pondasi yang dibangun untuk menanggapi perubahan sosial yang lebih besar, namun akan sia-sia jika ia mengabaikan kejadian sekitar kita sendiri.
Sebagai orang yang lebih dewasa, dalam ‘matriks umur', tak salah pelajar tingkat master dan Ph.D mengusung beban berat untuk segera menuntaskan 'kesenjangan' antar pelbagai lapisan. Prestise itu sebenarnya modal sosial yang bisa digunakan untuk menghakis 'jarak' yang memisahkan perbedaan di segala lini, tanpa mengorbankan bahwa keragaman itu adalah keniscayaan. Hentikan otoritarianisme atas nama apa saja! Tak elok bagi kemanusiaan.
Paling tidak, seluruh rangkaian perbincangan ini bisa dijadikan 'titik mula' mengangkat 'tema' perubahan sosial sebagai wacana bersama. Sudut pandangnya akan makin kaya karena multi-disiplin teman-teman anggota PPI dan IPSAA.
Dalam ilmu humaniora, perubahan sosial itu bisa dilihat sebagai kepanjangan dari prinsip 'pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia' [the greatest utility] atau prinsip pemuasaan kesenangan [pleasure principle]. Namun demikian, dua teori ini tidak berjalan jika berkaitan dengan fenomena yang berkaitan dengan ide keadilan dan 'penjatuhan sangsi' [punishment], tentang persahabatan dan cinta, sebab yang terakhir ini mengandung makna di dalam dirinya dan tidak bisa dipahami berdasarkan utilitas dan kesenangan.
Memetakan kasus PPI dan IPSAA dengan teori di atas akan membuat terang-benderang persoalan yang sedang mendera anak bangsa di Negeri Jiran ini. Kalau berpijak pada teori utilitas [merujuk pada ide Marxian] dan teori kesenangan [pada Utilitarianisme Bentham], saya rasa kita mesti menerima IPSAA sebagai elemen yang harus diterima, tetapi jika kehadirannya mengusik banyak orang [PPI], dan tidak melulu berkaitan dengan daya guna, tetapi kasih sayang antar anak bangsa, maka perlu dipikirkan kembali. Taruhannya adalah mengoyak 'batin' dan mewariskan 'disintegrasi' di sini. Oleh karena itu, mari kepalkan tangan dan 'lawan'!
Thursday, March 09, 2006
Hari yang Beda
Saya hanya perlu mengubah sedikit dari kebiasaan, agar tidak merasa dibelenggu 'jam' waktu. Pagi dini hari, dengan sedikit linlung, saya bangun untuk nonton Real Madrid melawan Arsenal. Terus terang, lima pemain Brazil di barisan El Real membuat saya melupakan 'lelap'. Hampir selama 90 menit, mata ini terus memelototi layar tv di ruang bawah flat Restu. Sayangnya, penyerang sekaliber Ronaldo belum menemui keberuntungan menjebol gawang Arsenal. Hasil seri ini menyebabkan klub terkaya Spanyol ini tersingkir.
Tapi, kekalahan bukan sebuah peristiwa yang perlu disesali. Ini hanya permainan, tempat segala ekspresi hadir, histeria, tangis, gembira, atau tak jarang berakhir dengan perkelahian. Lebih baik, drama ini dilihat sebagai pelengkap dari seluruh cerita, yang juga bisa digeser dalam ranah kehidupan sehari-hari. Potongan-potongan peristiwa melengkapi keseluruhan 'kisah'. Jika, ia tidak menyenangkan, lewati saja, dan mencoba untuk menghadirkan cerita lain.
Hari ini, saya sarapan agak telat. Tapi, justeru pengalaman ini mendatangkan 'kebaruan'. Apalagi, di kantin Harapan channel Astro menayangkan Ke Jalan Lain 2, sinetron Indonesia. Sepertinya, gambar di layar kaca itu menarik ingatan ke kampung halaman. Sesuatu yang jarang terpampang di depan mata, ada seruak tentram. Mungkin, ini adalah pemenuhan kerinduan.
Kebetulan, saya bersua dengan teman Indonesia. Sebelumnya, kami hanya bertegur salam. Tak lebih. Tetapi, hari itu, dia berbicara banyak. Saya mendengar dengan seksama. Bukankah, ketika kita mendengar sebenarnya banyak belajar? Ya, betul. Saya telah menemukan sesuatu yang lain, yang menghakis 'prasangka' [dalam pengertian Gadamerian] tentang orang ini.
Apakah pertemuan ini telah mengungkap semua? Tidak. Sebab, kata selesai mengandung konsekuensi 'mandeg'. Kita akan terus bergerak dengan 'syarat' pemahaman lain yang mendasar tentang 'isi' sebuah percakapan.
Kembali ke ruang kampus, tempat saya duduk berselancar di dunia maya adalah keasyikan tersendiri. Meskipun, bosan juga dihadapkan dengan berita yang tumpah tindih, semua tumplek blek di satu tempat. Tragedi, perayaan, kejahatan dimuat untuk menjelaskan peristiwa dunia. Benar, bahwa sejarah adalah pengulangan.
Kita hanya mengisi 'bagian' dari narasi besar sejarah, apa pun wujudnya.
Tapi, kekalahan bukan sebuah peristiwa yang perlu disesali. Ini hanya permainan, tempat segala ekspresi hadir, histeria, tangis, gembira, atau tak jarang berakhir dengan perkelahian. Lebih baik, drama ini dilihat sebagai pelengkap dari seluruh cerita, yang juga bisa digeser dalam ranah kehidupan sehari-hari. Potongan-potongan peristiwa melengkapi keseluruhan 'kisah'. Jika, ia tidak menyenangkan, lewati saja, dan mencoba untuk menghadirkan cerita lain.
Hari ini, saya sarapan agak telat. Tapi, justeru pengalaman ini mendatangkan 'kebaruan'. Apalagi, di kantin Harapan channel Astro menayangkan Ke Jalan Lain 2, sinetron Indonesia. Sepertinya, gambar di layar kaca itu menarik ingatan ke kampung halaman. Sesuatu yang jarang terpampang di depan mata, ada seruak tentram. Mungkin, ini adalah pemenuhan kerinduan.
Kebetulan, saya bersua dengan teman Indonesia. Sebelumnya, kami hanya bertegur salam. Tak lebih. Tetapi, hari itu, dia berbicara banyak. Saya mendengar dengan seksama. Bukankah, ketika kita mendengar sebenarnya banyak belajar? Ya, betul. Saya telah menemukan sesuatu yang lain, yang menghakis 'prasangka' [dalam pengertian Gadamerian] tentang orang ini.
Apakah pertemuan ini telah mengungkap semua? Tidak. Sebab, kata selesai mengandung konsekuensi 'mandeg'. Kita akan terus bergerak dengan 'syarat' pemahaman lain yang mendasar tentang 'isi' sebuah percakapan.
Kembali ke ruang kampus, tempat saya duduk berselancar di dunia maya adalah keasyikan tersendiri. Meskipun, bosan juga dihadapkan dengan berita yang tumpah tindih, semua tumplek blek di satu tempat. Tragedi, perayaan, kejahatan dimuat untuk menjelaskan peristiwa dunia. Benar, bahwa sejarah adalah pengulangan.
Kita hanya mengisi 'bagian' dari narasi besar sejarah, apa pun wujudnya.
Monday, March 06, 2006
Kebahagiaan dalam buku atau dalam realitas?
"Kebahagiaan adalah makna dan tujuan hidup, seluruh cita-cita dan tujuan keberadaan manusia," demikian ujar Aristoteles dalam The Nicomachean Ethics.
Inilah cuplikan dari berita Republika:
Memang, kita semua menyadari bahwa sejatinya hanya satu tujuan dalam hidup ini: menjadi bahagia. Namun, kebahagiaan itu rasanya begitu jauh sehingga sebagian orang merasa tak akan pernah sampai ke sana. Karena meraih kebahagiaan itu sulit maka banyak buku telah ditulis sebagai seikat ilmu dan panduan untuk menghampirinya.
Pada November 2005, Mizan menerbitkan buku Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif karya Martin EP Seligman PhD. Buku ini diberi kata pengantar oleh Jalaluddin Rakhmat.
Untuk membantu kita menemukan kebahagiaan, Martin menawarkan alternatif baru psikologi, yaitu psikologi positif. Berlawanan dengan psikologi negatif, psikologi positif mengarahkan perhatiannya pada sisi positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, dengan buku ini, kita akan meninggalkan "psikologi bengkel" yang memperbaiki jiwa-jiwa yang rusak menuju "psikologi pandai emas" yang menyepuh logam mulia menjadi lebih cemerlang.
Penerbit Kaifa pada tahun ini juga menerbitkan beberapa buku terjemahan dengan tema kebahagiaan, antara lain Happiness Is, What Happy People Know, dan Smile for No Good Reason.
Buku Happiness Is: Unexpected Anwers to Practical Questions in Curious Times ditulis oleh dr Shawn Christopher Shea berdasarkan pengalaman klinisnya sebagai ahli psikoterapi selama lebih dari dua puluh tahun.
Dalam buku itu dr Shea menunjukkan bagaimana membedakan kesuksesan dengan kebahagiaan, menekankan pentingnya memandang hidup sebagai serangkaian peristiwa untuk dinikmati alih-alih sebagai serangkaian tujuan untuk diraih.
Sebagai seorang psikiater, dr Shea telah menanyai ratusan pasien apa kebahagiaan itu. Dia menerima ratusan jawaban yang berbeda-beda. Namun, meskipun setiap orang berbeda-beda dalam memandang kebahagiaan, dia yakin bahwa terdapat sebuah unsur yang sama pada orang-orang yang telah membentuk rasa kebahagiaan yang kekal. Melalui kerja klinis, penelitian, dan pengalaman pribadinya, ciri-ciri unsur ini menjadi semakin jelas.
Menurut Shea, kita semua adalah makhluk pencari. Macam-macam pencarian kita dalam hidup ini: mulai dari pencarian pendidikan, karier, hingga cinta. Namun, kita kerap mengabaikan pencarian yang paling mendasar dan penting: pencarian kebahagiaan. Tak heran, banyak di antara kita yang akhirnya terjebak dalam "perlombaan tikus."
Untuk menggambarkan hal itu, dengan sangat memikat Shea menceritakan salah seorang pasiennya, Timothy. Kesuksesan selalu didapatkan oleh Timothy, tetapi ia tak pernah bahagia. Setelah menjalani terapi beberapa lama, akhirnya Timothy sampai pada kesimpulan "Kesuksesan bukanlah kebahagiaan. Menemukan kebahagiaan adalah kesuksesan."
Pandangan Shea tentang kesuksesan memang unik. Ia tidak sependapat dengan Sparky Anderson, mantan manajer bisbol, yang mengatakan, "Orang yang sukses adalah orang yang tahun demi tahun mencapai batas tertinggi dalam bidangnya." Namun, ia setuju dengan Bob Dylan yang berpendapat, "Seseorang itu sukses jika ia bangun di pagi hari dan tidur di malam hari, dan di antara itu ia melakukan apa yang ingin ia lakukan."
Buku What Happy People Know: How the New Science of Happiness Can Change Your Life for the Better ditulis oleh Dan Baker PhD, Direktur Program Peningkatan Kehidupan di Canyon Ranch. Dalam pengantar Authentic Happiness, Jalaluddin Rakhmat bercerita secara panjang-lebar tentang epifani yang didapat oleh Dan Baker.
Dr Baker telah mengabdikan hidupnya untuk mengajari orang cara menjadi bahagia. Kliniknya kerap dipenuhi oleh orang-orang yang sukses, namun tidak bahagia. Menurut Baker, akar ketidakbahagiaan, yaitu rasa takut, terletak pada impuls-impuls otak purba yang tak memiliki fungsi lagi dalam kehidupan modern ini. Untungnya, kita telah mengembangkan kemampuan otak untuk berpikir rasional yang dapat membuat kita mengenali impuls-impuls itu.
Kita sering tertipu dalam mengejar kebahagiaan. Menurut Baker, ada lima jebakan kebahagiaan: 1) mencoba membeli kebahagiaan; 2) mencoba mendapatkan kebahagiaan melalui kesenangan; 3) mencoba menjadi bahagia dengan mengubur masa lalu; 4) mencoba menjadi bahagia dengan mengatasi kelemahan; dan 5) mencoba memaksakan kebahagiaan.
Lee L Jampolsky PhD mengarang buku Smile for No Good Reason dengan nuansa jenaka. Dalam buku ini, Dr Jampolsky membagi serangkaian pelajaran untuk membantu kita merasakan kebahagiaan yang lestari --kebahagiaan yang tidak berubah meskipun kita kehilangan pekerjaan atau pasangan hidup, atau jumlah penghasilan kita menurun.
Dr Jampolsky menyampaikan banyak kisah jenaka dalam buku ini yang mengajarkan bagaimana menukar rasa takut dengan cinta, egoisme dengan pelayanan, dan amarah dengan kebeningan hati. Menurut Lee, sikap kita adalah alat yang paling penting untuk membangun kebahagiaan. Mengubah hidup tanpa mengubah sikap seperti mengecat di atas permukaan yang berkarat -- akan tampak bagus hanya sampai karatnya muncul kembali.
Keempat buku yang saya ulas di atas hanyalah sebagian kecil dari banyak buku tentang cara menjadi bahagia yang telah ditulis oleh para pakar kebahagiaan sepanjang sejarah. Dan jika William James mengatakan bahwa sesungguhnya semua yang kita lakukan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan maka bukankah itu berarti bahwa semua buku pun bertujuan membuat kita bahagia?
(Haris Priyatna, editor buku ) http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
Oh ya, lalu bahagia itu ada di buku ya?
Rutinitas itu mengasyikkan atau tidak?
Setelah dua hari berbaring karena deman, saya kembali bugar. Sakit yang membawa 'pikiran' baru untuk menguji kembali 'hidup' yang rutin, banal dan tak ada yang baru. Semua berjalan seperti sekrup mesin dan mengikuti 'alur' begitu saja.
Berada di depan komputer, saya kembali membuka berita on line sejumlah surat kabar Indonesia, mengetik bahan disertasi dan mengisi halaman blog. Tak jarang, saya bekerja melompat-lompat dari satu bidang ke bidang lain, meskipun tidak beranjak dari kursi. Sepertinya, saya menikmati pekerjaan ini. Blog, disertasi, baca koran silih berganti membentuk 'aliran' peristiwa yang memancing otak untuk bekerja, intuisi tertantang, dan hati merasakan kembali pelbagai informasi yang berdesakan memenuhi ruang ingatan.
Aneh, kadang, saya tidak bisa mengingat begitu banyak kabar dari koran, padahal saya telah melewatinya. Mungkinkan, ia tidak berkesan, ataukah ini yang disebut informasi berlebihan? Atau kita perlu memilih yang mana dari sekian bahan itu dilesakkan dalam memori?
Berada di depan komputer, saya kembali membuka berita on line sejumlah surat kabar Indonesia, mengetik bahan disertasi dan mengisi halaman blog. Tak jarang, saya bekerja melompat-lompat dari satu bidang ke bidang lain, meskipun tidak beranjak dari kursi. Sepertinya, saya menikmati pekerjaan ini. Blog, disertasi, baca koran silih berganti membentuk 'aliran' peristiwa yang memancing otak untuk bekerja, intuisi tertantang, dan hati merasakan kembali pelbagai informasi yang berdesakan memenuhi ruang ingatan.
Aneh, kadang, saya tidak bisa mengingat begitu banyak kabar dari koran, padahal saya telah melewatinya. Mungkinkan, ia tidak berkesan, ataukah ini yang disebut informasi berlebihan? Atau kita perlu memilih yang mana dari sekian bahan itu dilesakkan dalam memori?
Sunday, March 05, 2006
Malam Indonesia
Pagelaran budaya antarbangsa di Universiti Sains Malaysia makin menyadarkan kami bahwa di sini semua bertemu untuk menampilkan ragam dan latar belakang, lalu belajar bertenggang rasa.
Selamat untuk teman-teman Persatuan Pelajar Indonesia yang telah menampilkan 'keindonesiaan' berbingkai lagu berbagai daerah di Indonesia. Sebuah atraksi yang betul-betul mengajak saya kembali bertamasya ke bumi pertiwi: Sumatera, Sunda, Jawa dan Jakarta. Tidak itu saja, tarian dan kumpulan band [arie, toni, fermi, didit, niko] makin membuat penampilan tarian hidup. Terus terang, emosi seakan meledak, karena mereka menyuguhkan 'persembahan' yang riang, cantik dan eye-catching. Agak subjektif memang, tapi siapakah yang bisa mengingkari nurani bahwa saya lebih 'ngeh' dengan sesuatu yang saya kenal, mendarah daging dan bagian napas selama ini? Tidak ada. Sebiji zarahpun.
Seluruh rangkaian lagu diakhiri lagu Coklat Merah Putih, sebuah penutup yang manis tapi juga membuat hati miris: patriotisme yang diteriakkan lantang melalui lagu cukup untuk menabuh genderang perang.
Lalu perang melawan apa? Perang melawan diri sendiri. Ini tertanggungkan jika kita bersama untuk melawannya, di sini dan sekarang.
Berikutnya, adalah keinginan untuk mengerti budaya liyan, seperti Cina, Arab, Swedia, Selandia Baru, Malaysia, dan Mongolia. Hanya itu. Meskipun semi-kolosal dan aransemen musik menderu, bahkan, mungkin menaikkan adrenalin, tapi mereka tak cukup menyediakan ruang untuk menghilangkan'haus' nostalgi, menimbulkan keharu-biruan, dan memantik gelegak emosi.
Selamat untuk mereka yang telah menghadirkan Indonesia di panggung.
Selamat untuk teman-teman Persatuan Pelajar Indonesia yang telah menampilkan 'keindonesiaan' berbingkai lagu berbagai daerah di Indonesia. Sebuah atraksi yang betul-betul mengajak saya kembali bertamasya ke bumi pertiwi: Sumatera, Sunda, Jawa dan Jakarta. Tidak itu saja, tarian dan kumpulan band [arie, toni, fermi, didit, niko] makin membuat penampilan tarian hidup. Terus terang, emosi seakan meledak, karena mereka menyuguhkan 'persembahan' yang riang, cantik dan eye-catching. Agak subjektif memang, tapi siapakah yang bisa mengingkari nurani bahwa saya lebih 'ngeh' dengan sesuatu yang saya kenal, mendarah daging dan bagian napas selama ini? Tidak ada. Sebiji zarahpun.
Seluruh rangkaian lagu diakhiri lagu Coklat Merah Putih, sebuah penutup yang manis tapi juga membuat hati miris: patriotisme yang diteriakkan lantang melalui lagu cukup untuk menabuh genderang perang.
Lalu perang melawan apa? Perang melawan diri sendiri. Ini tertanggungkan jika kita bersama untuk melawannya, di sini dan sekarang.
Berikutnya, adalah keinginan untuk mengerti budaya liyan, seperti Cina, Arab, Swedia, Selandia Baru, Malaysia, dan Mongolia. Hanya itu. Meskipun semi-kolosal dan aransemen musik menderu, bahkan, mungkin menaikkan adrenalin, tapi mereka tak cukup menyediakan ruang untuk menghilangkan'haus' nostalgi, menimbulkan keharu-biruan, dan memantik gelegak emosi.
Selamat untuk mereka yang telah menghadirkan Indonesia di panggung.
Thursday, March 02, 2006
Buku
Buku yang mengubah seseorang, seperti Nietzsche yang menemukan buku di toko loak, Levi Strauss dengan buku Jacobson. Ternyata, buku benar-benar telah mengubah secara dramatik kehidupan pembacanya. Bahkan, Strauss menyebut buku itu seperti wahyu. Luar biasa, bukan?
Lalu, pernahkah kita juga mengalami hal sama? Kalau tidak, seberapa seriuskah kita mencoba untuk melakukannya? Pertanyaan ini tentu menggoda banyak orang untuk menjawabnya.
Wednesday, March 01, 2006
Dialektika Peradaban
Buku terjemahan saya yang lain: tentang pertengkaran antarmanusia dalam skala 'lebih luas'.
Penulis : John L. Esposito, Mohammed Arkoun, Mohammed 'Abed Al-Jabri, et.al.
Cetakan : I, Oktober 2002
Jumlah Halaman : 384
Penerbit : Qalam
Harga : Rp 42.000
ISBN : 979-9440-22-X
Dari beragam tinjauan dan sudut pandang, para kontributor Dialektika Peradaban ini membongkar hubungan antara Islam dan Barat yang hingga kini masih menyisakan persoalan-persoalan krusial yang tak kunjung usai. Persoalan-persoalan tersebut tidak semata berkisar pada urusan persinggungan agama, tetapi juga pada perbenturan kepentingan hegemoni ekonomi, dominasi politik, dan ekspansionisme satu budaya terhadap yang lainnya. Karena itulah perlu terus diupayakan dialog-dialog lintas kebudayaan dalam iklim kesetaraan untuk mendialektikakan segala persoalan krusial agar sampai pada sintesis yang lebih berkeadilan bagi kedua pihak. Buku ini mencoba mengungkap bagaimana hubungan dialektis antara Islam dan Barat, yang selama ini lebih sering dilihat dari kacamata pandang "perseteruan-oposisional", pada kenyataannya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persepsi negatif, pandangan sepihak, stereotip, dan standar ganda yang tidak diimbangi oleh kearifan sikap untuk bersedia memandang kelompok lain secara objektif dan proporsional. Kenyataan ini semakin diperparah dengan diobralnya klaim-klaim ajaran kitab suci dan digadaikannya sabda-sabda Tuhan untuk kemudian 'diperalat' demi membenarkan pandangan masing-masing. Di sinilah, sederetan pemikir yang berasal dari kedua tradisi-Islam dan Barat, dengan keluasan wawasan dan ketajaman analisanya menguliti dan membedah persoalan-persoalan tersebut hingga di kedalaman akar-akarnya, sembari tidak lupa menyuguhkan tawaran-tawaran kerja strategis-operasional untuk mengatasinya. Untuk mencapai semua itu, prasyarat awal yang mereka perjuangkan adalah mencari semacam "titik temu" guna mengklarifikasi kondisi dan hubungan yang selama ini terjalin lebih dalam kerangka "aku-engkau".
Penulis : John L. Esposito, Mohammed Arkoun, Mohammed 'Abed Al-Jabri, et.al.
Cetakan : I, Oktober 2002
Jumlah Halaman : 384
Penerbit : Qalam
Harga : Rp 42.000
ISBN : 979-9440-22-X
Dari beragam tinjauan dan sudut pandang, para kontributor Dialektika Peradaban ini membongkar hubungan antara Islam dan Barat yang hingga kini masih menyisakan persoalan-persoalan krusial yang tak kunjung usai. Persoalan-persoalan tersebut tidak semata berkisar pada urusan persinggungan agama, tetapi juga pada perbenturan kepentingan hegemoni ekonomi, dominasi politik, dan ekspansionisme satu budaya terhadap yang lainnya. Karena itulah perlu terus diupayakan dialog-dialog lintas kebudayaan dalam iklim kesetaraan untuk mendialektikakan segala persoalan krusial agar sampai pada sintesis yang lebih berkeadilan bagi kedua pihak. Buku ini mencoba mengungkap bagaimana hubungan dialektis antara Islam dan Barat, yang selama ini lebih sering dilihat dari kacamata pandang "perseteruan-oposisional", pada kenyataannya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persepsi negatif, pandangan sepihak, stereotip, dan standar ganda yang tidak diimbangi oleh kearifan sikap untuk bersedia memandang kelompok lain secara objektif dan proporsional. Kenyataan ini semakin diperparah dengan diobralnya klaim-klaim ajaran kitab suci dan digadaikannya sabda-sabda Tuhan untuk kemudian 'diperalat' demi membenarkan pandangan masing-masing. Di sinilah, sederetan pemikir yang berasal dari kedua tradisi-Islam dan Barat, dengan keluasan wawasan dan ketajaman analisanya menguliti dan membedah persoalan-persoalan tersebut hingga di kedalaman akar-akarnya, sembari tidak lupa menyuguhkan tawaran-tawaran kerja strategis-operasional untuk mengatasinya. Untuk mencapai semua itu, prasyarat awal yang mereka perjuangkan adalah mencari semacam "titik temu" guna mengklarifikasi kondisi dan hubungan yang selama ini terjalin lebih dalam kerangka "aku-engkau".
Kebenaran dan Metode
Buku terjemahan saya berjudul Truth and Method yang diterbitkan Pustaka Pelajar dibuat resensinya di http://www.mediaindo.co.id/resensi/details.asp?id=65
Debat Kritis tentang Imanensi Fenomenologis
Oleh: Syafruddin Azhar
Judul buku : Kebenaran dan Metode
Judul asli : Truth and Method
Penulis : Hans-Georg Gadamer
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Edisi : 2005
Tebal buku : xxix + 676 hlm
"Bahasa bukanlah konvensionalismenya yang rumit, juga bukan beban praskematisasi yang membebani kita. Tetapi, bahasa adalah kekuatan generatif dan kreatif yang tanpa henti membuat keseluruhan ini mengalir. (Hans-Georg Gadamer, 1975)
TOPIK hermeneutika merupakan fenomena paling menarik bagi para ilmuwan dan teoretikus modern sekarang ini. Istilah ini dalam historisitasnya berasal dari akar kata Yunani hermeneuein (menafsir) dan hermeneia (tafsiran). Dalam mitologi Yunani, istilah ini identik dengan sosok Dewa Hermes yang bertugas menghubungkan pesan dari Dewa Jupiter kepada manusia. Akan tetapi, pesan tersebut harus ditafsirkan terlebih dahulu oleh si pembawa pesan sebelum disampaikannya kepada manusia. Berawal dari mitologi ini, secara tersirat terkandung unsur penting perilaku menafsir, yakni menjelaskan dan menerjemahkan.
Pada abad ke-19, hermeneutika dianggap sebagai prinsip dasar penafsiran segala bentuk teks sebagai metode khusus dalam ilmu humaniora. Kemudian menjadi kerangka berpikir baru kefilsafatan sejak Martin Heidegger (1889-1976) dan Hans-Georg Gadamer (l. 1900), filsuf terkemuka Jerman. Perjalanan waktu ini menjadikan pengertian di balik istilah “hermeneutika” terus bermetamorfosis dengan kemajuan ilmu pengetahuan (sains).
Kajian utama karya monumental Gadamer ini Kebenaran dan Metode (Truth and Method), hanyalah pengertian mutakhirnya saja sebagai ajang untuk membawa pembaca ke dalam semangat berpolemik. Hans-Georg Gadamer ingin menantang secara konstruktif metode empiris untuk memasuki wilayah humaniora yang diulas secara kritis-estetika modern dan teori pemahaman historis dari perspektif Heideggerian, juga merupakan sebuah hermeneutika filosofis yang bersandarkan pada ontologi bahasa.
Kajian ini menaruh perhatian pada masalah hermeneutik. Fenomena pemahaman dan penafsiran yang benar terhadap apa yang dipahami bukan hanya merupakan masalah yang cocok bagi metodologi ilmu pengetahuan manusia. Untuk waktu lama, ada hermeneutika teologis dan hukum, yang secara teoretis tidak banyak berkaitan dengan, dan merupakan bantuan bagi, aktivitas praktis seorang hakim atau pendeta yang telah menyelesaikan pendidikan teoretisnya. Dari asal usul sejarahnya, masalah hermeneutika melampaui batas-batas konsep tentang metode yang telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan modern. Pemahaman dan penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmu pengetahuan, tetapi jelas merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia.
Fenomena hermeneutik pada dasarnya juga bukan sebuah metode. Hermeneutika tidak berkaitan dengan metode pemahaman, yang dengan memakai metode tersebut teks diungkap melalui penyelidikan ilmiah seperti semua objek pengalaman yang lain. Ia tidak semata-mata berkaitan dengan pengumpulan pengetahuan yang telah disahkan untuk memuaskan ideal metodologis ilmu pengetahuan, namun hermeneutika juga berkaitan dengan pengetahuan dan kebenaran. Dalam memahami tradisi tidak hanya dengan memahami teks, tetapi wawasan juga harus diperoleh dan kebenaran harus diakui. Tetapi jenis wawasan dan kebenaran apa?
Di hadapan ilmu pengetahuan modern (sains) yang mempunyai posisi dominan dalam penjelasan dan pembenaran filosofis terhadap konsep pengetahuan dan kebenaran, pertanyaan seperti ini tampaknya tidak sahih. Namun pertanyaan ini tidak dapat dihindari, bahkan di dalam ilmu pengetahuan sekalipun. Fenomena pemahaman tidak hanya mencakup semua hubungan manusia dengan dunianya. Ia juga mempunyai kesahihan tersendiri dalam ilmu pengetahuan dan mempertahankan setiap usaha untuk mengubahnya ke dalam metode ilmu pengetahuan. Penyelidikan yang dilakukan di dalam buku karya Gadamer ini dimulai dengan perlawanan di dalam ilmu pengetahuan terhadap klaim universal metode ilmiah. Penyelidikan ini mempunyai perhatian untuk mencari pengalaman kebenaran yang melampaui ruang kontrol metode ilmu pengetahuan di manapun ia ditemukan, dan menyelidiki legitimasinya.
Buku Gadamer ini bersifat fenomenologis di dalam metodenya. Ini tampak paradoksikal sebagaimana juga kritisisme Heidegger terhadap persoalan transendental dan pemikirannya tentang bentuk ‘pembalikan’ dari dasar perlakuan Gadamer terhadap masalah hermeneutika universal. Namun Gadamer melihat bahwa prinsip pemaparan fenomenologi dapat diterapkan pada penggunaan Heidegger ini, yang akhirnya menunjukkan masalah hermeneutik. Karena itulah, Gadamer menyebutnya sebagai "masalah imanensi fenomenologis."
"Kebenaran dan metode" adalah sesuatu yang terus mengembang dalam relasi horizontal-vertikal yang penuh kontradiksi dan paradoks. Dalam kerangka pemikiran filsafat strukturalisme the endless play-nya Jacques Derrida (1930-2004), manusia dalam memahami realitas selalu hanya pada aspek tertentu yang terus saja bermunculan tanpa akhir. Untuk mencapai kebenaran dalam konteks konstelasi penafsiran, seorang hermeneutis harus lari dari cengkeraman metode untuk kemudian menceburkan diri di tengah pusaran dialektika. Menurut Gadamer, dipergunakannya metode justru merintangi kebenaran; sedangkan dialektika tiada henti mengumpulkan serpihan kebenaran itu hingga akhirnya menjadi "bulat dan utuh."
Kajian tentang subjek tertentu yang ada di sini juga menggagas kemungkinan teori hermeneutika berbasis fenomenologi seperti yang dilakukan Heidegger. Gadamer secara eksplisit menjadikan analisis Heidegger tentang prastruktur pemahaman dan historisitas intrinsik keberadaan manusia sebagai fondasi dan titik awal analisisnya tentang kesadaran sejarah. Gadamer mengasumsikan dialektika yang didasarkan pada struktur keberadaan sebagaimana dijelaskan pada prastruktur pemahaman dalam karya Heidegger, Sein und Zeit (1927) atau Being and Time (1962). Heidegger memasuki masalah hermeneutika dan kritisisme historis hanya untuk mengembangkan, demi tujuan ontologi. (hlm. 321)
Rekonsepsi pemahaman radikal Heidegger dalam pemikiran Gadamer digiring ke dalam ekspresi yang sistematis. Konsepsi hermeneutika yang lama sebagai basis metodologis, khususnya ilmu humaniora (Geisteswissenschaften), telah ditinggalkan. Status metode itu sendiri menjadi dipertanyakan karena Gadamer mengulasnya sebagai suatu ironi: metode bukanlah cara menuju kebenaran. Sebaliknya, kebenaran menegasikan manusia yang metodis.
Sekalipun demikian, Gadamer tidaklah bersifat anti-metodologis. Ia berargumen bahwa pretensi metodologi apa pun (positivistik atau bukan) adalah "buta" kalau memandang dirinya sebagai epistemologi, yakni menghilangkan syarat kebenaran (the true) menjadi syarat yang benar (the right) dari sebuah aplikasi teknik. Gadamer menilai karya monumentalnya ini sebagai upaya dalam memenuhi aspirasi metodologi yang terdalam. Di bawah metode ini, ia ingin menjelaskan syarat mendasar bagi munculnya kebenaran yang bukan sekadar suatu teknik tentang sesuatu yang dilakukan subjek, melainkan sebagai akibat dari sesuatu yang "terjadi tanpa kemauan kita dan sesuatu yang terjadi di luar tindakan kita."
Kajian filosofis yang cerdas dan mendalam dalam buku Kebenaran dan Metode ini hanya dapat disejajarkan dengan dua karya monumental lainnya tentang teori hermeneutika yang ditulis pada abad ke-20 karya Joachim Wach, Das Verstehen, dan karya Emilio Betti, Teoria Generalle della Interpretazionne. Karya monumental Betti mencakup lintas wilayah disiplin interpretasi bagi ilmu humaniora. Dengan dipublikasikannya karya Gadamer ini menjadikan teori hermeneutika memasuki suatu fase baru yang penting. Ia telah berjasa dalam menemukan problem filosofis pengembangan ontologi baru peristiwa pemahaman.
Apa yang menarik dari buku ini? Membaca buku karya Gadamer ini memang membutuhkan keseriusan dan ketekunan ekstra mengingat apa yang disajikan dalam buku ini termasuk salah satu topik yang cukup berat dan serius. Kendati demikian, buku ini memberikan nuansa baru dalam berpikir rasional melalui filsafat hermeneutika pada ontologi bahasa. Gadamer tampaknya ingin kembali pada eksistensi humanisme, yakni rasionalitas.
Melalui buku Kebenaran dan Metode ini, Gadamer mengangkat tema kritis terutama tentang kesadaran hermeneutik yang harus dijaga. Ia menyadari klaim superioritas yang dibuat oleh pemikiran filosofis mempunyai sesuatu yang samar dan tidak real. Kesadaran ini mengonfrontasikan kehendak manusia yang lebih dari sekadar memperdalam kritisismenya terhadap apa yang hilang sebelum hal itu menjadi utopian atau kesadaran eskatologis, dengan sesuatu yang berasal dari kebenaran ingatan: "Apa yang masih dan juga nyata."
Karya genius filsafat hermeneutika ini dapat dijadikan sebagai penampakan pengaruh yang kuat dari analisis pemahaman ontologi Heidegger. Akan tetapi beberapa bidang lain perlu dieksplorasi mengenai signifikansi teori hermeneutika. Misalnya, filsafat bahasa, analisis logika, teori informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (orasi).
Gadamer melakukan penjelajahan intelektual pada tataran filosofis dan teoretis yang membongkar hingga ke dasar substansinya. Dengan paparan bernas, Gadamer mencoba mengklarifikasi tema interpretasi hermeneut-ekspresivist melalui debat kritis estetika kontemporer beserta segenap kritikannya yang menukik dan cerdas. Dengan demikian medan jelajah buku Kebenaran dan Metode ini berada dalam dataran filsafat, politik, bahasa, sains, seni, dan kajian ilmu humaniora dengan penekanan khusus pada "filsafat hermeneutika" sebagai kerangka konseptual sekaligus metode analisisnya.
Tak dapat dipungkiri gaya penuturan Gadamer dalam buku ini memang memesona walau dalam tataran khazanah filsafat yang njlimet. Ia menyumbangkan pemikirannya yang reformatif dan progresif. Namun demikian, ada satu keterbatasan sebagaimana dalam karya terjemahan umumnya, pembaca kadang tersandung oleh deretan kata atau kalimat yang tidak jelas konsepnya. Ini rupanya tak dapat dihindari karena bahasa adalah ekspresi perasaan dan pikiran penerjemahnya. Mungkin juga perbedaan budaya, ide, dan cita rasa. Karena itu, kajian filsafat seperti ini erat kaitannya dengan ontologi bahasa. Sebagaimana dikatakan Gadamer dalam buku ini (hlm 660), bahwa bahasa adalah kekuatan generatif dan kreatif yang tanpa henti membuat keseluruhan ini mengalir.
Pertanyaan mendasarnya adalah seberapa jauh aspek pemahaman itu sendiri dan linguistisitasnya dapat dicapai? Bisakah ia mendukung rujukan filosofis umum di dalam proposisi, "Apa yang bisa dipahami itu adalah bahasa?" Sejatinya, universalitas bahasa membutuhkan sebuah kesimpulan metafisik yang tak dapat dipertahankan bahwa ‘segala sesuatu’ hanya bahasa dan peristiwa bahasa? Benar, referensi yang jelas terhadap yang tak bisa salah tidak dengan sendirinya memengaruhi universalitas bahasa.
Debat kritis tentang imanensi fenomenologi yang njlimet, namun penuh daya pikat ini diungkapkan secara menarik oleh Gadamer. Buku Kebenaran dan Metode yang diterjemahkan dari edisi Inggris ini dinilai kontroversial di kalangan ahli filsafat hermeneutika Jerman.©
Syafruddin Azhar, pengamat perbukuan dan editor sebuah penerbit di Jakarta.
Lalu, saya menimpali dalam 'ruang' tanggapan:
Saya, sebagai penerjemah buku ini, mengungkapkan terima kasih karena resensi ini telah mencerminkan apa yang dikatakan gadamer bahwa memahami teks adalah sekaligus menafsirkan. Lebih jauh lagi, penafsiran itu dibatasi oleh situasi diri sang penafsir, namun demikian ada makna yang bisa dimiliki bersama, atau dalam bahasa Gadamer disebut dengan die sache.
Peresensi menambahkan:
Terjemahan buku ini menurut hemat saya cukup baik. Namun demikian, karena perbedaan persepsi dan kultur penulisnya, tentu terdapat distorsi makna yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini. Saran saya, penerjemah setidaknya dapat memilih pilihan kata sesuai dengan maksud penulis, dan sebisa mungkin mengurangi persepsi atau penafsiran. Dengan demikian, walaupun buku-buku filsafat berkesan njlimet dan 'berat' akan menjadi menarik dan 'enteng' untuk dibaca oleh banyak kalangan (awam dalam bidang filsafat sekalipun). Saya perlu menyampaikan di sini bahwa penerjemah buku ini cukup teliti dan berhati-hati dalam menrik suatu persepsi atau penafsiran pikiran Hans-Georg Gadamer.
(Syafruddin Azhar-peresensi buku ini)
Jazz
Jika saya hanya berkutat pada apa yang telah dialami, tanpa mencoba untuk berubah, dengan membaca, mendengar dan mendialogkan kemungkinan baru, maka dengan sendirinya saya telah 'mematikan' seluruh eksistensi ini.
Setelah membaca dua buku dan mendengar jazz yang jarang dinikmati, maka dunia seakan mewartakan bahwa hidup saya masih panjang dan perlu untuk menerokai 'ranah' baru agar terbuka 'isi' dunia. Mungkin, citra jazz sebagai musik kelas menengah, eksklusif turut mendorong cita rasa yang terpendam dalam bawah sadar untuk naik ke permukaan dan akhirnya saya menjadi bagian dari kelas itu. Tidak menarik, bukan? Biarlah, toh, saya tidak membawa aksesoris kelas itu, hanya pada rasa, bukan benda. Ups, tunggu dulu, kenapa saya tiba-tiba berbicara kelas, padahal dengan posisi yang sekarang secara sosiologis, saya adalah kelas menengah dan tiba-tiba nyinyir dengan kata ini? Ya, kadang di dalam diri sering bertabrakan antara menjadi 'yang tertindas' dan penindas, tanpa pernah ingin berada di satu sisi saja.
Kalimantang
Biasanya saya keluar kamar pukul 9, tapi hari ini 8.30, saya udah melangkah, ingin duduk dan membaca cerpen, tepatnya kumpulan, Budi Iman Santoso di pojok Restu yang menghadap ke bukit hijau dan angin hilir mudik membelai tubuh.
Benar-benar pagi yang menyenangkan. Ingin rasanya, hawa pagi itu berjalan hingga sore, sebab siang di sini adalah panas yang lembab, tak enak untuk kulit.
Meskipun, acapkali saya berada di ruangan berhawa dingin karena AC, tapi kulit mengering, berbeda dengan angin pagi dari balik bukit yang menyegarkan, menyelusup di pori-pori hingga ke dalam dan tubuh seperti terangkat melayang.
Jam 9, kami pun berangkat ke Kantin Harapan untuk sarapan. Ingat, hindari gorengan! Ah, hidup ternyata perlu memilih. Mau sehat atau tidak? Herannya, dua pilihan ini silih berganti, meskipun yang pertama adalah yang utama.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...