Orang Arab bilang al-Musiqiyyu takhtazu 'alaina, bahwa musik itu membuat kita istimewa. Ya, dengan musik kita merasa menemukan daya ungkap dari peristiwa yang tak sempat terucap.
Seperti pagi ini, ketika meriang menyerang karena minum air dingin kemarin sehabis main pingpong sama Mas Hilal, tapi saya berusaha kuat untuk mengenyahkannya dengan mendengar lagu Rhoma Irama. Lho, kenapa harus bang Haji? Ceritanya panjang. Tak perlu ditulis di sini.
Dulu si pemilik lagu "Begadang" ini turut mengharubirukan publik peminat musik di negeri Jiran. Kawan karib saya dari Kedah justeru ingat kata Penasaran dari lagu bang Haji, meskipun dia tidak tahu artinya. Anehnya lagi, orang Melayu yang tak terbiasa bilang 'bisa' terpaksa akur karena penyanyi kita banyak menyelipkan kata ini di dalam lirik.
Sayangnya, ada sebagian orang Malaysia kesal dengan lagu kita dengan mengatakannya sebagai 'penjajahan' model baru. Band Spider tak mampu bersaing dengan Nidji. Radio mereka dijejali dengan kumpulan musik tanah air. Lalu, kenapa mereka begitu sangat jengkel dengan kita? Ada apa?
Padahal sejarah mereka adalah foto kopi dari Indonesia. Ambil contoh misalnya tentang sastera, kita akan mendapati betapa kesusasteraan di Malaysia harus melacak asal-usulnya ke Sumatera dan Jawa (baca lebih jauh di dalam Haruan Mat Piah (ed.), Traditional Malay Literature). Oleh karena itu, saya kesal jika Chairul Tanjung, pemilik Trans TV, ikut-ikutan bikin Visi 2030, seperti digagas Mahatir dengan 2020. Kita telah memiliki visi sendiri, tak perlu ikut-ikutan. Visinya apa? Tanyaken saja daripada Pak Soeharto? Lho, kok saya sewot? Padahal saya juga sekolah di sini, artinya mengikuti apa yang diidealkan oleh Malaysia. Padahal kata Pak Yulihasri, kita memiliki universitas yang tak kalah bagusnya dengan Malayasia. Duh, di sinilah paradoks.
Sebenarnya kekhawatiran orang Melayu bisa dipahami karena mereka tertekan oleh keperkasaan ekonomi orang Cina dan sekarang orang India mulai menggeliat dengan tampilnya dua taipan asal negeri Gangga, Ananda Krishnan (pemilik Astro) dan Joe Fernandes (Air Asia). Sementara jika mereka menggugat kedua bangsa ini, buru-buru kerajaan akan mengamankannya (baca: menangkap) karena dianggap memicu persoalan sensitif SARA. Tapi, kenapa pemerintahnya tidak mencegahnya penduduknya merendahkan kita, orang Indonesia? Dari panggilan Indon, demostrasi Khairi Jamaluddin, menantu Pak Lah, ke KBRI dan banyak masalah lain yang secara halus merendahkan kita? Padahal Najib itu keturunan Bugis, Tan Sri Juned, Presiden UIAM adalah Aceh, dan Khir Toyo adalah Jawa. Apakah karena koran-koran di sini selalu memperlihatkan wajah kita yang 'buruk'? Sehingga masyarakatnya perlu katup pengaman dari ketertekanannya dengan tidak menghormati kita?
Sudah waktunya kita menanyakan kebijakan surat kabar di sini. Untuk itu, Mas Dian bisa mengajukan protes dan saya akan turut serta jika memang terpaksa harus turun jalan. Lawan surat kabar mereka yang tidak pernah memberitakan keberhasilan Indonesia di sini. Ambil contoh jika salah satu seorang pelajar SMU di sini dapat nilai 9A dalam ujian nasional, seluruh surat kabar memberitakan besar-besaran, bahkan PMnya turut serta merayakannya. Tapi, pernahkan mereka memberitakan keberhasila pelajar SMA kita memenangkan olimpiade Fisika di Cina baru-baru ini? Tidak. Mereka hanya mau memperlihatkan ketidakberdayaan kita karena masalah ekonomi, bencana, terorisme, flu burung, sampah, dan kejelekan yang lain. Apakah kita ingin menutupinya? Tidak, justeru itu juga menjadi konsumsi berita sehari-hari di surat kabar Indonesia. Tapi, atas dasar etika jurnalisme, sebuah media harus menyampaikan berita yang seimbang (cover both sides). Boleh jadi, mereka ingin mencari spin doctors, yang harus dikorbankan untuk menunjukkan kemajuan mereka dan sebagai contoh orang yang terbelakang adalah kita, bangsa Indonesia.
Ahmad Sahidah
Kawan Karib Fauzi, Anak Tempatan.
[Sumber milis PPI: 2 Mei 2007]
Seperti pagi ini, ketika meriang menyerang karena minum air dingin kemarin sehabis main pingpong sama Mas Hilal, tapi saya berusaha kuat untuk mengenyahkannya dengan mendengar lagu Rhoma Irama. Lho, kenapa harus bang Haji? Ceritanya panjang. Tak perlu ditulis di sini.
Dulu si pemilik lagu "Begadang" ini turut mengharubirukan publik peminat musik di negeri Jiran. Kawan karib saya dari Kedah justeru ingat kata Penasaran dari lagu bang Haji, meskipun dia tidak tahu artinya. Anehnya lagi, orang Melayu yang tak terbiasa bilang 'bisa' terpaksa akur karena penyanyi kita banyak menyelipkan kata ini di dalam lirik.
Sayangnya, ada sebagian orang Malaysia kesal dengan lagu kita dengan mengatakannya sebagai 'penjajahan' model baru. Band Spider tak mampu bersaing dengan Nidji. Radio mereka dijejali dengan kumpulan musik tanah air. Lalu, kenapa mereka begitu sangat jengkel dengan kita? Ada apa?
Padahal sejarah mereka adalah foto kopi dari Indonesia. Ambil contoh misalnya tentang sastera, kita akan mendapati betapa kesusasteraan di Malaysia harus melacak asal-usulnya ke Sumatera dan Jawa (baca lebih jauh di dalam Haruan Mat Piah (ed.), Traditional Malay Literature). Oleh karena itu, saya kesal jika Chairul Tanjung, pemilik Trans TV, ikut-ikutan bikin Visi 2030, seperti digagas Mahatir dengan 2020. Kita telah memiliki visi sendiri, tak perlu ikut-ikutan. Visinya apa? Tanyaken saja daripada Pak Soeharto? Lho, kok saya sewot? Padahal saya juga sekolah di sini, artinya mengikuti apa yang diidealkan oleh Malaysia. Padahal kata Pak Yulihasri, kita memiliki universitas yang tak kalah bagusnya dengan Malayasia. Duh, di sinilah paradoks.
Sebenarnya kekhawatiran orang Melayu bisa dipahami karena mereka tertekan oleh keperkasaan ekonomi orang Cina dan sekarang orang India mulai menggeliat dengan tampilnya dua taipan asal negeri Gangga, Ananda Krishnan (pemilik Astro) dan Joe Fernandes (Air Asia). Sementara jika mereka menggugat kedua bangsa ini, buru-buru kerajaan akan mengamankannya (baca: menangkap) karena dianggap memicu persoalan sensitif SARA. Tapi, kenapa pemerintahnya tidak mencegahnya penduduknya merendahkan kita, orang Indonesia? Dari panggilan Indon, demostrasi Khairi Jamaluddin, menantu Pak Lah, ke KBRI dan banyak masalah lain yang secara halus merendahkan kita? Padahal Najib itu keturunan Bugis, Tan Sri Juned, Presiden UIAM adalah Aceh, dan Khir Toyo adalah Jawa. Apakah karena koran-koran di sini selalu memperlihatkan wajah kita yang 'buruk'? Sehingga masyarakatnya perlu katup pengaman dari ketertekanannya dengan tidak menghormati kita?
Sudah waktunya kita menanyakan kebijakan surat kabar di sini. Untuk itu, Mas Dian bisa mengajukan protes dan saya akan turut serta jika memang terpaksa harus turun jalan. Lawan surat kabar mereka yang tidak pernah memberitakan keberhasilan Indonesia di sini. Ambil contoh jika salah satu seorang pelajar SMU di sini dapat nilai 9A dalam ujian nasional, seluruh surat kabar memberitakan besar-besaran, bahkan PMnya turut serta merayakannya. Tapi, pernahkan mereka memberitakan keberhasila pelajar SMA kita memenangkan olimpiade Fisika di Cina baru-baru ini? Tidak. Mereka hanya mau memperlihatkan ketidakberdayaan kita karena masalah ekonomi, bencana, terorisme, flu burung, sampah, dan kejelekan yang lain. Apakah kita ingin menutupinya? Tidak, justeru itu juga menjadi konsumsi berita sehari-hari di surat kabar Indonesia. Tapi, atas dasar etika jurnalisme, sebuah media harus menyampaikan berita yang seimbang (cover both sides). Boleh jadi, mereka ingin mencari spin doctors, yang harus dikorbankan untuk menunjukkan kemajuan mereka dan sebagai contoh orang yang terbelakang adalah kita, bangsa Indonesia.
Ahmad Sahidah
Kawan Karib Fauzi, Anak Tempatan.
[Sumber milis PPI: 2 Mei 2007]
No comments:
Post a Comment