Thursday, January 19, 2012

Tradisi dan Kearifan Lokal


Saya menyukai tanah pekuburan yang berdekatan dengan Masjid Albukhari di atas. Tak ada kesan seram, apalagi tak terawat, sebagaimana umumnya tanah pemakaman yang pernan saya temui. Lalu, mengapa ada larangan memetik bunga-bunga dan mematahkan ranting-ranting? Siapakah yang melarang dan dilarang? Pernah kita berpikir tentang perbedaan kebenaran dan otoritas, pemegang pengetahuan? Mengapa tradisi itu perlu direhabilitasi dan demikian juga otoritas harus dibela? Karena kebenaran itu memerlukan penegak. Kita tak perlu menyuguhkan perdebatan tak berujung pangkal tentang kebenaran substansial dan formal.

Sebagian dari kita mungkin menaburkan kembang di atas kuburan dianggap tradisi yang harus diamalkan untuk menunjukkan kedekatan dengan si mati. Namun, sebagian yang lain menganggap praktik ini bertentangan dengan tradisi Nabi. Jadi, apa sebenarnya kearifan dari adat resam itu? Bukankah tidak ada yang salah dengan larangan tersebut karena dikeluarkan oleh pihak berwenang? Kalau setiap pengunjung mengambil bunga di pohon sekitar kuburan, apalagi mematahkan ranting, mungkin lama-lama pohon akan gundul. Malangnya, keindahan juga raib karena penyeri telah pergi.

Mari memikirkan ulang adat, yang selalu dianggap mengandung kearifan, demikian pula, tidak dengan sendirinya adat bisa dijadikan 'hukum', sebagai kaidah Ushul Fiqh, al-'Adah al-Muhakkamah. Melawan adat itu tidak semestinya melawan kebijaksanaan, sebab di dalam adat tersimpan banyak cerita, bermula dari kekuasaan, perebutan sumber ekonomi dan keterasingan. Mengurai adat resam sejatinya lebih mengenal siapa diri kita dan tanggungjawa yang diemban oleh masing-masing warga. Apabila kita menyadari kedudukan kita dalam masyarakat, niscaya kita akan tahu membawakan diri, tapi harus kehilangan harga-diri.

1 comment:

MHA said...

"Di Tegah" itu artinya dilarang ya, Mas? Apa nulisnya memang dipisah? Atau fenomena "di larang" seperti di Indonesia juga jamak ditemui di Malaysia?

Murid Sunan Kalijaga

Bertemu dgn Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga.