Ahmad Sahidah
Tidak jarang gejolak aksi turun ke jalan mahasiswa memasuki perseteruan "hidup-mati" (zero game). Kedua belah pihak, mahasiswa dan pihak aparat, merasa telah melakukan yang terbaik bagi tugas yang diembannya. Kordinator lapangan dan komandan aparat menemui jalan buntu bagaimana sebuah aksi itu bisa diterima dan akhirnya keduanya secara legawa bisa menerima batas wewenang masing-masing. Misalnya, penolakan mahasiswa terhadap UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang berlangsung di seluruh negeri ini ternyata sebagian telah menimbulkan bentrokan yang tidak perlu. Berita terbaru tentang bentrokan dalam unjuk rasa berkaitan dengan isu ini adalah antara mahasiswa Universitas Brawijaya dan satpam kampus.
Perjuangan simbolik mahasiswa perlu didukung oleh siapa pun yang peduli akan pemerataan kesempatan pembelajaran bagi masyarakat. Lalu, jika UU tersebut disahkan oleh anggota DPR, sementara mahasiswa menyangkal di jalanan, apakah mereka yang bertanggung jawab mendengar dan mencoba untuk memberikan penjelasan, sehingga tercipta dialog konstruktif? Sementara pada masa yang sama, teriakan penggiat unjuk rasa harus berhadapan dengan pihak aparat dan berisiko mengalami benturan? Sebagian berbuah kekerasan dan sebagian yang lain harus menerima kenyataan bahwa tuntutannya menguap ditiup angin.
Kita dapat memahami posisi masing-masing yang kadang berada di tubir jurang karena menuruti kehendaknya tanpa bersedia untuk melakukan pendiaman dan refleksi. Padahal, ruang demokrasi mengungkapkan pendapat telah terbuka lebar. Dengan demikian, para aktivis dituntut untuk mengartikulasikan pendiriannya dengan cara yang elegan, sehingga gagasan besarnya tentang kepedulian bisa diterima khalayak. Menyekat fasilitas publik hanya akan mendatangkan kejengkelan masyarakat pengguna jalan raya. Alih-alih mendapatkan dukungan luas, aktivitas mahasiswa justru dianggap beban baru bagi kehidupan masyarakat.
Tindakan Komunikatif
Menurut Jürgen Habermas dalam Teori Tindakan Komunikatif bahwa setiap tindakan komunikatif tidak meniadakan idealisme kelompok yang "berseteru" serta penekanan potensi ruang publik untuk mengembangkan bentuk komunikasi rasional yang didasarkan pada pengakuan terhadap alasan-alasan yang lebih baik. Namun, masing-masing pihak harus menunda cita-cita mulia yang pada hakikatnya didasarkan pada basis epistemologi dan kepentingan masing-masing. Lalu, setiap pihak menawarkan konsensus minimal yang bisa diraih. Perlu diingat, komunikasi semacam ini bisa dilakukan apabila kedua belah pihak sejajar. Ego superioritas akan mematikan langkah kompromi sejak awal. Yang terakhir ini acapkali muncul di antara hiruk-pikuk demonstrasi di tengah terik matahari.
Sebenarnya, struktur mahasiswa dan aparat tidak memungkinkan hubungan yang sejajar ini, karena mereka didorong oleh hierarki yang berbeda. Tambahan lagi, meskipun masing-masing mempunyai perunding (negosiator), namun suasana lapangan yang tidak kondusif telah menelan akal sehat. Setiap pihak seakan-akan dihadapkan pada harga mati, siapa yang harus tunduk. Dalam keadaan seperti itu, dialog menemui jalan buntu dan berisiko melahirkan kekerasan.
Keinginan untuk mendialogkan persoalan apapun seharusnya menjadi langkah awal kedua pihak untuk berdiri sejajar. Sikap semacam ini akan memudahkan bagi tercapainya konsensus minimal, sehingga bisa di-hindari aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak.
Oleh karena itu, gagasan tentang pemihakan pada pendidikan rakyat bisa dijadikan komitmen bersama. Pihak aparat akan mengawal mahasiswa ke tempat tujuan dengan tertib, tanpa menimbulkan ekses yang tidak perlu, seperti penutupan jalan raya. Paling tidak, separuh jalan tetap terbuka agar kemacetan tidak mendera pengguna.
Kalau dipikir secara dingin, bahkan penghapusan SPP pun tidak akan melempangkan anak keluarga yang tidak mampu untuk memasuki perguruan tinggi. Justru pengeluaran yang lebih besar adalah biaya hidup dan tempat tinggal yang semakin mahal, di mana yang terakhir selayaknya dijadikan alasan yang rasional bagi gagasan tentang kewajiban negara menyediakan pendidikan yang murah. Tanpa beasiswa yang meliputi biaya hidup, ikhtiar memberikan kesempatan pendidikan bagi rakyat hanya akan menggantang asap.
Pengetahuan
Bagaimanapun, kritisisme mahasiswa harus dijaga daya hidupnya sebab pengetahuan harus menjadi tindakan. Pembelajaran akan menjadi sia-sia jika tidak mendorong mahasiswa untuk tidak hanya memahami, tetapi juga mengubah keadaan. Tapi, aksi apa pun yang dilakukan untuk meluapkan protes harus berpijak pada aksi nir-kekerasan.
Saya tidak menyebut mereka telah menghalalkan segala cara, sebab kondisi di lapangan terkadang membuat kedua pi- hak -mahasiswa dan sering aparat- berhadap-hadapan yang rentan menyebabkan bentrokan.
Richard Rorty, dalam Contingency, Irony and Solidarity (1989), meniscayakan perlunya nirkekejaman dimasyarakatkan - yang dilakukan oleh komunitas liberal, sehingga makin menguatkan komunitas untuk tidak berbuat kejam terhadap pihak lain secara lahir batin. Maka, kita semua harus berperan seperti penyair yang menghidupkan terus-menerus daya hidup dari nirkekejaman dan arena interaksi antarpercakapan. Pandangan ini sebenarnya mendorong kita untuk menjadi teladan bagi khalayak luas untuk mengedepankan akal sehat dan kompromi, sehingga terhindar dari penyelesaian jalan pintas. Penutupan akses publik adalah bentuk keputusasaan dan ketidakpercayaan pada sebuah komunikasi, yang justru mereka per-juangkan.
Siapa pun, sejatinya akan bangga dengan kepedulian mahasiswa terhadap masa depan bangsa ini, yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa mereka mempunyai rasa memiliki terhadap negara dan masyarakatnya. Kita juga harus mendukung mahasiswa untuk terus menggulirkan wacana biaya pendidikan yang murah di tengah meluasnya kesulitan ekonomi masyarakat banyak. Namun, dengan terbukanya keran demokrasi, mediasi diperlukan agar mahasiswa dan aparat tidak selalu berantem di tengah jalan.
Penulis Adalah Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Sumber: Suara Pembaruan, 19 Februari 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment